Yessi Rossalia, seorang guru muda yang dilanda nestapa. Air matanya terus berlinang. Dia sedang duduk di samping pemuda yang tak pernah terbayangkan akan ditasbihkan menjadi Sang Adam untuknya.
Meski dengan perasaan berat hati. Pernikahan terpaksa ini harus Yessi jalani. Janji suci telah mereka ucapkan. Pertanda keduanya sah menjadi pasangan suami istri. Mengarungi bahtera rumah tangga dalam suka maupun duka. Derai air mata terus membanjiri wajah ayunya.
Karma apa hingga Yessi harus menjalani kehidupan yang mencekik jiwanya seperti ini. Menikahi pemuda berusia belia. Pemuda yang masih berstatus pelajar SMA dan diberi label ‘Badboy’. Jauh dari kata sempurna untuk menggantikan tunangannya sebagai suami.
...****************...
Tinggal dua hari lagi. Hari pernikahan yang dia idamkan di gelar. Seusai libur semester sekolah tahun ini. Yessi Rossalia akan berstatus sebagai istri seorang Angkatan Udara. Digelari sebagai ibu PIA. Meski pernikaha ini tidak disetujui oleh ayah calon suaminya. Tetapi calon suaminya meyakinkan Yessi untuk tetap melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Seragam biru bebek tergantung manis dekat lemari pakaian. Kamarnya dihias bak kamar putri raja. Kebahagiaan yang tak terperi. Foto preweddingnya terpasang dengan manis di dekat pintu. Yessi sedang sibuk mencoba pakaian pengantin yang akan dia kenakan di acara akad dan resepsinya nanti. Dibantu sepupunya bernama Andini.
“Wah, Yessi lihat…semua bajunya cakep-capek. Cocok di kamu.” ucap Andini yang ikut merasakan kebahagiaan Yessi.
Yessi mengangguk, dia kebingungan memilih pakaian mana yang akan dikenakan. Semuanya cantik dan mempesona. Hingga terdengar suara ketukan di pintu. Seorang pria muda yang masih duduk di bangku SMP nyelonong masuk ke dalam.
“Bu guru, ijin melapor. Dekorasi sudah mulai dipasang. Silahkan memeriksa, mungkin ada yang perlu ditambahkan?” tanya pemuda yang tak lain bernama Alvio.
Alvio merupakan adik kandung Yessi.
“Baik, Prajurit dua. Lanjutkan!” Yessi menjawab dengan suara lantang.
“Siap lanjutkan!” balas Alvio sembari memberi hormat dan berjalan ke luar kamar.
Yessi dan Andini menggelengkan kepala. Melihat tingkah Alvio yang sudah bergaya layaknya seorang tentara. Cita-cita Alvio memang ingin seperti calon kakak iparnya. Menjadi anggota TNI.
Setelah beberapa saat, Yessi dan Andini keluar kamar. Mengecek dekorasi yang sedang dalam proses pemasangan. Pernikahannya digelar sederhana. Mengingat ayah calon suami Yessi tidak menyetujui pernikahan mereka. Pernikahan dilakukan secara tertutup. Hanya keluarga dekat yang diundang.
“Yessi, catering untuk akad dan resepsi semua sudah beres. Ownernya barusan menghubungi. Jadi, tinggal kita show time.” ucap Andini dengan berbinar.
“Ya…terimakasih…maaf sudah merepotkanmu.”
“Tidak masalah, apa yang tidak buat ibu PIA ini.” ledek Andini.
Yessi membalas dengan senyum lebar. Rona keceriaan terpancar jelas di setiap sudut wajahnya. Yessi menatap sekeliling, membayangkan dekorasi sederhana namun indah.
Tamu yang hadir memberikan ucapan selamat. Dia berjalan menuju pelaminan dengan menggandeng lengan Alfatih, calon suami sempurna untuknya. Seorang TNI AU yang menjadi idaman wanita manapun. Yessi juga mulai menapaki karir sebagai PNS yang baru di angkat. Kehidupan Yessi serba sempurna. Pasti banyak yang akan iri padanya.
Tiba-tiba suara ponsel miliknya berdering berulang kali. Yessi buru-buru mengangkat panggilan yang masuk.
Nomor tidak dikenal yang menelepon.
“Halo, selamat siang.” sapa Yessi dengan nada sopan.
Tetapi dalam hitungan detik, nada kebahagiaan seketika lenyap. Ditarik paksa Penguasa Kemalangan. Binar keceriaan yang terlukis di wajah Yessi seketika lenyap tersapu angin. Yessi merasa sekelilingnya berputar. Hanya suara dengungan keras di telinga.
Ponsel yang dipegangnya terlepas begitu saja. Tubuhnya seketika lemas tak berdaya. Andini yang tepat berada di sampingnya sigap memegangi.
“Yes….Yessi…ada apa?” tanya Andini berulang kali. Semburat kekhawatiran terlihat dijelas di wajahnya.
Yessi tak sanggup menjawab. Menyangga tubuhnya saja dia tak mampu. Seketika tubuhnya kehilangan tenaga melorot ke bawah. Orang-orang yang berada di sana berlarian memanggil-manggil Yessi. Tetapi baginya, hanya dengung keras di telinga. Pandangannya mulai kabur….dan semuanya menjadi gelap.
Dunia Yessi yang sempurna seolah hancur tak berbekas. Runtuh hanya dalam hitungan detik saja. Kebahagiaan dicabut paksa dari hidupnya.
*Kenapa…kenapa … ini bisa terjadi padaku? Ke mana kehidupan sempurnaku pergi? Mas Al….kenapa mas setega ini? pergi sendirian ke dunia yang sangat jauh di sana*? ucap Yessi merasakan sakit dalam batinnya.
Suara hiruk pikuk keceriaan yang kemarin masih terdengar membahana. Sekarang seolah hilang tertelan bumi. Tersapu awan kelabu. Menyisakan duka nestapa di ruang biru. Nada keceriaan berganti dengan isakan tangis yang berkepanjangan. Menyisakan kesedihan yang mendalam di hati Yessi.
Yessi tak kuasa menahan beban kesedihan. Dia mengurung dirinya di kamar, sembari memeluk foto prewedding bersama calon suaminya. Samar-samar coretan pena bernada duka tertulis di selembar kertas. Ungkapan kesedihan Yessi dari relung hatinya.
Adam dan Hawa dua simbol sempurna
Jika Adam tiada, akankah ada Hawa di dunia?
Semua fatamorgana, runtuh sempurna
Menyisakan ruang hampa
Derai air mata membanjiri wajahnya. Setiap kali Yessi mengusap air mata, derainya kembali mengalir deras. Dia menatap kamarnya yang dihias bak kamar putri raja. Seketika rasa sedih, duka, dan amarah bercampur. Yessi mengoyak gaun pengantinnya sendiri. Merusak dekorasi kamar yang susah payah dia hias sendiri. Semuanya tiada berguna. Hancur sudah hidupnya yang sempurna.
Menyisakan rasa yang menyiksa. Membuatnya kesulitan bernafas. Hingga rasa mual tiba-tiba menyergapnya. Yessi bergegas pergi kamar mandi. Memuntahkan cairan-cairan dalam perut. Kepalanya terasa pening. Mualnya semakin menjadi.
Di saat itulah ingatannya melayang, pada malam itu. Gelora asmara sepasang kekasih tak bisa terbendung. Yessi dan Alfatih melakukan hubungan terlarang yang belum semestinya. Mereka berpikir jikapun Alfatih menanamkan benih cintanya. Toh sebulan lagi mereka dipastikan mengikat janji suci. Untaian kalimat manis keluar dari bibir pria sempurna yang dicintainya. Membuat Yessi terbuai dalam lautan asmara.
Lunglai sudah tubuh Yessi. Dia menunduk menatap perutnya. Nyawa kecil sudah tumbuh di rahimnya. Mengingat, sudah seminggu dia terlambat datang bulan. Semakin hancur hatinya. Kemalangan demi kemalangan menghampiri. Air mata tiada henti membanjiri.
“Arghht!!!!” teriak Yessi menahan perasaan sedih yang menghantam jiwanya.
Meraung-raung diantara isakan tangis. Takdir macam apa yang harus dia jalani. Kenapa sangat menyiksa seperti ini? Bagaimana dia akan menjalani hidup kedepannya? dengan benih yang telah tumbuh di rahim. Pria yang sangat dicintai pergi meninggalkannya untuk selamanya, kembali kepangkuan Yang Maha Kuasa.
Akankah dia sanggup menjalani hari-hari yang menyesakkan? Tetapi liku-liku kehidupan tak pernah ada yang mengetahui. Benang merah kehidupan Yessi mungkin akan dirajut ulang. Menapaki kehidupan bersama seseorang yang dalam mimpinya sekalipun tak pernah terbayangkan.
Merajut benang merah dan menikah dengan pemuda yang jauh dari kata sempurna di matanya. Entah karma apa yang sedang dia tanggung dalam kehidupan ini. Akankah Yessi sanggup menjalani takdirnya yang penuh haru biru?
Bagai pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah terluka semakin di sayat. Tentu akan semakin perih, itulah yang Yessi rasakan. Batinnya terguncang, manakala calon suaminya dikabarkan meninggal dunia. Alfatih meninggal diakibatkan crash pesawat saat latih tempur. Mengakibatkan pesawat meledak. Nyawa Alfatih tidak dapat diselamatkan.
Malam yang gelap, seolah bintang dan bulan memilih bersembunyi. Daripada menyaksikan beban yang ditanggung Yessi Rossalia. Yessi masih belum menerima keadaan hidupnya, memilih keluar rumah. Berjalan tak tentu arah. Membiarkan ke mana kakinya melangkah.
...****************...
Di tempat lain, seorang pria muda tengah mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Pikirannya sedang kalut. Rasanya ingin melampiaskan beban yang ada dalam batinnya. Pria muda ini bernama Junico Mandala. Dia masih berusia 17 tahun. Putra seorang Bupati di Kota T sebut saja begitu.
Kehidupan Nico, panggilan akrab Junico tak seindah dalam benak semua orang. Keluarganya hancur, Sang ibu menelantarkannya lantaran memilih mengejar karir sebagai seorang Fashion Designer. Ayahnya sibuk bekerja tanpa perduli bagaimana membimbing dan menyayangi putranya. Sungguh keluarga yang jauh dari kata sempurna. Tempo hari kakak kandungnya, satu-satunya keluarga yang paling peduli pada Nico dikabarkan meninggal. Semua hal itu membuat hatinya semakin kosong.
Nico memilih kebut-kebutan di jalanan. Supaya dia hanya fokus pada kecepatan, angin yang menerpa tubuh dan suara nafasnya. Sehingga dia akan lupa dengan masalah yang sedang di hadapi. Lupa dengan kesedihan karena kehilangan kakak tercintanya.
...****************...
Di tempat lain, Yessi yang merasa terguncang. Berjalan tak tentu arah. Berjalan lunglai dengan kendaraan banyak hilir mudik di sekitarnya. Air mata terus membanjiri. Tangannya mengelus perut yang sudah positif mengandung jabang bayi.
Yessi tak sanggup menjalani hari esok. Kehilangan orang yang dicintai, tepat dua hari sebelum pernikahan sekaligus hari ulang tahunnya. Membuat Yessi semakin terpuruk. Jika detik ini nyawanya dicabut. Maka dengan suka rela dia menyambutnya. Tanpa sadar dia merentangkan tangan. Dunia yang dipijak seolah berputar. Tak jauh dari tempatnya berdiri. Suara bel truk menggema berulang kali.
Semakin lama semakin dekat. Yessi tak bergeming. Cahaya lampu truk menyilaukan mata. Dia siap jika harus menyusul Alfatih saat itu juga. Sang sopit truk yang mengetahui ada orang di depannya. Berusaha menginjak rem dengan cepat.
Bunyi pedal rem yang diinjak kuat, berderit dengan keras. Tiba-tiba sekelebat bayangan berlari ke arah Yessi. Menariknya ke pinggir dengan cepat. Hingga keduanya berguling bersama.
Samar-samar Yessi melihat wajah seorang pria yang mirip dengan Alfatih, calon suaminya yang sudah meninggal. Yessi yang masih terguncang mengira itu adalah calon suaminya.
“Ma…mas….Al? Mas Al? benarkah ini kamu mas?” tanya Yessi sambil menggoncangkan tangan pria itu.
Tetapi Yessi yang pikirannya kalut. Terus berbicara.
“Mas! Kenapa kamu tega meninggalkanku? hari ini kita akan menikah. Kenapa ada yang mengatakan kamu meninggal?” isak tangis mulai terdengar dari mulutnya.
“Mas, aku mohon jangan membuatku stress seperti ini. Lihatlah, di perut ini telah tertanam buah cinta kita. Aku sedang mengandung anakmu.” Yessi mulai berlinang air mata.
“Jangan tinggalkan aku mas!” lagi-lagi suara Yessi yang diiringi isak tangis terdengar keras.
Yessi menatap sayu pada pemuda itu. Tangannya menyentuh pipi si pemuda dengan lembut.
“Mas…Mas Al.” tubuh Yessi tak kuasa lagi menahan gejolak di hatinya.
Yessi langsung tak sadarkan diri.
...****************...
Yessi mulai siuman. Seolah dia terbangun dari tidur panjang. Kepalanya terasa pening. Namun dia paksa untuk tetap membuka mata. Sampai terdengar suara lembut memanggilnya.
“Nak, ibu di sini…. bagaimana perasaanmu? Apa masih merasa sakit?”
Yessi mulai menemukan kembali kesadarannya. Di ruangan yang serba putih, sudah berdiri beberapa orang yang menatapnya. Di dekatnya ada ayahnya. Lalu ada pria yang kelihatan masih muda mengenakan masker.
Pak Rauf yang merupakan ayah Yessi, mendekat ke arah putrinya itu.
“Nak, dia adalah Nak Nico. Nak Nico yang menyelamatkanmu saat tadi kamu hampir tertabrak truk. Selain itu maksud kedatangannya kemari karena memaksa…..”
Pak Rauf diam sejenak. Menimbang segala kemungkinan. Jika dia mengatakan ini. Tetapi harus dilakukannya.
“Nak Nico ingin menikahimu.”
Yessi masih berusaha mencerna maksud ayahnya. Sang ayah melanjutkan kalimatnya kembali.
“Nak Nico akan menggantikan kakaknya sebagai pengantin pria.”
Serasa disambar petir di siang bolong. Membuat Yessi terasa ditampar ribuan tangan.
“A…apa???!” teriaknya.
Sang Ibu berusaha menenangkan. Kepala Yessi seketika terasa berat. Bagaimana bisa dia menikahi adik calon suaminya sendiri. Apa kata orang nantinya.
“Tidak…aku tidak akan menikah dengan siapapun.” tolak Yessi tegas.
Pak Rauf membuka suara. Meski harus menahan gejolak di dada.
“Nak, bapak tahu betul. Ini sangat berat untukmu. Kehilangan Nak Al di hari pernikahan kalian. Kamu pun sedang mengandung anaknya.” suara Pak Rauf terasa serak. Ikut menahan kesedihan yang Yessi rasakan.
Yessi yang teringat itu, berurai air mata. Dadanya terasa sakit. Dia hampir sulit bernafas
“Ta…tapi pak, aku tidak akan melakukannya.” Yessi lagi-lagi menolak.
Lanjutnya diantara isak tangis.
“Bagiku, tidak ada yang bisa menggantikan Mas Al.”
“Nak, bapak mengerti perasaanmu. Tetapi calon bayimu juga membutuhkan nama seorang ayah. Jangan menolak kebaikan Nak Nico. Dia rela melakukan ini demi almarhum kakaknya. Sekaligus melindungi calon keponakannya.”
Junico hanya diam saja dan memilih bersandar di dinding sembari melipat tangan. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
“Ta…tapi..pak?!” Yessi berusaha menolak.
Dia menatap kedua orang tuanya. Memohon supaya pernikahan ini jangan dilaksanakan. Tetapi orang tuanya hanya menggeleng. Pikirannya sungguh kalut. Memang benar adanya, bayi dalam kadungannya membutuhkan nama seorang ayah. Nama yang akan tertulis di akta kelahirannya kelak.
Jangan sampai dia lahir ke dunia, merasakan olok-olokan orang yang dianggap sebagai anak di luar nikah. Yessi hanya bisa menangis sejadi-jadinya sembari mengelus perutnya. Tidak ada pilihan untuknya. Selain terpaksa menikahi adik calon suaminya.
Keadaan yang memaksa Yessi membuat pilihan ini. Demi masa depan buah hatinya. Dia rela menanggung beban berat. Yessi hanya menginginkan kehidupan sempurna untuk buah hatinya kelak.
...****************...
Dunia Yessi seolah-olah sedang kiamat. Tidak ada jalan lain selain terpaksa menikah dengan Nico. Malam itu, di rumah sakit. Diadakan akad nikah antara Nico dan Yessi. Pernikahan yang tidak lagi diiringi tawa. Melainkan isakan tangis bernada duka.
Janji suci telah terucap. Mereka kini saah menjadi suami istri. Hanya derai air mata membanjiri wajah Yessi. Pernikahan terpaksa ini, sangat dirahasiakan. Hanya orang tua, adik dan sepupu Yessi yang mengetahui.
Kemalangan Yessi semakin bertambah. Entah takdir apa yang sedang dia tanggung. Hingga harus menikahi pemuda yang usianya terpaut cukup jauh. Ditambah pemuda itu adalah adik calon suaminya. Mendung menggelayut di atas kepala Yessi. Goresan pena sastranya kini bukan berkisah tentang cinta dan asmara. Melainkan petaka yang entah kapan ada ujungnya.
“Plak!!!” suara tamparan keras membuat Yessi tercekat.
Tepat di depan matanya, Mario Mandala menampar pipi Junico. Mengakibatkan luka di sudut bibirnya.
“Nico! Apa kamu sudah tidak waras? Papa sungguh tidak habis pikir? Bisa-bisanya kamu menikahi wanita ini!” nafas Pak Mario terdengar memburu. Menahan emosi yang bergejolak.
“Sejak awal, Papa juga tidak setuju kakakmu menikah dengannya. Kamu keterlaluan! Mencoreng nama baik papa saja!”
Bruak!!!
Pak Mario meluapkan emosinya dengan menggebrak meja. Yessi hanya bisa berjinggat karena terkejut menyaksikan kemarahan Pak Mario. Dia hanya bisa menggigit bibirnya. Tangannya mengepal erat.
“Pa..pak…sungguh ini juga bukan kehendak saya sendiri. Ta…tapi….” Yessi berusaha menahan gejolak dalam batinnya. Menahan air matanya supaya tidak jatuh.
Pak Mario menatap Yessi dengan tatapan tajam.
“Mungkin jika Al tidak bersamamu. Dia tidak akan mati. Waktu itu sudah Bapak katakan berulang kali. Secara hitungan hari kelahiran saja kalian tidak cocok. Lihat! Sekarang inilah akibatnya.” Pak Mario semakin gusar.
Yessi berusaha menahan air matanya. Apa salahnya bersama dengan orang yang dia cintai. Jika Yessi bisa memilih. Dia akan memilih nyawanya sendiri ditukar dengan Al.
“Pa…Pak….” Yessi berusaha bicara. Tetapi suaranya bergetar.
Tiba-tiba Nico maju selangkah. Dia yang tadinya diam saja kini mulai bersuara.
“Aku tidak perduli, apa yang Papa katakan. Aku melakukan ini untuk Mas Al. Demi calon anaknya yang sedang dikandung.”
Pak Mario memijat keningnya yang terasa berat.
“Nico, tetapi apa kamu tidak melihat dirimu? Kamu masih berstatus pelajar SMA? Apa kata orang-orang nanti? Seorang pelajar SMA putra Bupati terhormat. Menikahi calon kakak iparnya sendiri. Apa kamu tidak memikirkan? Bagaimana lawan politik papa bisa menggunakan hal ini sebagai senjata untuk menjatuhkan Papa!”
Yessi sudah tidak tahan lagi. Meski menahan tekanan batin.
“Detik ini, saya akan menceraikan anak Bapak.” ucap Yessi tegas.
Lantas tanpa berpamitan dia pergi meninggalkan rumah itu. Pergi dengan sejuta rasa sakit.
“Kamu lihat Nico! Wanita itu tidak memiliki sopan santun.”
“Cukup Pa! sudah cukup…biarkan aku mengurus diriku sendiri. Silahkan sibuk dengan karir dan pekerjaan papa sendiri.” ucap Nico tegas.
Lantas melangkah pergi. Pak Mario memanggil nama Nico berulang kali. Tetapi tak di gubrisnya.
...****************...
Nico bergegas ke luar. Mengejar Yessi yang ternyata terduduk di teras depan rumahnya. Dia menundukkan kepala sembari menangis tiada henti. Nico menghela nafas panjang. Lalu berjongkok di depan Yessi. Memegangi bahunya.
“Pokoknya aku tidak mau bercerai. Aku ingin menjaga calon bayi Mas Al.”
“Kamu membuat hidupku jauh lebih sulit.” jawab Yessi diantara isak tangisnya.
Yessi bicara tanpa menatap Nico. Nico mengambil nafas dalam. Lalu beranjak berdiri. Tatapan matanya terlihat menerawang ke langit.
“Aku hanya ingin melindungi anak Mas Al. Jadi mohon kerjasamanya.”
Yessi hanya bisa menangis. Menahan gejolak yang membuat hatinya teriris. Dilema melanda batinnya kini. Di satu sisi, dia benar-benar tidak mau menikah dengan Nico. Tetapi di sisi lain, calon anaknya membutuhkan seseorang sebagai ayah di aktanya nanti. Agar tidak jadi bahan cemoohan orang-orang. Dianggap sebagai anak yang lahir di luar nikah. Yessi terpaksa menikah dengan Nico, hanya untuk memberikan kehidupan sempurna bagi anaknya kelak. Meski itu hanya semu belaka.
Malam hari, di rumah keluarga Yessi.
Pak Rauf, Bu Susana ibu Yessi dan Vio duduk di meja makan bersama Nico dan juga Yessi. Di depan mereka tersaji beberapa makanan. Tetapi sejak tadi, semuanya hanya diam membisu. Tak ada yang membuka suara. Bahkan makanannya sudah terlanjur dingin.
Pak Rauf menghela nafas. Mencoba mencairkan suasana.
“Nak Nico, mari kita makan dahulu.”
Bu Susana ikut menimpali, “Benar….ayo, kita makan dulu.” sembari menata piring.
Yessi sama sekali tidak berselera makan.
“Aku masuk kamar saja, maaf…” lantas langkahnya terlihat gontai memasuki kamar.
Menutup pintunya rapat-rapat. Memilih menyembunyikan wajah dalam selimut. Ditemani kegelapan, yang dapat menyembunyikan wajah sendunya.
“Maaf Nak Nico. Membuatmu dalam posisi sulit. Jika Nak Nico ingin berce…..” kalimat Pak Rauf terpotong suara Nico.
Dia menatap dengan tatapan serius sembari berucap, “saya tetap pada keputusan awal.”
Mendengar apa yang dikatakan Nico. Semuanya memilih diam. Semua yang ada di rumah itu serba salah layaknya makan buah simalakama.
Malam semakin larut. Yessi masih termenung menatap langit di atas sana. Mencoret sesuatu di buku catatan miliknya.
Jika ada terang, ku pilih gelap
Jika ada esok, ku pilih berhenti
Jika takdir seperti duri
Aku memilih…..
Kalimat itu berhenti di sana. Buliran bening kembali berjatuhan. Menimpa kertas bergaris. Membuat noda diantara putih.
Di ruang tamu. Nico masih terjaga. Menatap foto Alfatih bersama Yessi yang tampak bahagia. Senyum merekah seolah tak akan terpisah. Nampak jelas di wajah keduanya. Helaan nafas berat terdengar dari pria muda berparas tampan itu.
...****************...
Beberapa hari kemudian. Semester baru telah di mulai. Suasana sebuah sekolah negeri favorit di mana Yessi mengajar terdengar hiruk pikuk. Siswa-siswi kelas X, XI, dan XII terdengar riuh. Awal yang baru bagi murid-murid itu. Tetapi berbeda dengan Yessi. Hidupnya seperti *ancik-ancik pucuking eri* hidupnya selalu dalam kekhawatiran. Hidup segan matipun tak mau.
Setelah upacara pembukaan MPLS. Siswa-siswi baru diperkenankan masuk ke kelasnya. Begitu juga dengan kelas XI dan XII. Yessi yang merupakan PNS baru diberi amanah menjadi wali kelas XI IPA 1.
Yessi harus professional. Meski sedang stress sekalipun, harus tetap melaksanakan kewajibannya. Untung saja, waktu itu dia tidak menyebar undangan. Memilih diam-diam merayakan pernikahan dengan Alfatih. Jika tidak, mungkin sekarang dia akan kesulitan menjelaskan. Yessi bergegas masuk ke kelas.
Setelah mendengar bunyi bel masuk.
Di kelas XI IPA 1 kebanyakan berisi anak-anak pintar dan berprestasi. Sebelum masuk ke kelas, Yessi merapikan rambutnya yang dia ikat dengan cemol. Di depan murid tidak boleh menunjukkan kesedihan, karena bagaimanapun seorang guru dituntut sebagai suri tauladan. Masalah di rumah janganlah dibawa ke sekolah.
“Selamat pagi anak-anak.” sapa Yessi dengan seulas senyum manis.
“Pagi Bu Yessi yang cantik.” balas murid lain serempak.
Di deretan meja depan duduk seorang pemuda yang bernama Cakra. Wajahnya sedikit memerah. Setelah melihat Yessi. Guru favoritnya di sekolah.
“Wah, kalian bersemangat sekali menyambut semester baru ya.” Yessi ikut membalas dengan nada ceria. Sejenak melupakan masalah hidupnya.
Salah satu siswa laki-laki mengangkat tangannya.
“Bu, aku gak kuat.” ucapnya dengan memasang wajah cengar-cengir.
“Tidak kuat kenapa? Karena akan mulai pelajaran?”
Siswa laki-laki itu menggeleng.
“Gak kuat karena menatap wajah Bu Yessi yang subhanallah.”
Bajay!!! Grrr!!! Huuuuu!!!
Satu kelas langsung riuh dan bersorak – sorai. Ya begitulah generasi Gen Z. Kebanyakan makan indo\*\*ie.
Hingga sebuah ketukan di pintu menghentikan sora-sorai.
“Ehem…ehem…” seorang pria paruh baya. Mengenakan kacamata dengan postur tambun. Berdiri di depan pintu.
Pria itu bernama Pak Mujaka, akrab di sapa Pak Jaka. Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan.
“Maaf bu, mengganggu waktunya. Saya sedang mengantarkan murid baru.”
Seorang pemuda berjalan dari balik punggung Pak Jaka. Tatapannya tajam, dibalut wajah rupawan. Tubuh tegap setinggi 180 cm. Seketika Yessi terperanjat. Ya…pemuda di depannya adalah Junico Mandala, pemuda yang secara administrasi sah sebagai suaminya.
Pak Jaka berbisik pada Yessi.
“Dia putra Pak Bupati. Tolong awasi saja. Dia memiliki lebel buruk sejak SMP.”
Yessi tertegun sesaat. Dia tidak berani menatap wajah Nico. Hanya akan membuatnya tersiksa. Seusai Pak Jaka meninggalkan kelas. Yessi mengajak Nico berbicara sebentar. Membuat murid-murid lain di kelas XI IPA 1 saling berbisik.
“Bersekolahlah di tempat lain. Jangan membuatku tersiksa.” pinta Yessi saat sudah menjauh dari kelas.
“Tidak mau.” jawab Nico dengan ekspresi dingin.
Yessi hendak marah dan melotot pada Nico. Tetapi buru-buru memalingkan wajahnya. Tak sanggup menatap wajah itu.
“Aku mau ke kantin.” lanjut bicara Nico dengan entengnya.
Lalu melangkahkan kaki. Tetapi mendadak terdengar suara Yessi.
“Jangan katakan apapun tentang….” Yessi tak sanggup mengatakan mengenai pernikahan terpaksa mereka.
“Aku mengerti.”
Setelah menjawab, Nico pergi meninggalkan Yessi begitu saja. Yessi mendengus kesal. Dari semua sekolah kenapa harus di sini Nico bersekolah. Sesaat kemudian, Yessi diam dan menatap langit yang terlihat biru cerah.
“Dia sungguh berbeda denganmu mas… apa di sana kamu bahagia?” seraut kesedihan terlukis jelas di wajah Yessi. Sampai sedetik kemudian, dia baru sadar.
“Eh!!! ini baru memasuki jam pertama! Bisa-bisanya anak itu pergi ke kantin!” Yessi terlihat kesal.
Entah takdir apa yang harus Yessi lewati. Tetapi dia harus tetap bertahan demi anak yang ada dalam kandungannya. Syair indah telah berubah. Hanya waktu yang dapat menyusun kembali bait-bait yang telah terputus dan terasa pahit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!