'Val, datanglah ke Hotel Luxury kamar 3304. Aku tadi melihat kekasihmu masuk ke sana sambil merangkul perempuan full make up dengan pakaian sexy. Pastikan itu benar dia atau bukan. Papa tadi buru-buru mengajak aku pergi, jadi tidak bisa menyapa dulu.'
Valeri Anjanetta Rusli, gadis 23 tahun dengan paras cantik menawan, langsung terpaku ketika membaca satu pesan dari sahabatnya—Thalia Septa Bagaskara.
Sejauh ini, Thalia tak pernah berbohong padanya. Namun, informasi yang dia bawa sekarang, rasanya sulit dipercaya.
"Kelvin ... apa iya dia selingkuh?" gumam Vale dengan perasaan yang tak menentu. Di satu sisi ia percaya dengan Thalia. Namun, di sisi lain ia juga percaya dengan Kelvin, karena selama ini lelaki itu terbukti setia dan tulus mencintainya.
Tak ingin lama-lama larut dalam kebimbangan dan ketidakpastian, akhirnya Vale menyambar tas selempang dan bergegas pergi meninggalkan apartemen. Dengan langkah cepat dia turun ke jalan, dan untungnya letak apartemen tak jauh dengan halte bus. Jadi, tak membutuhkan waktu lama bagi Vale untuk menuju Hotel Luxury.
"Kalau sampai benar kamu selingkuh, aku tidak akan pernah memaafkanmu, Vin," batin Vale ketika sudah duduk di dalam bus. Ia menatap ke luar dengan pandangan gusar.
London, kota yang ia pijak saat ini. Kota yang selama lima tahun terakhir menjadi saksi atas perjuangannya dalam menempuh pendidikan, sampai akhirnya kemarin bisa menyabet gelar MBA (Master Of Business Administration).
Rencananya, Vale akan menggunakan gelar itu untuk bekerja di perusahaan Kelvin Harrison—lelaki yang selama empat tahun ini menjadi kekasihnya. Namun, entahlah. Belum tahu pasti apa yang akan terjadi setelah nanti tiba di Hotel Luxury.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Vale tiba di hotel tersebut. Dengan beralasan mengantar barang, dia mendapat akses untuk menuju kamar 3304.
Setibanya di sana, emosi Vale langsung bangkit karena seseorang yang membuka pintu kamar adalah Kelvin, kekasihnya.
"Vale, kamu ... kamu___" Kelvin gugup seketika. Dia tak tahu jika yang datang adalah Vale. Dia kira orang suruhannya yang memang disuruh datang untuk membawakan alat kontrasepsi.
"Dengan siapa kamu di sini?" tanya Vale dengan intonasi tinggi.
Belum sempat Kelvin menjawab, tiba-tiba Angela—perempuan yang ia kencani, mendekat dan menggelayut manja di lengannya.
"Jelaskan saja aku siapa. Katamu lebih cepat putus lebih baik, kan?" ucap Angela sambil tersenyum penuh kemenangan.
Vale meradang seketika. Perempuan yang berdiri di hadapannya hanya mengenakan baju tidur tipis dan terbuka, bahkan area terlarangnya diumbar begitu saja. Sedangkan Kelvin, bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Tanpa dijelaskan pun Vale sudah tahu apa yang mereka lakukan.
"Dasar laki-laki brengsek!" Vale mengumpat sambil melayangkan tamparan keras. "Aku selalu setia dan menjaga baik hubungan kita. Tapi, ini balasanmu, hah?"
Namun, di luar dugaan Kelvin justru balik marah. Sambil menatap tajam, Kelvin mencengkeram kedua lengan Vale. Sampai gadis itu meringis sakit.
"Hubungan apa yang kamu maksud, Vale? Hubungan datar yang membosankan ini, iya?" bentak Kelvin.
"Apa maksudmu?"
Kelvin tertawa, "Sampai sekarang pun kamu masih tidak paham? Baiklah, akan aku jelaskan. Kamu terlalu kolot, sok suci, sok menjunjung harga diri. Empat tahun kita pacaran, Vale, tapi apa yang kamu berikan? Tidak ada. Bahkan, ciuman bibir saja kamu menolak. Aku laki-laki, punya hasrat dan butuh kepuasan. Tapi, sebagai pacar kamu tidak mau melakukan itu. Lantas, apa gunanya aku terus sama kamu? Aku bukan anak kecil yang hanya cukup dengan jalan-jalan dan makan-makan. Yang kubutuhkan lebih dari itu."
"Aku tidak menyangka pikiranmu sekotor itu, Vin." Vale bicara pelan, demi menahan tangis yang siap pecah.
Bagaimana tidak, ia sangat mencintai lelaki itu, tapi ternyata cinta yang diagungkan tak seindah kelihatannya.
"Bukan pikiranku yang kotor, tapi pikiranmu yang kolot. Dan aku tidak bisa menerima itu, Vale, kita putus saja."
Vale lantas menepis kasar tangan Kelvin. Lalu dengan mata yang memicing, ia menatap kekasih yang sebentar lagi menjadi mantan.
"Oke, fine, kita putus. Semoga kamu tidak menyesali keputusan ini, Kelvin. Dan kamu ... jangan kaget jika nanti dibuang karena naf-su lelaki itu sudah pindah pada wanita lain," ucapnya sambil menunjuk perempuan di samping Kelvin.
Tanpa menunggu tanggapan dari Kelvin ataupun wanita yang bersamanya, Vale langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Air mata sudah tidak bisa dibendung, semua tumpah sebelum ia naik ke dalam bus.
"Val, kamu baik-baik saja?" tanya Thalia, ketika Vale tiba di apartemen dengan kondisi yang kacau.
"Aku ikut kamu pulang," jawab Vale, sedikit menyimpang dari pertanyaan.
Thalia agak bingung. Pasalnya, besok dia akan terbang pagi karena segala sesuatunya sudah dipersiapkan dari beberapa hari lalu, termasuk ayahnya yang datang langsung dari Indonesia demi menjemputnya. Sementara Vale, sedikit pun belum ada persiapan karena niatnya akan tetap tinggal di London.
"Masih ada waktu untuk bersiap. Jika capek, kamu tidurlah. Aku bisa melakukannya sendiri," sambung Vale, menegaskan bahwa dirinya benar-benar pulang.
Thalia pun pasrah. Malam itu dia ikut terjaga demi membantu Vale bersiap. Bahkan, ayahnya juga ketiban sial karena harus mengurus tiket penerbangan untuk Vale.
__________
Dengan persiapan yang serba mendadak, akhirnya Vale tiba di nagara asalnya—Indonesia. Perjalan jauh nan lama tidak membuat hatinya membaik, masih remuk dan hancur karena pengkhianatan Kelvin. Sopir yang menjemput pun sampai heran karena nona mudanya tidak ceria seperti dulu.
"Papa!" teriak Vale ketika menginjakkan kaki di rumah. Meski saat itu jam sembilan pagi, tapi Vale yakin ayahnya ada di rumah karena hari Minggu.
Namun, ternyata ia salah.
"Loh, Papa kok sudah rapi begini? Ini kan weekend, memangnya Papa mau kerja?" tanya Vale ketika disambut ayahnya dalam balutan pakaian formal.
Sandiaga Rusli—ayah kandung Vale, sekadar memijit pelipis sambil berulang kali membuang napas berat.
"Papa ada masalah?" tanya Vale.
Sandi lantas menghempaskan tubuhnya di atas sofa, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Bukan masalah sebenarnya, hanya saja ... Papa diberi tugas yang lumayan berat."
"Tugas apa, Pa?" Vale bertanya sembari duduk di sebelah Sandi.
"Kamu tahu Sirius Brox? Tuan muda di kelurga Brox? Dia ingin menikah dalam waktu cepat, dan Papa yang ditugaskan mencari calon istri untuk dia. Kalau saja dia normal, ini hal mudah. Tapi ... dia lumpuh permanen. Gadis mana yang mau menikah dengan lelaki cacat seperti itu?" keluh Sandi.
Vale mangut-mangut. Dia tahu siapa keluarga Brox, keluarga kaya raya yang paling berpengaruh di negaranya. Bahkan, bisnis ayahnya pula juga berada dalam naungan kelurga tersebut.
"Jika Tuan Riu hanya mencari istri sementara mungkin mudah, tapi tidak. Dia mencari istri untuk selamanya. Meski kaya raya, tapi para gadis juga akan berpikir ulang. Lumpuh permanen dan tidak mungkin punya keturunan. Selain hidup berkecukupan, tidak ada hal lain yang bisa diharapkan," sambung Sandi.
Vale berpikir sejenak. Lantas, menemukan ide di luar nalar.
"Bagaimana kalau aku saja yang menikah dengan dia, Pa?" ujar Vale dengan entengnya.
Semua ia lakukan demi melampiaskan rasa sakit akibat percintaan yang kandas.
Bersambung...
"Apa yang kamu bicarakan, Vale? Tuan Riu itu lumpuh permanen, bisa-bisanya kamu mau nikah sama dia," seru Marisa—ibu kandung Vale. Dia yang baru masuk ke ruang tamu, langsung tercengang ketika mendengar ucapan anaknya.
"Mamamu benar. Kamu cantik dan pintar, Nak, pantas mendapatkan laki-laki yang sempurna. Bukan orang cacat seperti Tuan Riu." Sandi ikut menimpali. Dia pula tak rela jika putri tunggalnya menikah dengan Riu.
"Jangan karena harta, kamu lantas silau dengan dia. Orang tuamu ini juga nggak miskin, Vale, lebih dari mampu jika hanya menjamin masa depanmu. Jadi, menikahlah dengan lelaki yang normal, yang bisa memberimu keturunan. Mama dan Papa ini juga ingin cucu." Sembari duduk di depan Vale, Marisa terus melontarkan ketidaksetujuannya.
Namun, Vale hanya diam.
"Katamu, kamu punya incaran lelaki di London sana. Lantas, kenapa sekarang malah mau nikah sama Tuan Riu?" sambung Marisa. Dia tidak tahu perihal hubungan anaknya dengan Kelvin, karena sejauh ini Vale belum pernah bercerita.
"Ternyata dia bukan lelaki baik, Ma, hobinya tidur dengan wanita. Jadi, aku gagal ngincar dia," jawab Vale.
"Kalau begitu jangan minta yang aneh-aneh. Kamu hanya sedang kecewa, jadi jangan mengambil keputusan yang berkaitan dengan masa depan. Pernikahan itu bukan mainan, Vale." Sandi bicara tegas, dan kemudian dibenarkan oleh Marisa.
"Aku tidak kecewa, Pa, cuma ingin menikah saja. Tapi, aku tidak punya calon, makanya tertarik dengan Tuan Riu. Meski dia tidak sempurna, aku bisa kok menerima. Soal anak gampang lah, nanti bisa adopsi. Di luar sana banyak kok anak yatim yang terlantar," jawab Vale dengan penuh kesungguhan. Memang sehancur itu hatinya, pikiran sampai buntu dan bisa dikatakan putus asa.
Tak heran, empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalin cinta. Sialnya, kandas dengan cara yang tragis.
Akhirnya, orang tua Vale kehabisan kata-kata untuk melarang anaknya. Mau tidak mau mereka meluluskan permintaan itu, dengan syarat Riu juga setuju. Jika tuan muda itu menolak, Vale juga tak boleh memaksa.
Vale pun setuju. Pikirnya, tuan muda cacat tidak mungkin menolaknya. Dengan mengandalkan paras cantik serta gelar magister, Vale yakin Riu akan terpesona padanya.
"Tak peduli meski dia cacat, yang penting aku bisa menikah dalam waktu dekat. Dengan begitu, Kelvin akan melihat betapa berharganya aku. Lagi pula, dia juga tuan muda keluarga Brox. Meski lumpuh, dia tetap orang yang punya nama. Dan menikah dengannya tidak terlalu buruk untuk masa depanku," batin Vale, amat jauh berbeda dengan apa yang dibatin orang tuanya—berharap Riu menolak dengan tegas.
"Baik, saya mau menikah dengan Vale, putri Anda."
Satu jawaban yang sungguh-sungguh terdengar dari seberang, ketika Sandi menelepon Riu dan menawarkan anaknya.
Sandi dan Marisa pun hanya bisa menghela napas berat, rela tidak rela mereka akan melepaskan anaknya untuk menikah dengan tuan muda cacat.
________
Setelah mencapai kesepakatan, hari itu juga Riu dan ayahnya—Jason Brox, datang ke rumah Vale. Mereka berkunjung tidak dengan tangan kosong, melainkan membawa satu paket perhiasan sebagai bukti keseriusan Riu.
Dengan sedikit terpaksa, Sandi dan Marisa menyambut mereka dengan ramah. Berbanding terbalik dengan Vale, yang lebih banyak diam karena terkejut melihat rupa Riu.
Dalam bayangannya, Riu adalah lelaki dewasa dengan tampang pas-pasan. Mengingat kondisinya yang cacat itu.
Namun ternyata, wajah Riu sangat tampan, sekitar tujuh kali lipatnya Kelvin. Dia juga memiliki sepasang mata hazel yang menawan, tapi juga tajam. Setiap tatapannya mengandung kharisma dan wibawa yang membuat siapapun segan. Vale sampai merasa kecil berhadapan dengan Riu.
"Tapi, dia punya kekurangan yang jarang diterima oleh wanita lain. Sedangkan aku, tidak ada kekurangan yang seperti itu. Jadi ... masih beruntung dia bisa menikahiku," batin Vale, mencoba membujuk hatinya sendiri dan menegaskan bahwa dia lebih dari layak untuk menikah dengan Riu.
"Kamu tidak kecewa kan dengan aku?" tanya Riu. Meski tidak membentak, tapi terdengar tegas.
"Tidak." Vale menjawab singkat agar terlihat percaya diri, pun dengan kharisma dan wibawa, Vale juga ingin menunjukkannya.
Setelah selesai berbasa-basi, Jason dan orang tua Vale pun mulai membicarakan hari pernikahan mereka. Namun ternyata, malah Riu sendiri yang menentukan hari pernikahannya.
"Dua minggu sudah cukup untuk mengurus surat-suratnya. Aku ingin menikah dengan cara sederhana, tanpa ada pesta ataupun undangan."
Marisa terkejut, "Kenapa mendadak? Dan ... kenapa juga harus sederhana? Vale putri tunggal kami. Jika dia menikah, tentunya kami akan mengharapkan pesta yang besar."
"Jika Bu Marisa tidak bersedia, saya tidak memaksa. Kita batalkan saja pernikahan ini," sahut Riu, membuat Vale terkejut.
"Ma, tidak apa-apa pernikahan kami sederhana. Menurutku, itu malah lebih baik," ucap Vale.
Walau awalnya mendapatkan penolakan dari Marisa, namun akhirnya diluluskan juga. Vale memang handal dalam bicara dan merayu.
Dalam pikiran yang berbeda, Riu dan Vale sama-sama lega karena pernikahan akan resmi dilakukan.
________
Setelah dua minggu menunggu, akhirnya Vale dan Riu sah juga menjadi suami istri. Setelah malam itu, hari inilah mereka baru bertemu lagi, dan langsung menikah. Sesuai rencana awal, tidak ada undangan yang menyaksikan pernikahan mereka. Hanya keluarga terdekat mereka, tidak lebih dari sepuluh orang.
Pernikahan dilangsungkan di rumah pribadi Riu, dan selanjutnya Vale akan ikut tinggal di sana. Bahkan, beberapa pakaian dan barang miliknya sudah dibawa ke sana.
"Duduklah!" perintah Riu ketika mereka sudah berada di dalam kamar.
Vale menurut, duduk manis di depan Riu tanpa banyak protes, meski sebenarnya masih penasaran mengapa Riu ingin menikah mendadak dan tanpa pesta.
"Aku punya tujuan lain dalam pernikahan ini," ujar Riu mengawali pembicaraan.
"Apa?"
"Hak kepemilikan aset. Dalam keluarga Brox, hanya mereka yang sudah menikah yang berhak mendapatkan aset. Tapi, kedua kakakku bermain curang. Mereka membuatku kecelakaan parah sampai lumpuh seperti ini, tujuannya agar tidak ada yang mau menikah denganku. Dengan begitu, semua aset akan menjadi milik mereka."
Mendengar penjelasan Riu, Vale sangat terkejut. Tak menyangka jika seorang kakak bisa melalukan hal licik itu.
"Itu sebabnya, aku menikahimu dengan sederhana, agar tidak banyak yang tahu termasuk mereka, yang kini sedang mengendalikan semua aset Papa di luar negeri. Aku belum bisa menerima tindakan mereka dulu, dan aku akan membuat perhitungan akan hal itu," sambung Riu.
Vale masih syok.
"Makanya aku tidak sembarang mencari istri, karena mereka pasti mencari celah kelemahanku. Jika yang kunikahi wanita sederhana, mereka pasti akan menindas dan tidak menutup kemungkinan akan melakukan hal fatal. Sedangkan aku belum punya banyak kemampuan untuk melawan. Tapi kamu ... terlahir sebagai putri tunggal di keluarga Rusli, juga memiliki gelar master dari universitas London, aku yakin kamu bisa melindungi diri sendiri ketika aku tidak ada di sampingmu."
Vale masih diam, meski dalam hati membenarkan bahwa dia tidak akan membiarkan siapapun menindasnya.
"Tapi meski begitu, aku tidak akan membuat pernikahan ini seperti pernikahan kontrak. Aku akan memperlakukan kamu dengan baik, layaknya suami istri pada umumnya. Aku tidak akan membahas perceraian, kecuali kamu yang menginginkan itu."
Vale menarik napas dalam-dalam. Tak disangka, pernikahan karena rasa sakit hati, justru mempertemukan dirinya dengan lelaki bernasib tragis.
"Apa kamu marah, Vale?" tanya Riu, kali ini dengan tatapan yang lebih lekat.
Bersambung...
Vale menggeleng. Lalu mengembuskan napas panjang sebelum melontarkan jawaban.
"Tidak," ucapnya singkat.
Riu tak menyahut. Lebih memilih diam dan menunggu Vale bicara lagi.
"Aku juga punya alasan kenapa buru-buru nikah. Bahkan, tidak pikir panjang saat tahu kamu mencari calon istri. Langsung saja aku ngomong sama Papa," sambung Vale.
"Alasan? Apa?" tanya Riu.
"Kekasihku berkhianat. Sudah empat tahun kami pacaran, tapi dengan mudahnya dia selingkuh hanya karena aku tidak mau melayani hasratnya. Aku sakit hati dan kecewa, makanya memilih nikah. Agar dia tahu kalau aku juga bisa mencari penggantinya." Vale akhirnya jujur. Pikirnya, Riu juga punya tujuan, jadi dia pula tak usah berpura-pura lagi.
Riu tertawa. Untuk pertama kalinya Vale melihat itu. Setelah sebelumnya hanya memasang tampang dingin.
"Apanya yang lucu?"
"Tak kusangka, wanita cerdas dengan gelar master seperti kamu, ternyata pikirannya dangkal juga." Riu melipat tangan di dada. "Kamu pikir dengan menikah semua masalah akan selesai? Jika pacarmu sudah berkhianat, pernikahanmu tidak akan berpengaruh apa-apa padanya. Justru masa depanmu sendiri yang dipertaruhkan. Menurutmu, apa itu cukup baik?" lanjutnya.
"Masa bodoh dengan itu. Yang penting aku bisa memamerkan pernikahanku padanya. Aku bisa membuktikan kalau aku baik-baik saja tanpanya. Bahkan, lebih baik."
"Bukannya itu sama saja dengan membohongi diri sendiri?" Riu menaikkan kedua alisnya. Detik ini, dia mulai merasa bahwa Vale adalah wanita yang cukup menarik.
"Tidak." Vale menggeleng. "Kamu tuan muda di keluarga Brox, tampan dan kaya. Tidak rugi juga menjadi istri kamu," sambungnya, tak mau kalah.
"Tapi, aku cacat."
"Tidak masalah." Pikir Vale, cukup bagus karena dengan begitu dia tidak perlu melakukan hal-hal intim.
Riu tersenyum tipis. Lalu mencondongkan tubuhnya hingga lebih dekat dengan Vale.
"Baiklah, aku sudah mengerti. Aku tidak akan mengusik tujuanmu. Tapi, satu hal yang harus kamu pegang, jangan pernah mengekspos wajahku pada kekasihmu, apalagi ke publik. Tunggu aku bisa mengungkap kejahatan Kakak, baru kamu bebas melakukan itu."
Vale berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju. Kalaupun tidak mengekspos wajah, tapi yang penting bisa memamerkan cincin dan buku nikah.
"Kalau begitu aku juga punya satu permintaan," ujar Vale.
"Katakan!"
"Kamu tidak boleh berbuat macam-macam padaku tanpa izin dariku. Kita memang suami istri, tapi sekarang masing-masing sudah tahu apa tujuan pernikahan ini. Jadi, kurasa kita cukup menjalin hubungan baik dalam hal-hal yang biasa. Selebihnya ... jangan dulu."
Vale memanfaatkan kesempatan untuk membentengi diri, karena Riu hanya lumpuh kaki. Anggota badan lainnya aman. Bisa saja dia raba sana raba sini, cium sana cium sini. Tidak. Vale tidak mau itu terjadi, kecuali nanti memang ada cinta di antara mereka.
Ah, cinta, memangnya ia masih pantas diagungkan? Entahlah.
Di hadapannya, Riu menyembunyikan senyuman lebar. Benar-benar menarik, pikirnya kala itu.
"Sebenarnya, apa pun tujuan pernikahan hal-hal semacam itu tidak perlu dibatasi. Karena terus terang saja, kedua pihak juga butuh itu. Tapi ... dengan keadaan kita yang seperti ini, aku meluluskan permintaanku. Hanya saja, ada syaratnya," ucap Riu, membuat Vale mengernyitkan kening.
"Syarat apa?"
Riu tersenyum miring, "Itu berlaku selama aku lumpuh. Jika suatu saat nanti aku bisa sembuh dan kamu masih bersedia menjadi istriku, kamu haru menjadi milikku ... seutuhnya."
Vale menelan ludah dengan kasar. Tenggorokannya serasa kering ketika mendengar kalimat itu. Tidak hanya suara yang tegas, melainkan juga tatapan yang mematikan. Mau tidak mau, pikiran Vale jadi melayang jauh. Membayangkan adegan apa yang kiranya alan terjadi, jika nanti Riu berhasil sembuh.
"Ah, tidak, tidak. Dia kan lumpuh permanen, mana mungkin bisa sembuh," batin Vale.
"Kamu keberatan?" tanya Riu, membuyarkan pikiran Vale.
"Tidak. Aku ... setuju."
Bersamaan dengan jawaban Vale yang agak gugup, Riu tersenyum penuh kemenangan. Dalam hatinya dia berjanji, sampai kapanpun dia tidak akan melepaskan Vale. Wanita itu telah datang padanya, dengan sejuta pesona yang berhasil mencuri perhatiannya. Jadi, apa pun keadaannya nanti, Vale harus tetap menjadi miliknya.
Sayangnya, Vale tak bisa membaca apa yang ada di pikiran Riu.
__________
Dua hari setelah menikah, Vale mulai mempersiapkan kariernya. Berbekal pendidikan yang tinggi, dia memasukkan beberapa nama perusahaan yang menjadi targetnya. Semua yang terdaftar adalah perusahaan-perusahaan besar yang hampir sebanding dengan perusahaan milik keluarga Brox.
Sementara menunggu kabar dari lamaran yang ia ajukan nanti, Vale akan membantu pekerjaan sang ayah, yakni mengelola perusahaan kecil yang berada dalam naungan Grup Brox.
Dalam dua hari ini, tidak banyak yang terjadi antara Vale dengan Riu. Mereka makan bersama, berbincang bersama, juga tidur di kamar yang sama, namun beda ranjang. Bahkan, Riu juga membantu merekomendasikan perusahaan-perusahaan yang kiranya cocok untuk Vale.
Demi kelancaran rencana balas dendamnya pada sang kakak, Riu memang menempatkan Vale di perusahaan lain, yang tentunya masih ada hubungan kerja sama dengan Brox.
Malam ini, usai makan bersama, Vale mendorong kursi roda Riu menuju ruang kerjanya. Ada sedikit tugas yang harus dikerjakan saat itu juga.
"Kamu tidurlah lebih dulu, tidak perlu menungguku!" ujar Riu sambil menatap Vale sesaat.
"Tidak apa-apa, aku terbiasa tidur malam." Vale tersenyum manis. Bukan untuk Riu, melainkan untuk gambar yang sudah terpampang di layar ponsel.
Sedetik yang lalu, dia berhasil mengambil gambar yang cukup menarik, yakni tangannya dan tangan Riu yang saling berdekatan di atas meja.
"Sekali dua kali kamu bisa diam, tapi jika berkali-kali, aku yakin kamu tidak akan tahan. Empat tahun bukan waktu yang sebentar, tidak akan mudah menghapus kenangan itu sekalipun kamu sudah ada pengganti," batin Vale sambil mengunggah gambar tersebut ke dalam story-nya, yang dikhususkan untuk Kelvin seorang.
Sebelumnya, dia sudah mengunggah buku pernikahan. Nama Riu sengaja ditutup dengan jarinya, sekalian memamerkan cincin nikah yang melingkar indah di jari manisnya. Lalu, foto Riu yang sedang tidur. Vale rela bangun pagi hanya untuk mengambil gambar tersebut. Sebentuk tubuh yang berbalut selimut tebal, dan tangan Vale seolah menyibak selimutnya. Pemandangan pagi yang apik, menghiasi laman story-nya kemarin.
'Menemani suami lembur', tulis Vale di unggahan itu, lengkap dengan stiker love.
"Kamu pasti melihat ini, Kelvin, dan aku yakin kamu tidak menyukainya," batin Vale penuh percaya diri. Sangat sabar dia menunggu sampai kontak Kelvin muncul di jumlah penayangan.
Sementara itu, di tengah hiruk pikuk Kota London, Kelvin mencengkeram erat ponselnya. Unggahan Vale sejak kemarin, sungguh mengacaukan hatinya. Tak dipungkiri, Kelvin merasa cemburu.
Sejauh ini, cinta untuk wanita itu masih ada. Namun, keadaan yang kurang mendukung. Selain prinsip Vale yang menurutnya kolot, Kelvin juga sering didesak untuk mencari pasangan yang menguntungkan secara finansial. Orang tuanya tidak rela jika Kelvin menikah dengan wanita yang secara materi berada di bawahnya.
"Kelvin! Kenapa diam saja? Jangan bilang kamu masih memikirkan kekasihmu itu!" bentak Annisa Brox—ibu kandung Kelvin—anak sulung di keluarga Brox.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!