Di sebuah gedung, terdapat banyak wartawan yang berjejer rapih dengan kamera di tangan mereka, beberapa sudah bersiap dengan kamera dan microphone di tangan mereka.
Sebuah mobil berhenti tepat di ujung karpet merah yang di bentangkan menuju pintu masuk gedung, tak lama, seorang pria turun dari pintu depan mobil dan membuka pintu pada bagian penumpang, semua orang kini fokus pada pintu yang terbuka.
Tak!
Sepatu hak tinggi dengan warna merah terang menapak di karpet yang senada dengan sepatu itu, setelahnya, keluarlah seorang perempuan dengan setelan dress selutut dengan warna hitam dan rambut hitam yang di ikat tinggi.
Kaca mata hitam menggantung di hidung mancungnya, bibir tipis berwarna merah itu tersenyum penuh dengan aura kesombongan. Berjalan dengan dagu sedikit terangkat dan melambai pada beberapa kamera yang menyorot padanya.
"Briana! Aku mencintaimu!"
Suara seorang pria terdengar dari kejauhan, perempuan itu, Briana Gemaliel, tersenyum dan melambai sambil memberi isyarat 'Aku juga mencintaimu'.
Setelahnya, Briana berjalan kembali dan melakukan hal-hal yang biasanya di lakukan para aktris dan aktor dalam acara penghargaan ini.
Jam menunjukkan pukul 22.32, Briana duduk diam di dalam mobilnya di temani sang manager yang tengah mengatur jadwalnya untuk hari esok.
"Ri, kau yakin mau langsung menuju lokasi syuting besok?" Tanya sang manager, Arum.
Briana mengangguk dan mengutak atik ponselnya, "Agar aku bisa istirahat lebih cepat." Jawabnya.
Arum hanya bisa mengangguk, dia sangat mengelq Briana, walau ia di juluki sebagai 'Wajah Para Antagonis'. Tapi sebenarnya Briana adalah sosok yang cukup baik. Hanya saja, sifatnya yang sombong dan angkuh, membuat publik banyak mengkritiknya.
"Jemput aku sedikit lebih pagi, ada tempat yang ingin aku kunjungi sebelum ke lokasi syuting." Setwlah mengatakan itu, Briana keluar dari mobil dan masuk ke dalam apartemennya tanpa menunggu jawaban dari Arum.
Arum hanya bisa mengangguk dan pulang menuju rumahnya, ia akan mempersiapkan semuanya untuk besok.
*****
Seperti yang telah di janjikan, hari ini Briana pergi menuju lokasi syuting, di temani managernya tentu saja. Tadi mereka sudah pergi ke tempat yang ingin di tuju Briana, dan itu adalah, pemakaman.
"Ri, ku dengar kau mendapat ancaman lagi?"
Briana yang tengah bercermin menoleh pada Arum, ia hanya mengangkat bahu dan kembali menatap cermin. "Yah, aku sudah tidak perduli." Jawabnya asal.
Arum menghela nafas, "Kau harus lebih memperhatikan dirimu sendiri, Ri." Ujarnya.
Briana hanya diam dan tidak merespon apapun, hingga sesuatu terjadi dengan cepat, sangat cepat. Bahkan membuat Briana yang memiliki refleks bagus, harus mencerna terlebih dahulu situasi itu, dalam keadaan penuh luka dan terjebak dalam mobil yang sudah rusak parah.
Menoleh pada supir yang telah tak sadarkan diri, dan Arum yang juga tak sadarkan diri, setelahnya, ia melihat beberapa orang yang berbondong-bondong menghampiri mobilnya dan membantu mengeluarkan dirinya dan membawanya menuju sebuah ambulance yang entah sejak kapan ada di dekat mobilnya.
Ah, ternyata mobilnya mengalami kecelakaan beruntun, banyak korban yang juga terluka sama sepertinya.
Ia melihat pada Arum yang juga di keluarkan dari dalam mobil dalam keadaan lebih parah, 'Apa aku akan mati?' Fikirnya.
Banyak orang mengambil video dan foto, apalagi pada dirinya yang telah masuk ke dalam ambulance dan di bawa menuju rumah sakit terdekat. Dokter yang datang mencoba sebisa mungkin untuk menyelamatkan Briana yang terluka sangat parah, ia banyak kehilangan darah.
Saat mobil ambulance hampir sampai di rumah sakit, Briana tanpa perlawanan, menghembuskan nafas terakhirnya, membuat dokter pasrah dan merasa gagal untuk dirinya.
Kematian aktris papan atas Briana Gemaliel membuat media heboh, banyak yang berbela sungkawa, tapi tak sedikit juga yang senang atas kepergiannya.
*****
Seorang gadis membuka matanya kala merasakan cahaya matahari yang mulai menerpa wajahnya, ia mengerjap perlahan lalu mata dengan iris berwarna abu itu membulat sempurna. Gadis itu langsung duduk, membuat kepalanya sedikit sakit, tapi ia mengabaikannya.
Melihat ke sekeliling ruangan, yang ia yakini adalah sebuah kamar. Matanya lalu meneliti tubuhnya yang terasa menyusut, dan tangannya yang lebih kecil.
"Apa yang terjadi?"
Lagi, gadis itu tersentak kala mendengar suaranya, yang jelas terasa berbeda, lebih lembut.
Tidak mau ambil pusing, gadis itu kembali tidur, karena ia hanya mengira ini adalah mimpi sebelum dia mati, mungkin?
Dan tanpa di sangka, gadis itu benar-benar tidur, dia bahkan terlihat sangat pulas. Tapi, ada yang aneh, gadis itu beberapa kali mengernyikan dahinya, seolah bermimpi hal yang aneh.
Waktu berlalu, jam yang tadinya menunjukkan pukul 06.23, kini telah berganti menjadi 12.54.
Gadis yang semula tertidur juga telah bangun beberapa menit yang lalu, dia kini tengah duduk diam di atas tempat tidur sambil bersidekap dada.
"Sial! Ternyata aku tidak mati, malah nyasar ke raga seseorang." Gumamnya.
Ia lalu melihat sekeliling, kamar ini memang luas, tapi terasa sepi dan suram. Bagaimana tidak? Cat dasarnya saja berwarna abu tua, bahkan tidak ada foto atau gambar yang di pajang di dinding, hanya ada satu meja belajar beserta kursi, meja rias, walk in closet, dan satu sofa kecil di sudut ruangan, dan hampir semuanya berwarna gelap.
Sial! Benar-benar suram.
Helaan nafas keluar dari bibir tipis dengan warna merah alami itu, gadis itu lalu beranjak dari kasurnya dan menuju meja rias dan menatap cermin.
"Gial, aku benar-benar bertransmigrasi." Lirihnya.
Gadis itu menatap pantulan wajahnya di cermin, meraba bibir tipisnya dan mengguyar rambut hitamnya ke belakang.
"Dengan wajah seperti ini, kenapa dia malah menjadi gadis yang suram?" Tanyanya, entah pada siap.
"Yah, itu wajar. Dia di anggap sebagai bayangan di keluarganya sendiri, karena takdir menyedihkan yang memang sudah menjadi jalan hidup seseorang." Ujarnya saat mengingat sesuatu yang tadi menjadi mimpinya.
"Tapi, kau tidak perlu khawatir. Aku, Briana Gemaliel, akan menggantikanmu membalas dendam dan mendapatkan semua yang seharusnya kau dapatkan, Emeline Cynthia Bagaskara."
Ya, gadis itu adalah Briana, lebih tepatnya, jiwa Briana yang merasuki tubuh gadis bernama Emeline yang mati karena overdosis obat tidur dan obat penenang.
Emeline Cynthia Bagaskara adalah anak bungsu dari keluarga Bagaskara yang terkenal dengan bisnis dan anggota keluarganya yang kebanyakan adalah para orang-orang terkemuka, seperti aktor, aktris, model, desainer, pengacara, dan beberapa menjadi seorang pengusaha hebat.
Emeline sendiri walau terlahir dari keluarga 'atas', tidak membuatnya menjadi anak yang bahagia, malah, ia merasa lebih baik hidup sebagai anak jalanan saja.
Itu karena perlakuan keluarganya yang memperlakukannya layaknya bayangan, ia tidak pernah di anggap ada oleh keluarganya sendiri, semua kebutuhannya di urus oleh baby siter dan ia tidak pernah di perkenalkan sebagai bagian dari Bagaskara pada pihak media.
Emeline di benci karena terlahir di dunia, anggota keluarga Bagaskara, terutama sang Ayah, membencinya karena kelahirannya, ia harus kehilangan sang istri tercinta.
Tiga kakak laki-lakinya juga membencinya karena alasan itu, mereka membenci Emeline yang lahir setelah sang Ibu meninggal.
Padahal, itu adalah takdir, tidak ada yang tahu bagaimana takdir berjalan, bahkan jika mau, Emeline ingin memilih agar ia tidak pernah lahir, jika mamang akhirnya dia akan di benci dan menjadi penyebab dari kematian Ibunya.
"Semoga kau tenang di alam sana, Emeline. Kau tidak perlu khawatir, kau terlahir bukan karena kesalahan, kelahiranmu adalah anugerah, tidak ada anak yang lahir karena kesalahan, jika mamang ada, maka yang salah adalah orang tua mereka. Kau berhak untuk bahagia, aku berjanji akan menjaga tubuhmu, jika kau memang belum mati dan ingin mengambil kembali ragamu, akan ku berikan kapanpun kau mau. Dan terimakasih, aku akan menggunakan kesempatan ini dengan baik."
Setelah mengatakan kata-kata yang panjang itu, Briana mencium foto gadis yang sekarang raganya ia tempati, mungkin sekarang kita harus menyebut Briana sebagai Emeline?
•
•
•
Bersambung...
Briana- tidak, sekarang kita panggil dia dengan Emeline. Gadis itu tengah bersiap untuk pergi ke sekolahnya, di ingatan yang ia dapat kemarin, ia mengetahui bahwa saat ini dirinya masih duduk di bangku kelas dua SMA.
Berbeda dengan dirinya di kehidupan sebelumnya yang berumur 25 tahun, tapi belum menikah, ia bahkan tidak punya kekasih.
Gadis itu membuka walk in closet dan menemukan beberapa baju yang terlihat biasa saja, dan beberapa dress dengan model yang tidak terlalu terbuka, bahkan warnanya juga gelap, astaga... sangat suram.
Ia tidak memerikasanya kemarin, karena ia sibuk tidur dan mendapatkan ingatan dari pemilik tubuh.
"Setidaknya dia memiliki wajah yang cantik, jika di kehidupanku sebelumnya, dia pasti akan banyak di rekrut untuk menjadi idol atau model"
Emeline mengambil seragam yang telah rapih, memakainya dan terlihat pas di tubuhnya, tidak ketat atau terlalu besar, rok yang semula sebatas lutut, ia lipat bagian atasnya hingga melewati lutut dan berhenti di sekitar satu jengkal di atas lutut.
Berjalan menuju meja rias, ia memolas tipis make up, dan sedikit lapisan lip balm, untuk menjaga kelembaban bibirnya, menyisir rambutnya dan ia biarkan tergerai.
Beralih pada sepatu dan kaos kaki, ia mengambil kaos kaki pendek berwarna putih, dengan sepatu yang juga berwarna putih. Emeline yang asli selalu menggunakan kaos kaki panjang dengan warna hitam, begitupun sepatutnya.
Ia lalu mengambil tas berukuran sedang dengan warna cream, memasukkan buku sesuai jadwal dan dompet beserta ATM.
Emeline yang asli memiliki skill yang sangat bagus dalam menggambar digital ataupun manual, ia menjual hasil gambarnya dan mengumpulkan uangnya, ia bahkan berinfestasi pada beberapa perusahaan yang saat ini tengah naik daun.
Briana akui, Emeline sangat pintar, ia bahkan memiliki dua belas persen saham di sebuah perusahaan besar, sebuah perusahaan yang menjadi musuh dari perusahaan keluarganya.
Emeline yang sejak kecil hidup dalam bayang-bayang keluarganya, memiliki tekad kuat untuk membuktikan bahwa ia bisa hidup walau tanpa keluarganya, ia berniat membalas dendam dengan berinfestasi pada perusahaan musuh keluarganya dan mengumpulkan dana untuk bisa keluar dari keluarga ini.
Tapi sebelum keinginannya tercapai, ia malah mati karena overdosis obat, itu adalah pilihan paling bodoh yang pernah di ambil Emeline dalam hidupnya.
Selesai dengan pemikiran dan penampilannya, Emeline mengambil sebuah parfum dan menyemprotnya di kedua sisi leher dan pergelangan tangannya, harum dari bunga mawar seketika menyusup infra penciuman.
"Selera kita sama."
Setelahnya, ia menuju pintu kamar, mengambil nafas pelan lalu mulai membuka kamar, sejak kemarin, ia tidak keluar dari kamar, ia bahkan tidak makan sedikitpun, dan tidak ada yang mengantarkannya makanan atau sekedar mengingatkannya untuk makan.
Emeline terkekeh miris, ia memasang wajah datar dan keluar dari kamar, berjalan dengan langkah tegas dan tegap, sedikit dagunya terangkat, menjadi kebiasaan di kehidupannya sebelumnya.
Para bodyguard dan maid yang melihat kedatangan nona bungsu keluarga Bagaskara, sedikit merasa takut dengan aura yang berubah di sekitar nona itu.
Ia berjalan tanpa menunduk ataupun menoleh saat ia melewati ruang makan yang telah di isi oleh seluruh keluarga besar Bagaskara yang tengah sarapan.
"Tidak sopan sekali, pergi tanpa berpamitan." Celetukan seseorang membuat langkah Emeline terhenti.
Gadis itu lalu membalikkan badannya dengan malas ke arah 'keluarganya', menatap mereka dengan datar, lalu setalhnya tersenyum. "Anda berbicara pada siap? Tuan?"
Pertanyaan Emeline mendapat reaksi beragam dari orang-orang yang tengah duduk di hadapan meja makan itu. Salah satunya adalah tatapan kaget.
"Kenapa? Apakah bukan kepada saya?" Tanya Emeline lagi, ia menatap mereka dengan tatapan yang masih sama.
"Tentu saja kau!" Jawab orang yang tadi berkata, dia adalah Ariana Bagaskara, kakak dari Ibu Emeline, berarti dia adalah bibinya.
Emeline memasang ekspresi sedikit bingung dan agak terkejut, ia lalu menggaruk pipi kanannya yang tidak gatal dan tersenyum polos. "Saya kira anda berbicara pada orang lain. Lagi pula, kalian kan tidak pernah peduli, mau saya pamitan ataupun tidak."
Semua diam saat mendapat jawaban tak biasa itu, sebelumnya, Emeline selalu berpamitan pada mereka, walau selalu di abaikan dan tidak pernah di anggap.
"Saya akan langsung pergi kalau begitu, saya harus menunggu bus dan segera ke sekolah untuk makan, permisi."
Setelah mengatakan itu, Emeline sedikit menundukkan kepalanya dan pergi begitu saja tanpa melihat reaksi dari orang-orang yang ada di sana.
Seperti yang di katakan Emeline tadi, ia menuju halte dan menunggu kedatangan bus, untungnya bus segera datang setelah sekitar tiga menit ia menunggu.
Sementara di ruang makan keluarga Bagaskara, suasana menjadi hening dan sedikit berat setelah kepergian gadis yang mereka anggap sebagai pembawa sial dan penyebab kepergian seseorang yang sangat berharga di keluarga ini.
"Dia berubah." Semua atensi tertarik pada pria yang baru saja berucap, dia adalah anak pertama dari pasangan Agraham Bagaskara dan Diandra Vilia Bagaskara, Satria Galih Bagaskara.
Agraham dan Diandra sendiri adalah Ayah dan Ibu dari Emeline, jadi itu artinya, Satria adalah kakak pertamanya. Pria berusia 23 tahun itu adalah seorang model dan juga mahasiswa S2 jurusan Sosial.
Pria sebelahnya mengangguk dengan ekspresi sedikit heran, dia adalah Gilang Anggara Bagaskara, anak ke dua yang berumur 20 tahun, mahasiswa S1 yang akan menyelesaikan skripsinya beberapa bulan lagi di jurusan Manajemen.
Mereka semua hanya diam, bahkan sang Ayah diam dan menatap pada tangannya yang biasa di cium sang putri, tapi selalu ia tepis, ada perasaan sakit yang menyusup pada hatinya, tapi segera ia tepis.
"Sudah, ayo mulai makan!"
Semua akhirnya mulai makan atas kehendak dari kepala keluarga, Hendry Gustaf Bagaskara. Walau mereka merasa sedikit ada yang kurang di pagi hari ini, yaitu kebiasaan Emeline yang selalu pamit sambil mencium tangan mereka, sekarang tidak di lakukan gadis itu.
*****
Emeline sampai di sekolah lima belas menit sebelum bel berbunyi, ia lalu pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang sejak tadi keroncongan.
"Bu! Saya mau batagor, gorengan, sama minumnya teh manis hangat ya!" Emeline sedikit terburu saat memesan, ia lalu duduk di bangku kosong dan menunggu pesanannya saat Ibu kantin mengangguk.
beberapa menit kemudian, Ibu kantin datang dengan nampan di tangannya, menyajikannya di hadapan Emeline yang menatap berbinar pada makanan itu.
"Makasih, bu!"
"Sama-sama, neng."
Ibu kantin lalu kembali ke stannya, sedangkan Emeline langsung menyantap makanannya setelah sebelumnya ia berdo'a.
'Huhu enak sekali... dulu aku makan ini saat masih tinggal di Indoneisa atau hanya saat berkunjung saja.' Batin Emeline.
Tak terasa, makanan Emeline ludes habis dalam kurun waktu kurang dari lima belas menit, bahkan dua menit setelahnya, bel baru berbunyi, sedikit telat.
"Ibu, ini uangnya, makasih ya." Emeline menyerahkan uang dua puluh ribu dan di terima dengan baik oleh Ibu kantin.
"Makasih juga Neng Mel."
Emeline lalu pergi meninggalkan kantin, ia berjalan seprti biasanya, tegap dan tegas, sedikit dagunya terangkat, menunjukkan arogansime yang kuat.
Langkahnya terhenti di depa pintu bertuliskan XI-1 IPS, dengan tenang gadis itu membuka pintu dan masuk ke dalam kelas, ia berjalan tanpa melihat sekelilingnya.
Berhenti di sebuah bangku dekat jendela lalu menyimpan tasnya, mengeluarkan buku paket untuk pelajaran yang akan di ulas dan membaca sekilas, hanya untuk mengecek, apakah ia masih ingat dengan pelajaran setingkat ini. Karena jujur saja, di kehidupannya dulu, dia adalah anak yang bisa di bilang pintar, sangat malah.
Dan untunglah, ternyata ia masih mengingat pelajaran di tingkat ini, malah ia merasa bisa mengerjakan soal yang di berikan dadakan.
Emeline benar-benar sibuk dengan dunianya, tidak menghiraukan tatapan heran teman-teman sekelasnya, bahkan beberapa dari mereka sudah berbisik ria.
"Dia kayak jadi berubah gak sih?"
"Iya, auranya beda."
"Lebih tenang dan sedikit... cerah?"
"Huuh, biasanya auranya suram, dia juga biasanya suka hela nafas berat, terus langsung tidur."
"Bukannya dia kayak keliatan agak... cantik?"
Semua yang mendengar perkataan itu lantas menoleh pada Emeline yang sekarang tengah sibuk menggambar di buku bagian belaknya, sesekali gadis itu memperbaiki rambutnya yang menghalangi.
Dan mereka serempak mengangguk, menyetujui perkataan orang tadi. "Gila, sebelumnya dia sering nunduk, jadi gue gak terlalu merhatiin, cantik banget." Ujar salah satu siswa agak keras, membuat perhatian Emeline tertarik padanya.
Emeline menaikkan sebelah alisnya saat hampir semua teman sekelasnya memperhatikannya. "Why?" Tanya gadis itu sambil menatap orang yang tadi berkata dengan heran.
"E-hehe... Enggak, cuman kita penasaran aja, kayaknya lo berubah, gitu." Jawab pria itu, name tag di bajunya bertuliskan Sabara Aji Prawira.
"Ooh, kukira apa. Gak papa sih, mau aja merubah suasana, biar lebih nyaman."
Sabara dan yang lainnya hanya bisa mengangguk, mereka masih terpesona dengan wajah cantik Emeline yang menampilkan beberapa ekspresi tadi, karena biasanya, gadis itu hanya akan perekspresi datar.
Emeline kembali pada kegiatannya, tanpa menyadari seseorang yang memperhatikannya dengan senyuman tipis, lebih tepatnya seringaian "Interesting..."
•
•
•
Bersambung....
Kegiatan belajar mengajar berlangsung dengan tenang, guru menerangkan dan memberikan pertanyaan pada murid yang tidak fokus, sesekali ada beberapa murid yang bertanya.
Tring~
[Time for a break]
Bel berbunyi, guru yang tengah mengajar menyelesaikan pembelajarannya dan mulai keluar dari kelas.
Para murid berhamburan keluar dari kelas menuju kantin, begitupun dengan Emeline yang mulai beranjak dari kursinya.
Saat hendak keluar dari kelas, kepalanya terasa berdengung dan sekelebat ingatan terlintas di kepalanya. Ia lalu berhenti dan berpegang pada pintu, menstabilkan tubuhnya dan mulai merasa lebih baik setelah semua ingatan selesai ia lihat.
"Baik, selain jadi gadis yang suram, kenapa kau juga harus di bully?" Lirihnya, ia baru saja melihat ingatan tubuh asli, dimana dirinya adalah sasaran bully para kakak kelas.
Jika di tanya alasannya kenapa, maka itu karena Emeline yang di rumorkan berasal dari keluarga kalangan bawah, ia masuk ke sekolah elite ini karena beasiswa, yah, itu fakta.
Lagi pula, memangnya salah, jika anak beasiswa bersekolah di sekolah elite? Yah, apa pedulinya, dia hanya harus bersikap normal dan mungkin sedikit memberi drama.
Senyum tipis terpatri di wajah cantik Emeline, gadis itu lalu melanjutkan langkahnya menuju kantin, "Let's paly the game." Gumamnya.
Dan benar saja, Emeline baru saja sampai di dan hendak memesan makanan, tapi tiba-tiba sebuah minuman melayang dan membasahi rambutnya.
Emeline menatap malas pada tiga orang siswi dengan pakaian ketat dan make up tebal, ketiga orang itu adalah yang selalu membully Emeline setiap di kantin atau di manapun di sekolah yang selalu di isi oleh banyak murid.
"Apaan tatapan lo itu? Berani lo sekarang?!" Salah satu dari mereka membentaknya, rapi tak ia hiraukan.
Tatapan mata Emeline terjatuh pada gadis di tengah, yang tadi menyiram minuman padanya. Name tag di bajunya bertuliskan Amanda Cyella Hestu.
"Cewe miskin kayak lo itu gak pantes sekolah di tempat elite kayak gini!" Pandangan Emeline kini bergulir pada gadis di sebelah Amanda yang barusan berbicara. Salsabila Lakshmi.
Dan gadis satunya bernama Ardella Zafia Alvarendra. Okay, mereka adalah anak-anak yang berasal dari keluarga kalangan atas, apalagi keluarga Alvarendra yang hampir setara dengan keluarga Bagaskara.
Dari ingatan sebelumnya, gadis bernama Ardella ini tidak pernah ikut campur dalam pembullyan kedua temannya, ia hanya melihat dan melerai saat kedua temannya melewati batas.
"Napa diem lo? Bisu?!" Sentak Salsa dan melangkah mendekati Emeline yang masih diam tanpa berniat menjawab.
Salsa mengangkat tangannya hendak menampar Emeline, tapi gerakannya kalah cepat oleh Emeline yang telah lebih dulu menarik tangan itu dan memelintirnya ke belakang,embuat Salsa berlutut dengan tangan di belakang punggungnya yang di tahan oleh Emeline.
"Aakh! Lepas bangs*t!"
"Shuutt... jangan berkata kasar, ini adalah sekolah elite. " Emeline meletakkan telunjuknya di bibir Salsa dan menekan kata. elite di ucapannya.
Semua yang melihat kejadian itu hanya bisa diam mencerna situasi, kejadian barusan sangat cepat, membuat mereka terdiam dan tak berkutik.
"Senior... akan ku tanyakan satu hal." Emeline kembali mengeluarkan suara, membuat situasi hening dan sedikit sesak, entah kenapa, mereka merasa gadis itu terlihat berbeda. "Kenapa menurutmu anak beasiswa tidak boleh sekolah di sekolah elite ini?" Lanjutnya dengan sebuah pertanyaan.
Semua diam, tidak ada yang mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaan yang di lontarkan oleh Emeline, bahkan Amanda dan Ardella yang ada tepat di hadapan Emeline juga bungkam.
"Hm? Kenapa tidak ada yang menjawab?"
Lagi, suara Emeline kembali mengalun, entah ini perasaan mereka atau apa, yang pasti, suara Emeline terdengar begitu dingin dan sarat akan intimidasi.
Sebelumnya semua orang tidak pernah memperhatikan Emeline yang selalu di bully, mereka hanya akan diam dan membiarkan, bahkan tidak sedikit dari mereka menertawakannya dan ikut membullynya.
Bukan hanya Emeline, tapi anak beasiswa yang lain juga mengalami hal yang sama dengannya, karena itu, dia ingin menunjukkan seberapa hebat anak beasiswa pada mereka yang hanya sekolah di tempat ini mengandalkan uang mereka.
"Hey, seniors. Come on, give us a reason, why do you think of us, the scholarship students, as children who don't deserve to go to this school? Hm?"
Masih tidak ada yang menjawab, dan mereka malah semakin bungkam.
"Haa~ astaga... menyebalkan sekali. Apa kalian mendadak bisu?!" Emeline meneriakkan ucapan di akhirnya, ia menatap pada orang-orang yang hanya diam.
"Listen up, scholarship students! From now on, you don't need to be afraid of fighting those who bully you! Why? Because even though their family's social status is higher than ours, their brains aren't even smarter than prawns!"
Kantin yang semulanya hening, kini ricuh setelah perkataan lantang yang di ucapkan oleh Emeline, sebagian dari mereka memaki Emeline yang menganggap rendah status sosial mereka, dan sebagiannya lagi bersorak mendukung ucapan gadis itu, dan sebagian dari para pendukung itu adalah murid-murid beasiswa yang sudah muak dengan perilaku bullying di sekolah ini.
"Diam! Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?!"
Kantin kembali tenang setelah suara bariton yang terdengar menekan memasuki indra pendengaran mereka. Semua atensi kini beralih pada seorang siswa dengan jas almamater khusus organisasi OSIS yang berjalan menuju kerumunan dimana Emeline berada.
"Ada apa ini?" Tanya pria itu lagi, kini tatapnnya jatuh pada Emeline yang telah melepaskan tangannya pada Salasa yang sendari tadi ia tahan.
"Tidak ada apa-apa, hanya keributan kecil." Jawab Emeline dengan santai dan membersihkan bajunya yang terkena sedikit minuman tadi, kebanyakan minuman tumpah pada rambutnya dan menetes ke belakang seragamnya.
"Keributan kecil apa? Suara kalian bahkan terdengar hingga ruang guru!" Sangkal pria tadi.
Pandangan Emeline kini berubah dingin, ia menatap tajam pada pria di hadapannya yang ia yakini adalah seorang ketua OSIS. Samuel Chakra Abiputra.
Tangan putih dengan jemari lentik itu, menyapu helaian rambut yang menghalangi pandangannya dan mengguyarnya ke belakang. Bak slow motion, semua orang terpana dengan adegan sepele namun elegan itu.
"Kenapa kau baru datang sekarang, senior?" Emeline bertanya dengan nada terkesan dingin.
Gadis itu kemudian melangkah mendekati Samuel dan menepuk pundak pria itu, terkesan seperti membersihkan debu di bajunya. "Tidak perlu khawatir, tidak ada keributan apapun, bukankah sebelumnya kalian juga selalu diam saja saat melihat para 'siswa kelas atas' itu?" Ujarnya dengan nada meremehkan.
Samuel mengepalkan tangannya, ia merasa terhina entah karena perkataan Emeline, atau karena gadis itu yang kini menatapnya merendahkan.
Emeline lalu berjalan mundur sambil mengangkat kedua tangannya, "If you want to punish, please punish someone who made a fuss at the beginning, I'm just going with the flow." Ujarnya dengan santai, lalu pergi begitu saja, meninggalkan suasana tak mengenakkan di dalam kantin.
"Kembali ke tempat kalian masing-masing!"
Setelah mengatakan itu, Samuel dan anggota OSIS lainnya pergi meninggalkan kantin, dan suasana mulai kembali mencair.
"Anjiir! Badass banget si Emeline." Seseorang yang sendari tadi memperhatikan keributan mengeluarkan suara.
Bukan hanya satu orang, ada lima orang pria yang duduk di bangku yang sama, sendari tadi menatap minat pada drama yang di suguhkan oleh gadis yang sebelumnya bahkan tidak menarik perhatian.
Lima orang pria itu adalah bagian dari sebuah geng yang ada di sekolah ini, geng yang bernama BLACK WOLF. yang di ketuai oleh Saveri Abel Alterio, anak pertama dari keluarga Alterio yang berada di atas keluarga Bagaskara dalam segala hal, juga, adalah musuh bisnis terbesar keluarga Bagaskara.
Orang yang barusan bicara adalah Melvian Abisakya, dia adalah anggota BLACK WOLF yang paling mudah si provokasi. Tiga lainnya adalah Abian Karsa Caleb, Sendy Frans Wijaya, dan Iqbal Latief.
Sebagian besar dari geng itu adalah anak-anak SMA dari berbagai sekolah, juga beberapa anak kuliahan.
Iqbal merangkul bahu Abian yang ada di sebelahnya, "Bisa kali, lu gaet tu cewek." Celetuknya sambil menaik turunkan alis.
Abian mendengus, ia memang di kenal sebagai play boy, tapi ia tidak mau berurusan dengan gadis itu. Karena gadis itu telah di tandai oleh sang ketua.
"Just calm down, gak bakal gua ambil kok." Ujarnya entah pada siapa. Membuat teman-temannya heran, tapi tidak untuk satu orang yang memasang senyum tipis.
'You're back, huh?'
•
•
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!