NovelToon NovelToon

Ketulusan Cinta Dokter Dikta

Bab 1 Saling mengenal

Dikta Alexander Pratama merupakan seorang dokter speasialis anak di sebuah rumah sakit milik keluarganya yaitu rumah sakit kasih bunda. Ia merupakan putra sulung dari pasangan Wijaya dan Rahayu. Kehidupannya sehari hari hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter.

Banyak sekali yang menyukainya di rumah sakit, sebab Dikta terkenal dengan dokter yang paling ramah. Meski orang tuanya pemilik rumah sakit itu akan tetapi dia tidak sombong dan selalu rendah hati. Bahkan terkadang ia tak segan segan menggratiskan biaya rumah sakit buat orang yang tidak mampu. Oleh sebab itulah dia paling disegani meski umurnya masih muda.

Dikta baru saja tiba di rumah sakit, dia masuk ke dalam ruangannya lalu mengambil jas putihnya dan memakainya. Baru setelah itu ia mengambil stetoskop dan menggantungnya di lehernya. Setelah memastikan dirinya sudah siap dan rapi, Dikta keluar dari ruangannya dan mulai menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter.

Dia harus mengecek beberapa anak yang sudah menjadi pasien dan tanggung jawabnya. Ia melangkahkan kakinya dan berjalan dengan langkahnya yang tegap.

Dikta selalu saja menjadi pusat perhatian di rumah sakit karena wajahnya yang sempurna dan terlihat tampan. Seperti saat ini, banyak sekali yang mencuri pandang ke arahnya karena terpesona dengan wajahnya. Hal ini sudah biasa oleh Dikta, itu sebabnya dia tidak risih meskipun dilihat oleh banyak orang terlebih kaum wanita.

Setibanya di salah satu ruangan Dikta langsung masuk dan bertemu dengan seorang perawat yang kebetulan ada di dalam ruangan itu.

“Selamat pagi, Dok.” Sapa suster tersebut pada Dikta.

Dikta menghentikan langkahnya lalu menjawab dengan senyuman manisnya. “Selamat pagi. Sus. Sedang mengantar sarapan?” tanya Dikta basa basi.

Perawat itu mengangguk kecil sambil membalas senyuman Dikta. “Iya, Dok. Tapi sepertinya anak itu tidak mau memakannya. Sedari tadi dia terus merengek untuk bertemu ibunya. Saya baru saja nenangin dia sampai dia tidur nyenyak seperti itu. Tapi sampai sekarang ibunya belum datang untuk menjenguknya,” lanjut perawat itu sambil menunjuk pada anak kecil yang tertidur pulas di kasur rumah sakit itu.

Dikta melihat ke arah anak itu dengan sekilas lalu kembali fokus pada perawat yang bernama Anna itu. “Tidak apa apa, mungkin ibunya masih sibuk. Sekarang biar saya yang menangani. Lebih baik suster mengecek setiap anak di ruangannya ya nanti perkembangannya tolong sampaikan ke saya. Saya akan mengeceknya nanti satu persatu.”

Perawat bernama Anna itu mengangguk kecil lalu berpamitan untuk keluar. Dikta hanya menghela nafas kecil lalu melangkah semakin mendekat pada kasur anak itu. Baru saja Dikta menurunkan stetoskopnya untuk memeriksa anak itu, Dikta malah dikejutkan dengan suara anak kecil itu yang mengigau dalam tidurnya.

“Mama...Mamaa....jangan sakit...mama jangan nangis.....abang takut ma.....”

Dikta langsung mengecek suhu tubuh anak itu dengan tangannya.

“Astaghfirullah, tubuhnya makin panas. Demamnya sudah semakin tinggi,” ucap Dikta pada dirinya sendiri.

Mau tidak mau Dikta harus membangunkan anak itu, dia harus makan dan meminum obatnya. Jika tidak sudah pasti demamnya akan terus bertambah.

“Nak..bangunlah sebentar. Om dokter akan memeriksa kamu sebentar ya,” ucap Dikta dengan suara lembutnya. Dan berhasil, anak itu langsung membuka matanya dan melihat ke arah Dikta seperti sedang ketakukan.

Dikta bisa merasakannya, ia menduga anak itu pasti habis mimpi buruk sampai ketakutan seperti itu.

“Mama...dimana Dok....” tanya anak itu dengan lirih. Wajah mungilnya basah dengan keringat akibat demam tingginya yang tidak kunjung menurun.

Dikta tidak langsung menjawab, ia mengambil sapu tangannya dan mengelap keringat anak kecil itu dengan telaten. Ia tidak habis pikir dengan ibu dari anak ini yang tidak kunjung kembali untuk menjenguk putranya padahal kemarin ia dapat kabar dari perawat, kalau ibunya berjanji akan segera kembali pada anak itu.

“Mama kamu sudah datang kesini, tapi dia balik lagi untuk ganti baju. Sebelum pulang mama kamu berpesan sama om dokter agar kamu bisa makan dan minum obat. Jadi sekarang kamu mau ya makan sama minum obat?” bujuk Dikta sambil duduk di samping kasur anak itu.

Anak kecil yang bernama Rafka itu mengangguk tanpa penolakan yang dibalas senyuman oleh Dikta. Dikta mengambil makanan yang tersedia di nakas samping kasur itu lalu mengaduk bubur itu sebentar. Setelah itu baru lah ia menyuapkannya pada Rafka dengan hati-hati.

Rafka menerima suapannya dengan baik sambil memandangi Dikta. Ia jadi teringat ayahnya setelah melihat Dikta karena ada sedikit kemiripan di antara ayah dan dokter yang merawatnya tersebut.

Apa lagi ayahnya juga seorang dokter anak sama seperti Dikta. Ada rasa rindu dalam dirinya pada ayahnya yang sudah meninggal namun Rafka hanya memendamnya. Anak kecil itu tidak berani mengatakan secara langsung pada ibunya bahwa ia merindukan ayahnya. Hak itu karena ia tau, ibunya akan semakin sedih jika terus mengingat ayahnya.

Lima menit kemudian bubur yang ada di tangan Dikta sudah habis, Dikta mengambilkan air minum dan memberikannya pada Rafka.

“Anak pintar, sekarang minum obat dulu ya setelah itu istirahat.” Pesan Dikta pada Rafka.

Dikta menaruh mangkuk itu kembali lalu mulai menyiapkan obat untuk Rafka. Tapi tidak seperti sebelumnya, kali ini Rafka menolak untuk minum obat.

“Aku mau nunggu mama, Dok.”

Dikta saja tidak tau kapan ibu dari anak itu kembali, jadi ia tidak boleh membiarkan anak itu tetap dengan pendiriannya. Dia tau apa yang harus dilakukannya ketika menangani anak yang seperti itu. Dikta mengelus rambut Rafka lalu berkata, “Kalau kamu gak minum obat nanti mama kamu sedih. Kamu mau mama kamu sedih?”

Rafka menggeleng dengan cepat, hal itu membuat Dikta tersenyum lega. Setelah itu ia memberikan obatnya pada Rafka untuk diminum. Setelah berhasil baru lah Dikta memberinya air minum. Tugasnya sudah selesai, sekarang ia harus pergi ke ruangan lain untuk mengecek anak lainnya. Dikta pun berpamitan pada Rafka.

“Siapa nama kamu?” tanya Dikta.

“Rafka, Dok.” Jawab Rafka dengan cepat.

Dikta mengangguk, “Ah iya, sekarang Rafka istirahat ya. Nanti dokter akan kembali lagi dengan membawa mobil-mobilan sebagai hadiah buat Rafka karena sudah minum obat,” ujar Dikta meyakinkan Rafka.

Mendengar kata mobil-mobilan, Rafka langsung tersenyum cerah. “Beneran dok?” tanyanya memastikan.

Dikta mengangguk sambil tersenyum teduh pada Rafka, anak kecil itu entah kenapa terlihat menggemaskan sekali di matanya. Padahal ia sudah biasa bertemu dengan anak anak di rumah sakit. Namun entah kenapa dengan Rafka berbeda, seolah olah ada magnet yang terus berusaha menariknya agar dekat dengan Rafka. Padahal baru ketemu kemarin, itulah hal yang Dikta tidak mengerti.

“Beneran dong, kalau perlu nanti om dokter temenin main mobil- mobilannya. Yang penting kamu sembuh dulu ya,” ujarnya lagi.

Rafka mengangguk lalu memejamkan matanya untuk tidur dan mematuhi ucapan Dikta, ia tidak sabar menunggu mobil mobilan yang dijanjikan oleh dokternya itu.

Tidak perlu menunggu lama Rafka yang memang sudah mengantuk langsung tertidur dengan pulas. Dikta langsung menyelimutinya lalu menurunkan suhu ac ruangannya agar Rafka tidak kedinginan.

Tiba tiba seorang wanita datang masuk ke dalam ruangan itu. Dikta masih belum menyadarinya karena dia fokus menurunkan suhu AC nya.

“Bagaimana keadaan putra saya, Dok?” tanya wanita itu secara tiba tiba sehingga mengejutkan Dikta.

Dikta langsung menoleh pada sumber suara itu, dan detik itu juga dunianya seolah berhenti setelah melihat siapa yang menyapanya.

“Alana?” ucapnya.

Begitu pun dengan wanita yang bernama Alana itu, dia juga terkejut ketika melihat Dikta.

“Dikta?”

Terima kasih sudah membaca

Jangan lupa like+komentar ya

Bab 2 Dokter Dikta

“Bagaimana keadaan putra saya, Dok?” tanya wanita itu secara tiba tiba sehingga mengejutkan Dikta.

Dikta langsung menoleh pada sumber suara itu, dan detik itu juga dunianya seolah berhenti setelah melihat siapa yang menyapanya.

“Alana?” ucapnya.

Begitu pun dengan wanita yang bernama Alana itu, dia juga terkejut ketika melihat Dikta.

“Dikta?”

Dikta dan Alana adalah sepasang kekasih pada masa kuliah dulu. Mereka menjalin hubungan begitu lama sampai pada akhirnya harus putus di tengah jalan karena Alana yang dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Awalnya Dikta menolak untuk putus karena rasa cintanya yang begitu besar pada Alana namun takdir tak berpihak padanya karena ternyata Alana juga menerima perjodohan itu dengan baik. Bahkan meski Alana sudah resmi menjadi milik orang lain, Dikta masih tetap mencintainya.

Sampai pada akhirnya, Dikta menerima sebuah undangan pernikahan dari Alana. Di situlah pertahanannya hancur dan pada akhirnya Dikta belajar mengikhlaskan Alana dan memilih fokus menggapai cita-citanya yaitu menjadi dokter.

Kilasan masa lalu itu masih terekam dengan jelas dalam ingatan keduanya, Alana memandang Dikta dengan perasaan yang bingung. Sudah lama ia tidak bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Terakhir kali ia bertemu yaitu pada saat pernikahannya dulu. Begitu pun dengan Dikta, ia juga tidak pernah menyangka akan dipertemukan kembali dengan Alana. Rasa yang dulu sempat hilang sepertinya akan tumbuh kembali. Jujur saja sampai sekarang Dikta masih belum bisa melupakan sosok Alana dalam hidupnya.

“Ini anak kamu?” tanya Dikta sambil menoleh pada Rafka yang tertidur pulas.

Alana mengangguk kecil. “Iya dia anakku,”

Ada perasaan mengganjal dalam diri Dikta saat mengetahui bahwa Rafka adalah putra dari Alana. Ia memandangi wajah polos Rafka yang sedang tertidur. Seandainya dulu ia yang menjadi suami Alana apakah mungkin anak itu akan menjadi putranya.

“Sadar Dik, itu semua masa lalu. Alana udah punya suami,” ucap Dikta di dalam hatinya.

“Emm, jadi gimana keadaan putraku, dok?” tanya Alana lagi dengan tetap memanggil Dikta dengan sebutan dokter.

Dikta kembali melihat ke arah Alana dan menghentikan lamunannya.

“Maaf, demam putramu semakin tinggi tapi aku sudah memberinya obat penurun panas tadi. Dia baru saja tertidur setelah seharian merengek mencarimu.” jawab Dikta dengan bicaranya yang lembut.

Alana mendekat ke arah putranya lalu mengecek suhu tubuhnya. Ia benar benar menyesal karena harus meninggalkan putranya sendirian dari kemarin. Namun bukan berarti ia punya alasan. Alana punya alasan yang kuat kenapa harus meninggalkan putranya sendirian di rumah sakit.

“Maafin mama ya sayang,” ucapnya sambil mencium kening Rafka.

Dikta hanya melihatnya sambil berdiri kaku, kakinya seolah tidak bisa digerakkan. Alana mendongakkan kepalanya lalu menatap wajah teduh milik Dikta. “Terima kasih, Dok. Terima kasih sudah menjaga putraku dengan baik.” Ucapnya.

“Sama-sama. Tapi aku mohon, jangan bersikap formal padaku Alana. Kita bukan orang asing. Meski kamu sudah memiliki suamimu bukan berarti kita tidak bisa berteman. Kalau begitu aku permisi dulu,” balas Dikta dan pergi meninggalkan Alana sendirian dalam ruangan itu.

Alana tersenyum tipis, lalu kembali memandangi putranya yang sedang tidur. Alana menaruh tas-nya di samping tempat tidur Rafka, lalu ia mengambil kursi untuk duduk dan menjaga putranya.

.

.

Keluar dari ruangan Rafka, Dikta tidak langsung bertugas lagi. Ia memilih untuk kembali ke ruangannya terlebih dahulu. Baru saja Dikta akan membuka pintu ruangannya tiba tiba seseorang memanggilnya.

“Dokter...dokter....”

Dikta menoleh ke belakangnya mencari asal suara tersebut. Perawat yang tadi ditemuinya memanggilnya berulang kali. Dikta pun ikut menghampiri.

“Ada apa sus?” tanyanya pada Perawat yang bernama Anna tersebut.

“Maaf, dok. Pasien di ruangan 301 kembali anfall, dokter Vero sudah menanganinya tapi malah semakin kejang kejang,” ucap perawat itu pada Dikta.

Dikta yang mendengar hal itu mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruangannya. Ini lebih penting dari pada masalahnya saat ini.

“Kalau begitu cepat hubungi dokter spealis jantung agar segera menuju kesana,” titah Dikta pada Anna.

“Baik, Dokter.”

Setelah itu Dikta langsung terburu buru menuju kesana. Ini adalah sebuah tanggung jawabnya dan Dikta tidak bisa mengabaikan hanya demi kepentingan pribadinya. Ia juga sudah disumpah untuk melayani dan menolong setiap orang yang sakit.

Sesampainya di ruang 301, Dikta menghentikan langkahnya, Ia terdiam ketika melihat tangisan keluarga di luar ruangan itu. Dikta tidak siap memikirkan kemungkinan terburuknya. Ia berharap semuanya akan baik baik saja. Dengan langkah tegapnya ia kembali berjalan untuk masuk ke ruangan itu. Dikta masuk lalu kembali menutup pintu ruangannya. Di dalam dia melihat dokter Vero yang juga berusaha menangani kondisi anak kecil itu. Dokter Vero yang melihat kedatangan Dikta langsung memundurkan langkahnya untuk memberikan Dikta jalan. Namun Dokter Vero juga menggelengkan kepalanya dengan raut wajah yang tampak sedih.

“Tuhan sudah mengambilnya,” ucap Dokter Vero .

“Bagaimana bisa?” tanya Dikta dengan ekspresi yang sulit diartikan.

“Penanganan yang lambat, seharusnya anak ini segera di operasi tadi pagi namun karena kendala biaya jadi.....”

“Jadi kalian tidak menanganinya hanya karena mereka tidak punya biaya?!” sarkas Dikta dengan ekspresi marahnya yang terlihat.

Dokter Vero serta beberapa perawat yang ada disana menundukkan kepala tidak berani bicara sepatah kata pun. Dikta berdecak kesal sambil menatap mereka satu persatu. Ingin rasanya ia berucap kasar kepada mereka karena kebod*hannya dalam hal ini. Hanya gara gara uang mereka rela mengorbankan nyawa seorang anak kecil yang tak berdosa.

Dikta mengecek kondisi anak tersebut berharap ada sebuah keajaiban, ia tidak tega jika harus menyampaikan kabar buruk pada keluarga anak itu nanti. Lalu matanya tertuju pada patient monitor yang kembali bergerak, ia mengecek denyut nadi anak itu yang ternyata sangat lemah sekali. Secercah harapan kembali padanya. Dikta kembali melihat ke arah Vero yang diam saja.

“Tidakkah kau lihat monitor ini bergerak kembali!! jangan diam saja sekarang siapkan ruang operasinya. Anak ini masih hidup,” bentak Dikta pada Vero.

“Tapi....”

“Jangan egois ,Dokter Vero. Pasien bisa mati jika yang kau pikirkan hanyalah biaya, biaya dan biaya. Aku yang akan menanggung semua biayanya. Cepat siapkan ruangannya!”

“Baik, dok” jawab Dokter Vero.

Sedangkan perawat yang ada di dalam ruangan itu hanya melihat Dikta dengan tatapan kagumnya. Di rumah sakit ini tidak banyak dokter yang seperti Dikta. Beberapa dari mereka kebanyakan lebih mementingkan uang.

“Sabar ya Nak, kamu harus kuat. Om dokter akan berusaha untuk membuatmu sembuh,” bisik Dikta sambil menggenggam tangan mungil anak kecil itu.

 

Terima kasih sudah membaca

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like+komentar

Update setiap hari

R.C

Bab 3 Masalah Alana

Dikta baru saja keluar dari ruang operasi bersama dokter Anita, sebagai dokter spesialis jantung yang juga menangani penyakit anak itu. Operasi yang ditangani mereka berjalan dengan lancar, meskipun Dikta hanya sebagai pendamping di dalam. Sebab itu berkaitan dengan masalah jantung.

“Kita berhasil, ini semua berkat kamu Dikta.” Puji Anita sambil tersenyum pada Dikta.

Dikta menggelengkan kepalanya. “Ini semua atas kuasa tuhan dan juga karena kamu. Apalagi doa keluarganya yang terus mengiringnya. Lihatlah disana, mereka tidak berhenti mendoakan anak mereka yang sedang berjuang di dalam,” balas Dikta dengan matanya yang mengarah pada keluarga anak kecil itu.

Anita juga mengikuti arah mata Dikta. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis dan merasa terharu melihat pemandangan itu “benar, doa mereka sangat ampuh bagi operasi kita hari ini,” lanjut Anita.

Dikta mengangguk lalu ia berpamitan pada Anita untuk menghampiri orang tua pasiennya dan menyampaikan kabar baiknya. Dalam hatinya ia bersyukur banget karena bisa menyelamatkan anak itu.

.

.

Jam di dinding sudah menunjuk pada pukul empat sore, Alana harus kembali pulang dan terpaksa meninggalkan Rafka lagi. Dia juga sudah menjelaskan situasinya pada Rafka semasa bangun tadi. Meski usia putranya masih sangat kecil untuk mengerti urusannya tapi Rafka adalah anak yang cerdas. Ia bahkan tersenyum dan mengatakan tidak apa apa saat tau Alana tidak bisa menjaganya lagi untuk malam ini.

Alana mengecup pipi dan kening Rafka sambil lalu dia menyelimuti tubuh putranya.

“Mama yakin besok kamu pasti sembuh, demammu sudah turun. Mama pulang dulu ya sayang. Besok mama akan jemput Rafka. Maafkan mama yang gak bisa menemani Rafka disini,” ucap Alana. Setelah itu Alana mengambil tas miliknya dan bergegas untuk keluar. Saat akan membuka pintu, pintunya sudah terbuka lebih dulu dari luar.

Sosok Dikta dengan jas putihnya yang kini berdiri di hadapannya dan melihat ke arahnya. Pandangan Dikta juga tertuju pada tangan Alana yang memegang tas-nya seolah olah bersiap untuk pulang.

“Kamu mau kemana?” tanya Dikta dengan agak canggung.

Alana langsung menundukkan pandangannya dan menjawab. “Aku harus pulang.”

Dikta mengernyitkan keningnya, “Kamu mau ninggalin anakmu lagi?” tanya Dikta.

Alana tidak menjawab, ia malah menggigit bibirnya. Ia bingung harus menjawab apa di depan Dikta.

Dikta yang melihat Alana tidak menjawab hanya bisa menghela nafas pelan. Lalu kembali berkata “Kalau kamu ada urusan, setidaknya suruh lah suamimu datang kesini. Bukankah dia harus menjaga anaknya?!” lanjut Dikta lagi.

Alana langsung mengangkat wajahnya kembali dan menatap Dikta dengan tatapan sendunya. Air mata tiba tiba turun begitu saja. Dikta tentu saja kaget melihat reaksi Alana yang tiba tiba seperti itu.

“Suamiku sudah meninggal, lalu bagaimana bisa aku menyuruh orang yang meninggal untuk menjaga anakku,” jawab Alana dengan suara yang lirih.

Suami Alana memang sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Dia meninggal karena kecelakaan yang menimpanya dan menghembuskan nafas di rumah sakit ini juga. Itulah sebabnya Alana tidak betah berlama lama di rumah sakit ini, sebab rumah sakit ini mengingatkannya pada suaminya yang sudah tiada. Namun, mengenai alasannya meninggalkan Rafka bukanlah hal itu. Alana harus menemui keluarganya yang selalu memaksanya untuk menikah kembali padahal hatinya saja masih mencintai suaminya. Sebenarnya dari pagi dia sudah ditelfon ibunya untuk segera pulang dan menemui laki laki yang akan dijodohkan olehnya. Namun Alana masih bisa mengabaikannya. Tapi ketika ibunya membawa nama nama Rafka dalam hal itu, baru lah Alana sadar. Ia harus segera menemui ibunya.

Dikta merasa bersalah karena ia tidak mengetahui hal itu dan membuat Alana bersedih.

“Maaf, aku tidak tau. Sepertinya aku sudah lancang berbicara seperti itu padamu,” ujar Dikta sambil menatap Alana dengan tulus.

Alana menghapus air matanya dan kembali tersenyum. “Tidak apa apa, lagi pula kamu tidak tau. Aku nitip Rafka ya.”

“Baiklah,” jawab Dikta tanpa bertanya lagi.

Setelah itu Dikta meminggirkan tubuhnya dan memberikan Alana jalan untuk keluar. Alana langsung keluar setelah berterima kasih pada Dikta. Dan Dikta hanya bisa memandangi Alana yang semakin menjauh dari pandangannya. Sudah lama tidak bertemu membuat Dikta tidak mengetahui apa apa tentang Alana. Terlebih mengenai suaminya yang sudah tiada. Dikta menutup pintunya kembali, dia kembali pada tujuan utamanya datang ke ruangan itu.

.

.

Alana baru saja sampai di rumah kedua orang tuanya, dengan raut wajah yang penuh kemarahan ia masuk ke dalam tanpa mengucap salam. Di dalam Alana bisa mendengar suara tawa seseorang yang bersama kedua orang tuanya. Alana sudah menduganya, orang itu pasti sudah ada disana untuk menunggunya.

“Aku datang,” ucap Alana dengan tiba tiba pada kedua orang tuanya.

Winda, ibu dari Alana langsung menoleh ke arahnya. Wajahnya langsung berseri seri ketika melihat Alana.

“Nah, ini dia yang ditunggu tunggu. Sini sayang,” panggil Winda pada Alana masih dengan senyum tak berdosanya.

Laki laki yang duduk di depan ibunya juga ikut menoleh dan melihat ke arahnya. Namun Alana tak menghiraukannya, Alana langsung melewatinya tanpa harus menyapa dan duduk di samping ibunya.

”Lihatlah Yog, putriku sangat cantik bukan. Om yakin kamu pasti sangat menyukainya” ujar Liam, ayah dari Alana.

Yoga, laki laki yang akan dijodohkan dengan Alana itu hanya mengangguk dan tersenyum pada Liam. “Yah, dia masih tetap cantik meskipun sudah punya anak,” jawab Yoga sambil memandangi paras Alana yang memang cantik. Sangat berbeda dengan wanita wanita yang ditemuinya di luaran sana.

“Jadi bagaimana, apa kau setuju menikahi putri tante ini?” tanya Winda dengan penuh harap.

Alana tersenyum sinis, bagaimana bisa kedua orang tuanya mengambil keputusan tanpa bertanya pada dirinya terlebih dahulu. Mereka dengan seenaknya menentukan hidupnya. Alana tidak akan tinggal diam saja. Matanya langsung tertuju pada Yoga yang juga sedang melihat ke arahnya.

“Bagaimana bisa kalian menjodohkan aku dengan laki laki yang belum tentu lebih baik dari almarhum suamiku” dengus Alana sambil menatap Yoga dengan pandangan yang meremehkan.

Winda dan Liam langsung tersentak mendengar apa yang yang dikatakan Alana.

“ALANA!!!” Hardik Liam pada Alana.

Alana melirik pada Liam lalu tersenyum mengejek.

“Kenapa? Apa perkataanku salah Ayah? Aku hanya ingin tau kualitasnya sehingga dia berani menunjukkan wajahnya di hadapanku.” Lanjut Alana lagi seolah menantang Liam.

Winda benar benar tidak menyangka, dia langsung melayangkan sebuah tamparan di pipi Alana.

“Kamu keterlaluan Alana. Kamu sudah mempermalukan kedua orang tuamu yang sudah berniat baik pada kamu ini,” geram Winda. Winda tidak peduli jika Alana harus kesakitan karena tamparannya. Ucapan Alana membuatnya benar benar malu dengan Yoga, calon menantunya.

Alana memegang pipinya yang memerah karena bekas tamparan itu. Lalu ia kembali menatap wajah sang ibu yang sudah membesarkannya dengan tatapan penuh kebencian. “Aku tidak mau menikah dengan dia, jika ibu menginginkan sebuah pernikahan. Kenapa tidak ibu saja yang menikah dengannya?”

.

.

Terima kasih sudah membaca

Jangan lupa like+komentar

?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!