Masih menjadi tanda tanya dalam benak perempuan berparas manis bernama Ayudia Qonniah. Kenapa banyak orang mencela pernikahan. Kenapa banyak orang mengeluh akan pasangannya?
Bukankah, mereka menikah atas dasar cinta? Kalaulah dijodohkan, mereka masih bisa 'kok menolak jika tidak cocok. Apalagi yang menikah melalui proses pacaran. Seharusnya hidup mereka jauh lebih harmonis, karena sudah mengenal lama.
Belaian lembut di keningnya membuat kelopak mata peri itu terangkat perlahan. Wanita dengan rambut lurus se-bawah bahu menggeliat sebentar. Demi merenggangkan otot-ototnya yang kaku sehabis tidur.
Suara senyum yang terdengar sedikit berat terkesan hangat di telinganya. A' Harun mengecup kepala isterinya dengan lembut.
Ya, inilah yang dia maksud. Tak sedikitpun terlintas di benak Qonniah untuk mencela pernikahan. Nyatanya, sudah hampir dua tahun menikah hubungan mereka masih baik-baik saja.
Walau belum di karuniai seorang anak di tengah-tengah kebahagiaan mereka. A' Harun tetap baik dan pengertian. Kalaupun ada masalah, tak pernah berlarut-larut. Pria itu selalu mendatangi isterinya lebih dulu setelah tiga jam saling diam sambil menenangkan pikiran masing-masing.
"Assalamualaikum, Ya Qalbii. Bangun! Bangun!" tuturnya lembut membangunkan isterinya.
Wanita itu tertawa pelan, sebelum mengangkat wajahnya menghadap Harun.
"Aku udah bangun, niiiih!" sautnya manja. Sebuah usapan lembut di wajah membuat Qonni menahan tangan putih suaminya.
"Jangan di sentuh..." protesnya seperti biasa.
"Kenapa sih, nggak suka banget di pegang wajahnya?"
"Ya, karena wajah ku kalau baru bangun tidur kaya kertas buat ngelapisin gorengan," jawabnya jujur yang kontan membuat Harun tertawa. "Aku serius! makanya nggak pede."
"Iya...iya... lagian nggak perlu ngerasa gimana-gimana. Aku tetep seneng megang wajah kamu." Harun kembali menyentuh kedua pipi Qonni. Kali ini dengan tarikan di kedua pipi yang sedikit chubby itu.
"Aaaaaaaa– sakit!" rengeknya sambil memukul-mukul pelan lengan suaminya yang justru terlihat girang karena rengekan tadi.
Setelah bercanda sebentar, Mereka melakukan aktivitas awal hari dengan sholat berjamaah. Ini hari Minggu jadi jadwalnya Qonni di imami suaminya saat sholat subuh di rumah mertuanya. Sebab Harun anak bungsu, sementara ibunya tinggal sendirian. Jadi mereka memutuskan untuk tinggal di rumah orang tua Harun sesuai kesepakatan sebelum akad.
Harun mengarahkan tangannya kebelakang, dan saat Qonni hendak meraihnya, Harun justru menggeser kekanan. Gerakan itu terjadi beberapa kali sampai Qonni mulai memanyunkan bibirnya. Samar-samar terdengar suara istighfar yang bercampur tawa dari pria di depannya.
Tak kehilangan akal ia lantas menggampit tangan suaminya menggunakan kedua tangan dia sendiri. Karena semakin ia berusaha meraihnya, Harun justru semakin mempercepat gerakan tangan yang di putar-putar demi menghindari Qonni. Dan saat dapat, perempuan itu langsung menciumnya beberapa kali.
"Aku itu smart!" ucapnya mempertegas.
"MashaAllah, Ya...ya percaya." Mereka kembali menyambung dzikir setelah tertawa bersama.
Beberapa waktu berlalu, Qonni menujukkan sesuatu pada suaminya. Sebuah kotak kecil yang terbuat dari bahan karton. Wanita itu menggangsurkan kontak tersebut ke sisi Harun yang sedang duduk di bibir ranjang sambil membaca tafsir kitab yang akan ia kaji sebagai materi di tempatnya mengajar esok hari.
"Ini apa, Bii?" Tanyanya sambil menutup buku yang teramat tebal di atas pangkuannya.
"Buka aja," jawab Qonni yang turut tak sabar melihat ekspresi wajah suaminya saat tahu apa isi di dalam kotak dengan pita pink tersebut.
"A'a jadi takut. Kamu suka nge-prank, sih" Harun gegas meletakkan buku diatas nakas lalu beralih pada kotak tersebut.
"Jangan su'udzon dulu. Baca bismillah sebelum buka kotaknya."
"Eh, iya. Bismillahirrahmanirrahim..." Di bukalah kotak tersebut yang kontan membuat Harun tertegun menekuri isi didalamnya.
Mata Qonniah bergerak pelan ke wajah suaminya sambil senyum-senyum.
"Allahu Akbar!" gumamnya pelan masih dalam posisi tertegun, adapun tangannya merogoh kotak dan mengambil isinya. "Ini punya siapa?"
"Aku, Hubby!" jawabnya antusias hingga ekor mata Harun gegas beralih padanya.
"Ya Qalbii..."
"Ya?" Binar wajah Qonni yang mulai berkaca-kaca itu tak bisa ia sembunyikan lagi.
"Ini punya kamu, beneran?"
"Beneran, By. Masa aku bohong! Alat tes kehamilan itu punya aku. Tau kan jawabnya sekarang, kenapa aku lama di kamar mandi pas sebelum subuh tadi?"
"MashaAllah, Bii! Sini, Sayangku..." Harun kontan memeluk tubuh istrinya seiring air mata yang mulai mengalir dari salah satu netra kecoklatan itu. "Alhamdulillah, ya Allah... A'a seneng kita mau punya anak, loh ini?"
"Aku juga, A'... kaya nggak percaya, 'kan?"
"Iya, Sayang." Harun menciumi isterinya. Kemudian menyentuh perut sang isteri sambil membaca doa kemudian mengecup perut yang masih rata tersebut.
***
Hari-hari semenjak mengetahui kehamilan Qonniah. Harun jadi lebih protektif lagi dalam segala hal. Termasuk makanan dan kegiatan sehari-hari isterinya. Maklumlah, menunggu hadirnya janin dalam kandungan sang isteri setelah hampir dua tahun, membuatnya pantas melakukan itu. Karena ia sendiri pun ingin anaknya tetap sehat setelah tahu kalau kandungan Qonniah termaksud lemah.
Hari ini...
Setelah menutup toko kecilnya, Harun buru-buru pulang. Karena petang ini, ia akan menuruti keinginan isterinya ke toko buku.
Dan setelah sampai rumah untuk berganti pakaian, mereka langsung tancap gas. Menuju salah satu Mall yang terdapat toko buku dari penerbit ternama.
"A' pengen kesitu–" Qonni menunjuk banner iklan dengan gambar Ebi furai atau udang goreng yang dibalut tepung dari salah satu restoran Jepang.
Harun menghela nafas. "Kita baru makan siomay Bandung di outlet sana. Teru sekarang mau makan itu?"
Qonni menjawab dengan anggukan kepala.
"Kita bahkan belum sampai ke tujuan awal loh, Bii. Kamu berkali-kali minta berhenti untuk jajan. Nanti aku lagi yang suruh ngabisin?" protes Harun, hingga menimbulkan senyum memohon Qonni yang sedang mengusap perut ratanya.
"Dede yang minta, By. Bukan aku...," jawabnya manja.
"Ya ampun..." Harun menahan gemas pada perempuan di depannya.
"Yuuuk! Ayooo, A'..." Rengeknya sambil menarik lengan Harun.
"Bii, jujur aku tuh kenyang banget. Kalau kamu mau jajan dan kamu habisin, aku nggak masalah. Kalau nggak, dan harus aku lagi yang makan sama aja berlebihan, 'kan? Aku nggak suka perut begah, Sayang."
"Huuuuh!" Qonni memajukan bibirnya.
"Ya udah, bungkus aja?" Harun membujuk.
"Makan di sana. Tempatnya estetik, A'..." rengeknya lagi.
"Janji dulu di habisin."
"Iya, iya! Ayoooo–"
"Bener ya?"
"Beneran, By. Aku udah ngiler banget liat udangnya."
"Okay, Sayang. Yuk kita makan di sana. Kamu ini kalau nggak di turutin ngerengeknya ngalahin anak balita. Heran, aku!"
"Hehehe– Dede yang minta, buka aku."
"Iya deh, terserah kamu, Bii. Emang bisaan." Harun menarik pipi Qonni gemas kemudian mengajaknya ke outlet makanan jepang tersebut.
Sesampainya di sana. Harun langsung mengantre. Sementara Qonni memilih untuk duduk di meja kosong menunggu suaminya datang membawakan pesanannya. Karena outlet tak begitu ramai, Harun pun tak begitu lama juga mengantre makanya. Ia sudah kembali dengan nampan berisi satu porsi Ebi furai dan minuman yang tak begitu banyak mengandung gula.
"Ini, Nyonya." Harun meletakkan nampan tersebut di hadapan Qonni.
"Yeaaay! Makasih Hubby."
"Sama-sama, janji habisin ya? Kalau nggak aku beneran marah loh, Bii."
"Aaaaaa, jangan. Berat kalau A'a marah pake jurus diam seribu bahasa." Qonni menggoyang-goyangkan lengan Harun yang duduk di hadapannya. Pria itu tersenyum.
"Ya udah di makan."
"Bantuin makanya..."
"Aku 'kan nggak bisa makan udang, Sayang," tolak Harun dengan nada halus.
"Eh, iya... lupa."
"Makanya, habiskan. Jangan mubazir..."
"inshaAllah, ini habis kok. Aku suka udang."
Harun manggut-manggut sambil mengacungkan satu ibu jarinya. Kemudian duduk menyandar mengalihkan pandangannya ketempat lain.
"Nak Harun!" Seorang wanita yang berjalan kearahnya, menegur.
"Eh, Ustadzah Siti." Harun beranjak sambil menangkupkan kedua tangannya. Qonni yang melihat perempuan berhijab Syar'i itu juga turut beranjak menjabat tangan wanita tersebut. Wanita paruh baya di hadapannya merupakan ustadzah yang amat di gemari Safa dan dirinya walau tak segila Safa yang bahkan sampai tak pernah absen untuk mendatangi kajian Beliau.
"MashaAllah, ketemu kalian disini."
"Iya, Ust." Harun terkekeh, tatapannya tertuju sebentar pada dua gadis di belakang Ustadzah Siti, yaitu Zahra dan Hanifah. Keduanya merupakan Puteri Beliau. "Assalamualaikum!"
Harun menangkupkan kedua telapak tangannya pada Mereka berdua kemudian beralih pandang lagi pada wanita paruh baya yang masih mengajaknya berbicara basa-basi.
"Ya udah, silahkan di lanjutkan. Kami permisi dulu ya... Assalamualaikum."
"Walaikumsalam warahmatullah." Harun menunduk. Saat ketiga wanita itu melewati mereka setelah itu kembali duduk.
"Yang mana yang namanya Zahra?" Tanya Qonni pada Harun. Perempuan itu akhir-akhir ini memang mengetahui, kalau gadis yang sempat di lamar Harun dulu adalah puteri dari Ustadzah Siti bernama Zahra. Namun ia tidak pernah tahu, seperti apa sosok Zahra.
Harun tersenyum tipis, "kenapa tanya itu?"
"Pengen tahu aja. Dua-duanya cantik, pasti salah satu dari mereka namanya, Zahra."
Harun tak menjawab, ia hanya mengambil botol air mineral lalu meminumnya.
"A'a–"
"Apa, Bii?" jawabnya lembut.
"Yang mana?"
"Mau tau banget, ya?" ledek Harun sambil tertawa.
"Ya mau, lah. Kasih tau yang mana, yang kerudung Dusty pink atau yang abu-abu?"
"Salah satu dari mereka," jawabnya nyeleneh.
"Ya, yang mana?"
"Ihh, mau tahu aja. Ntar tinggal sewot lagi," cibirnya sambil senyum-senyum.
"Sekarang aja udah sewot, kali!" gumamnya lirih hingga menimbulkan tawa di bibir Harun.
"Kan?"
"Iiih, yang mana?"
"Bii, ngapain tanya sesuatu yang nggak bakal masuk timbangan hisab kamu? Jangan kasih cela ke setan dong. Kita lagi adem ayem, nih."
Qonni memajukan bibirnya, ia pun menghentikan pertanyaan itu. Yang jelas, salah satu dari gadis-gadis cantik tadi. Kalau nggak yang lebih dewasa ya, yang lebih muda dengan aura kepintaran yang memancar dari kacamatanya.
Kayanya yang kacamataan, sih? Kalau yang satu terlalu modis. Tapi, entah siapapun gadis yang batal di jadikan isteri oleh A' Harun. Kalian udah berhasil membuatku kesal tanpa alasan. CK!
"Bii, dimakan!" titah Harun yang menangkap raut kecemburuan di wajah Isterinya.
"Iya, ini lagi di makan, Kok." Qonni melirik sebal. Adapun Harun hanya geleng-geleng kepala sambil menyiapkan jurus jitu demi mendinginkan hati Qonni yang mendadak panas itu.
***
Beberapa hari berlalu...
Ilyas menghubungi Harun setelah mendapatkan tiket bola yang akan mereka tonton langsung di GBK. Pria yang baru selesai mengajar di kelasnya pun mengepalkan tangan 'Yes!' karena mendapatkan tiket bola itu lumayan sulit. Sekarang, tinggal bagaimana caranya ia meminta izin pada isterinya yang semoga saja diizinkan.
Hingga saat sore hari setelah menjalankan sholat Ashar. Harun mendatangi isterinya sambil membawa potongan buah segar ke dalam kamar mereka.
Saat ini, keheningan menyelimuti suasana kamar. Perempuan itu sempat memiliki firasat tapi entah apa. Hingga pria di hadapannya mulai bersuara.
"Sayang, aku mau izin ya. Besok mau nonton bola di GBK sama Ilyas?" Harun menyodorkan potongan buah melon ke mulut Qonni. Berbicara dengan hati-hati.
"Kok tiba-tiba?" tanyanya dengan mulut penuh.
"Sebenarnya udah janji lama. Hari ini tim kesayangan ku tanding di sini."
"Club A?" Tanyanya yang di jawab anggukan kepala. "Lawannya?"
"XX FC."
Qonni terdiam, entah mengapa perasaannya merasa tidak enak. Mengingat, dua supporter dari club-club tersebut termasuk rival garis keras yang bahkan sampai di luar lapangan pun saling bantai.
"Harus banget nonton di GBK, ya?" tanyanya pelan sambil memegangi lengan suaminya.
"Iya, Sayang. Ilyas bahkan udah beli tiketnya."
"Tapi aku khawatir, kalau ada tawuran besar gimana?"
"Nggak akan, Bii. Aparat yang mengamankan pasti banyak. Dan lagi, kalau Club A main disini? Supporter dari mereka nggak akan berani nonton langsung di kandang XX FC. Sudah ada himbauan juga kok."
Ayudia Qonniah manggut-manggut, meski demikian hatinya tetap tidak tenang. Terlebih Harun merupakan keturunan asli dari kota dimana Club A terbentuk. Walaupun sudah memiliki KTP sini, karena sejak kecil keluarganya menetap di Jakarta.
Jujur, sebenarnya aku nggak ridho, A'... tapi melihat A'a sangat berharap sekali bisa nonton club kesayangan A'a langsung, aku jadi nggak tega kalau harus melarangnya. Apalagi A'a sekarang jarang keluar rumah selain urusan kerja atau beli sesuatu yang penting.
"Gimana?" Harun menyentuh pipi isterinya. "Jangan diem aja, dong. Kamu izinin A'a ke GBK, 'kan?"
Qonni mengangguk pelan. "Iya, A'... tapi hati-hati, ya? Sebisa mungkin jaga diri A'a baik-baik. Jangan aneh-aneh –"
Harun terkekeh. "Emang aku aneh-aneh apa?"
"Ya kali aja ada sesuatu. Pokoknya kamu harus inget, kita mau punya anak loh!"
"Iya, Sayang! Iya! inshaAllah, A'a bisa jaga diri. Kan ada Ilyas juga. Mudah-mudahan semua baik-baik aja."
Qonni mengangguk pelan. Dan kembali melanjutkan menyantap beberapa potong buah lagi sebelum beralih untuk istirahat karena kepala yang sedikit pening.
Sesuai kesepakatan, Harun dan Ilyas bertemu di lokasi. Karena jarak yang berlainan arah jadi lebih baik menggunakan kendaraan sendiri-sendiri dari pada saling samper.
Sambil menunggu Ilyas yang katanya sudah ada di luar GBK, Harun memasang headset di telinga. Mendengarkan murotal dari benda pipih yang ada di genggamannya. Ia sengaja menunggu Ilyas di atas motor setelah mengirimkan lokasi Beliau saat ini.
Tak menunggu lama, motor berjenis PCX warna merah berhenti di area kosong lainnya karena parkiran tersebut sudah mulai penuh dengan kendaraan milik para supporter lain.
"Assalamualaikum!" Pria berkacamata itu mendekatinya.
"Walaikumsalam warahmatullah!" Mereka saling bersalaman dan berpelukan sebentar.
"Nunggu lama?"
"Enggak, Kok. Pas kirim share lokasi, Anna juga baru dateng."
"Syukurlah, Anna sempet nganter mouse bluetooth dulu tadi, sekalian. Mumpung deket. Hehehe..."
"Menyelam sambil minum air, ya?"
"Iya, hahaha."
"Ya udah, kita langsung masuk aja?"
"Ayo! Udah mulai penuh ini. Takutnya kita susah masuk." Ajak Ilyas yang di susul anggukan kepala Harun. Pria itu pun turun dari atas motornya lalu berjalan bersisian dengan Ilyas ke salah satu pintu masuk yang di jaga panitia penyelenggara.
Selama pertandingan di menit-menit awal semua nampak aman. Supporter hanya menyerukan yel-yel demi menyemangati Tim XX FC yang sedang bertanding di lapangan hijau. Hingga masuk di menit ke tiga puluh, XX FC berhasil memasukkan bola kedalam gawang Club A. Riuh teriakan pendukung XX FC menggema di stadion gelora bung Karno, karena timnya berhasil memimpin skor di babak pertama.
Beberapa menit berjalan sampai ke babak kedua pertandingan. XX FC masih mendominasi permainan, namun semakin mendekati menit ke sambilan puluh Club A berhasil mengimbangi skor. Sorakan kemarahan mulai menggema kembali, mereka-mereka yang tidak terima lawan dari timnya menyamai skore. Sebagiannya lagi mulai menyalakan kembang api. Langit pun berubah merah karena asap yang di timbulkan dari benda yang sejatinya di larang masuk kedalam stadion saat pertandingan berlangsung.
"Mulai nggak kondusif, nih." Ilyas mengeluhkan, namun Harun nampak tak perduli, justru terlihat asik menonton jalannya pertandingan. Bahkan ia hampir saja bersorak saat timnya kembali membobol gawang XX FC. Buru-buru ia tahan selain hanya dengan mengepalkan tangannya saja. Karena mau bagaimanapun juga, ia duduk di tengah-tengah Supporter yang mulai bringas karena timnya kalah satu dua.
Masuk ke sepuluh menit waktu tambahan, salah seorang pemain dari XX FC melakukan pelanggaran yang fatal di dalam kotak pinalti. Hingga mau tak mau wasit pun memutuskan untuk di adakannya sebuah tendangan pinalti. Hal itu pula yang memecah kemarahan para supporter dari XX FC.
Harun bergeming, fokus melihat kapten tim dari Club A mulai bersiap-siap menjadi eksekutor yang akan menendang bola kearah gawang langsung, dan gol ketiga pun kembali di dapat bersamaan dengan peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan.
Harun hanya bisa menahan senyum sambil mengepalkan tangannya yes! tanda ia benar-benar senang saat tim favoritnya menang padahal bukan di kandang sendiri. Jika saat ini ia sedang menonton di rumah, pasti mulutnya sudah bersorak bahagia.
Beruntungnya Ilyas langsung mengajak Harun keluar, karena penonton di dalam mulai berang. Tangan-tangan jail dari orang-orang yang fanatik mulai bringas melempar botol air mineral kearah lapangan saat para pemain dari Club A di amankan masuk oleh para aparat keamanan.
Di luar stadion, Harun dan Ilyas mengayunkan kakinya. Ilyas sendiri sebenarnya pendukung XX FC walau dia bukan orang Jakarta asli. Namun ia tak se-anarkis para pendukung lain yang masih terlihat kesal meneriaki para pemain dari Club A tersebut. Berbeda dengan Harun yang justru nampak puas dengan pertandingan tadi. Ia benar-benar bangga pada club kesayangannya itu.
"Kita langsung ke masjid aja," ajak Harun.
"Ayo! Kita cari yang terdekat."
"Okay!"
Tiiiiiiiing...
"Sebentar, Yas!" Harun menghentikan langkahnya saat mendengar notifikasi pesan chat berdenting. Pria itu pun gegas membukanya, yang rupanya dari Qonni.
[Assalamualaikum, Hubby. Kamu masih di GBK?]
[Udah mau pulang, Bii. Ini lagi di parkiran. Tapi niatnya mau mampir masjid dulu. Tanggung! lima menit lagi adzan Maghrib.] balas Harun kemudian. Dan ia sendiri tak langsung keluar dari kolom chat-nya dengan Sang Isteri.
[Syukurlah, tadi aku liat tim kesayangan kamu menang dan penonton kaya ricuh gitu.]
Harun mengirim stiker beruang nyengir dengan pipi merona.
[Alhamdulillah, A'a tadi langsung keluar. Soalnya udah nggak tahan rasanya pengen selebrasi. Hehehe]
[Ya ampun. Udah cepetan pulang gih, akunya khawatir nih.]
[Iya, Sayang. Nanti mau di beliin apa? Pas A'a pulang?]
[Ummmm... 🤔 karena kamu nawarin, bisa belikan calon ibu dari anakmu ini cakwe, nggak? Lagi pengen makan itu soalnya.]
Senyum Harun mengembang. Dimana hal itu di perhatikan juga oleh Ilyas yang jadi ikut senyum sambil memalingkan wajahnya ke langit.
[Okeh, Sayang. Nanti A'a beliin.] Balasnya kemudian, sebelum memasukkan gawai kedalam tasnya lagi.
"Udah!" Ajak Ilyas.
"Udah, yok!" Kembali langkah keduanya terayun menuju area parkiran.
Setibanya di dekat motor masing-masing Harun dan Ilyas langsung memasang atribut berkendaranya. Namun sepersekian detik berikutnya, samar-samar telinga mereka menangkap sebuah kegaduhan.
"Run, itu apa ya?" Tanya Ilyas yang tak langsung dijawab karena tak lama dari itu mereka melihat seorang pria dengan wajah berlumuran darah berlari kencang, berniat untuk keluar dari lokasi tersebut.
"Innalilah..." Harun bergumam. Karena puluhan orang mengejar sambil berteriak menyerukan julukan bagi para fans club A.
"Run, orang itu supporter dari Club A." Ilyas kembali meletakkan helm-nya kemudian berlari kearah kerumunan yang nampak bringas tadi.
"Yas!" Seru Harun, bergegas mengejar Ilyas dan menahannya sebelum sampai pada mereka. "Antum mau ngapain?"
"Itu di depan lagi di keroyok, Run. Kita harus nolongin!"
"Antum jangan gegabah! Liat, massanya cukup banyak. Bisa bahaya buat kita juga."
"Mau gimanapun juga kita harus nolongin, Run. Dia nggak punya salah apa-apa. Dia cuma penonton kaya kita," bantahnya yang tak berpikir panjang langsung menepis tangan Harun, kemudian mendekati kerumunan tersebut.
"Astaghfirullah al'azim, ILYAS!" Harun sendiri tak memiliki pilihan, ia turut menyusul Ilyas yang setengah berlari mendekati orang-orang beringas tersebut.
"Stop! Berhenti semuanya, jangan main hakim!" Ilyas berseru lebih dulu. Sambil menarik-narik mereka yang berkerumun tersebut agar mau melepaskan seorang pria yang sedang di aniaya ramai-ramai.
"Siapa, Lo?! Temennya, ya? Dari Club A...ng?" Tanya pria yang masih mengepalkan tangannya.
"Bukan, tapi kita nggak boleh main keroyok gini. Dia juga cuma penonton kaya kita."
"Apaan sih, kalo bukan temennya harusnya Lu ikut solidaritas, Bang. Bantai ni orang!" Mereka masih melanjutkan pemukulan pada tubuh pria yang sudah tidak bergerak itu.
"Astaghfirullah al'azim..." Ilyas kembali menahan tangan-tangan bringas tadi.
"Iiiish! temennya nih, pasti? Pendukung Club A...ng 'kan, lu? Ngaku!"
"Bu–bukan?" Ilyas mengangkat kedua tangannya di depan dada sambil memundurkan tubuhnya.
"Udah, bantai aja sekalian nih orang lah..."
Buaaaaaaack! Buuuck! Dua bogem mentah langsung mendarat di wajah Ilyas. Disusul orang-orang lainnya.
"Innalilah, Ilyas!" Melihat Ilyas mulai di pukuli masa, Harun pun mencoba untuk menolong. Namun belum sempat menggapai tubuh Ilyas, sebuah benda padat sudah mendarat lebih dulu di kepala bagian belakangnnya cukup keras.
Praaaaang!
Kontan mata Ilyas langsung terbelalak saat mendapati seorang pria kerempeng yang kemungkinan akan memukulnya dengan botol minuman keras, justru malah mengenai kepala Harun hingga pecah. Parahnya tak hanya satu kali, rupanya dua orang lainya pun turut memukul kepala Harun dengan botol kaca tersebut secara bergantian.
Bruuuuuuk.... seketika tubuh Harun tumbang tak sadarkan diri, menimpa tubuh Ilyas yang sudah tersungkur di atas paving.
"HARUUUUUUUUNNN!" Ilyas yang sudah lemah juga tak mampu berbuat apa-apa. Selain melihat Massa yang semakin gila memukuli mereka yang sudah tak bergerak secara bertubi-tubi.
Doooooooor! Suara tembakan peringatan yang mengarah ke udara terdengar. Beberapa masa pun menghentikan aksinya, sebagian melarikan diri, dan sebagiannya lagi tertangkap aparat yang mengejar mereka.
"Ruuunn..." Suaranya yang lemah dan diiringi tangis itu mencoba untuk membangunkan Harun dengan cara menggoyangkan bahunya, "Run, bangun. Bangun Harun..." tangan Ilyas menyentuh banyaknya darah yang keluar dari kepala sahabatnya.
"Astagfirullah, Harun. Ya Allah..., tolong Harun. Tolong Harun, Ya Allah..." Ilyas benar-benar panik karena sahabatnya tak sama sekali merespon.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!