NovelToon NovelToon

Jatuh Cinta Pada Senior

My Booster

Melinda Puspita Widjaya, atau kerap dipanggil Melin. Remaja 16 tahun yang ingin masuk SMA dan mengambil jurusan IPA. Dia terinspirasi oleh tantenya. Lulus SMA kuliah ambil keperawatan, lalu sekarang menjadi perawat di sebuah rumah sakit. Namun, papanya memaksanya masuk SMK Bisnis dan Manajemen. Dan mengambil jurusan administrasi perkantoran.

"Paa..., aku mau sekolah di SMA biasa saja." katanya.

"Tidak, Melin. Kamu harus masuk SMK!" balas papanya, Adi Widjaya.

"Ta..." kalimat Melin menggantung karena dipotong papanya.

"Melinda Puspita Widjaya!" sentak papanya.

Melin sangat tahu kalau papanya sudah menyebut nama lengkapnya, berarti papanya sedang dalam mode tidak mau dibantah.

"Terserahlah...!!!" balas Melin, lalu dia beranjak menuju kamarnya di lantai 2.

"Apa sih bagusnya pekerjaan Annisa, adikmu itu..?? Sampai Melin ingin sekali mengikuti jejaknya. Mau dia seperti tantenya yang setiap hari bergaul dengan penyakit." gerutu pak Adi Widjaya.

"Paa!!!" tegur istrinya, Yunita. "Jangan gitu ah, perawat juga profesi yang bagus kok." kata istrinya.

Di dalam kamarnya, Melin terus saja menggerutu. Dia mengadu pada kakaknya yang sedang berada di Singapura, untuk bertemu dengan relasi papanya.

Papa daftarin aku di SMK kak. Jurusan adm. perkantoran 😫😭

Sang kakak, Guntur, tak kunjung membalas chatnya.

"Iiih..., nyebelin semuanya...!!" geramnya sambil membejek-bejek boneka kelinci pink kesayangannya.

Ting...!!

Sebuah notif pesan masuk terdengar. Melin bergegas membukanya.

Terima saja dik, keputusan papa insyaAllah tidak salah. Lihatlah kakak sekarang. Bukankah sampai hari ini kakak baik-baik saja.

Melin mengingat cerita kakaknya waktu itu. Dulu kakaknya juga ingin sekolah di STM. Tapi menyuruhnya masuk sekolah dan jurusan yang sama dengannya saat ini. Dan alhasil, kakaknya sekarang menjadi pengusaha muda yang cukup berpengaruh dalam dunia bisnis.

Iya... iya...!!!

Melin sudah malas membalas lagi, dia memilih untuk tidur.

......................

Hari yang tidak pernah diharapkan akhirnya tiba juga. Melin menuruni anak tangga dengan malas. Raut wajahnya sama sekali tidak sedap dipandang mata. Bahkan ekspresi murung itu terbawa sampai ke sekolahnya.

"Aah..., Mel..., Mel...!! Malang sekali nasibmu..." dengus Melin dalam hati.

Melin memasuki ruang kelasnya. Dia memilih bangku yang tidak strategis. Bukan bangku paling depan, karena itu akan jadi pusat perhatian guru. Tidak juga paling belakang, apalagi pojok kelas. Di sana identik dengan siswa pemalas yang doyan tidur di kelas. Dan itu bukan Melin, meskipun dia enggan masuk sekolahnya yang sekarang.

Posisi center, tidak juga. Dia nantinya pasti akan sangat mencolok dalam kelas. Pilihan Melin adalah bangku nomor 3, deretan ke-2.

"Hai..., namaku Sasha. Kamu siapa?" tanya Sasha sambil mengulurkan tanganya.

"Melin." katanya.

"Aku duduk sini, biar kita sebelahan." ujar Sasha sambil menaruh tasnya.

"Iya, terserah kamu sih." begitu balas Melin.

Tak lama kemudian bel berbunyi, saatnya para murid baru berkumpul di lapangan tengah untuk melaksanakan apel pagi.

Tidak ada ospek yang mengandung unsur pembulian di sekolah itu. Semua kegiatan konsepnya mengenal lingkungan sekolah, dan seluruh warga sekolah.

"Nggak minum, Mel?" tanya Sasha.

"Nih." Melin membuka botol air mineral yang tersedia di meja kantin.

"Ini panas banget, kamu cuma minum air putih?" Sasha tak habis pikir dengan teman barunya itu.

"Aku tidak bisa minum dingin dan manis sembarangan." ujarnya.

"Why...?!" Sasha semakin merasa aneh.

"Aku gampang pilek." balas Melin sekenanya.

"Ooh..." Sasha membulatkan mulutnya.

"Masih lama kan istirahatnya?" Melin melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aku ke toilet dulu ya."

"Oke. Jangan lama, bentar lagi makanan kita datang." kata Sasha. Melin mengacungkan jempolnya untuk memberi respon.

"Anak orang kaya kayaknya, jam tangannya saja brand terkenal. Aku mana mampu, harga ratusan ribu saja kembang-kempis. Apalagi berjuta-juta...!!"

Sasha terus menatap punggung Melin, hingga pesanannya datang.

Tak lama kemudian Melin kembali, lalu menyantap makanannya bersama Sasha. Melin mengunyah makanannya sambil melihat sekitarnya. Pandangannya berhenti pada satu titik.

Di salah satu meja, terdapat seorang murid laki-laki yang sedang menyantap makanannya. Dari seragam yang dia kenakan, Melin tahu itu adalah kakak kelasnya. Bagi Melin sosok itu sangat tampan dan mengangumkan.

"Kok ada ya umat seganteng itu...?? Oh my God...!!" batin Melin berteriak kesenangan saat menemukan kakak kelas itu.

Saat jam pulang Melin melihat sosok itu lagi berjalan menyusuri koridor yang sama. Tepat di depannya, meski jaraknya tidak dekat.

"Dari belakang saja keren...!!" Melin tak henti-hentinya mengagumi orang yang belum dia kenal itu.

Ketika orang itu memberikan pergerakan seolah ingin menoleh ke belakang, dengan cepat Melin memalingkan pandangannya. Dia pura-pura fokus pada ponselnya.

"Hampir saja..., ya ampun...!! Bikin jantungan deh...!"

......................

Hari-hari berikutnya Melin jadi semakin penasaran dengan sosok itu. Tapi tidak punya cukup keberanian untuk bertanya pada orang lain, siapa namanya.

Kali ini anak laki-laki itu sedang bermain basket, Melin pun ikut menyaksikannya di bangku penonton.

"Ganteng, keren, jago basket lagi. Gemes banget...!!!"

"Nathan...!! Nathan...!!!" sebagian besar meneriakan nama itu.

"Apa namanya Nathan ya??" pikir Melin.

Melin kembali fokus pada permainan itu. Saat seseorang memasuk bola dalam ring, semua menyerukan nama Nathan kembali.

"Oh, bukan."

Melin merasakan getaran pada saku blazernya. Papanya memanggil.

"Aku angkat telepon dulu ya." pamitnya pada Sasha.

"Oke." Sasha mengangguk.

Melin keluar dari gedung olahraga itu, dia memilih sisi kanan pintu masuk gedung untuk tempat menerima panggilan dari papanya.

"Seperti biasa, paa. Kenapa?"

"Oh, baiklah. Aku tunggu nanti di depan."

"Tidak apa-apa kok, paa..."

"Oke, paa. Bye..."

Melin berbalik setelah mengakhiri panggilan dari papanya. Dia tidak melihat sekitarnya, karena fokus membalas chat dari supirnya.

Bruuukh

Melin menabrak seseorang di sana.

"Oh, maaf." Melin melihat nama di seragamnya, Reihan P.

Dia terkejut saat melihat siapa orangnya.

"Aduh..., keep calm Mel...!! Santai...!!"

"Maaf, nggak sengaja." kata Melin lagi.

"Hem." balasnya kemudian berlalu, sambil memasukkan tangan kanannya dalam saku celananya.

"Aah..., bahagianya...!!! Kak Reihan..., ganteng banget sih...!!!" Melin tersenyum, kemudian kembali masuk gedung olahraga. Karena Sasha masih di dalam.

Sasha memberikan brosur pada Melin. Itu adalah brosur untuk ekstrakurikuler basket dan cheerleader. Melin mulai berpikir untuk gabung, tapi dia bingung.

"Masuk tim putri?" tanya Sasha.

"Aku nggak bisa main. Pasti nggak lolos seleksi." gumam Melin.

"Tahu kalau bakal ketemu orang kayak kak Reihan, aku bakal tekuni basket selama di SMP. Aaah..., nyesel...!!"

"Gimana kalau cheer?" begitu saran Sasha.

"Nggak bisa nari juga akunya tuh..." Melin mulai putus asa, dia melewatkan kesempatan emas untuk dekat dengan Reihan.

"Yaaa, kita nggak samaan dong di sini." ujar Sasha sedikit kecewa.

Wajar saja jika Sasha seperti itu. Pasalnya teman pertamanya di sekolah baru adalah Melin. Dan keduanya sudah merasa saling cocok.

Sasha adalah salah satu pebasket andalan tim putri di sekolahnya dulu. Jadi dia sangat antusias gabung dalam tim sekolahnya. Apalagi sekolahnya saat ini adalah salah satu sekolah favorit, dan sering menyabet tropi kejuaraan. Baik dalam bidang akademik maupun sport.

"Tenang, bestie..." Melin menepuk pundak Melin. "Aku akan temani kalau latihan." katanya.

"Setidaknya kan dengan menemani Sasha, bisa ketemu kak Reihan... My Booster...!!!"

......................

Kue

Sebuah bus warna merah berhenti di halte tak jauh dari sekolah. Tampak di sana Reihan keluar dari bus itu, diikuti beberapa anak yang lain. Melin yang baru saja tiba, tidak langsung turun dari mobilnya. Dia masih memperhatikan Reihan hingga mendekati gerbang sekolah.

"Aku masuk ya, paman." pamitnya pada paman supir. Setelah Reihan hampir sampai. "Terimakasih..."

"Hati-hati, non. Kalau ada jadwal pulang lebih awal telepon paman, lho!"

"Siap, paman..."

Melin punya hobi baru sejak melihat Reihan pertama kali. Dia jadi suka diam-diam memperhatikan Reihan.

"Melin..." Nathan tiba-tiba sudah berada di sampingnya.

"Eh, kak." hanya itu balasan Melin.

"Sendirian saja, nih?" tanya Nathan.

"Iya, kak."

"Ngantin, yuk...!" ajak Nathan.

"Nanti deh, kak. Ada tugas yang kelupaan." begitu alasan Melin.

"Butuh bantuan?" Nathan menawarkan dirinya.

"Ah, tidak. Thanks." balas Melin. "Duluan ya, kak." ujar Melin kemudian,saat dia sudah sampai depan tangga menuju kelasnya di lantai 3.

"Hati-hati, Melin...!" balas Nathan seraya melambaikan tangannya.

Melin terus menggerutu dalam hatinya. Karena dia kurang suka kalau Nathan bersikap seperti itu padanya. Dan gara-gara Nathan juga, Melin jadi kehilangan jejak si Reihan.

"Coba kalau kak Reihan, pasti beda..." Melin mulai menghalu jika Reihan yang bersikap seperti Nathan.

Saat jam istirahat Melin pergi bersama Sasha ke gedung olahraga, karena Sasha akan mengikuti seleksi basket. Tak hanya Melin, murid lain yang tidak berkepentingan pun datang sekedar ingin menonton.

"Kak Reihan mana?"

Melin mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Tapi tidak menemukan sosok yang dia cari. Justru Nathan yang tersenyum padanya saat tidak sengaja pandangan mereka bertemu.

"Hadeeh..., dia lagi..., dia lagi..." dalam hatinya Melin mendengus kesal.

"Kenapa tiba-tiba mau ke toilet sih...??"

Melin pun segera menuntaskan ritualnya. Lalu secepatnya kembali ke gedung olahraga itu, agar bisa melihat boosternya. Siapa lagi kalau bukan Reihan.

Benar saja, Reihan sudah berada di sana saat Melin kembali.

"Ya ampun..., gantengnya paripurna...!!" begitu puji Melin. Pastinya hanya dalam hati.

Rasanya tidak ada bosan-bosannya Melin memperhatikan si Reihan. Namun sayangnya, orang yang diperhatikan itu tidak peka kalau di bangku penonton itu Melin tak pernah melepaskan pandangan darinya.

......................

Saat menuruni anak tangga bersama Sasha, Melin melihat Reihan dan Nathan sedang jalan berdua. Nathan terlihat sedang memainkan kunci motornya. Sedang Reihan stay cool dengan kedua tangannya yang dia masukkan dalam saku celana.

"Cuma jalan doang lho kereeen...! Makin suka kan jadinya..."

"Mel...!!" panggil Sasha. "Meliiiin...!!!" Sasha geram karena temannya itu sejak tadi tidak merespon pertanyaannya.

"Ah, kenapa?!" sahut Melin.

"Kamu tuh ya, iiiihh...!!" Sasha ingin sekali menjitak kepala Melin.

"Tadi aku tanya, kamu pulang dijemput nggak...?!"

"Oh, iyalah. Mau ikut sekalian?" Melin menawarkan tumpangan.

"Nggak, deh. Kita beda arah. Kasihan supir kamu. Ya sudah, kalau begitu aku duluan ya. Takut busnya keburu datang."

"Oke, hati-hati ya...!!" Melin melambaikan tangannya pada Sasha.

Semetara itu Melin duduk manis di dekat pos security, menunggu jemputannya datang.

"Meliiin...!!" Lagi-lagi Nathan datang tanpa diundang.

"Aku antar, yuk?!" tawar Nathan.

"Makasih, kak. Jemputanku sudah OTW kok." Balas Melin.

"Okelah. Hati-hati ya...! Pak Supri, nitip nih. Jangan sampai diculik orang." kata Nathan pada security yang jaga di pos.

"Halaaah..., bisa bae mas Nathan ini godain anak gadis orang." sahut pak Supri.

Sementara Melin masih mempertahankan mode masa bodohnya, dengan segala cuitan kakak kelasnya itu.

Tak lama setelah Nathan pergi, mobil jemputan Melin pun datang. Dan siap membawa Melin kembali ke rumah.

Di tengah perjalanan, Melin melihat Reihan memasuki sebuah toko kue.

"Kak Reihan deh kayaknya. Yakin kok nggak salah lihat."

"Paman, putar balik ya. Aku pingin beli kue, deh..." kata Melin.

"Dimana non?" tanya driver itu.

"Di pertokoan tadi." Melin menunjuk ke belakang.

"Oh, siap!"

Tak lama kemudian mobil itu berhenti di depan sebuah toko kue, An's Cake. Melin segera turun, lalu memasuki toko itu. Dia melihat di setiap sudut ruangan, tapi tidak menemukan orang yang dia cari.

"Cepat sekali perginya..." Melin mulai kecewa.

Tiba-tiba yang dicari muncul dari balik pintu ruang karyawan, sambil menyibakkan rambut hitamnya ke belakang. Pemandangan indah itu membuat rasa kecewanya tiba-tiba hilang entah ke mana.

Tanpa banyak pikir, Melin menghampiri seorang ibu di sana.

"Cheesecake ada, bu?" tanya Melin padanya, yang berdiri di balik etalase penyimpanan kue.

"Sedang menoping, mau menunggu?" jawabnya.

"Boleh." Melin tersenyum sangat manis.

"Sebentar ya..." balas si ibu.

Melin melihat lemari es yang ada di salah satu sudut toko itu. Dia tidak menemukan air mineral di sana.

"Tanya nggak ya...? Kalau tanya kok malu. Masa iya masuk sini carinya air putih...?? Pasti dipikirnya nggak ada uang kok gaya-gayaan masuk sini...! Aaah..., sulitnya jaga image di hadapan kak Reihan...!!! Gimana dong...??? Haus banget lagi..."

"Butuh sesuatu?" pertanyaan itu sontak membuat Melin sedikit kaget.

"Kak Reihan..." rasanya Melin ingin berteriak karena saking senangnya.

Melin menoleh ke sumber suara setelah menyetel dirinya ke versi kalem dan tenang.

Meskipun dia sudah tahu siapa pemilik suara syahdu itu, tapi dia berlagak seolah lupa kalau pernah bertemu dengannya. Setidaknya tidak meninggalkan kesan sok kenal pada kakak kelasnya itu.

"Nggak ada air mineral ya?" Melin membalas dengan sebuah pertanyaan. Sambil menunjuk lemari pendingin di sampingnya.

Reihan tidak menjawab, dia justru menunduk untuk mengambil sebotol air mineral. Lalu dia taruh di atas meja kasir.

"Maaf, baru datang. Belum sempat didisplay." ujarnya.

"Oh, thanks." Melin mengambil botol itu.

"Sekalian bayar deh kak, sama kuenya satu." kata Melin kemudian.

Kebetulan ibu yang tadi keluar membawa kue yang Melin pesan. Dengan sekali lirik Reihan sudah tahu kue jenis apa yang Melin pesan, dan juga harganya.

"Terimakasih..." ujar Melin setelah mendapatkan kuenya.

"Sama-sama, kami tunggu kedatangannya lagi." balas si ibu

"Iya, bu. Permisi..." Melin pun melangkah menuju pintu keluar.

"Teman sekolah kamu?" tanya si ibu pada Reihan, setelah Melin menjauh. "Seragamnya sama seperti punyamu."

Reihan kembali melihat ke arah Melin yang ada di luar toko. Dia mencoba mengingat wajah itu, namun tidak berhasil.

"Iya kali, bi. Kurang tahu akunya." balas Reihan.

"Gimana kamu ini, punya teman secantik itu kok tidak tahu." gerutu perempuan yang dia panggil dengan sebutan bibi.

"Aku sekolah buat belajar, bi. Bukan melihat cewek cantik." balasnya asal.

Memang sampai saat ini Reihan tetap konsisten dalam belajar. Dia tidak ingin nilainya turun dan kehilangan beasiswa hanya karena berurusan dengan makhluk yang berjenis perempuan. Merepotkan katanya.

"Pantas saja sampai hampir lulus tidak punya pacar." gerutu bi Ismi.

"Mereka mengganggu, bibi..." gumamnya. Tapi bi Ismi masih bisa mendengarnya.

......................

Pada suatu kesempatan, kebetulan sekali Melin bertemu dengan Reihan kantin. Melin memberanikan diri menghampirinya.

"Kak..." sapanya dengan ramah.

Reihan mengangkat kepalanya, memperhatikan sosok yang sudah duduk di hadapannya. Tatapan itu seolah mempertanyakan, siapa dia? mau apa?...

"Ada apa?" datar sekali, terkesan dingin, dan kurang respek.

"Kakak yang ngasir di toko kue itu kan...?" lagi-lagi Melin berakting seolah mereka baru bertemu.

Mendengar pertanyaan itu, Reihan kembali melihat gadis di depannya itu. Begitu banyak orang datang ke toko itu. Reihan tidak bisa mengingat semuanya. Kecuali yang sudah lama berlangganan.

"Mau apa?" hanya itu yang dia tanyakan.

"Cuma mau tanya sih. Ada minimal order nggak kalau mau delivery?" begitu balas Melin.

"Mana handphonemu?!" Reihan menengadahkan tangan kanan.

"Ah!" Melin sedikit kaget tiba-tiba Reihan minta benda pribadi miliknya. Tapi dia menurut saja.

"Ini, kak." katanya.

Reihan menerimanya lalu mengetikkan sesuatu di sana.

"Hubungi saja aku kalau sewaktu-waktu mau pesan." ujar Reihan, kemudian dia beranjak dari duduknya. Sambil membawa snacknya yang belum habis.

"Setidaknya bisa menjadi tambahan tabungan buat kuliah." batin Reihan.

"Thanks, kak." kata Melin sangat riang. Meski tidak ada respon.

"Aaahh..., boleh kelewat senang nggak sih Tuhan...?!! Penting nggak takabur ya kan... Tanpa susah payah cari tahu nomornya, eh malah dikasih duluan sama orangnya langsung...!!"

Setelah itu Melin kembali ke mejanya, tempat dimana Sasha sudah menunggunya.

"Ada urusan apa sama kak Reihan?" tanya Sasha penasaran.

Apalagi Reihan yang terkenal tertutup itu sampai meminta handphone milik Melin. Itu merupakan suatu hal yang langka.

"Tanya soal kue. Soalnya mama mau ada acara di rumah." jawabnya.

"Ah, iya. Kan kak Reihan kerja part time di toko kue." kata Sasha.

"Kamu tahu, Sha?!" Melin sedikit terkejut.

"Iya tahulah. Karena ikut basket, aku sedikit banyak mengetahui tentang orang-orang yang terlibat di dalamnya. Termasuk kak Reihan." begitu penjelasan Sasha.

"Ooh...!!" balas si Melin.

"Sekolah kita kalau ada acara juga sering pesan di sana. Katanya sih rekomended gitu. Memangnya benar?" Sasha menatap Melin.

"Aku sih cocok. Mamaku juga." kata Melin. "Makanya aku coba tanya-tanya tadi. Mama suka soalnya." alibinya.

"Aku jadi penasaran juga, deh. Kapan-kapan nyoba, aah..." kata Sasha.

Melin hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Dia tidak terlalu peduli dengan ucapan Sasha. Karena suasana hatinya masih berbunga-bunga setelah mendapatkan nomor handphone Reihan.

......................

Ketagihan

"Maaa..., mamaaa...!!" suara Melin terdengar menggema di dalam rumah besarnya.

"Apa sih, Mel...? Jangan teriak-teriak ah!" tegur sang mama. "Kamu ini anak gadis, lho...!!"

Sementara yang ditegur hanya menutup mulutnya sambil memperhatikan mamanya.

"Malah, diam. Jadi ada apa?" tanya mama Yunita lagi.

"Duduk dulu deh, ma...!" kata Melin, sambil menarik tangan mamanya.

"Mama sudah pesan kue buat acara mama pekan depan?" tanya Melin.

"Belum. Kenapa?"

"Pesan di tempat teman aku saja ma." begitu katanya.

"Sejak kapan kamu punya teman penjual kue?" selidik mamanya.

"Apa itu tempat yang sama dengan kue yang kamu beli waktu itu?!" mama Yunita tiba-tiba ingat dengan kue keju yang dibeli putrinya.

Bahkan malam itu mama Yunita sempat mencari sisanya di dalam kulkas. Tapi tidak menemukannya.

"Yups!" Melin menjentikkan jarinya.

"Boleh. Enak lho kuenya. Antar mama ke sana ya!"

"Eh, mama...!" Melin menggelengkan kepalanya berulang kali. "Aku punya nomornya, biar aku minta daftarnya. Nanti mama tinggal pilih." katanya.

"Boleh deh. Lebih praktis. Sekalian pesan bolu pandan buat mama ya...!"

"Siap, maa!! Tapi antian ya, maa. Aku ke kamar dulu." Melin beranjak dari sofanya, kemudian menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Melin tidak ingin membuang waktu lagi. Setelah mandi dan mengganti seragamnya, dia segera mengirim pesan pada Reihan.

Hai kak. Ini aku Melin. Bisa tolong kirim brosur kuenya.

Melin tersenyum sendiri saat mengirim pesan itu. Tak lama kemudian ada pesan masuk. Isinya empat buah foto brosur.

"Yaelah..., langsung dikirim brosur. Basa-basi kek dikit..." gumam Melin.

"Melin yang mana ya...? Memangnya kita pernah bertemu...? Atau apa kek gitu..!!" Melin mendengus kesal.

Oke. Thanks kak. Sebentar ya

Melin kemudian keluar dari kamarnya, dan menunjukkan brosur itu pada mamanya. Setelah mamanya menentukan pilihan, Melin mulai list orderannya. Sesuai format yang tadi kirim oleh Reihan.

Kalau ada perubahan bisa hubungi lagi 2 hari sebelum acara. Terimakasih.

Dengan membaca balasan itu saja Melin merasa sangat senang.

Sama-sama kak. Terimakasih juga.

......................

Di tempat yang berbeda, yaitu di toko kue tempat Reihan bekerja. Reihan menunjukkan orderan mama Yunita pada bosnya. Bibi Ismi.

Tatapan mata bi Ismi beralih pada Reihan setelah mengetahui alamat si pemesan.

"Pelanggan baru?" tanya bi Ismi.

"Iya bibi." balas Reihan sangat singkat. "Ibu dari teman sekolahku." imbuhnya.

"Cewek kemarin itu?" terka bi Ismi.

"Yang mana?" kali ini Reihan menghentikan aktivitasnya menghitung uang kasir. Dia menoleh pada bi Ismi.

"Oh, iya. Beberapa temanmu juga pernah datang ya kan..." balas bibi.

"Orderannya banyak sekali. Buat acara apa?" tanya bi Ismi lagi.

"Entahlah." Reihan mengangkat bahunya.

"Ini lingkungan keluarga elite, lho. Kok bibi agak deg-degan ya dapat orderan dari sana..." bi Ismi meragu.

"Kita tidak pernah tahu dari arah mana rejeki itu datang. Harusnya bibi bersyukur, karena kue bibi sudah debut di lingkungan mereka." begitu celoteh Reihan.

"Tidak munafik juga, aku mengharapkan tip lebih dari sana. Apalagi cewek itu bilang mamanya menyukai kue buatan bibi."

Reihan memiliki harapan yang besar dari orderan yang mama Melin pesan. Dia juga berdo'a agar mereka tetap berlangganan dengan toko bibi.

Hari semakin petang, Reihan membantu bibi membersihkan dan menutup toko. Kemudian Reihan pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Karena rumahnya tidak jauh dari toko.

"Kak Reihan bawa kue...!!! Yeeehh...!!"

Seorang anak perempuan berusia 5 tahun. Terlihat melompat kegirangan karena Reihan datang membawa satu kantong kue.

"Makan yang baik, ya. Setelah itu gosok gigi." Reihan mengusap rambut pendeknya yang berponi.

"Lili makan dikit saja ya kak. Biar besok bisa dimakan lagi." katanya.

"Oke."

Seorang perempuan lalu keluar dari bagian dalam rumah sederhana itu. Menyambut Reihan dengan senyuman manisnya.

"Sudah pulang rupanya. Sudah makan?" tanya perempuan itu.

"Belum bibi." katanya sambil menyalimi tangan bibinya.

Reihan adalah anak yatim piatu. Orang tuanya meninggal saat rumah mereka kebakaran. Dan perempuan itu adalah adik dari ibunya. Bibi Nurma namanya. Dialah yang merawat Reihan sepeninggal kedua orang tuanya.

"Cepat bersihkan dirimu, lalu makan." ujar bi Nurma.

"Nanti sekalian menunggu paman pulang." jawab Reihan sambil tersenyum.

"Ya, terserahlah kalau begitu."

Bi Nurma memandangi punggung keponakannya itu sambil mengukir senyuman di wajah teduhnya.

"Anakmu tumbuh jadi anak yang baik, mbak. Selain pintar di sekolah, dia juga semangat bekerja. Dia bilang ingin melanjutkan kuliah dengan uang tabungannya sendiri. Karena tidak ingin merepotkan aku dan mas Bian. Aku harap dia tetap mendapatkan beasiswa atas prestasinya. Sehingga dia tetap bisa menyimpan tabungannya untuk masa depannya kelak, ya mbak. Sungguh dia anak yang luar biasa."

Tak terasa air mata bi Nurma menetes hingga membasahi pipi tirusnya. Bi Nurma teringat bagaimana tangis histerisnya Reihan kecil ketika melihat jenazah kedua orang tuanya menghitam di bawah puing-puing rumahnya, setelah habis dilalap si jago merah. Kala itu Reihan berusia 10 tahun.

....................

Hari minggu pagi Reihan datang ke rumah Melin. Mengikuti petunjuk dari maps yang dikirim oleh Melin. Sampai di depan pagar, Reihan turun dari mobilnya dan menghampiri security yang berjaga.

"Dari mana?" tanya security itu.

"An's Cake, pak. Mau mengantar pesanan atas nama Melin." jawab Reihan.

Security itu sepertinya masih ragu. Karena majikannya tidak memberitahu apapun.

"Sebentar ya." Security itu kembali ke posnya. Tak lama kemudian dia kembali dan membuka pagar untuk Reihan.

Melin sudah menunggu kedatangan Reihan di teras rumah. Digarisbawahi ya, bila perlu dicetak tebal sekalian. Yang ditunggu kedatangan Reihan. Bukan kuenya...😄😄

Melin sudah memamerkan senyuman terbaiknya untuk menyambut booster gantengnya itu.

"Ditaruh mana?" tanya Reihan tanpa berbasa-basi.

"Langsung ke dalam saja kak." balas Melin sambil mempersilakan Reihan masuk.

Melin memberi instruksi pada Reihan untuk masuk ke ruang makan. Sesuai pesan mamanya, agar langsung menyimpan kue yang datang di ruang makan. Biar tidak terlalu jauh saat menatanya di halaman samping rumah.

"Dicek dulu." Reihan memberikan sebuah nota pada Melin.

"Oke." Melin menerimanya, lalu mencocokkan barang yang datang dengan catatan di selembar kertas putih itu.

"Eh, sudah datang." ujar mama Yunita.

"Iya, bu." balas Reihan dengan sopan. Dia pun menganggukkan kepalanya.

"Sudah pas." ujar Melin.

Tapi Melin melihat satu bungkusan kecil di atas salah satu kue yang dia pesan. Dan tidak ada dalam catatan.

"Ini?" Melin menoleh ke arah Reihan.

"Itu bonus dari bibi." jawab Reihan.

"Sungguh...?" mama Yunita yang menyahut kali ini. "Baik sekali..."

"Kalau begitu saya permisi." pamit Reihan.

Sebelum Reihan pergi, tak lupa mama Yunita memberikan tip pada Reihan. Dia mengatakan itu sebagai uang lelah. Tentu saja Reihan menerimanya dengan senang hati.

Itulah yang Reihan suka ketika delivery order. Sedikit banyak dia akan mendapatkan tip dari pelanggannya. Dan jika melebihi minimal order, maka Reihan akan mendapatkan bonus juga dari bibi Ismi, bosnya. Itu artinya dia bisa memiliki banyak uang lebih untuk dimasukkan dalam tabungannya.

"Thanks kak, take care ya...!" ucap si Melin dengan ramah. Sayangnya hanya dibalas anggukan kecil dari boosternya itu.

"Irit segalanya. Tapi sukaa...!!" begitu batin Melin.

Setelah mobil Reihan tak tampak lagi, dia kembali ke dalam rumah.

"Ceria sekali rupanya..." mama Yunita melihat putrinya yang baru saja mengantar Reihan.

"Mama curiga dia bukan sekedar teman..." imbuhnya.

"Mama ih..., kak Reihan itu

seniorku di sekolah mama..." balas Melin. "Nyatanya memang enak kan kuenya. Mama saja ketagihan."

"Dan kamu juga ketagihan melihat ketampanan senior kamu itu, bukaaan...?!!" goda si mama sambil memberikan penekanan saat menyebut kata senior.

"Mama iih..., sok tahuuuu bangeeeet...!!" Melin segera menaiki tangga sebelum mamanya semakin berulah. Dan membuatnya salah tingkah.

Sementara itu, Reihan yang berhenti di lampu merah rupanya tidak sabar membuka uang dari mama Yunita. Dia pun tersenyum penuh rasa syukur saat melihat jumlahnya melebihi yang biasa orang-orang berikan.

"Semoga menjadi pelanggan tetap..." begitu do'a yang Reihan gumamkan dalam hatinya.

......................

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!