Aku tidak terlalu ingat wajah Mbah Rangga terakhir kali, tapi untuk usia 110 tahun, Mbah ku ini lumayan bugar. Dan itu menurutku tidak masuk akal. Lebih ke mengerikan, malah. Rasanya sesak saat semakin mendekat padanya. Aku seketika diliputi kecemasan tak berdasar yang aneh.
Mbah Rangga berdiri dan menyambut kami berdua sambil merentangkan tangannya. Entah bagaimana, aku langsung diliputi perasaan tidak enak. Ada yang salah dengan Mbah Rangga ini, tapi entah apa tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.
Aku merasakan sebuah tangan memeluk pinggangku dan menahanku untuk maju lebih dekat.
Ariel.
Wajahnya mengeras saat melihat Mbah Rangga. Ia menahanku tubuhku agar berhenti. Dahinya mengerut seakan ia sedang menilai sosok di depan kami ini berbahaya atau tidak. Dan dari remasan nya di pinggangku, aku bisa menilai kalau dia juga merasakan hal yang tidak beres terhadap Mbah Rangga.
Pakde Sasongko, anak tertua Mbah Rangga menghampiri kami dengan kursi rodanya, “Maju saja Nduk, kalian akan direstui untuk menikah,” desisnya dengan suaranya yang bergetar tanda lanjut usia.
"Bukankah seharusnya ada Pengajuan Dispensasi Menikah dulu ya, karena aku belum 19 tahun," desis Ariel.
"Sudah diurus sejak minggu lalu," sahut Pakde Sasongko.
Kami berdua tidak ada pilihan lain.
“Hati-hati...” bisik Ariel sambil menunduk dan berbisik di samping telingaku.
Kami berdua selama ini jarang sekali melihat Mbah Rangga. Bahkan ini pertama kalinya kami sedekat ini dengan beliau.
Mbah Kakung mendekati kami berdua dan menepuk-nepuk bahu kami.
Aku merinding.
Karena setelah dekat begini, aku semakin merasakan keanehan. Untuk manusia dengan usia lebih dari 100 tahun, ia masih kuat berdiri. Dan bahkan masih segar bugar tampak lebih muda dari anak-anaknya.
Juga, seringainya yang tidak normal. Rautnya yang tampaknya senang menatap kami, di mataku sangat mengerikan. Seperti ada yang menggunakan tubuhnya untuk tetap berdiri.
“Dua Ariel...” katanya.
Aku menarik nafas tanda cemas. Dia bilang barusan, Dua Ariel. Jadi memang dia sudah tahu kami akan dinamakan seperti itu.
“Kalian berdua berbeda dari yang lain,” katanya. “Aku teringat dulu saat aku sama-sama tertawa dengan Rejo. Dia cerita cucunya di Scotland dinamai Ariel Clodio. Artinya Singa Tuhan untuk Kemenangan. Yaaaa, aku langsung tertawa, karena aku juga punya cucu namanya Ariel Claudia hahahahah!”
Tawanya membahana di telinga kami, kami tidak ada yang berani bicara.
“Mungkin itulah Takdir. Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Benar?! Nama kalian sebagai penanda kalau kalian saling memiliki satu dengan satu yang lain.”
Aku mendengarkan sambil menunduk, aku tidak kuat melihat wajahnya.
Ada perasaan takut yang aneh melandaku.
“Dengar, anak-anakku, cucu -cucuku,” ujar Mbah Rangga sambil menegakkan tubuhnya, “Pernikahan yang akan terjadi ini adalah simbol persaudaraan kita. Sepeninggal saya terhadap urusan duniawi, saya harap semua tetap berjalan dengan bersinergi. Jangan sampai rasa persaudaraan antara keluarga Ranggasadono dan Rejoprastowo putus begitu saja,”
Saat dia berbicara, kami semua diam. Suasana di aula besar itu hening seketika.
“Kami memilih keturunan ketiga untuk simbolik agar darah yang mengalir tidak terlalu jauh nasabnya. Saya harap keikhlasan kalian berdua terhadap acara ini, pemakluman kalian berdua,” sekali lagi Mbah Rangga menepuk-nepuk bahu kami.
Seandainya dia tahu kami melakukan semua ini demi uang...
**
Mbah Rangga yang jelas akan jadi wali Nikahku. Karena Ayahku sudah meninggal. Jelas Mbah Rangga memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkan. Dalam hal ini, berarti Aku.
Apalagi, kondisi Mbah Rangga dianggap sesuai dengan syarat wali nikah secara nasab, yaitu adalah laki-laki, beragama Islam, baligh, berakal, dan adil. Namun aku agak ragu dengan kata-kata berakal dan adil. Maksudku... apakah pernikahan ini adil bagiku? Bagi Ariel? Sementara, Pak Aaron, ayah Ariel, menarik nafas dan menahannya dengan gugup saat melihat Mbah Rangga yang tampak sumringah.
Sama dengan kami, ia juga waspada.
Penghulu kemudian bertanya, "Saudara Ariel Clodio Rejoprastowo, apakah Anda setuju untuk menerima Saudari Ariel Claudia Ranggasadono sebagai istri dengan seperangkat alat sholat dan Emas Batangan seberat 240 gram?”
Aku hampir saja bersorak.
Emas Batangan 240 gram? Aku mengintip ke kotak di atas meja.
Iya, isinya dua lempengan emas batangan 100 gr berbalut laminating khas Antam, dan empat emas batangan dengan chasing antam 10 gr. Jumlahnya disesuaikan dengan usiaku, 24 tahun.
Siapa yang berencana memberiku Mas Kawin semewah itu?
Jelas bukan Ariel.
Apakah Pak Aaron, Bapaknya Ariel?!
Kulihat dia sendiri tampak mengernyit memandang isi kotaknya. Lalu ia menatapku sambil bilang ‘wow’.
Jadi tampaknya bukan dia.
Lalu siapa?!
“Ya, saya setuju dan bersedia.” Jawab Ariel tegas.
Pak Penghulu menanyakan kalimat yang sama itu sebanyak dua kali lagi. Dan di saat terakhir, Ariel akhirnya berani menatap Mbah Rangga dengan sinis, sambil bilang setuju. Seakan anak itu menantang beliau.
Ah ya... emas batangan.
Khas Mbah Rangga dan Mbah Rejo.
Emas yang mereka temukan, ada di halaman belakang rumah. Terbagi dua, antara rumah Mbah Rangga dan setengahnya lagi di area halaman rumah Mbah Rejo.
Apakah emas yang jadi Maharku ini milik Mbah Rejo?
Dan... yang jadi perhatian kami, Ariel duluan yang mengulurkan tangan ke Mbah Rangga.
Mbah Rangga sambil terkekeh, jujur saja suara dan mimik mukanya tidak mengindikasikan beliau ini berakal, tapi mana bisa kubuktikan? Ia pun meraih tangan Ariel dan mengucapkan Ijab.
Dan selanjutnya dengan lancar Ariel mengucapkan kalimat kabul.
**
Astaga...
Aku sudah menikah.
Ariel di depanku, dengan balutan seragam SMA-nya, tampak menelungkupkan kepalanya ke meja sambil bergumam, “Masa mudaku telah hilang...”
“Nggak juga kali, orang kita tinggal misah. Situ masih bisa pargoy kok,” bisikku
“Kalau Bu Guru hamil kan otomatis aku suami siaga,”
“Awas saja kalau kamu berani iseng,” gumamku.
Terdengar kekehannya, suara yang mengganggu telingaku. Tapi sebagai seorang Guru SMA, tingkahnya ini memang tipikal cowok seusianya. Yang suka mencoba hal-hal baru, semakin berbau ‘neraka’ semakin dianggap seru. Kalau mau diperpanjang sih aku sudah menganggap Cat Calling atau rayuan saat mengajar sebagai pelecehan, Tapi berapa banyak yang harus kujebloskan ke ruang BK kalau begitu caranya.
Kusadari,
Cowok bule bengal ini lumayan cerdas, dia bahkan bisa mengucapkan kabul dengan lancar..
Sekali lagi, Mbah Rangga mendekati kami.
Aku menghela nafas untuk menguatkan debaran jantungku. Aku benar-benar tidak merasa nyaman saat dia mendekat.
“Aku lega rasanya. Berhasil kunikahkan keturunan terakhir dari sahabatku. Janjiku sudah terlaksana. Terima kasih ya Le, Nduk,” kata Mbah Kakung sambil tersenyum tipis.
Kami berdua tertegun.
Begitu senangkah beliau ini?
Kalau dipikir-pikir, memang selama ini tidak ada dari keturunan Mbah Rejo yang menikah dengan Keturunan Mbah Rangga sih. Entah kenapa... Mungkin saking eratnya kekerabatan kami, jadi seperti kami menikahi sepupu sendiri, padahal tak ada ikatan darah.
Mbah Rangga mendekat dan berbisik, dengan suara yang hanya bisa kami yang mendengarnya. “Setelah sekian lama kutahan tubuh ini agar tetap bisa berdiri dengan tegap sampai prosesi pernikahan ini, penyatuan dua keluarga ini. Tinggal prosesi terakhir, maka aku bisa pergi menyusul kekasihku...”
Seketika aku meremang.
Apa maksudnya barusan?
“Kalian tidak diizinkan berpisah, atau emas itu akan lenyap tak bersisa. Aku menemukan harta itu bersama dengan Rejo. Emas itu ada karena persatuan kami yang erat. Kalau sampai kalian bercerai, emas itu juga akan hilang.... dengan kata lain, kebangkrutan akan melanda semua keturunan,”
Kami diam mencerna semua perkataan Mbah Rangga.
Kami diam karena takut.
Sampai Ariel berbisik, “Pesugihan model apa yang kalian jalani?” suara menggeram tanda kemarahan. Aku memang sudah menduganya tapi aku berusaha tidak terucap di mulutku. Tapi si Ariel ini tampaknya lebih berani mendebat Mbah Rangga.
“Khehehehehe, bukan pesugihan, cucuku. Tapi perjanjian berdarah,” suara Mbah Rangga berubah. Itu bukan suaranya... suara bernada ceria yang kami lebih familiar mendengarnya.
Suara Mbah Rejo.
“A-akung?” gagap Ariel sambil menegakkan tubuhnya, Tapi Mbah Rangga langsung mencengkeram lehernya dan memaksanya menunduk lagi.
“Heh, anak semprul,” geram Mbah Rangga, yang tampaknya sedang diambil alih tubuhnya oleh Mbah Rejo. “Pengacara sudah kutunjuk agar kalian tidak bisa ke mana-mana lagi. Perbuatan kalian akan berdampak ke seluruh keluarga. Prosesi terakhir, darah keperawanan Ariel Claudia akan membuat kami bebas,”
“Darah... apa?” Aku emosi. Aku menepis tangan Mbah Rangga. “Apa maksudnya itu Mbah?!” seruku kesal.
Mbah Rangga menegakkan tubuhnya dan menatapku dengan menaikkan dagunya. “Aku harus benar-benar yakin Ariel menikahi kamu seutuhnya. Kamu sudah menjaga kesucianmu kan? Aku sudah pastikan kau suci selama ini lewat orang-orangku. Bawakan padaku darah perawanmu, ingat, hidungku ini bisa mengendus bedanya darah perawan, darah haid, dan darah segar hasil sayatan,”
Ariel maju ke depanku, melindungiku.
“Kami minta porsi lebih besar untuk pengorbanan kami,” kata Ariel.
Aku ternganga.
Bisa-bisanya di saat seperti ini yang ia pikirkan hanya uang!
Kudengar, orang-orang di belakang kami juga menjadi riuh karena ucapannya barusan.
“Sudah kuduga kau selicik ini, kau memang keturunanku yang paling mirip diriku, Kehehehehehe,” suara Mbah Rejo lagi. Seakan Mbah Rangga memiliki dua kepribadian dalam satu tubuh. “Tenang saja bocah ingusan, aku dan Rangga sudah mengaturnya,”
Dan Mbah Rangga -atau Mbah Rejo, kini aku juga bingung- memberikan kode ke dua pengacaranya untuk menggiring kami berdua menjauhi kerumunan.
“Apa yang terjadi barusan? Sialan!! Dia kesurupan atau bagaimana??” seru Ariel sambil berjalan di sebelah pengacara Mbah Rangga.
Aku mengikuti mereka di belakang sambil memeluk kedua lenganku yang kedinginan. Kedinginan karena merinding.
“Sabar ya Mas Ariel...” desis Pak Abet sambil mengelap dahinya dengan tissue. Tubuh bongsornya yang dibalut jas mahal tampak berjalan dengan langkah terburu-buru sekakan waktu adalah uang. “Kami memegang laporan dari psikiater Mbah Rangga. Tapi kami tidak yakin kalau ini sepenuhnya kondisi psikologis. Ada hal-hal yang tidak bisa diukur dengan nalar juga,”
“Maksudnya bagaimana?”
Pak Jason, pengacara satunya yang tampak lebih muda dan necis, membuka salah satu kamar dan mempersilakan kami masuk ke dalam. Kamar yang ditata bagaikan kamar pengantin baru.
Lalu ia duduk di salah satu sofa sambil menegakkan punggungnya dengan tegang menatap kami berdua.
Kami menolak duduk.
Karena kalau sudah tidak masuk akal, kami akan lebih mudah kabur dalam posisi berdiri.
“Begini...”
“Fokus kita saat ini, adalah kesehatan mental Mbah Rangga semakin parah setelah Mbah Rejo meninggal. Dia depresi seperti kehilangan setengah jiwanya. Tahu kan kalau dulu itu mereka selalu bersama, sampai-sampai istri-istrinya mereka saja cemburu. Mbah Rangga tidak menangis saat istrinya meninggal, tapi saat Mbah Rejo meninggal dia bagaikan kehilangan arah,”
“Mbah Rangga mulai muncul dengan sosok berbeda. Kadang perilakunya seperti Mbah Rejo. Orang-orang bilang beliau kesurupan arwah Mbah Rejo, tapi Diagnosa dari Psikiater adalah... Gangguan identitas disosiatif,”
Aku dan Ariel mengangkat alis, “Kepribadian ganda?!” seru kami kaget.
“Gangguan jiwa yang disebabkan oleh trauma parah, umumnya trauma sejak masa kanak-kanak. Masing-masing kepribadian dengan ingatan sendiri, kepercayaan, perilaku, pola pikir, serta cara melihat lingkungan dan diri mereka sendiri,”
“Tapi dia benar-benar berperilaku seperti Mbah Rejo barusan!” seru Ariel.
“Mereka selalu berdua, Mas. Ingat? Mereka pasti hafal sifat masing-masing, perilaku masing-masing, Bahkan banyak rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu,”
“Yakin, Pak??” ujarku. Aku merasa kondisi ini sulit dipercaya, karena baru kali ini aku mendengar kalau Mbah Rangga memiliki trauma mental yang cukup ekstrim saat masih kanak-kanak, atau mungkin kasus dalam Mbah Rangga ini tergolong spesial karena menyerang saat beliau dewasa? Yang jelas rasanya aku lebih percaya kalau dibilang kesurupan daripada gangguan jiwa.
Aku memang akademisi, tapi aku juga percaya gaib, seperti Tuhan dan Makhluk lain yang tak kasat mata.
“Yang jelas begini, Mbak Ariel... Mbah Rangga sudah menghibahkan beberapa ruko, rumah mewah, dan sejumlah uang untuk bekal rumah tangga kalian. Di luar warisan. Jumlahnya sangat besar. Yang perlu kalian lakukan adalah menjalani peran ini sebaik mungkin,”
“Cinta bisa datang belakangan Mbak, Mas, setelah berumah tangga. Yang penting kebutuhan sehari-hari kalian terpenuhi. Belum tentu sama yang lain kalian akan se-sejahtera ini,”
Aku melotot kesal ke Pak Abet. Enak saja dia bilang begitu. Memangnya dia mau dijodohkan dengan wanita yang tidak ia inginkan?! Ini urusan setiap hari bertemu dengan orang yang sama di pagi hari dan di malam hari, loh! Mana bisa kalau bukan dengan orang yang disukai. Bisa-bisa malah aku yang jadi gangguan jiwa!
“Tunggu!” desisku teringat sesuatu. “Itu... apa maksudnya dia minta darah perawan saya?”
Semua di ruangan itu mendadak hening.
“Eeeeh, jadi...” Pak Abet dan Pak Jason saling bertatapan sambil mengernyit tak enak padaku.
**
“Pelan-pelan Brengsek!!” reflek aku mendorong bahu Ariel dengan kakiku. Ariel menahan tubuhku dan mendesakku ke dinding. Kami di atas ranjang, dalam keadaan tanpa busana, dan karena keterbatasan waktu semua dilakukan tanpa pemanasan dan tanpa ciuman.
Bibirku hanya milik pacarku.
Bukan si Ariel ini.
Dan tampaknya dia juga melakukannya secara otomatis.
Dari gerakannya sih dia sudah profesional.
Anak sekecil ini, luwes sekali. Dasar Fakboi.
“Masuk saja belum,” geramnya sambil mencengkeram tumitku dan menyingkirkan kakiku.
Rasa perih kembali melanda tubuhku. Rasanya seperti tersayat dan panas, dan kepalaku langsung berkunang-kunang gara-gara hujaman tubuhnya.
“Seret banget sih! Basahin dikit dong!” dia protes padaku. Aku bahkan tidak tahu apa yang dia maksud.
“Ya gimana caranya!” balasku kesal. Masalahnya aku sambil menahan rasa perih. Ukuran remaja jaman sekarang sudah seperti orang dewasa tampaknya, atau karena dia keturunan Eropa jadi di atas rata-rata? Tak tahu lah pokoknya aku sedang kesakitan sekarang.
“Ya pikirin pacar Bu Guru dooong atau bayangin video syur atau apa kek! Jangan bilang ibu sepolos itu!”
“Prakteknya nggak segampang itu!”
“Susah banget sih jadi perempuan,” sembur Ariel. Lalu matanya mencari sesuatu di tubuhku yang bisa ia kerjai. Ia berhenti di dadaku.
Lalu ia menatapku.
Lalu menatap dadaku lagi.
“Mohon izin ya, demi darah perawan,” desisnya sambil tersenyum licik.
“Jangan- astaga!!”
Entah apa yang ia lakukan dengan mulutnya, yang jelas aku merasakan tubuh bagian bawahku mulai basah karena getaran yang mengganggu. Sejenak akhirnya perjalanan kami yang tersendat dapat dilanjutkan. Tapi seluruh perut bagian bawahku nyeri dan terasa sesuatu mendorong masuk ke dalam. Aku merasa perutku bagai diaduk, tapi sejenak mulai ada sensasi yang berbeda.
Ia bergerak maju mundur. Kuku-ku menancap di bahunya. Menahannya agar tidak bergerak terlalu cepat.
Lalu gerakannya berhenti.
“Oh... akhirnya,” gumamnya sambil mengatur nafas.
Kulihat di tubuhnya, ada darah yang membasahi sepanjang bagiannya. Keluar dari tubuhku.
“Mau diterusin apa-“
“Nggak!!” seruku marah.
Kudorong dia sekuat tenaga dan aku menghambur masuk ke kamar mandi.
Menangis sepuasnya.
**
Kami berdua duduk di depan Mbah Rangga yang tersenyum puas melihat kain dengan bercak darahku.
Kami tidak bertiga saja.
Di belakang kami ada banyak orang. Termasukn Pak Aaron yang mengernyit tidak suka. Mereka tampak benci dengan keadaan ini, ibu bahkan menangis. Tapi apa daya , ia tidak bisa mendekat.
Aku bagai dipermalukan secara massal.
Sementara Ariel tampaknya mengerti dengan keadaanku. Ia memelukku dengan lembut sejak aku keluar dari kamar mandi. Berulang kali ia bilang maaf, tapi kami berdua tahu semua ini bukan salahnya.
Orang gila di depan kami. Dan kekayaannya.
Atau mungkin memang kami yang salah karena inilah pilihan kami.
“Ini simbol penyatuan kalian,” desis Mbah Rangga sambil mengangguk. “Seperti kalian yang bersatu, begitu pun aku dan Rejo, sudah bersatu. Dua keturunan, dari sahabat, serasa saudara... kini satu keluarga.”
Entah kenapa aku sangat muak mendengarnya.
Ia kelainan mental.
Sebenarnya hubungan semacam apa yang terjadi di antara dua orang ini?!
“Dan sebagai pelengkap... Kencana akan hadir di tengah kalian, Bertiga, saling bersinergi. Jaga kerukunan kalian. Rumah tangga dan harta dunia. Sekarang tinggal memikirkan urusan akhirat, tapi yang itu bukan pekerjaanku,”
Mbah Rangga memberikan sebuah map pada kami.
“Buka kalau aku sudah tidak ada di dunia ini,” desis Mbah Rangga.
Kami menerima map itu berdua. Aku menatapnya setajam mungkin.
Sejenak, aku benci padanya.
Kami pantas dibayar sangat mahal karena obsesinya, awas saja kalau isi mapnya recehan. Ku obrak-abrik rumah ini!
Belum sampai Map itu kami turunkan ke pangkuan kami, terdengar bunyi mengorok dari arah Mbah Rangga.
Di depan mata kepala kami sendiri...
Sosok itu mengejang, lalu jatuh lemas di kursinya.
Kami hanya bisa terpaku melihat prosesnya.
Rasanya tubuh kami ini membeku.
Mbah Rangga meninggal di depan kami.
Semua heboh mondar-mandir mengurusi jasad Mbah Rangga.
Aku hanya bisa terduduk lemas di lantai, di pojokan, sambil mengolesi dahiku dengan minyak angin. Kepalaku pusing dan tubuhku lemas.
Terlalu banyak kejadian hari ini.
Apa sih yang terjadi barusan? Semua terjadi begitu cepat!
Sementara Ariel duduk di sebelahku, malah lagi ketawa-tawa dengan sumringahnya. Dia sedang...
“Iyaaaa, besok deh ya cinta, kita ke Bandung. Nggak sih slow aja, matpelnya nggak ada yang menarik aku mau kabur aja seneng-seneng sama kamu.” Iya, Ariel lagi telponan sama pacarnya. Entah pacar yang mana, setahuku tiap minggu dia ganti cewek.
Dan saat yang lain kalang kabut, dia sudah ditelpon tiga cewek.
Setelah beberapa lama dia menutup teleponnya dan menatapku. “Ya Bu?” tanyanya. Karena aku menatapnya dengan tajam. Rasanya kesal sekali.
“Dasar sinting... mau kabur kamu besok?! Jam kedua itu jam pelajaranku!” Aku memukul kepalanya dengan sandal.
“Masa sih?!”
Plakk!!
Sekali lagi kupukul.
Aku kesal! Sudah badanku ini sakit dikerjai bocah, dia berencana bolos pula di jam pelajaranku besok! Berencananya di depanku pula, wali kelasnya sendiri!
“Saya butuh pelampiasan! Memangnya ibu doang yang pusing?! Saya nih harus memikirkan rencana berumah tangga setelah ini!”
“Setelah ini kita kan cerai! Rumah tangga apanya? Semprul...!” omelku.
Tapi Para Pak Pengacara Tercinta tiba-tiba datang lagi menghampiri kami.
Aku dan Ariel langsung mengernyit tak enak, tanda merasakan suatu perasaan buruk.
Dan, Pak Johan pun tersenyum lembut sambil mengelap keringtanya dari dahinya yang berlemak.
Pak Abel lebih parah lagi, dia menggelengkan kepalanya.
“Karena pernikahan ini sudah terjadi, sesuai dengan hak klien kami, kami akan bacakan perjanjian penting yang tidak boleh kami ungkapkan saat Raden Ranggasadono masih hidup. Klausula ini harus dibacakan saat beliau sudah meninggal.”
Apa lagi ini...
Karena Pak Abel berbicara dengan suara keras, semua orang di sana mendengarnya. Keluarga besarku langsung berhenti beraktivitas.
Semua mendengarkan.
“Pertama, kompensasi untuk hidup baru dan kehormatan kedua pengantin, Yaitu Ariel Clodio Rejoprastowo, 17 tahun, dan Ariel Claudia Ranggasadono, 24 tahun, adalah sebesar masing-masing 300 juta rupiah.”
Aku melongo.
Ariel bahkan sampai menjatuhkan ponselnya.
Kenapa sedikit sekali?!
“Tunggu. Saya bacakan lagi,” Pak Abel mengangkat tangannya. “Kedua, Wasiat dari Raden Ranggasadono dan Tumenggung Rejoprastowo, Setiap Kepala Keluarga yang tercatat sebagai keturunan keduanya, masing-masing akan di amanahkan emas, aset tetap, dan uang tunai senilai 10 miliar, kecuali bagi mereka yang dari awal sudah menolak amanah ini,”
Spontan semua orang di sana bersorak sorai.
Suasananya beda sekali dengan saat tadi mereka sibuk mengurusi jenazah Mbah Rangga.
Tapi aku dan Ariel hanya diam.
Kami masih merasakan ada sesuatu yang mengganjal.
“Harap tenaaaaang!” seru Pak Abel, “Ketiga, ini yang paling penting!”
Semuanya diam.
Pak Abel menarik nafas seakan ia bersiap-siap akan amukan warga.
“Ketiga, amanah tersebut baru akan bisa diterima oleh para ahli waris dalam tiga tahun ke depan. Selama itu... Pernikahan yang terjadi hari ini TIDAK diperkenankan berakhir, atau dengan kata lain TIDAK terjadi perceraian, setidaknya sampai tiga tahun lamanya terhitung dari tanggal hari ini.”
“An jeeeeeng!!” seru Ariel langsung sambil membanting ponselnya.
Kami semua kaget dan terpukul.
Apalagi aku.
Aku sudah pesan WO untuk pernikahanku dengan Arka, kini harus dimundurkan tiga tahun lamanya?!
“Apabila terjadi perceraian sebelum tiga tahun, maka semua aset akan disita oleh... Raden Aryaguna Ranggasadono sebagai pewaris yang SAH.”
“Raden Arya sudah kaya!! Dia tidak butuh semua itu! Dia bahkan tidak hadir di sini!!” protes semuanya.
“Ya mana saya tahu? Kami kan hanya pengacara yang diamanatkan di bawah perlindungan hukum!” kata Pak Abel.
Pakde Sasongko mengangkat tangannya, “Sedulur, dengaaar!”
Kami terdiam.
“Ini memang perjanjian lama keluarga Ranggasadono dan Rejoprastowo. Emas yang dulu mereka temukan di halaman belakang itu sebenarnya sudah mau habis karena kurangnya pengetahuan akan investasi. Di saat terakhir itu Raden Arya datang dan meminjam sisa harta untuk penanaman modal di perusahaan Bossnya, dengan keuntungan bersih 50%. Nyatanya hasilnya ribuan kali lipat dari prediksi awal! Sejak itu Keluarga Rangga-Rejo kembali berjaya. Jadi sudah sepantasnya Raden Arya menjadi pewaris yang sah karena tanpa dia, kita semua tidak makmur!”
"Pakde bisa bicara begitu, Raden Arya kan anak Pakde!!" Protes salah satu kerabat.
"Walau pun Raden ARya sudah tidak diakui sebagai keluarg aini, kami tahu diam-diam dia sering menemui Pakde Sasongko!!"
“Ya jangan disita semua dooong! Kan Raden Arya juga dapat keuntungan dari investasi! Kalau mau dikembalikan ya modalnya saja!!”
“Bukan gitu Pakde,” desis salah seorang sepupu, berusaha membela Pakde Sasongko, “Kalau jadi milik Raden Arya , pasti kan akan dia investasikan dan uangnya malah jadi beranak. Lah kalau kita kan langsung hedon-hedonan, malah habis. Ini kayaknya mau menjaga agar aliran dana tetap stabil!”
“Jadi kita tinggal memohon saja ke Raden Arya, begitu?”
“Duh, saya segan! Raden Arya itu pembunuh loh! Satu keluarga korbannya!”
“Tapi kan Pakde Sasongko jadi selamat karena hal itu!”
Dan akhirnya semua keluarga jadi ribut karena berdiskusi sendiri.
Aku melirik Pakde Sasongko. Usianya sudah 75 tahum dan ia berada di kursi roda. Tampak lelah menghadapi semuanya.
Dari semua konglomerat di keluarga ini... Kenapa harus Raden Arya yang jadi pewaris? Fatal!
Aku kembali meringkuk di lantai saja sambil mendengar pembicaraan.
“Ya ini aja Mbahnya Meninggal, dia nggak nongol,”
“Dia ke sini kemarin, membicarakan mengenai hal ini. Dia yang pertama dipanggil Mbah Rangga untuk berdiskusi.” Kata Pak Johan.
“Apa sih istimewanya Raden Arya, hanya karena dia anaknya Pakde Sasongko... bla bla bla...” dan semua orang di sana mengomel tentang sepupuku itu.
Aku hanya bisa diam di lantai, kembali menyesali yang terjadi.
“Ya sudah! Pokoknya tiga tahun jangan cerai ya Riel, Dua Ariel!!”
“Jangan seenaknya dong! Kalau pihak sekolah sampai tahu, masa depanku raib sudah! Bu Guru juga akan terancam dipecat! Kami kan satu sekolah. Dia wali kelasku loh!” seru Ariel kesal.
“Kalau sudah ada uang itu, kalian nggak sekolah juga tak apa-apa kali!” seru salah satu orang.
Dan kemudian mereka sibuk berdebat lagi.
Dan lagi...
Dan lagi...
Aku hanya bisa meringkuk di lantai.
Aku butuh pacarku...
Aku mau pulang dan memeluk bantal Molangku.
Enaknya besok ambil cuti saja dan marathon film dari Prime Video.
Lemas dan kecewa rasanya.
**
Awal kehebohan ini terjadi adalah saat kami berdua dijemput tiba-tiba di siang hari, dan diberitahu kalau Mbah Rangga sudah merasa ini hari terakhirnya. menunjuk kami berdua untuk menikah.
Kami berdua ini, maksudnya Aku dan Ariel.
Namaku Ariel Claudia Ranggasadono, Usiaku saat ini 24 tahun, Profesiku guru SMA, sembari menyelesaikan studi doktoralku pada ilmu ekonomi. Aku akan jelaskan nanti kenapa profesiku hanya Guru SMA dan bukan dosen saja mengingat pendidikanku sangat tinggi.
Nama calon suamiku, si anak nakal biang ribut di sekolah yang masih memakai seragam putih abu-abunya, Ariel Clodio Rejoprastowo. Usianya baru saja 17 tahun minggu lalu. Aku ingat dia baru saja 17 tahun karena untuk merayakan ulang tahunnya dia mabok-mabokan di sekolah.
Iya, sampai memecahkan kaca jendela ruang guru. Skorsing 3 hari. Lihat saja pipinya masih merah bekas tamparanku.
Memang tidak seharusnya aku menamparnya, posisiku sebagai guru. Aku bisa saja dipecat dan dituntut karena bagaimana pun dia anak didikku.
Tapi dia berbuat vandalisme, dia melempar kaca ruang guru pakai botol Jack Daniels. Betapa malunya aku sebagai wali Kelasnya sekaligus saudaranya! Walau tidak satu nasab tapi aku yang merekomendasikannya masuk SMA Bhakti Putra!
Saat kami di ruang guru BK itu, kami dijemput oleh Pakde. Untuk segera pulang kampung karena Mbah Rangga merasa ini sudah waktunya.
Aku tahu dia dari keluarga Mbah Rejo sejak dia lahir. Si biang kerok tukang bikin keributan di Keluarga Rejoprastowo. Aku juga yang meloloskannya masuk ke SMA Bakti Putra karena aku sohib kental Ketua Yayasan. Apalagi si cowok SMA ini lumayan cerdas. Hanya satu kesalahan fatal yang sulit diperbaiki, dia itu berandalan, tukang mabok, sering berbuat vandalisme.
Makanya tidak ada satu pun sekolah negeri yang menerimanya. Bahkan sekolah swasta saja mempersulitnya.
Karena aku bekerja menjadi guru di SMA Bhakti Putra, keluarga Mbah Rejo meminta bantuanku.
Ketua Yayasan dengan berat hati mengabulkan permohonanku, dengan syarat, si... Ariel ini harus mencapai nilai tertentu. Satu tahun bersekolah di SMA Bhakti Putra nilainya lumayan... peringkat 1 tingkat nasional. Hebat ya? Sayang kurang akhlak...
“Memang yang begini bisa SAH ya?” dengusku.
“Yang penting tercatat di negara. Ya pakai ‘ini’ lah biar lancar,” Bisik Pak Johan sambil menggesekkan jarinya tanda ‘uang berbicara’. KTP ku Jakarta Pusat... dan si Penghulu ini dari desa tempat Mbah Kakung tinggal. Bisa begitu ya?! Pengaruh uang benar-benar berbahaya.
“Bu Guru!” Ariel menghampiriku sambil menggeret lenganku, “Ayo pulang! Aku mau ke kantornya Raden Arya ! Mau protes!” seru Ariel berapi-api.
“Nggak...” gumamku.
“Memangnya Bu Guru mau pernikahan Bu Guru batal?! Tiga tahun tahun itu lama loh bu!”
“Kamu nggak tahu ya Raden Arya itu kayak gimana?!” aku menepis tangannya. Yang kuingat, saat itu keadaan langsung hening.
Aku kembali menuding Ariel supaya tidak main-main dengan yang namanya Raden Aryaguna Ranggasadono. “Kamu nekat ke kantornya, kamu salah ngomong yang ada malah dia menyita semuanya! Hati-hati kamu! Dia ada trauma sama keluarga ini, makanya dia nggak pernah mau muncul di kegiatan apa pun. Walau pun di belakang dia masih menghormati Mbah Rangga sebagai kakek! Kenapaaaa? Karena saat dia jatuh ke lubang terdalam tidak satu pun keluarganya yang menolong! Yang ada malah mengusirnya! Menjelek-jelekkannya! Dia itu Pangeran Yang Terusir! Dan satu lagi... dia Antek Preman Politik di negara ini, tangan kanan Damaskus Prabasampurna. Pada tahu nama itu kan? Salah ngomong, bisa mati kamu!”
Aku mendengus kesal.
Saat aku kecil, dan si Ariel belum lahir, Pakde Sasongko pernah diculik dengan tebusan fantastis. Mbah Rangga hampir saja membayarnya, tapi Raden Arya ini, anaknya Pakde Sasongko, nekat ke kediaman si penculik, menyelamatkan Pakde Sasongko. Parahnya, untuk menyelamatkan Pakde Sasongko, ia harus terlibat adegan perkelahian, penyiksaan dan tembak-menembak. Yang jadi korbannya ya satu keluarga penculik. Ternyata penculikan itu didalangi oleh perusahaan Rival.
Bukannya berterima kasih Pakde Sasongko berhasil selamat dan emas Mbah Rangga tidak berkurang, Mbah Rangga malah mengusir Raden Arya! Raden Arya diadili atas pembunuhan satu keluarga, walau pun jatuhnya membela diri, tapi banyak pertimbangan polisi yang aku tak mengerti.
Saat ini kudengar, Raden Arya direkrut oleh perusahaan bernama Argadhing Corp untuk menjadi tukang pukul. Tapi gaji bulanannya bisa miliaran. Aku bertemu dengannya bulan lalu karena pacarku, Arka, adalah karyawan Argadhing Corp.
Wajah Raden Arya ini... benar-benar mengerikan, seluruh tubuh penuh tatto dan ia bertemu denganku dalam posisi sedang menggenggam senjata. Entahlah apa yang sedang ia lakukan di basement parkiran.
Tapi aku masih kenal wajah bulenya itu melalui foto yang dipampang di kamar Pakde Sasongko.
Saat aku menyapanya dengan nama aslinya, Raden Aryaguna Ranggasadono, dia langsung mendekatiku dan bilang, “Kamu sebut saya lagi dengan nama itu, kamu bisa mati.”
Epic.
“Jadi, buang jauh-jauh tentang niatan ketemu sama Raden Arya !” aku berteriak frustasi.
Kusambar tasku,
Aku jalan ke arah jalan besar untuk cari taksi menuju stasiun kereta. Sendirian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!