NovelToon NovelToon

Pesawat Kertas

Pacar masa depan

Saat itu umurku baru 12 tahun, tiga bulan lagi lulus seklah dasar. Aku ingat, saat itu sedang hujan. Kakakku datang dari kota yang agak jauh dari rumah karena harus kuliah. Dia kost.

Aku menunggu dengan antusias di teras rumah. Menunggu kedatangannya yang sudah tiga pekan tidak pulang. Entahlah, meski kami sering bertengkar tapi aku sangat merindukan dia saat jauh. Serasa ada yang kurang aja gitu.

Mobil berhenti tepat di depanku. Pintu mobil sopir terbuka, itu pasti dia. Namun, aku salah. Saat itu yang aku lihat adalah sosok pemuda yang tinggi, putih dan tentu saja tampan. Wajahnya yang agak kurus terlihat begitu mempesona saat terkena basah air hujan.

Mataku tidak berkedip untuk beberapa saat. Mungkin karena aku masih kecil, aku tidak tahu perasaan apa itu. Hanya saja saat dia mendekat, berdiri di hadapanku ... Jujur saja aku merasa sesak. Tubuhku terasa dingin entah kenapa. Mungkin karena terkena cipratan dari dia yang mengibas-ibaskan rambutnya.

"Dek, ngapain lo di luar? Dingin tau."

Aku seperti tersadar dari mimpi saat kakaku Elvan, menyapa.

Aku masih terdiam, dan segera memalingkan wajah saat pemuda itu menatapku.

Malu, dan takut. Seperti seorang pencuri yang ketahuan. Ya, mungkin karena aku sedang mencuri pandang darinya.

"Aku nungguin kakak lah."

"Curiga gue. Mau apa lo? Pasti mau ini kan?"

Aku sangat senang setiap Elvan datang karena dia akan membawakan aku cokelat.

"Dasar bocah!" Elvan berteriak saat aku memgambil cokelat itu dan berlari ke dalam. Di dalam ada mama yang sedang memasak.

"Pantes mama masak banyak, mama tau ya kalau kakak mau bawa temannya?"

"Iya, tadi siang kakak kamu nelpon mama."

"Oooh, gitu."

"Kakak bawa berapa orang?"

"Kayaknya tiga deh. Tadi yang turun dari mobil ada empat orang termasuk kakak."

"Aduuuh!" Aku berteriak saat elvan menoyor kepalaku. Tidak terima, aku balas dia dengan menjambak rambutnya. Dia berteriak minta ampun, hanya saja aku adalah orang yang pendendam. Jadi, tidak aku lepaskan.

Papa datang. Semua berhenti. Baik aku atau Elvan, kami berdua takut padanya. Padahal papa jarang marah, beda sama mama yang setiap hari berteriak.

"Pah ...." Elvan menghampiri papa untuk bersalaman, ketiga temannya mengikuti.

"Kenapa belum ganti baju? Ganti dulu, setelah itu kita makan malam bersama."

"Iya, Om." teman-teman Elvan menjawab bergantian, termasuk dia yang tidak lepas dari pandanganku. Dia seperti maghnet yang menarik bola mataku agar selalu tertuju padanya.

"Ra, bantu mama nyiapin makanan ke meja makan."

"Iya, Ma." Aku memutar badan untuk memghampiri mama. Tapi aku melihat dia menoleh padaku tepat sebelum aku berbalik badan.

Makan malam siap. Ada ayam kecap, bihun goreng, capcay dan tempe goreng. Tidak lupa kerupuk karena Elvan tidak bisa makan jika tidak ada kerupuk. Baginya lebih baik tidak ada lauk daripada tidak ada kerupuk.

"Bagaimana skripsi kalian?" tanya Papa.

"Aku masih proses konsultasi dan revisi, Pa. Kalau temenku yang ini udah sidang," jawab Elvan sambil menunjuk dia dan satu temannya yang gemuk.

"Siapa nama kamu, Nak?"

"Saya Jeno, Om."

Ternyata dia bernama Jeno.

"Kenalkan om, saya Irfan." si gendut menjawab.

"Feri, om."

"Ya, saya papa nya Elvan dan Rara. Kalian yang enjoy ya di sini. Anggap saja rumah sendiri. Kalau butuh apa-apa tinggal bilang sama elvan atau rara. Sebenarnya ada pembantu juga tapi dia hanya bekerja di siang hari."

"Iya, Om. Maaf kami datang malah merepotkan."

"Nda apa-apa, nak Jeno. Saya malah seneng kalau temen Elvan main, serinf juga gak apa-apa biar rumah rame."

"Kak jeno udah punya pacar?" tanyaku waktu itu. Entah kenapa tiba-tiba mulutku reflek begitu saja menanyakan hal itu.

Semua orang menatapku.

"Kalian kenapa? Aku kan cuma nanya."

"Belum." Jeno menjawab.

"Jangan pacaran dulu ya kak. Tunggu aku gede."

Jika dipikir-pikir, aku sangat malu melontarkan kalimat itu padanya. Beruntung posisiku anak-anak, jadi mereka menganggap itu hanya sebuah lelucon.

"idih! Kalau nunggu lo gede, dia keburu tua lah."

"Ya biarin aja, dia ganteng beda sama kakak. Wleeee!"

"Saingan kamu berat. Dia ini ... selain kuliah, juga seorang fotografer. Temennya model semua."

"Ya kan cuma temen, iya kan kak Jeno?"

Jeno tersenyum sambil menganggukkan kepala. Dia menatapku sambil tertawa kecil, mungkin di matanya aku terlihat lucu.

"Ya maksud gue ... Model yang cantik aja gak dia pilih, gimana anak kecil bau ompol kayak lo."

"Biarin! Pokoknya kak jeno gedenya harus pacaran sama aku, titik!"

"Sssst, kalian berdua, udah dong. Ada tamu masih aja berantem."

"Tapi itu, Maaa ...."

"Ra, udah ah. Malu sama kak jeno tuh. Masa cewek kayak gitu. Kalau makan harus rapi, jangan berisik. Gimana jeno suka sama kamu coba."

Ucapan mama membuat aku sadar betapa berantakannya kondisiku saat itu. Makan malam memakai piyama motif doraemon, rambut habis mandi belum disisir, dan ada remahan nasi di pipiku.

"Hadeeeuh, gimana mau jadi cewek jeno, makan aja masih kayak bayi. Dasar unyil." Elvan kembali membully ku.

"Unyil?" tanya Irfan.

"Iya, dia itu unyil. Lihat saja tubuhnya yang kecil. Kulitnya putih mengkilap kayak pangsit rebus, pipinya bulat gemoy mirip roti unyil." Elvan menjelaskan panjang lebar.

Aku tau, Jeno menutup hidungnya dengan ibu jari karena menyembunyikan tawanya.

Sementara yang lain tertawa lepas.

Alu kesal, tapi sekaligus senang karena menjadi pusat perhatian. Ditambah lagi Jeno terlihat gemas padaku. Aku pikir itu bagus karena bisa lebih dekat dengannya.

Ya, dan ternyata benar.

Setelah pertemuan pertama malam itu, tidak hanya Jeno tapi teman Elvan yang lain pun selalu memcariku, perhatian padaku, seolah aku ini adik mereka sendiri.

Siapa yang tidak senang memiliki empat kakak yang tampan.

Hari ini aku ulang tahun, perayaannya pun berbeda dari tahun-tahun sebelummya karena usiaku sudah mulai menginjak remaja.

Papa dan mama merayakannya dengan acara makan malam keluarga. Hanya kami ber empat. Papa memesan tempat di restoran yang ada di sebuah hotel bintang 5.

"Selamat ulang tahun kami ucapkan...."

Nyanyian tetap berlangsung, tiup lilin dan juga potong kue.

"Ini kado dari gue."

"Gede banget. Pasti isinya sama kayak dulu kan? Kotaknya gede tapi isinya cuma jepit rambut doang satu."

"Buruk sangka mulu. Buka dulu dong!"

Aku mendelik, lalu membuka kotak bedar itu dengan pita berukuran besar pula.

"Waaah, boneka."

Sebuah boneka lucu dengan bahan yang sangat lembut berwarna kuning.

"Suka?"

Aku mengangguk cepat menjawab pertanyaan Elvan.

"Selamat ulang tahun ya adikku yang lucu seperti roti unyil," ucapnya sambil memelukku.

Dipeluk Elvan adalah hal ternyaman dalam hidup. Kami memang seperti kucing dan anjing, tapi rasa sayang antara aku dan dia sangat besar dan dalam.

"Widiiih, tumben akur."

Aku melepas pelukan elvan saat mendengar suara seseorang yang tidak asing lagi.

"Kak irfan?"

"Halo unyil, happy birthday ya." Kak irfan memberiku sebuah kotak kecil berwarna merah muda.

"Eh, kalian datang."

"Iya, Om. Kami diundang Elvan."

"Begitu rupanya. Mari duduk." Papa menyambut kedatangan mereka berdua.

Jeno duduk di sampinngku.

"Kak jeno gak ngasih aku hadiah? Aku kan pacar kakak di masa depan nanti."

"Raaa ...." Mama mendelik.

Jeno tersenyum, lalu dia merogoh saku jasnya.

"Ini."

Jeno memberiku sebuah gelang dan langsung memakaikannya.

Aku merasa bahagia malam itu.

Lulus

Hari ini aku lulus dari sekolah, dihadiri papa, mama dan elvan.

Malam sebelumnya aku sudah meminta elvan agar jeno ikut serta, tapi saat acara selesai pun jeno tidak kunjung datang.

"Kan gue udah bilang, dia gak bisa datang karena ada pemotretan."

Kesal, tentu saja. Padahal aku ingin dia datang hari ini. Aku yang cantik karena dandan untuk acara perpisahan, ingin dilihat olehnya.

"Kenapa sedih sih anak papa? Kamu juara umum loh. Papa bangga sama kamu, Nak. Nama papa disebut di gedung hotel karena sebuah prestasi anaknya. Terimakasih, ya."

Papa menciumku berkali-kali, begitupun dengan mama. Mereka sangat bangga padaku karena nama mereka disebut dan disambut gemuruh tepuk tangan karena aku menjadi juara umum.

Ya, aku memang pintar dalam pembelajaran. Beda dengan elvan yang lemot tapi dia sukses karena di usianya sudah menjadi owner sebuah cafee yang sangat terkenal dan laris manis.

Ponsel elvan berdering saat kami hendak masuk ke dalam mobil.

"Nyil, Jeno telpon."

Tanpa basa basi aku langsung meraih ponsel Elvan.

"Halo."

"Selamat ya sudah lulus."

"Iya, makasih ya kak."

"Maaf tidak bisa datang soalnya lagi ada kerjaan. Tapi kakak sudah menyiapkan sesuatu di rumah kamu."

"Hadiah?"

"Hmm. Semoga kamu suka ya."

"Iya, apapun yang kakak kasih, aku pasti suka."

"Hueeeek!" Elvan mengejek.

Aku melotot.

"Ya sudah, kakak lanjut kerja dulu. Sekali lagi selamat ya, kakak bangga karena kamu jadi juara umum."

"Makasih, ya udah ya kak. Aku mau langsung pulang, soalnya gak sabar mau lihat hadiah dari kakak."

"Oke, bye."

Aku melempar ponsel elvan, beruntung dia begitu tanggap hingga ponselnya tidak mendarat di atas aspal.

"Unyiiiillll!"

Bodo amat, pokoknya aku harus segera pulang ke rumah dan melihat hadiah dari Jeno.

"Mbok ada hadiah buat aku gak?" tanyaku begitu sampai di rumah.

"Iya, Non. Ada di mobil hitam den Elvan."

Langkahku begitu cepat menghampiri mobil Elvan.

Melihat hadiah yang ada di dalam mobil, aku teriak histeris karena merasa sangat senang. Aku berjingkrak kegirangan.

"Wah, cokelat nih."

"Jangan!" aku memukul tangan Elvan yang hendak mengambil cokelat.

Meski susah karena boneka itu sangat besar, aku keukeuh berusaha sendiri karena tidak ingin orang lain menyentuh barang pemberian Jeno.

Begitu sampai kamar, aku dikejutkan oleh boneka lain.

"Waaaah, apa ini dari kak Jeno juga?"

"Ya ampun, Jeno baik banget sih sampai ngasih Rara hadiah banyak banget," ucap Mama.

"Bagi dia, ini cuma hal kecil. Tinggal telpon, semua beres."

"Apa dia anak orang kaya?"

"Banget, Pah. Kita sih gak ada apa-apanya dibandingkan dengan keluarganya."

"Tapi pas papa ketemu, dia kayak yang biasa aja."

"Dia emang sederhana, gak suka pamer."

"Bagus kalau gitu. Papa suka gayanya."

"Maaf, tuan. Ada kiriman untuk non Rara." si mbok datang membawa hadiah.

"Dari siapa, mbok?" tanyaku antusias.

"Irfan, tadi dia ngasih tau gue."

"Waaah cokelat."

"Nanti Feri juga ngirim."

"Iya?" tanyaku penuh dengen kebahagiaan. Tidak lama kemudian mbok kembali datang bersama munah.

"Itu dari kak Feri? Aaaah, aku suka banget."

Mama, papa dan Elvan terlihat bahagia saat banyak hadiah yang datang untukku. Mereka tersenyum melihat betapa bahagianya aku saat itu.

Malam pun tiba, aku berbaring di atas kasur dengan diapit dua boneka besar dari Jeno.

"Kira-kira kak jeno sedang apa ya?" tanyaku sambil memainkan hidung boneka darinya.

"Andai saja aku sudah punya ponsel, pasti aku udah kirim wa ke dia. Sayangnya papa dan mama belum ngizinin aku punya ponsel. Tapi gak apa-apa, saat aku masuk smp nanti mereka janji akan ngasih aku ponsel. He he he, jadi gak sabar pengen wa an sama kak Jeno."

Mataku mulai terasa berat setelah mama memberi aku segelas susu, dan aku meminumnya hingga habis seperti malam-malam biasanya.

Sepertinya sudah menjadi kebiasaan, sampai aku tidak akan bisa tidur sebelum meminum susu terlebih dahulu.

"Mau liburan ke mana, Nak?" tanya papa saat kami sarapan.

"Enggak ah, soalnya kan kakak gak bisa ikut. Lagi nyusun skripsi kan?" tanyaku pada Elvan.

"Iya, gue sibuk banget. Kalau lo mau pergi sama mama dan papa, gak apa-apa."

"Nanti aku berantem sama siapa dong?"

"Sama papa aja."

"Ih, masa sama papa? Durhaka dong. Enggak ah, aku gak mau liburan. Gak apa-apa kita sesekali pergi aja di sekitaran sini."

Mama dan papa tersenyum senang melihat betapa sayangnya aku pada Elvan.

"Minggu depan gue sidang, nanti lo ikut aja ke kampus. Selesai sidang kita nonton. Ads film transformer kayaknya."

"Beneran? Waaah, asiik."

"Nah, kalian akur dong tiap hari kayak sekarang, mama pasti seneng."

"Dia baik karena ada maunya aja, Mah."

"Iiiih, aku serius kok baik sama kak."

Elvan tersenyum mengejek.

"Ihhh, kakak!" Aku memukul punggungnya. Rupanya dia tidak mau kalah, Elvan menarik tanganku dan mulai menggelitik pinggang.

Aku yang gelian selalu kalah telak jika sudah seperti itu. Kami bahkan bisa berguling di lantai dan ujungnya selalu sama.

"Mamaa ...."

Aku menangis karena lelah dan kalah.

"Ya ampun, baru semenit mama merasa tenang dan bahagia karena kalian akur, ujungnya tetep sama."

Mama mendumel sambil memelukku dan menceramahi Elvan.

"Kamu itu ngalah dong, Van. Bukan udah gede lagi, kamu itu udah tua malah. Udah wayahnya menikah."

"Nikah sana sama kambing!"

"Tuh kan, Ma. Dia yang mulai kok."

"Adek kamu cuma becanda, ah."

"Belain aja terus, dasar unyil!"

"Kodok budug!"

"Roti unyil!"

"Cicak buntung."

"Anak pungut!"

"Elvan!"

"He he he. Iya, iya. Maaf, Mah. Maaf ya adek kecil yang imut, gemoy dan pintar."

"Gak mau, kakak jahat. Kakak gak sayang sama aku."

"Sssst, udah ya. Sekarang kamu masuk kamar. Mama dan papa mau berangkat kerja. Jangan nangis lagi, nanti jelek kalau matanya bengkak. Bisa-bisa kak Jeno gak suka sama kamu."

Mendengar ucapan mama, aku segera berhenti menangis.

"Jeno emang gak akan suka, kok. Masa suka sama roti unyil."

"Mamaaa."

Mama langsung memelukku yang hampir kembali menangis.

"Vaaan, sudah." Papa mulai bersuara setelah diam tanpa memperdulikan kegaduhan kami.

Elvan tertawa.

"Pah, jangan lupa isi rekening aku ya." Dia sedikit berteriak karena berbicara sambil berlari. Mungkin karena sudah hampir terlambat ke kampus.

Aku melihat papa hanya menggelengkan kepala sambil mengetik di layar ponselnya. Mungkin sedang mengirim Elvan uang.

Elvan emang bulit, meski dia sudah punya usaha sendiri, uang jajan dari papa tetap diminta.

Luka

"Sore nanti mama dan papa harus keluar kota, kalian baik-baik ya di rumah. Jangan berantem terus."

"Siap, Ma." ucapku sambil mengunyah ayam geprek.

"Van, jaga adik kamu baik-baik. Kalau kamu sampai menindas dia, papa akan cabut semua fasilitas kamu. Ngerti?"

"Ngerti, Pah." Elvan sepertinya hanya bisa pasrah.

Sepertinya aku akan sendirian di rumah. Mama dan Papa pergi, sementara Elvan sibuk dengan skripsinya. Mbok pun akan pulang sebelum magrib manti. Mungkin itulah kenapa orang tuaku tidak memiliki rumah yang sangat besar meski mereka mampu. Mereka tidak ingin aku merasa takut jika harus sendirian di rumah.

[Bete gak di rumah?]

Elvan mengirim chat.

Ya, saat orang tuaku pergi keluar kota akan ada ponsel yang mereka tinggalkan untukku agar bisa bekomunikasi dengan Elvan.

[Iya.🥹]

[Jeno akan jemput ke rumah, lo siap-siap]

Hah, kak jeno mau jemput aku?

Aku segera menggeletakkan ponsel begitu saja, dan berlari ke kamar mandi. Dandan di depan cermin sebisanya san seadanya. Lagi pula apa yang bisa dipakai anak sd yang baru lulus sepertiku. Hanya ada lotion, lipbalm, dan parfum.

outfit yang aku pakai.

Berkali-kali aku memastikan jika apa yang aku pakai sudah pas, tidak ada hal yang memalukan nantinya.

Ada suara motor yang berhenti di depan pintu pagar, aku berlari ke balkon untuk memastikan siapa yang datang.

Kak Jeno!

Lariku sangat cepat saat menuruni anak tangga hingga akhirnya ... Brukkkk!

Lututku terasa sangat sakit saat jatuh, air mata mulai menetes. Namun, aku segera bangkit dan menghapus air mataku saat Jeno membunyikan klakson.

Setelah mengunci pintu, segera ku hampiri Jeno.

"Kenapa?" tanyanya saat aku baru saja mendekat.

"Gak apa-apa, kok. Memangnya aku kenapa?"

"Nangis?"

Aku segera mengusap sisa air mata yang ada di wajah.

"Kita mau ke mana?" tanyaku.

"Elvan dan yang lain menunggu di cafe."

"Kenapa kak Jeno yang jemput, bukan kakak?"

"Oh, jadi kamu gak mau aku jemput? Ya udah, aku balik lagi ya."

"Enggak! Aku mau sama kak Jeno aja."

Jeno tersenyum. Dia membantuku memakaikam helm, dan memegang tanganku saat naik ke atas motornya yang tinggi. Tangannya terasa lembut dan dingin.

"Pegangan ya, Nyil. Takut terbang kebawa angin."

Aku merasa kesal saat itu karena dipanggil unyil oleh Jeno.

Bau parfum Jeno tercium sangat jelas olehku yamg duduk di belakangnya. Sangat segar dan manis, namun terkesan cool.

Kami sampai di depan cafe yang dimaksud, lagi kak Jeno membantuku melepaskan helm. Aku seperti tidak bisa bergerak saat Jeno merapikan rambutku. Dia bahkan membungkuk dan wajahnya kini ada tepat di depan wajahku. Dia memastikan tidak ada debu di wajahku.

"Ayo." Jeno menarik tanganku, menggenggamnya erat. Mungkin orang lain melihat itu hal yang biasa karena kami terlihat seperti adik kakak, tapi mereka tidak tahu apa yang aku pikirkan dan aku rasakan.

Saat melihat Elvan, aku merasa lututku kembali sakit. Aku menghampirinya sambil menahan tangisan.

"Loh, lo kenapa?" tanyanya cemas. Aku memeluk Elvan yang sedang duduk, lalu menangis.

"Eh, kenapa? Ada apa, huh?" tanyanya khawatir.

"Lo apain adik gue, Je?"

"Gak tau, tadi dia keluar rumah pun udah mewek."

"Dek, lo kenapa?" tanyanya sambil mendorong lembut tubuhku agar kami bisa saling menatap.

"Lututku sakit," jawabku sambil terbata-bata. Elvan melihat lututku.

"Lutut lo kenapa itu?" tanyanya panik. Aku melihat warana lututku merah kebiruan. Lebam.

"Jatuh dari tangga," jawabku, lalu melanjutkan tangisan.

"Ck, ngapain sih sampai jatuh kaya gini. Ada lagi gak yang sakit?" tanyanya sambil memeriksa bagian tubuhku yang lain.

Aku menggelengkan kepala.

"Aku buru-buru lari solanya pengen cepet ketemu kak Jeno, pas di tangga malah jatuh. Sakit banget, mau nangis tapi malu."

Irfan dan Feri tertawa.

"Kalau malu, kenapa sekarang malah nangis? Dasar gak jelas!"

"Tadi di jalan gak berasa sakit, tapi pas liat kakak, langsung sakit lagi," ucapku masih dalam keadaan menangis.

"Tadi di jalan terobati sama jeno, sih, ya." Irfan menggoda.

"Yaaa kan kalau lagi sama ayang sih semua rasa sskit hilang seketika." Feri ikut menggodaku.

"Berisik lo pada."

"Sini." Tiba-tiba Jeno datang dan berjongkok di belakangku, aku segera berbalik. Dia membawa salep dan mulai mengoleskanny pada lututku yang sakit.

"Cieeee, kalau ayang yang ngobatin pasti cepet sembuh nih."

"Lo bisa diem gak, Fer, ah!" Elvan yang masih khawatir sama keadaan adiknya, terlihat kesal saat Feri menggoda adiknya.

"Udah, nanti di rumah kompres aja pake air dingim biar bengkaknya ilang," ucap Jeno.

"Mau pulang aja? Kita pesan makanan, makan di rumah aja."

Aku menggelengkan kepala pada Elvan.

"Ya udah, mau pesen apa?" tanyanya sambil mengusap air mataku. Aku duduk di pangkuan Faraz kala itu.

"Ini." Aku memesan spaghetti dan es krim. Elvan memanggil pelayan untuk memesan pesananku.

"Kalian bisa seakur ini ya ternyata. Gue kira saban dekit gak ada damainya sama sekali."

"Gak gitu juga kali, Fan. Justru adik kakak yang selalu berantem itu memiliki ikatan yang sangat kuat." Feri menjabarkan teorinya.

"Tau dari mana, lo?"

"Dari mereka," jawabnya sambil menunjuk ke arahku dan Elvan.

Dilain sisi, aku merasa salah tingkah. Satu sisi merasa bahagia karena selalu dilirik Jeno, sisi lain merasa malu karena tadi menangis seperti anak kecil, yaaa meski aku masih kecil tapi di depan crush aku harus terlihat cantik bukan?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!