Alana, gadis cantik berambut lurus itu sedikit berjingkat kala mendengar dentuman benda keras yang dihempaskan ke lantai.
"Eh, copot copot!" latahnya. Jantungnya hampir saja copot, saat terdengar suara hentakan keras untuk kedua kalinya.
"Apa yang terjadi?" gumam Alana seraya berhenti mencuci piring, lalu dia membasuh tangannya. Dengan langkah yang terburu-buru Alana berjalan menuju ruang keluarga. Dia berdiri di sudut dekat pintu, agar tidak terlihat oleh siapapun.
"Kenapa Papa tampak marah sekali?" tanyanya bergumam kala melihat sang Ayah berjalan mendekati Alexa yang sedang berdiri dengan tubuh gemetar.
"Alexa tidak mau menikah dengan pria buta, Pa!" Terdengar suara teriakan Alexa disertai tangisan.
"Cukup Alexa! Jangan menguji kesabaran Papa!" tukas Ramond dengan menatap tajam Alexa.
Sally pun ikut berjalan menghampiri putrinya yang sedang berdiri dengan isak tangis. "Alexa sayang", ucap Sally dengan lembut seraya mengusap pipi Alexa. "Kenzo itu kan tunanganmu, Nak. Kau juga sangat mencintainya. Jadi kenapa kau tidak bisa menerima kekurangannya?" tanya Sally dengan menatap wajah sendu putrinya.
"Alexa punya impian sama seperti wanita lainnya, Ma! Alexa ingin punya suami yang sempurna, tidak hanya punya kekayaan tapi juga fisik yang sempurna", imbuhnya.
"Papa ingatkan sekali lagi, jika kamu tidak mau menikah dengan Kenzo, maka silahkan angkat kaki dari rumah ini", ancam Ramond. Dia tahu persis putrinya itu sangat dimanjakan oleh Ibunya. Berbeda dengan Alana yang selalu mandiri, walau tanpa Ibunya.
"Baik!" jawab Alexa dengan tatapan menantang.
Ramond mengeraskan rahangnya, menatap emosi Alexa yang sedang berdiri dihadapannya. Hampir saja tangan kekarnya mendarat tepat di pipi mulus Alexa jika tidak dihalangi oleh istri Ramond.
"Papa, kenapa kasar?" tanya Sally saat melepas tangan sang suami. "Alexa itu putri Papa!" bela Sally seraya mengingatkan suaminya.
"Lihat hasil didikanmu ini! Dia berani membantah ucapanku, beda dengan Alana!" Ramond seketika sadar perbedaan kedua putrinya itu.
"Tapi Alexa bukan anak pembawa sial!" sergah Sally. "Dia bahkan disukai pria kaya seperti Kenzo. Sedangkan Alana hanya anak pembawa sial yang selalu menjadi beban di keluarga ini", imbuhnya.
Ramond merasa sedih jika diingatkan tentang putri dari mendiang istri pertamanya. Walaupun sudah 12 tahun berlalu, namun ingatan tentang sang istri tidak pernah lekang oleh waktu.
"Jangan coba mengalihkan pembicaraan! Papa sudah memutuskan bahwa pernikahan Alexa dengan Kenzo tidak akan pernah dibatalkan!" tegas Ramond.
"Tapi Pa -- "
Ramond menaikkan jari telunjuknya meminta Alexa berhenti bicara.
"Bukan kamu yang mengambil keputusan di sini. Tapi Papa!" tegas Ramond. Kemudian dia berjalan menuju sofa dan menjatuhkan bobot tubuhnya di sana.
Alexa merengek meminta sang Ibu membelanya. "Apa Mama tidak malu menceritakan menantu buta Mama pada semua orang khususnya teman sosialita Mama?"
Sally tampak berfikir sejenak. Dia pun tidak rela putri semata wayangnya harus hidup bersama pria buta. Bahkan dia tidak sanggup hanya untuk sekedar membayangkannya.
Sally berjalan mendekati sang suami, lalu duduk disampingnya. "Coba Papa pikirkan lagi, ya", bujuk Sally yang berusaha membuat Ramond melunak. "Apa Papa tidak kasihan melihat Alexa kita tinggal bersama suami yang buta? Bagaimana dia bisa menjalani hari-harinya bersama pria seperti itu?"
Ramond mulai jengah melihat sikap sang istri. "Apa Mama lupa siapa yang sudah menanamkan modal yang besar di perusahaan kita?" Ramond membuang nafas ke udara untuk mengurangi rasa sesak didadanya.
Sally mendelik. Ucapan suamiku ada benarnya juga, kalau semua dana di ambil oleh Kenzo, itu artinya perusahaan suamiku akan bangkrut dan kami jatuh miskin. Tidak... Tidak... Aku tidak mau hidup miskin lagi. Rutuknya di dalam batin. Lalu dia kembali menghampiri Alexa.
"Alexa sayang, turuti saja apa kata Papamu, Nak. Kamu tidak boleh membatalkan pernikahan ini", ucapnya dengan menggenggam kedua tangan putrinya.
"Tidak mau, Ma!" tolak Alexa seraya menghempas tangan Sally. "Alexa tidak akan menikah dengan Kenzo, walau Papa mengusir Alexa sekalipun!"
Ramond semakin tersulut emosi. Dia bangkit dari tempat duduknya dan menarik paksa tangan Alexa menuju ke lantai atas.
"Jangan kasar, Pa", bujuk Sally sembari mengikuti langkah sang suami.
"Papa lepaskan!" berontak Alexa.
Namun Ramond mengabaikan ucapan Alexa dan sang istri. Dia menyentak pintu kamar Alexa dan mendorong tubuh Alexa masuk ke dalam kamar, lalu dia menguncinya dari luar. "Jangan ada siapapun yang membiarkannya keluar dari kamar ini!" tegas Ramond seraya melirik ke arah sang istri.
Duk. Duk.
"Papa, buka pintunya! Alexa tidak mau menikah dengan pria buta!" teriak Alexa dari balik pintu seraya menggedor kuat pintu kamarnya. Namun Ramond acuh pada ucapan Alexa. Dia malah melangkahkan kakinya menjauhi pintu kamar Alexa.
Sally yang masih berdiri di depan pintu kamar Alexa seolah sedang memikirkan sesuatu di otak kecilnya.
"Kenapa masih berdiri di situ?" tanya Ramond saat berbalik badan.
Sally berlari kecil dan menghampiri sang suami. "Jangan suka marah-marah, sayang", ucap Sally lembut. "Lihat tuh kerutan di wajah! Sudah kayak punya banyak cicit saja!" canda Sally. Namun Ramond hanya membalas dengan tatapan tajam.
"Aku tidak akan mengampuni siapapun yang berani membiarkan Alexa keluar!" ancamnya.
"Siapa yang mau mengeluarkan Alexa. Mama cuma mau kasih saran saja, Pa. Bagaimana kalau kita menikahkan Alana dengan Kenzo?" usul Sally.
Ramod kembali menatap Sally seraya menautkan kedua alisnya. "Apa Mama lupa Kenzo itu orang seperti apa, ha?" tukas Ramond. "Dia pasti tidak akan memaafkan kita, karena telah menipunya dengan mengganti pengantin wanitanya", imbuhnya.
Sally tidak bisa melanjutkan ucapannya. Dia berjalan mengikuti langkah sang suami menuju kamar mereka masih dengan memikirkan cara untuk membatalkan pernikahan Alexa.
Alana masuk ke dalam ruang keluarga setelah semuanya ke luar dari dalam. Dia berjongkok dan membersihkan pecahan asbak dan kaleng roti milik perusahaan Ayah Alana yang berserakan di lantai.
Setelah dia selesai membersihkan lantai, dia pun kembali ke dapur untuk menyelesaikan cucian piring yang sempat tertunda.
Tidak butuh waktu yang lama Alana sudah menyelesaikan pekerjaannya. Dia berjalan menuju kamar sempit bekas ARTnya yang kini menjadi kamarnya. Alana merebahkan tubuhnya seraya menatap nanar langit-langit kamarnya. Ucapan Ayahnya yang begitu keras pada Alexa kembali terngiang dalam pikirannya. Walaupun dia tidak begitu menyukai saudara tirinya itu, namun dia juga tidak pernah membencinya.
"Kasihan Alexa", ucapnya seraya bangkit dari tempat tidur. Dia berjalan mondar-mandir dengan perasaan gelisah.
"Apa sebaiknya aku membantu Alexa? Tapi kalau ketahuan Papa bisa bahaya. Malah Papa akan semakin membenciku", ucapnya bermonolog.
Alana berjalan menuju pintu ke luar, namun langkahnya berhenti saat mengingat sesuatu. "Aku lupa!" ucapnya seraya menepuk jidat. "Aku kan tidak punya kunci", lanjutnya bermonolog. Lalu dia mencoba mencari kunci cadangannya, karena kamar yang ditempati Alexa adalah kamar Alana sebelumnya.
Senja belum muncul di ufuk timur, namun Alana sudah bangun lebih awal dari biasanya. Sorot matanya menyusuri setiap sudut rumah milik keluarganya itu.
"Kenapa Papa belum bangun? Apa pernikahan Alexa di tunda?" Alana bermonolog seraya menuruni anak tangga. Lalu dia berjalan menuju dapur untuk melakukan rutinitas paginya.
"Ada yang aneh", lanjutnya bermonolog. "Tidak biasanya Ayah belum bangun jam segini, padahal acara pernikahan Alexa akan di mulai pukul 9 pagi ini." Alana berjalan dan membuka tirai yang menghadap ke belakang rumahnya.
Alana menyipitkan matanya menatap sosok yang sedang naik ke atas motor. "Itu siapa? Pagi buta gini sudah pacaran!" tuduhnya saat dia melihat seorang wanita sedang menaiki motor dan duduk diboncengan.
Tidak berselang lama terdengar sayup suara yang saling beradu argumen.
"Kenapa Mama tidak membangunkan Papa lebih awal?" Ramond berdecak kesal seraya berjalan dengan langkah panjang menuju ruang makan.
"Maafkan Mama, Pa", sahut Sally dengan wajah memelas.
"Hanya kata itu yang kau ucapkan sedari tadi!" sergah Ramond. Dia tidak tahu bagaimana akan menghadapi para tamu undangan, jika dia datang terlambat ke acara pernikahan putrinya sendiri.
"Alexa mana?" tanyanya kemudian.
"Papa pasti lupa, semalam sudah mengunci Alexa di kamarnya", ucap Sally kesal.
"Kuncinya ada di dalam kamar kita. Segera Mama bukakan pintu kamarnya!" titah Ramond.
Sally beranjak dari posisinya dengan menggerutu. Jika bukan karena harta yang kau miliki, aku tidak akan sudi di perintah olehmu! Ucap Sally di dalam batinnya.
"Cepat sajikan sarapannya!" titah Ramond pada Alana yang sedang berjalan menghampiri meja makan dengan sebakul nasi goreng ditangannya.
"Iya, ini Alana bawakan, Pa." Alana meletakkan bakul dan mengisi penuh piring sang Ayah.
"Papa!" teriak Sally mengagetkan Ramond dan Alana.
Kemudian Ramond dan Alana berlari terburu-buru menghampiri Sally.
"Ada apa?" tanya Ramond panik.
"Alexa hilang, Pa", sahutnya.
"Apa?" Ramond ikut berteriak. Namun dia tidak langsung percaya. Dia masuk ke dalam kamar Alexa dan memeriksa setiap sudut ruangan.
Rumah sunyi milik keluarga Ramond kini tampak riuh, saat Alexa tidak ditemukan di dalam kamarnya. Ayah dan Ibunya Alexa kelimpungan mencari keberadaan Alexa sampai ke luar rumah.
"Kemana Alexa pergi?" tanya Ramond gusar seraya memijit pelipisnya. Dia belum menemukan petunjuk apapun tentang keberadaan putri dari istri keduanya itu. Ramond mendelik menatap Sally yang tampak santai. "Apa jangan-jangan kau yang telah membebaskannya?" selidik Ramond.
"Bukan Mama, Pa!" bantah Sally.
"Bagaimana ini? Bahkan perias pengantin sudah datang." Ramond melirik jam dipergelangan tangannya. "Ini sudah hampir jam 9", ucapnya dengan gelisah.
"Kita tidak punya pilihan lain, Pa. Biarkan Alana yang menggantikan Alexa", saran Sally.
Ramond tampak berfikir sejenak. "Sepertinya itu satu-satunya solusi", katanya sembari menghela nafas. Lalu dia meminta Sally agar merias Alana dan menjadikannya pengantin pengganti Alexa.
...---...
Di tempat lain, di altar pernikahan, Kenzo sudah menunggu lama kedatangan pengantin wanita. Para tamu undangan juga mulai berbisik bak lebah, mereka seakan mencemooh acara yang tampak berkelas itu, namun tanpa persiapan yang matang.
"Akhirnya mereka datang juga!" ucap seorang wanita kerabat jauh Kenzo.
Ramond menggandeng tangan Alana menuju altar. Kenzo menyambutnya dengan di bantu oleh asistennya. Lalu mereka mengikrarkan janji suci pernikahan. Alana berdiri dengan gemetar, dia takut Kenzo akan mengetahui kebohongan yang telah dilakukan oleh keluarganya.
Setelah Kenzo dan Alana selesai mengikrarkan janji suci. Alana pun menghela nafas lega, karena dia aman walau hanya untuk sementara.
Para tamu yang sebelumnya merasa kesal kini bersukacita kala melihat hidangan istimewa yang tersaji di buffet.
Pesta mewah yang di gelar di salah satu hotel milik Kenzo itu terlaksana dengan begitu epik. Semua tamu undangan merasakan kegembiraan yang sama dengan pihak pengantin. Ada tawa dan musik yang memeriahkan acara itu. Namun tidak ada yang peduli pada Alana yang sedang berdiri di sudut dengan tatapan sendu.
Apakah ini awal kehidupan baruku? Tanya Alana di dalam batinnya.
"Kenapa kau berdiri di sini?" tanya Sally saat melihat Alana tidak mendampingi Kenzo untuk menyapa para tamu.
"Aku takut, Bi", jawab Alana.
"Jangan memanggilku BIbi. Bagaimana kalau ada yang mendengarnya!" sergah Sally dengan sedikit berbisik.
"Maaf, Bu."
"Sekarang pergilah ke sisi suamimu. Jangan buat orang lain curiga dengan pernikahan ini!" lanjut Sally.
Wajah Alana yang mirip dengan Alexa menjadi keuntungan bagi Ramond dan Sally, sehingga tidak ada yang langsung mengenali Alana.
"Kau dari mana saja?" tanya Kenzo. Dia dapat merasakan kehadiran Alana disampingnya.
"Ma- maaf, tadi sebelum berangkat ke sini aku tidak sempat sarapan", jawab Alana berbohong.
"Hem, Oke", balas Kenzo singkat yang membuat Alana semakin gugup.
Dia pasti mengenali suarak**u, tapi kenapa dia bersikap seolah tidak tahu apa-apa, ucap Alana di dalam batinnya.
Alana berusaha tenang, dia mendampingi Kenzo menyapa setiap tamu undangan hingga acara selesai dan para tamu berpamitan pulang.
Ramond dan Sally juga ikut berpamitan. Mereka memberi wejangan singkat pada kedua mempelai dan berharap Kenzo dan Alana segera memiliki keturunan.
Kenzo menyunggingkan senyuman penuh arti, sementara Alana berdehem sembari menatap Ayah dan Ibu tirinya.
"Kami pamit pulang", ucap Ramond. Lalu dia dan sang istri beranjak dari hadapan Kenzo dan Alana.
"Ayo, kita juga pulang ke rumah!" titah Kenzo. Roni sang asisten mendelik, karena sebelumnya Kenzo memberitahu pada wartawan bahwa dia dan istrinya akan menginap di hotel miliknya sendiri.
"Tapi Tu-- "
"Apa kau sudah berani melawan!" Suara bariton Kenzo mampu menciutkan nyali siapapun yang mendengarnya.
Roni menunduk, meskipun Kenzo tak melihatnya. "Maaf, Tuan. Siap, salah!"
"Bawakan juga barang-barangnya", tunjuk Kenzo pada Alana yang berdiri di sisi kirinya.
"Baik, Tuan", jawab Roni. Lalu dia membawa dua buah koper milik Alana dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Setelah selesai dia berdiri di sisi kanan Kenzo.
"Tidak perlu!" Kenzo menolak tangan Roni yang hendak menuntunnya. "Biarkan dia yang melakukannya", lanjutnya dengan menunjuk Alana.
Roni memberi jarak dengan Kenzo. Sementara Alana melakukan sesuai permintaan Kenzo. Dia menggandeng tangan Kenzo, lalu mereka berjalan menuju mobil terparkir.
......---......
Hanya dalam waktu 15 menit mobil milik Kenzo tiba di halaman rumahnya. Roni bergegas untuk membukakan pintu.
"Sudah aku katakan, biarkan dia yang melakukan tugas itu!" Lagi-lagi Kenzo marah pada Roni.
Alana bergegas keluar dari dalam mobil dan membantu Kenzo turun dari mobil. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah besar yang tampak rapi dan mewah.
"Selamat atas pernikahannya Tuan dan Nyonya", sambut para pelayan seraya menunduk.
"Kalian tidak perlu menghormatinya!" tukas Kenzo. "Sudah cukup sampai di sini!" Kenzo melepaskan tangannya dari pegangan Alana. "Bi Kokom, tunjukkan dia kamar kosong yang ada di belakang!" titahnya.
"Baik, Tuan", balas Bi Kokom, walaupun dia masih bingung dengan perintah majikannya itu. Lalu dia menuntun Alana menuju kamar khusus buat para ART itu.
Alana mengikuti langkah Bi Kokom. Entah kenapa dia merasakan kehidupan buruknya akan segera di mulai.
Alana memakai baju tidur yang bergambar idola film kesayangannya. Sejak kehilangan sang Ibu 12 tahun yang lalu, idolanya itu yang memberinya imaginasi hal-hal yang sulit untuk dia lakukan.
Tok. Tok.
Suara ketukan pintu, membatalkan niat Alana yang akan merebahkan tubuhnya.
"Tunggu sebentar!" teriak Alana. Lalu dia berjalan menuju pintu.
Alana terjingkat saat baru saja membuka lebar pintu kamarnya. Wajah tanpa ekspresi Bi Kokom yang berada tepat dihadapan Alana membuatnya tersentak kaget. "Ada apa, Bi?" tanyanya dengan sopan seraya mengelus dadanya.
"Tuan memanggil. Ayo, ikut Bibi ke ruangan Tuan!" ajak Bi Kokom pada Alana.
"Baik, Bi", jawab Alana. Dia menutup pintu kamarnya, lalu berjalan mengikuti langkah Bi Kokom.
Alana menatap kagum rumah besar yang tampak mewah itu. Walaupun rumah kediaman orang tua Alana juga besar, namun tidak semewah milik Kenzo.
Tanpa Alana sadari mereka sudah berada di depan ruangan Kenzo Bi Kokom mengetuk pintu.
"Masuk!" Terdengar jelas suara Kenzo dari dalam.
"Permisi Tuan", ucap Bi Kokom dengan menunduk.
"Suruh dia masuk!" Kenzo meminta Roni untuk menuntun dirinya duduk di kursi agar Alana dapat menatapnya.
Alana muncul dari belakang Bi Kokom. Langkah kakinya sedikit gemetar saat membayangkan hal buruk yang akan terjadi padanya. Apakah ini akhir dari hidupku? Tanya Alana di dalam batinnya. Dia yakin Kenzo mengetahui bahwa dirinya bukanlah Alexa.
"Berikan padanya!" titah Kenzo pada asistennya saat Bi Kokom baru saja menutup pintu ruangan Kenzo.
Roni berjalan menghampiri Alana, tangannya terjulur menyerahkan lembaran kertas pada Alana.
"Aku tahu kau bukan Alexa", ucap Kenzo dengan wajah dingin.
Alana mendelik mendengar penuturan Kenzo. Dia bergidik ngeri saat merasakan aura dingin Kenzo. Dalam benaknya dia berfikir bahwa ini adalah akhir dari hidupnya.
"Ma- maaf, Tuan", ucap Alana dengan gugup. "Aku hanya menuruti permintaan Papaku", terangnya kemudian.
"Aku tahu kalau Alexa kabur dari rumah. Dia juga telah meminta pada Papamu untuk membatalkan pernikahan kami", imbuh Kenzo. "Tapi aku tidak akan menghukummu untuk hal itu!" lanjutnya yang membuat Alana merasa tenang.
"Karena kita sudah terlanjur menikah, maka silakan baca surat yang ada ditanganmu dan segera tanda tangan!" tegasnya.
Alana membaca lembaran surat yang diberikan oleh Roni. Netranya membulat sempurna kala membaca isi surat ditangannya.
"Jadi kita akan menjalani pernikahan kontrak?" tanya Alana saat membaca judul surat yang ada ditangannya.
Kenzo mengangguk sebagai jawaban. "Karena aku tidak mungkin menceraikanmu saat kita baru saja menikah", sahut Kenzo. Walaupun dia sering menghukum orang dengan begitu kejam, tapi dia tidak akan menghukum orang yang menurutnya tidak sepenuhnya bersalah.
Alana tampak sedang berfikir. Lalu dia menatap Kenzo yang bergeming di tempat duduknya.
"Aku ingin mengajukan poin tambahan", ujarnya dengan wajah serius.
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku tetap diizinkan untuk melanjutkan kuliahku", pinta Alana masih dengan wajah serius.
"Oke!" balas Kenzo singkat. Kemudian dia meminta asistennya merevisi surat perjanjian nikah mereka.
Setelah isi surat perjanjian ditambahkan sesuai permintaannya, Alana pun membubuhkan tanda tangannya di sana, lalu Roni memberikan salinan surat padanya.
"Oke, sudah selesai. Silakan keluar!"
Alana beranjak dari posisinya setelah berpamitan. Dalam benaknya, dia terus berfikir bagaimana akan menjalani kehidupannya berikutnya. Namun dia tetap.bersyukur walaupun Kenzo mengetahui kebohongan yang dilakukan oleh keluarganya, tapi Kenzo masih mengampuni nyawanya.
Keesokan paginya, Alana terjaga dari tidurnya. Dia bangun lebih pagi dan ergi berjalan menuju dapur untuk melakukan rutinitas pagi seperti dirumah sendiri.
Bi Kokom datang dari arah belakang Alana. Dia tersentak kaget kala melihat istri dari Tuannya melakukan pekerjaan dapur.
"Pagi Nyonya. Apa yang Nyonya lakukan sepagi ini di sini?"
"Tidur!" canda Alana.
"Nyonya duduk di meja makan saja! Jika butuh sesuatu Nyonya bilang ke Bi Kokom", ujar Kokom dengan khawatir. Dia takut Tuannya akan marah padanya, karena membiarkan Nyonya rumah itu melakukan pekerjaan dapur.
"Sudah nanggung Bi. Ini sebentar lagi selesai", sahut Alana dengan santai.
"Tolong jangan mempersulit kami, Nyonya", ucap Bi Kokom dengan memelas.
Alana tersenyum tipis. "Bi Kokom ada-ada saja. Kapan saya mempersulit Bibi?"
"Sudah hentikan, Nyonya", ucap Bi Kokom seraya merebut spatula dari tangan Alana. Lalu dia meminta Alana duduk di kursi makan. "Ini tugas pelayan, Nyonya!" tegas Bi Kokom.
Tiba-tiba pelayan yang bertugas di bagian dapur datang.
"Kenapa kau baru bangun?" sergah Bi Kokom.
"Maaf, Bu", sahut pelayan itu seraya menunduk.
"Ini lanjutkan! Kau akan di hukum, karena telah membuat Nyonya melakukan pekerjaanmu!" seru Bi Kokom dengan menatap tajam pelayan itu.
Alana menatap keduanya dengan bingung. "Bi Kokom, kenapa marah hanya karena masalah sepele ini?" tanyanya.
"Ayo, Nyonya duduk dulu", ajak Bi Kokom yang telah mengubah ekspresi wajahnya. "Ini bukan masalah sepele, Nyonya. Semua pelayan di sini sudah punya tugas masing-masing, jadi tidak boleh ada yang lalai dengan tugas yang sudah diberikan", tuturnya menjelaskan.
"Memangnya di sini ada berapa pelayan, Bi?"
"Ada 4 orang termasuk Bibi."
Alana manggut-manggut. Dia membandingkan dengan keadaan dirumahnya sebelumnya. Tidak ada seorang pun pelayan di sana. Ibu tirinya telah menjadikannya sebagai seorang pelayan dengan mengusir pelayan dirumahnya.
"Pagi, Bi", sapa Roni dengan wajah serius.
Masih pagi, tapi wajahnya sudah penuh dengan beban. Ucap Alana di dalam batinnya.
"Pagi, Pak Roni", balas Kokom. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Tolong sarapan Tuan di bawa ke kamarnya saja. Lakukan itu setiap pagi ya, Bi", pinta Roni seraya melirik Alana.
"Baik, Pak. Sebentar lagi sarapan Tuan Kenzo akan saya bawa ke atas", imbuhnya.
"Bi, biar saya yang siapkan sarapan buat Tuan Kenzo, sekalian saya antar ke kamarnya", tawar Alana.
Bi Kokom tampak berfikir sejenak. Dia tidak tahu apakah Tuannya akan senang atau bereaksi lain. "Tapi saya khawarir Tuan akan marah, Nyonya."
"Itu akan menjadi tanggungan saya, Bi", sahut Alana dengan tersenyum. Lalu dia menyiapkan sarapan buat Kenzo.
Alana sudah berada di depan pintu kamar Kenzo setelah Bi Kokom yang menunjukkan letak kamar Kenzo pergi meninggalkannya. Alana membuang nafas ke udara seraya mengangkat tangannya.
Tok. Tok.
"Masuk!" suara bariton Kenzo terdengar jelas oleh Alana. Dibukanya knop pintu dan didorongnya perlahan.
"Permisi, Tuan", ucap Alana yang membuat Kenzo mengenali suara itu.
"Kenapa kau yang mengantarkannya?" tanya Kenzo dengan nada tidak ramah.
"Saya hanya ingin melayani Tuan, karena di dalam -- "
"Stop! Jangan pernah datang lagi ke kamar ini. Bawa kembali makanan itu!" tukas Kenzo. Wajah garangnya menunjukkan ketidaksukaannya pada Alana. "Panggil Kokom ke mari!" titahnya yang membuat Alana gemetar.
"Baik Tuan", jawab Alana seraya pamit.
"Dia pikir karena aku tidak menghukumnya, maka dia bisa bertindak sesukanya!" ucapnya berdecak kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!