"Eagle roger, buka formasi," ucap seorang perwira pada unit skadron yang kini tengah melakukan aksi akrobat pesawat tempur di langit biru ibukota.
Aksi ini selalu menjadi aksi paling fantastis, ditunggu-tunggu dan memantik riuh tinggi warga ibukota bahkan rakyat negeri.
"Dirgahayu negri tercinta," suara sedalam lautan terucap seraya membuat gerakan menghormat seiring tepuk tangan satu penjuru negri, asap putih membingkai beserta bendera negara yang berkibar bebas melanglang buana nan jaya, memicu semangat berkobar nan nasionalisme.
Pesawat bermanuver membentuk sejumlah angka sesuai usia negri saat ini, lalu pesawat loreng itu membagi formasi lagi dan menukik membuat akrobat-akrobat indah seperti sedang menari-nari di atas awan.
"Ze! Suttth! Turun yuk, kalo ketauan sama aparat gue mati, Ze! Uang jajan gue bisa disu nat abis sama abi!" gadis cantik, putih nan tinggi mirip ayah ibunya ini berdecak kesal, setengah menggeram, setengah sewot dan setengah gila, otaknya pun kayanya tinggal setengah, karena yang setengah ia bagi dua bersama sobat satu frekuensinya Zea.
Jika Clemira sudah menggeram sendiri kaya orang kesurupan, lain halnya dengan Zea, ia justru berseru kegirangan karena sudah memanjat pagar markas besar dimana landasan udara beberapa pesawat tempur akan landing.
"Wohhooo! Gila keren banget!" ia bahkan sudah membuat kedua tangannya mirip pengeras suara.
"Dasar ngga waras!" dumel Clemira Ananta. "Woy, Jamilah! Kalo gue ketauan abang Saga, gue bisa digantung di ujung sayap pesawat!"
"Cupu!" cibir Zea membuat wajah konyolnya pada Clemira, siapa sangka gadis cantik dengan rambut hitam legam bak kayu eboni dan bergelombang di ujung ini adalah sahabat seiman dari Cut Daliya Clemira Ananta yang otaknya kebelah-belah bak semangka potong, dia juga merupakan anak seorang menteri di negara ini.
"Enak aja! Gue ngga cupu, somplak! Elu enak, papih lo ada di istana negara, nah gue?!" omel Clemira menggerutu.
"Non Ze!" sayup-sayup suara memanggil berdengung kaya idghom di telinga kedua gadis tengil ini.
"Anjirrr Cle, itu kayanya ajudan papih! Turun---turun!" hebohnya.
Clemira celingukan mencari pijakan untuk turun, terang saja keduanya memanjat pagar pembatas setinggi 3 meter, sisi terendah dari markas besar militer ini.
"Saravvv ah! Ini kemana turunnya?!" Clemira dilanda panic attack.
Blughh!
Zea mendarat sempurna di tanah halaman markas komando elite militer membuat Clemira mengumpat, "crazy girl! Damn!" mau tak mau ia pun ikut melompat, meski dengan rok seragam pendek, benar-benar pendek. Zea tertawa renyah, "crazy but clever, right?!" kekehnya menarik tangan Clemira untuk mengendap-endap.
"Apes banget gue aduh!" Clemira menggaruk kepalanya yang mendadak kutuan mengikuti kemauan sohib gilanya untuk kabur dari acara upacara 17an sekolah dan malah menyusup ke markas komando elite militer demi melihat mendaratnya para pesawat tempur yang ber-akrobat dengan gagah dan kerennya.
"Mati gue kalo sampe ketauan, Ze! Fix! Lo sesatthh, sistah!" umpat Clemira, wajahnya secantik Eirene meski kelakuannya perpaduan Rayyan dan Eyi.
Zea tertawa, "lo juga sesat, friend! Sesama orang sesat ngga usah saling mengumpat! Ayo buruan," ajaknya melewati asrama dan pemukiman militer.
Namun apes seribu apes! Langkah mereka dihentikan seorang prajurit berpakaian lengkap dengan membawa senjata. Untung ngga langsung ditembak kaya burung pipit.
"Hey!"
"Ampun Om! Cle ngga ikut-ikutan!" seru Clemira menunduk berbalik tak berani memperlihatkan wajahnya seraya mengangkat kedua tangannya di udara, lain dengan Zea, si gadis ini begitu nekat, ia acuh-acuh cuek, meski tak urung ikut mengangkat kedua tangannya. Untung saja ia tak berkeringat sampe bikin keti basah sebasah kubangan di depan markas, wangi pula!
"Mamposss gue! Dihukum abi di kolam asrama lagi ini mah ah!" dumel Clemira.
Sagara, putra dari seorang panglima timur, si mata garuda bersama berlian dari timur, Faranisa. Dibesarkan di lingkungan militer, membuatnya mengikuti jejak sang ayah. Kini ia tengah bertugas jauh dari rumah.
Usianya masih terhitung muda, bahkan ia tercatat sebagai perwira termuda yang mampu melampaui batasan dapat duduk di kemudi pesawat tempur meski pengalaman terbangnya belum begitu banyak namun ia begitu memukau dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga pantas disejajarkan dengan seniornya, ia lulus SMA di usia 17 tahun, mengikuti sekolah dasar dan jenjang smp akselerasi.
"Ndan!" seorang prajurit berlari menghampiri saat Saga baru saja turun dari dalam pesawat tempur loreng kebangaan negara, pesawat yang sudah menaklukan dan menjatuhkan beberapa pesawat musuh termasuk merebut lanud (landasan udara) dari musuh.
Sagara setengah berlari, suara sepatu deltanya bak genderang perang untuk Clemira.
Clemira dan Zea duduk di rerumputan, "ini ngga ada tempat layak gitu, om?! Kasih kursi hajatan kek, atau bangku tukang cendol juga ngga apa-apa, pan tat aku dikerubutin semut nih!" omel Zea pada prajurit yang menangkap basah keduanya tengah mengendap-endap bak penyusup yang mau nyuri ikan asin.
Clemira sudah tertawa mendengar celotehan absurd Zea, aturan mah kalo ketangkep orang bersenjata begini pada tobatan nasuha, minta ampun, mewek sampe bikin banjir bah, tapi temannya itu malah minta kursi hajatan, "hahaha! Somplak, ngga minta sayur sop sama satenya sekalian?! Eh, ngomongin sop gue jadi laper, Ze. Balik dari sini jajan mie ayam yuk!" ajak Clemira.
Zea mengepalkan tangannya di depan Cle, "kuy!" Dan mereka bertos ria.
Prajurit di depan mereka sampai berdehem, "kalo kalian selamet dari sini! Kalo masuk bui, auto makan nasi tempe!" ucapnya.
"Ah, om lebay...emangnya kalo di bui ngga bisa dibawain mie ayam gituh? Lagian nama saya Zea bukan selamet!" jawab Zea.
"Bwahahaha!" tawa Clemira.
"Ssshhhh!" de sah prajurit itu sudah melotot, ingin sekali ia menyelotip mulut kedua gadis ini jika tak takut di sidang PM dan bukan anak orang berpengaruh.
"Abang Saga!" seru Clemira nyengir, lihatlah wajah Saga yang tak bersahabat, kayanya Saga lebih memilih sahabatan dengan nobita saja ketimbang dengan adik sepupunya Clemira.
Zea menoleh ke arah yang diteriaki Clemira, ia mengerjap hebat melihat sosok gagah nan dewasa abang dari Clemira, seumur-umur berteman dengan si cantik oon Clemira, Zea baru tau jika abang Clemira yang merupakan prajurit sewadidaw ini! Ia tau, kalo Clemira memiliki abang bernama Sagara tapi Zea tak tau jika yang namanya Sagara se-oase namanya.
"Wohooowww!" gumamnya terkagum menyipitkan mata tak peduli dengan nasibnya yang tertangkap ini.
Saga bahkan belum mengganti suit penerbang dari badannya, tapi adiknya ini, astaga! Minta diterbangkan ke Neptunus.
Prajurit barusan menghormat saat Sagara datang, "ndan!"
Saga mengangguk singkat.
"Lapor ndan, kedua gadis ini kepergok tengah menyusup dengan memanjat pagar paling rendah markas dan mengendap-endap di area sektor asrama," lapornya.
"Ya, saya mengerti. Biar ini jadi urusan saya. Salah satu dari mereka adalah adik saya, putri dari senior di marinir," jawab Saga.
"Siap ndan!"
Saga menukikan alisnya tajam seperti ingin menikam adiknya itu, "kamu ngapain lagi Cle?! Ngga kapok-kapok kamu, kalo abimu tau?!"
"Abang! Jangan kasih tau abi sama umiiii, pleaseeee!" Clemira bahkan sudah memeluk kaki Saga mirip si bulgoso kalo minta ikan asin sama marimar. Seperti biasa, gadis buaya ini akan menggunakan akal kancilnya merayu bak orang terdzolimi, si bulgoso versi bule depok.
"Kamu ngga tau, ini bakalan jadi masalah kalo sampe ke telinga atasan sama senior abang, ya Allah Cle?!" de sahnya frustasi, meski tak sampak menjambak rambut se-centinya apalagi jambak bulu ketek temennya.
Wajahnya teduh-teduh kaya payung, asik! Ajakin akad dong! Suaranya dalam sedalam palung hati, eaaaaa! Zea senyam-senyum anjayyy melihat Sagara. Sepertinya abang-abangan ini membuat hati Zea bak taman bunga bermekaran, dag-dig-dug kaya lagi nabuh bedug takbiran, Zea kelilipan pesona Sagara, dan jatuh cinta pada pandangan pertama pada abang Clemira ini.
Hah! Hah!
Selagi Clemira lagi sujud- sujud sambil mohon-mohon macam mencari surga di telapak kaki ibu pada Saga, gadis ini justru menghembuskan nafasnya ke telapak tangan, barangkali bau bang kee.
"Emh, wangi lah! Untung abis nyemil melati!" Jiahahaha!!!! Zea terkikik sendiri.
"Abang-----kenalin namaku Zea Arumi, temennya Clemira," Zea mengulurkan tangannya pada Saga yang langsung dipandang dengan kerutan di dahi Saga.
"Tangan Zea bersih kok, bang. Ngga ada corona'nya!" jelasnya lagi.
"Saya ngga peduli." Jawab Saga.
"Kamu berdua ikut abang ke lapang asrama, biar abang yang hukum kamu sama temen centil kamu ini!" desis Saga lirih melirik Zea yang masih memasang tampang manisnya sepaket lesung pipi.
"Dihukum bang? Ngga mau! Cle ngga mau abang...." jerit Clemira semakin keras meraung-raung mirip orang kena rampok.
"Wuhuuuu! Asiap abang ganteng! Mau dihukum apapun Zea terima dengan hati ikhlas, ayok Cle! Itung-itung kita bakar kalori, barusan kita kan jajan junkfood?!" ajaknya dengan semangat 45.
"Sebagai pemuda, generasi penerus bangsa kita ngga boleh males-malesan!" ujarnya diplomatis dengan mengepalkan tangan.
Saga mengernyit semakin keruh, lebih keruh dari air kopi, "apa? Kamu jajan junkfood?! Kamu ngga sekolah, Cle?!" tanya nya bernada semakin geram, Clemira menganga dan menghentikan raungannya, "o--o!"
"Cut Daliya?!" tanya Saga.
"Jamillaaaaaahhhhhh ember!" teriak Clemira pada Zea Arumi Jamilah yang sontak menutup kedua telinganya.
.
.
.
.
.
Catatan si teteh author 😍
Cung yang bestie'an sama aku?☝️
💞 Bacalah dari awal hingga akhir, no skip-skip ya guys karena ini karya bukan bon hutang, dihayati kaya lagi baca surat cinta dari sang pujaan hati.
💞 Budayakan like setiap episode dan klik tombol minta update di akhir bab.
💞 WARNING! Jangan dibanding-bandingkan dengan kenyataan, karena jelas ini hanya cerita fiktif belaka, yang hanya ada di dunia halu si penulis.
💞 Tidak untuk menyinggung atau mencolek institusi/lembaga tertentu, murni imajinasi.
💞 Bijaklah dalam berkomentar guys🙏, karena jempolmu mencerminkan bagaimana kepribadianmu.
.
.
.
.
.
Potret Sagara dari waktu ke waktu selalu dibingkai indah dalam potret yang Fara pajang di rumah.
"Abang Saga, keren! Kira-kira beli pesawat tempur gitu berapa ya bang?" matanya memantau sang putra dari kejauhan, tentu saja dengan rasa bangga.
Dibalik balutan baju kebesarannya ada jiwa seorang ayah dua orang putra yang melirik aneh pada istrinya.
"Buat apa tanya-tanya?" Al Fath membuka kancingnya satu persatu, ia baru saja selesai melakukan upacara kemerdekaan negri di resimen pusat timur. Sementara Fara langsung menyalakan televisi demi menonton aksi gagah sang putra, ia tak mau melewatkan satu detik pun dimana Saga mengucapkan dirgahayu di ketinggian beberapa ribu kaki meskipun hanya beberapa detik saja.
Rasa rindu yang membuncah bikin emak gila! Ternyata begini rasanya jadi umi Salwa dulu saat ditinggal para putranya bertugas, lebih sakit dari ditinggal kekasih.
"Mau beli! Biar kalo ke pasar ngga macet pake begituan," jawabnya ngasal.
Kintan melipat bibirnya, ia sudah tak aneh dengan ocehan absurd atasannya itu.
Tangan Fara mengambil ponsel miliknya untuk menghubungi Sagara di ibukota, "ngga adil lah bang! Kita mah kaya dibuang gini ih! Dek Ra sama Dewa di ibukota, Eyi sama Ray di ibukota juga, sekarang anak kita juga ikut-ikutan!" omelnya berdecak melihat ponselnya memicing, ponsel kita end! Saga tak mengangkat panggilan emaknya. Ya jelas lah, wong dia sedang nyetirin pesawat mana boleh bawa gadget.
"Rick, Kalingga belum pulang?" tanya Fath menanyakan putra keduanya Teuku Kalingga Ishwar.
"Siap, belum ndan! Apa perlu saya telfon Sertu Irawan?" tanya Frederick dari depan teras.
"Ngga usah, biar saja." geleng Al Fath.
"Paling Lingga lagi urus perlombaan di sekolahnya, bang. Biar aja, dia kan ketos!" Fara berlalu masuk kamar untuk mengganti pakaiannya.
"Abang mau bikin kopi sekarang?" teriak Fara kaya mon yet di hutan.
"Boleh," jawabnya mencari tempat duduk di samping Frederick.
"Kamu, kalo mau duluan ke lapang batalyon, duluan saja Rick. Biar nanti saya dan ibu menyusul." Ucap Al Fath, kepingin ngaso dulu sebelum melanjutkan acara di batalyon.
"Abang! Udah abang ih! Capek! Cle bukan serdadu!" teriak Clemira mengelap lelehan keringat yang seperti mandi. Disaat para penghuni resimen markas besar melaksanakan beberapa perlombaan di lapangan utama, perwira muda ini malah mengurus kedua gadis absurd ini di puslatpur.
Lain hal dengan Clemira yang sudah ngos-ngosan, nafasnya saja sudah sabtu-minggu nunggu ditimpuk dikit tinggal manggil ambulan bawa keranda, Zea justru lebih bersemangat, tak tau jiwa nasionalismenya yang tinggi atau memang gadis ini setengah ngga waras, "abang ganteng! Lamain lah hukumnya!" ia berlari kecil nan pelan biar bisa mandangin si ganteng kalem Sagara, ia bahkan berlari berbalik saat posisi Saga di belakangnya, tak mau melewatkan sedetik pun memandang Saga biar wajah gantengnya ngga mubadzir dianggurin.
Clemira sudah ngos-ngosan.
Grep!
Ia menarik belakang baju Zea, "buruan peak! Ngga usah rayu-rayu abangnya Cle?! Dia mah kebal sama cewek modelan amplop kaya lo! Ya tipis, ya nempel-nempel bikin lengket lagi," Clemira menarik Zea.
"Cle argghhh! Diem ih, jangan cepet-cepet! Gue mah rela dihukum lama-lama, biar bisa mandangin abang lo. Lo gitu ya! Punya abang ganteng ngga bilang-bilang!" desisnya sambil berlari memutari lapangan, bersampingan dengan Clemira.
"Cle udah bilang dulu sama lo, kalo Cle punya abang sepupu tentara ganteng, tapi lo'nya ngga percaya, katanya musrik percaya sama Cle!" dengus Clemira. Ngga di rumah ngga di sini, bawaannya dihukum terus! Apakah wajahnya wajah pendosa?! Clemira mencebik.
Kedua gadis ini sudah bermandikan keringat, lalu Clemira dan Zea duduk di bangku besi pinggiran lapang.
Saga memberikan dua botol air mineral tak dingin, membuat Clemira menatap sengit, "air putih biasa, ngga ada yang dingin apa?!" sungutnya, padahal Zea sudah meneguknya hingga setengah kosong tanpa ba bi bu, "kenapa ngga minta sirop cocopandannya sekalian Cle?"
"Kalo gini caranya, gue mau daftar akmil lah! Yuk Cle daftar!" ocehnya. Clemira mendorong kepala Zea sambil menyemburkan tawanya, "sakit lo?! Ogah! Tentara bikin kulit item, mau lo kulit lo kebakar kaya kena azab?!" sengit Clemira.
"Lo yang sakit, mana ada kaya kulit kena azab, nah itu tante Eyi bisa suka sama om Rayyan, kalo tentara jelek semua berarti lo ngga akan tercipta sistah! Nah ini abang ganteng?! Bukan kebakar tapi eksotis!" Zea memanjangkan lengan mulus nan putihnya ke depan.
Kedua gadis ini malah berdebat tentang kulit prajurit langsung di depan para prajurit enteng tanpa beban, atau takut mereka menodongkan senjatanya ke arah kepala keduanya, bawahan Saga sudah tertawa tertahan padahal Saga diam kaya patung pancoran. Daripada gibahin di belakang, lebih baik gibahin di depan orangnya langsung, right?! Biar ngga timbul fitnah keji.
Saga maju lalu menjedotkan kepala kedua gadis di depannya yang cukup berisik ini, "pulang! Berisik, pusing abang dengernya!"
"Abang ngga niat anterin kita gitu?" tanya Zea tersenyum simpul.
"Saya sibuk. Ada acara, pulang sana! Jangan pernah sekali-kali lagi kaya begini, kali ini abang toleransi, kalo besok-besok abang bakal nyerahin kalian langsung ke komandan!"
"Ck, iya ah!" Clemira mendengus dan beranjak.
"Yahhh kok pulang?! Pulang ke mess abang boleh engga?!"
"Ga!" panggil seseorang menyusul.
"Ndan, maaf...saya telat. Ada masalah sedikit,"
"Ngga papa!" ia terkekeh melihat kedua gadis ini, "yang putrinya Letnan kolonel Rayyan mana?"
Clemira menunjuk dirinya, "saya pak. Eh om,"
Ia terkekeh, "salam buat Letnan kolonel Rayyan, dari mayor Anka."
Clemira mengangguk, "ini?!" tunjuknya pada Zea. Ia mengernyit tak asing, "perasaan pernah ketemu?"
Zea hanya memalingkan wajahnya mencoba untuk menyembunyikan keseluruhan wajahnya.
"Ini putri bungsu dari pak Rewarang----" Zea membekap mulut Clemira.
"Saya cuma anak biasa om, bukan siapa-siapa yang mesti dikenal, mungkin muka saya pasaran. Anak tukang jualan es selendang mayang," akuinya berbohong. Clemira menatap tak percaya jika Zea menyamakan ayahnya yang seorang menteri dengan tukang es, "kualat lu," gumamnya.
"Kalo gitu Cle pamit bang," ia menarik Zea dari sana untuk pulang. Zea melihat sekilas ke arah kapten Ankara dengan wajah gugup lalu kemudian menatap Sagara dengan senyuman saat Saga pun menatap wajah cantik Zea.
Zea meniti anak tangga rumah besarnya yang bak istana itu dengan wajah lusuh dan malas, tas yang ia gendong saja sudah ia lempar begitu saja ke atas sofa.
Ia selalu menyembunyikan identitas sang ayah dari teman-teman atau sekitarnya, menurut Zea jadi anak menteri itu terkadang bikin risih, orang-orang tuh ngga tulus temenan sama dia, bahkan untuk sebagian orang dengan kadar akhlak yang kurang, sering memanfaatkan Zea untuk kepentingan politik dan bisnis pribadi.
"Ze, udah pulang nak?!" teriak mama Rieke.
"Orangnya masih di luar! Ini yang pulang khodamnya!" jawab Zea dari lantai atas, mama Rieke tertawa, "suka ngaco ah! Makan dulu! Nanti asam lambung kamu naik lagi,"
"Mama tumben udah pulang? Kirain masih foto-foto sambil haha-hihi bareng menteri lain atau ibu negara?"
"Udah kok, kamunya aja yang lama. Kemana dulu sih?!"
Zea sudah mengganti pakaiannya dan turun, "liatin cowok ganteng!" ia duduk di ruang tengah dan menyalakan televisi, "papa mana?"
"Papa langsung ke kantor, katanya sih kementrian ngadain lomba atau apa ya lupa,"
Zea mengangguk setuju mengambil toples ciki balado, "Ze, sayangggg..." panggilnya lembut.
"Ya ma?"
Plukk!
Mama Rieke menjatuhkan begitu saja tas ke pangkuan putri bungsunya, "tas kamu taro! Atau mama buang?!" pelototnya geram pada sang putri, Zea malah tertawa dibuatnya.
"Kebiasaan deh ah! Kalo naro tuh jangan berantakan gini kenapa sih, udah berapa kali mama bilang kalo naro barang-barang tuh pada tempatnya, mama ngga suka ah liat berantakan!"
Dan yap! Meledaklah omelan mama Rieke yang begitu panjang kaya cacing pita, putri bungsunya itu memang selalu mancing-mancing kemarahan emak.
.
.
.
.
.
Senakal-nakalnya Zea, ia tetaplah anak yang suka bangun subuh buat setor muka sama Sang Pencipta katanya karena ngga mau namanya di depak dari bangku calon penghuni langit, ia juga takut jika setiap do'anya dimasukan antrian tunggu kalo sampe ngga ibadah, meskipun abis itu balik lagi nung ging di kasur.
Gadis dengan piyama navy bermotif bintang ini masih bergulung di kasurnya mirip sostel.
"Ze, mana mam?" tanya papa Rewarangga dengan secangkir kopi di tangannya matanya masih terasa sepet jika belum melihat si bungsu turun dan membuat kehebohan rumah, berasa jika sarapannya itu ada yang kurang.
"Biasa----anak papa kan mesti liat mama'nya mode reog dulu, baru bangun...." jawab mama menyendokan nasi ke dalam piring papa dengan kalem dan cantiknya sebelum nanti ia akan berubah jadi nenek gayung ketika menghadapi Zea si bungsu. Zico sang kakak yang sama-sama bekerja di kementrian hanya saja berbeda badan kementrian sudah siap dengan pakaian seragamnya, Zico sudah terjun ke dunia kerja sejak usianya masih muda.
"Mama harus tegas sama Ze, ngga bisa gitu terus...." ujar Zico duduk bergabung. Mama menggeleng, ia sudah angkat tangan dengan kelakuan Zea. Zico beranjak dari duduknya sebelum benar-benar mengambil nasi, kemudian melangkah ke kamar atas menuju kamar adik kesayangan. Sebagai seorang kakak ia pun memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan membimbing adik satu-satunya itu.
Zico membuka pintu kamar Zea yang tak pernah ia kunci dan menemukan ulat gonggong sedang terlelap nyenyak, Zico membuka setiap lembaran tirai agar terang.
"Ze---Ze...mau jadi apa kamu, jam segini belum bangun. Sekolah kamu tuh jam 7, ini udah siang Ze, mau bangun jam berapa kamu, Ze?!" ucapnya hanya dibalas kunyaha absurd dari adiknya, nyemnyemnyem...entah apa yang sedang ia kunyah.
"Ayok bangun!" tangan Zico terulur mengangkat tubuh adiknya yang menggeliat, "aduhhh ini apa sih, mas Zico!" mata Zea bahkan masih terpejam ketika tubuh kecilnya di gendong Zico turun.
Lelaki dengan brewok-brewok tipis nan rapi ini mendengus, "malah kaya di nina boboin kamu!"
Mama dan papa sampai melongo di tempat melihat Zea yang digendong oleh Zico, "astagfirullah, ck---ck! Ze!"
"Mau dibawa kemana adik kamu, Zi?"
Udara pagi yang dingin tak membuat Zea lantas membuka mata, karena buaian mas-nya, dan tiba-tiba.
Byurrr!
"Aaaa, mas Zico ihhh!" Zea langsung melotot dan tergelonjak di dalam kolam renang, ia benar-benar membuka matanya lebar-lebar.
Mama dan papa tertawa di tempatnya, "ampun!"
Zico terkekeh kecil, "udah seger? Bisa liat langit ngga? Udah terang kan?! Biar sekalian mandi, abis itu sekolah!"
Matanya menatap sengit ke arah kakaknya, "mas Zicoooo ihhhh! Dinginnn! Zea mandi tapi ngga di kolam juga kaya putri duyung ah!" Zea mencipratkan air ke arah Zico namun lelaki itu berhasil menjauh duluan menghindari amukan Zea.
Zea memasukan baju untuknya berlatih ekskul dance di sekolah, lalu turun dari kamar dengan tas berwarna ungu-ungu gemesh.
"Hari ini ada ekskul?" tanya mama diangguki Zea, "nanti pulang mau dijemput supir jam berapa?"
Mama melipat roti gandum untuk bekal Zea nanti dengan selai kacang dan coklat lalu memasukannya ke dalam kotak makan.
"Jam 5 aja."
"Pak Cokro!" panggil mama kencang, hingga seorang berpakaian rapi menghampiri, "iya bu,"
"Nanti jangan lagi mau-maunya kasih kunci mobil ke anak ini!" tunjuk mama pada Zea mendesis.
"Iya bu, maaf." Pak Cokro meringis mengingat kejadian lalu, saat ia mengabulkan permintaan nona kecilnya itu untuk membawa mobil, alhasil ia pun ikut masuk rumah sakit bersama mobil masuk bengkel dan menghabiskan tak kurang dari 10 juta. Padahal kalo disedekahin, bisa kasih beras satu rt!
Zea berjalan memasuki gerbang sekolah dan berdadah ria pada pak Cokro, takutnya nanti kangen.
Supirnya itu sudah tak aneh lagi dengan kelakuan ajaib si anak majikan, apalah ia yang tak punya beban menanggung perut anak--istri, mau goyang itik kecengklak di jalan juga bebas-bebas aja!
Zea masih mengunyah permen karetnya saat menurunkan earphone dari telinganya, kaos kaki panjang hingga menutupi batok lututnya tak sampai berbatasan dengan ujung rok yang berada di atas lutut.
Tangannya menarik elastisitas permen karet yang sudah tak manis lagi semacam janji mantan, dengan santainya Zea memeperkan itu di atas jok motor begitu saja yang entah milik siapa saat melewati parkiran sekolah dimana kendaraan bermotor maupun sepeda berderet mirip di showroom motor, pokoknya ia milih motor paling jelek aja!
Untuk urusan masuk sekolah ia jarang terlambat, karena etos kerja pak Cokro patut diacungi jempol, ia begitu disiplin waktu dan sat-set bawa mobil persis pembalap Nascar. Mungkin besok lusa Zea akan mendaftarkan pak Cokro di ajang balapan formula 1 saja atau masukin nama pak Cokro di squadnya Dominic Toretto, di serial Fast and Furios gantiin Bryan O'conner.
"Hay, Ze baru datang?" sapa siswa yang cukup memiliki nama diantara siswa-siswi famous disana menyadarkan kediaman Zea, membuat gadis ini melirik sekilas.
Zea tersenyum manis, "baru mau pulang!" jawabnya terkekeh.
"Haha bisa aja becandanya! Mau ke kantin ngga? Aku traktir deh!" ia menyamakan langkahnya berada di samping Zea, saat Zea berjalan menuju kelasnya.
"Boleh, tapi borong sekantin ya?!" sebenernya ia malas menanggapi rekan terong-terongan, namun Zea percaya ucapan orangtua dulu jika lidah memang tak bertulang dan lebih menyakitkan ketimbang pisau belati, seseorang yang hatinya tersakiti memicunya untuk balas dendam, dan Zea tak mau itu. Ditambah jaman sekarang, banyak manusia milenial yang nekat kriminal hanya karena sakit hati, terlebih generasi muda jaman sekarang yang akhlaknya bikin ngelus dadha.
Dean tertawa renyah hingga matanya menyipit dan menampakan lesung pipi di kedua sisi pipinya, sebenarnya Dean itu tampan nan keren untuk ukuran siswa remaja, namun sayangnya Zea tak tertarik.
"Boleh, apapun yang Zea mau, aku penuhi!"
Zea bahkan sudah muntah dari tempatnya, hah! Dasar biji salak! Ia memutar bola matanya.
Clemira baru saja sampai, hingga alisnya berkerut saat seorang guru heboh di parkiran membuat suasana sedikit riuh.
"Ada apa?" colek Clemira pada sesama siswa yang melihat juga, si bapak killer lagi ngomel-ngomel persis paman donald bebek di balik kacamata tebalnya.
"Itu, si pak Bahrul ngambek! Katanya ada orang usil naro permen karet di jok motornya, ngga sengaja kedudukin sama si bapak!" jelasnya, Clemira beroh singkat lalu melanjutkan tujuannya, "kirain apaan, heboh amat! Lagian siapa juga yang usil, rajin amat!" gidiknya acuh.
Clemira menemukan sohib setanah airnya itu sedang duduk, bukan di bangku mereka namun di atas meja rekan sekelas, memang kebiasaan Zea yang duduk di meja orang sambil ongkang-ongkang kaki mirip kuntilanak sambil gosipan, meski begitu yang digosipin ya game online! Percaya atau tidak, Zea pemain game online yang tengah viral.
Kadang Clemira heran dengan Zea, sering main game namun ia siswi yang cukup pintar.
Clemira bergabung, "Guru tercinta tuh lagi heboh!" imbuhnya memberi informasi menyenggol bahu Zea. Zea menoleh, "siapa?"
"Pak Bahrul lah! Guru kesayangan lu, teman debat sehidup semati," jawab Clemira merebut earphone dari leher Zea lalu memakainya tanpa permisi ataupun ijin.
Kendati begitu, Zea tak marah, karena memang sudah terbiasa, ia dan Clemira bak ginjal dan batunya yang tak terpisahkan.
"Kenapa?"
"Katanya ada orang usil yang naro permen karet di jok motornya terus ngga sengaja dia dudukin, lagian jadi guru galak, pantes lah pada ngga suka sampe diusilin!" ucap Clemira.
"Oh!" Zea hanya berohria tak ingat.
"Ketemu orangnya? Siapa emangnya?" tanya Zea lagi. Clemira hanya bisa menggidikan bahunya seraya melengkungkan bibir, "mana Cle tau! Orang yang sebel kali sama si bapak,"
Zea mengangguk-angguk setuju, "hm kayanya sih."
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!