NovelToon NovelToon

Love Like Sugar And Coffee

Murid Baru

"Cepetan jalannya Re, jangan kayak keong gitu ah!" gerutu Cantika sambil menarik tangan sahabatnya.

"Tar dulu, pelan dikit kenapa sih? Lo jalan udah kayak dikejar maling!" jawab wanita yang dipanggilnya Re tadi sambil mengimbangi langkah Cantika.

"Rhea Allura ... lo aja yang jalannya kayak keong, pake nyalahin gue lagi. Buruan ah, gue laper!" Cantika kembali menarik sahabatnya itu menuju kantin.

Rhea Allura dan Cantika Clarissa merupakan siswi kelas XI SMA Pertiwi. Salah satu sekolah ternama dan berkelas internasional sekaligus terpandang.

Hampir semua siswa yang bersekolah di sana merupakan anak orang kaya dan terpandang di kota ini yang membuat reputasi sekolah menjadi lebih tinggi di mata masyarakat.

Suasana pagi yang cerah ini dipenuhi suara riuh siswa-siswi SMA Pertiwi yang berdatangan memasuki area sekolah.

Mereka berpakaian rapi dengan seragam putih terbalut rompi navy blue dan rok atau celana berwarna senada.

Rhea dan Cantika tengah duduk di kantin menikmati sarapan yang dipesannya beberapa menit lalu.

Keduanya asyik menyantap makanan sambil membahas beberapa tugas sekolah dan persiapan ujian yang akan berlangsung minggu depan.

Ditengah pembicaraan tersebut, keduanya dikejutkan suara nampan berisi makanan yang jatuh ke lantai.

Rhea, Cantika dan semua siswa di sana refleks menoleh ke sumber suara. Terlihat, seorang siswi tengah tertunduk dengan pakaian basah tertimpa minuman dan tiga orang siswi berdiri didepannya sambil tertawa mengejek.

"Lagi-lagi bikin onar, masih pagi lagi!" gumam Cantika masih memerhatikan mereka.

"Um?" Rhea menatap Cantika penuh tanya.

"Bikin mood turun tahu!" jawab Cantika menunjukkan ekspresi kesalnya.

"Lagian heran deh gue, tuh Shena sama antek-anteknya kenapa seneng banget ganggu orang. Kayak ... apa gunanya gitu? Nggak ada!" lanjutnya kembali menatap tiga orang yang tertawa itu sambil terus menggerutu.

"Ngapain liat-liat!" tegur salah satu dari tiga siswi pembuat onar itu yang memiliki tampilan paling mencolok dengan nametag bertuliskan Shena Veronica.

Semua orang langsung menunduk dan mengalihkan pandangan dari Shena CS agar tidak menjadi target bulan-bulanan mereka selanjutnya.

Rhea dan Cantika juga memilih mengalihkan pandangan lalu fokus kembali ke sarapan mereka agar bisa cepat masuk kelas.

Shena adalah satu dari mayoritas anak orang kaya yang sok berkuasa di sekolah ini. Dia bersama temannya Dyra dan Gwen kerap kali mengganggu siswi lain sebagai bahan permainannya.

Target mereka adalah anak-anak dari kelas X dan kelas XI terutama yang masuk melalui program beasiswa yang diberlakukan SMA Pertiwi lima tahun terakhir.

"Uwaaahhhh siapa di sana?" Shena menangkap seseorang yang begitu menarik perhatiannya beberapa hari ini.

"Let's go!" Shena memberi isyarat agar Dyra dan Gwen mengikutinya.

"Tentu!" jawab keduanya bersamaan dengan suara sok gaul khas mereka.

Ketiganya berjalan mendekati salah satu meja dengan dua siswi yang tengah menikmati sarapan dengan nyaman yaitu Rhea dan Cantika.

"Uwaaahhhh lagi apa nih? Kayaknya enak tuh?" ucap Shena dengan tatapan dan tawa meledek sambil tertawa.

Shena mengambil es jeruk didekatnya dan dituangkan ke nasi goreng yang tengah dinikmati oleh Rhea.

"Nah kalau gini kan makin lezat, iya gak gengs?" ucap Shena sambil tertawa puas mengerjai Rhea.

Suara tawa tersebut berhasil membakar api dalam diri Cantika. Dia pun langsung mengambil minuman miliknya dan menyiram Shena tanpa bisa dihindari.

"Yak, how dare you!" teriak Shena kesal sekaligus terkejut dengan apa yang dilakukan Cantika.

Semua orang menatap takjub dengan apa yang dilakukan Cantika. Mereka bahkan saling berbisik menyaksikan Shena mendapat balasan atas perbuatannya.

"Kenapa? Kaget? Gue bahkan bisa lakuin hal yang lebih dari ini!" jawab Cantika membalas tatapan menyebalkan Shena.

Rhea juga langsung berpindah ke samping Cantika dan bergegas menarik tangan sahabatnya itu.

"Lepasin, gue belum selesai!" berontak Cantika berusaha melepaskan genggaman tangan Rhea.

"Udahlah, ayo pergi aja!" cegah Rhea tetap menarik sahabatnya itu hingga menjauh dari Shena.

"Urusan kita belum selesai!" teriak Cantika yang terseret langkah Rhea meninggal kantin.

Shena berteriak sambil menghentakkan kakinya kesal dan menatap tajam ke semua orang yang tengah menertawakannya diam-diam. Shena pun berbalik menuju loker diikuti dua temannya dengan perasaan kesal.

Sementara itu, semua siswa di luar kantin tengah terpesona dengan kedatangan dua mobil mewah ke dalam area parkir sekolah. Mereka saling berbisik dan menunggu siapa yang keluar dari mobil tersebut.

Suara riuh dari teriakan para siswi seketika memenuhi area sekolah dari berbagai sudut setelah pemilik mobil itu turun.

Empat orang pria tinggi, tampan, berkulit putih, tubuh proporsional yang terbalut rapi sekaligus bergaya dengan seragam SMA Pertiwi.

Semua siswi berlarian keluar melihat empat pria itu dari depan kelasnya, kegirangan dengan kehadiran mereka.

"Menyebalkan!" gumam salah satu dari mereka yang menampilkan wajah dingin dan arogan.

Empat orang tersebut berjalan menuju ruang kepala sekolah diantar salah satu petugas yang telah menunggu mereka. Langkah mereka diiringi teriakan antusias para siswi yang tidak berniat memalingkan pandangan dari sosok tampan tersebut.

Tepat di lorong terakhir menuju ruang kepala sekolah, empat pria itu berpapasan dengan dua siswi yang terlihat sedang berdebat.

Keduanya adalah Rhea dan Cantika. Mereka masih berdebat karena Cantika tidak puas membalas perbuatan Shena CS. Sementara Rhea memilih menutup telinga sambil terus menarik sahabatnya itu ke kelas.

Ketika berpapasan, baik Rhea Cantika ataupun empat pria tadi sama-sama tidak saling menoleh. Mereka tampak sibuk dengan urusan masing-masing dan empat orang tadi juga tidak terlalu tertarik untuk menoleh pada mereka.

"Ini ruangannya, silakan!" ucap petugas tersebut mempersilakan empat orang itu untuk masuk.

Tanpa mengatakan apapun, mereka langsung masuk menghadap kepala sekolah dengan langkah arogannya.

Petugas yang mengantar mereka hanya bisa menghela napas sambil geleng-geleng kepala, "Gak sopan!" gumamnya lalu melangkah pergi setelah menutup pintu ruangan tersebut.

Sementara itu, Rhea dan Cantika telah sampai di kelas lalu duduk di kursi mereka. Cantika melipat kedua tangan sambil mengalihkan wajah dan cemberut.

"Udah dong, marahnya!" Rhea mencolek tangan Cantika yang langsung ditepis oleh sahabatnya itu.

"Ka ...." Rhea menarik napas tapi langsung diam karena disela.

"Lo tuh bisa gak sih, sekali aja ngelawan. Jangan diam aja. Orang kayak dia tuh pantes buat dihajar, tahu gak?" gerutu Cantika yang masih diselimuti rasa kesal.

"Gue cuman males ribut. Lagian dibalas atau nggak, Shena tetap bakalan gangguin kita lagi dan lagi. Lo gak bosen apa, ngeladenin dia terus?" jawab Rhea mencoba membuat sahabatnya itu mengerti alasannya.

"Tapi tetap aja ... seenggaknya kalau lo ngelawan, orang-orang gak akan ngeliat lo rendah dan bersikap lebih dari batasannya. Hanya karena kita siswa jalur beasiswa, bukan berarti kita gak punya suara di sini!" jawab Cantika menatap Rhea serius.

"Um gue tahu ... dan lo emang bener. Tapi gue cuman gak mau, akibat ngeladenin Shena kita kehilangan nama baik di sekolah ini," jawab Rhea membalas tatapan sahabatnya sambil mengelus tangan Cantika, lembut.

"Udah yaa ...!" Rhea kembali menenangkan Cantika sambil tersenyum.

***

Kelompok Belajar

"Udah dong, marahnya!" Rhea mencolek tangan Cantika yang langsung ditepis oleh sahabatnya itu.

"Ka ...." Rhea menarik napas tapi langsung diam karena disela.

"Lo tuh bisa gak sih, sekali aja ngelawan. Jangan diam aja. Orang kayak dia tuh pantes buat dihajar, tahu gak?" gerutu Cantika yang masih diselimuti rasa kesal.

"Gue cuman males ribut. Lagian dibalas atau nggak, Shena tetap bakalan gangguin kita lagi dan lagi. Lo gak bosen apa, ngeladenin dia terus?" jawab Rhea mencoba membuat sahabatnya itu mengerti alasannya.

"Tapi tetap aja ... seenggaknya kalau lo ngelawan, orang-orang gak akan ngeliat lo rendah dan bersikap lebih dari batasannya. Hanya karena kita siswa jalur beasiswa, bukan berarti kita gak punya suara di sini!" jawab Cantika menatap Rhea serius.

"Um gue tahu ... dan lo emang bener. Tapi gue cuman gak mau, akibat ngeladenin Shena kita kehilangan nama baik di sekolah ini," jawab Rhea membalas tatapan sahabatnya sambil mengelus tangan Cantika, lembut.

"Udah yaa ...!" Rhea kembali menenangkan Cantika sambil tersenyum lalu memberi pelukan agar perasaan mereka menjadi lebih baik.

Bel masuk pun berbunyi, semua siswa kembali ke kelas masing-masing. Shena CS masuk dengan wajah cemberut. Mereka menatap Rhea dan Cantika yang duduk di barisan kedua kursi keempat.

"Malu-maluin, gue gak terima ... liat aja, gue bakalan bales mereka!" ucap Shena merasa geram karena Cantika berhasil membuatnya malu didepan semua orang.

"Itu harus ... orang kayak mereka gak bisa dibiarin, kalau nggak image kita bisa jelek dan makin banyak orang yang bakalan lebih berani nentang kita," sahut Dyra.

"Lo bener, kalau itu terjadi ... abis reputasi kita!" timpal Gwen.

"Itu gak akan dan gak boleh terjadi!" pungkas Shena berdecak kesal.

Lalu dia pergi duduk ke tempatnya bersama Gwen di barisan keempat kursi kedua dan Dyra di belakangnya.

Tidak lama, Pak Dio yang kali ini mengisi kelas pun masuk diikuti empat orang pria yang seketika membuat heboh suasana kelas.

"Udah udah, sstttttt!" Pak Dio menaruh jari telunjuk didepan bibirnya sebagai tanda semua orang diminta diam.

"Bener-bener ya, gak bisa banget liat yang bening-bening langsung pada heboh aja. Giliran Bapak yang masuk, gak ada tuh sambutan riuh kayak gini," lanjutnya.

"Yee beda lah, Pak. Dilihat gini aja, Bapak tahu kan bedanya dimana?" sahut Dyra dan langsung memancing tawa semua orang.

Dio melihat dirinya yang berbaris bersama empat pria itu. "Pantesan aja!" ucapnya langsung mengalihkan pandangan.

"Minder ya, Pak?" lanjut Dyra melihat ekspresi Dio dan semua orang kembali tertawa dibuatnya.

"Eehh udah udah, kamu nih kalau ngeledekin gak pernah setengah-setengah, ya!" jawab Dio.

"Yaudah, kalian pasti udah tahu. Empat orang disebelah Bapak ini adalah murid baru yang akan masuk di kelas kita. Silahkan, perkenalkan diri dulu!" ucap Dio.

Perkenalan dimulai dari sisi kanan Dio, "Halo semuanya, nama gue Agam!"

"Gue, Galen!" lanjut orang disebelah Agam.

"Gue, Wiliam!"

"Gue, Daffin!" ucap orang terakhir yang tampak tidak tertarik dengan sesi tersebut tapi berhasil memecah teriakan para siswi di kelas ini.

Semua orang mengagumi ketampanan dan aura cool dari seorang Daffin. Mereka bahkan tidak segan memuji pria itu secara terang-terangan. Semua orang terhipnotis kecuali Rhea dan Cantika.

Sama seperti Daffin yang tampak cuek dan tidak tertarik untuk berinteraksi didepan kelas, Rhea Cantika juga tampak berekspresi biasa saja ditengah riuh kelas yang terjadi.

Dio kembali mengambil alih kelas dan mempersilakan Daffin CS duduk dibarisan pertama kursi empat dan lima.

Tempat duduk Daffin bersebelahan dengan Rhea tapi keduanya masih tidak tertarik untuk saling melihat satu sama lain.

Berbeda dengan siswi lain yang melihat Rhea penuh keberuntungan karena bisa bersebalahan dengan Daffin CS.

Kalimat seperti, "Iihhh iri banget deh!" atau "Iyaa tahuuu, gue mau banget duduk di sana!" tidak segan keluar dari mulut mereka.

Namun, Shena CS justru menatap penuh kekesalan karena lagi-lagi Rhea Cantika menjadi pusat perhatian.

"Ish nyebelin banget, sih!" gumamnya sambil berdecak kesal dan dibalas anggukan oleh Dyra dan Gwen.

Dio pun mencoba mengambil alih perhatian para siswanya dengan memulai mata pelajaran hari ini. Kelas berlangsung cukup kondusif, semua orang fokus memerhatikan pemaparan materi dengan baik.

Memasuki jam terakhir dari mata pelajaran Dio, semua siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mengerjakan tugas presentasi yang akan dikumpulkan besok lusa.

"Kelompok Tiga. Anggotanya, Rhea, Wiliam, Galen, Agam, Cantika dan Daffin—" ucap Dio sambil melihat daftar absensi.

"Aahhhhhhh!!!" keluh semua siswa langsung menyela kalimat gurunya itu.

"Gak bisa gitu dong, Pak. Kok semuanya jadi kelompok Si Upik, sih? Bapak gak adil!" teriak Shena.

"Iya niihhhh, bapak pilih kasih!" sahut Dyra.

"Aahhhhh bapak, nih!" keluh semua orang dengan wajah cemberutnya.

"Sstttttt udah, udah. Ini kelompoknya udah bener kok. Kalian juga bakalan dapet anggota kelompok yang sama rata," ucap Dio.

"Bukan masalah sama ratanya, Pak. Tapi kenapa Baby Daffin juga ikut kelompok Si Upik, gak bisa gitu dong. Harusnya dia itu masuk kelompok saya, Pak!" jawab Shena.

"Uuuhhhhhhh!" protes semua orang pada Shena.

"Apaan sih, sirik aja!" sahut Shena merajuk.

"Udah, udah. Shena, kamu gak boleh kayak gitu, ya. Panggil upik upik, gak baik. Main ganti nama orang aja, upik, baby, apa-apaan itu!" gerutu Dio.

"Yee biarin aja, sih!" sahut Shena mengerucutkan bibirnya.

"Udah, udah, pokoknya nama-nama dari kelompok yang Bapak bikin ini mutlak, gak bisa diganti atau diganggu gugat, paham?" lanjut Dio.

"Iyaa!" jawab semua orang lemas.

"Daffin, gimana? Paham?" tanya Dio tersenyum menampilkan barisan giginya.

"Gak masalah, Pak!" jawab Daffin singkat masih dengan ekspresi cueknya.

"Kalau gitu ... kita lanjutkan. Kelompok Empat ...." Dio kembali menyebut nama-nama muridnya hingga bel selanjutnya berbunyi.

Daffin melirik siswi disebelahnya yang tengah menuliskan nama-nama anggota kelompok tadi. Dia juga melihat siswi tersebut menghela napas dan menutup bukunya seiring Dio yang keluar dari kelas.

Kelas kembali berlangsung dengan mata pelajaran dan guru yang berbeda, semua siswa kembali fokus belajar hingga hari menjelang sore dan sekolah berakhir.

Setelah mata pelajaran terakhir selesai, semua siswa membereskan alat tulisnya dan secara bertahap mereka meninggalkan kelas.

"Tunggu!" ucap Rhea menghentikan langkah Daffin yang hendak keluar dari kursinya.

"Um?" Daffin menoleh sambil mengangkat sebelah alisnya dan kembali duduk di kursinya.

"Sebelumnya kenalin, gue, Rhea dan dia Cantika. Kalian tahu kan, kita satu kelompok di tugas pak Dio? Dan—" ucap Rhea yang berdiri di depan meja Daffin.

"Intinya?" tanya Daffin menyela dengan ekspresi malas dan membuat Rhea menghela napas.

"Kita kerjakan hari ini!" jawab Rhea to the point.

"Gak bisa, gue sibuk!" Daffin beranjak dari kursinya.

"Tunggu!" Rhea menghadang jalan Daffin keluar dari mejanya.

"Tugas ini dikumpilin lusa, kalau nggak hari ini, kapan lagi?" lanjutnya.

"Masih ada dua hari, kebut semalam juga beres itu tugas!" jawab Daffin menyelekan.

"Gak usah dibikin ribet!" lanjutnya sambil melipat kedua tangannya dan hendak melangkah tapi kembali dihadang.

"Lo pikir tugas cuman ini aja? Pokoknya kita kerjain hari ini. Kalau kalian gak ikut, gue gak akan tulis nama kalian di proyek tugasnya!" ancam Rhea.

Cantika tersenyum smirk melihat sikap Rhea yang tegas jika menyangkut masalah nilai sekolah seperti ini. Sementara Galen CS justru merasa takjub karena baru kali ini ada orang yang berani mendebat sahabat mereka itu.

"Lo berani lakuin itu?" Daffin sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Rhea sambil menatap tajam.

"Kenapa gak berani? Gue gak butuh orang-orang yang cuman numpang nama doang!" jawab Rhea melipat kedua tangan menyembunyikan perasaan gugupnya karena ditatap begitu dekat.

"Kalau kayak gitu, lo juga gak bakalan dapet nilai, kan? Lo yakin?" Daffin kembali berdiri tegak, melipat tangan sambil tersenyum smirk menatap wanita didepannya.

"Seenggaknya gue dan Cantika bakalan dapet nilai pengerjaan. Tapi kalian ... gak dapet apa-apa. Oh tunggu, kayaknya sih hukuman berjemur di lapangan bakalan cocok buat kalian," jawab Rhea diakhiri tawanya bersama Cantika.

"Berani lo ngomong kayak gitu?" Daffin kembali mendekat dengan tatapan tajamnya.

"Heh, santai dong!" Cantika menghalangi Rhea dan mendorong Daffin perlahan menggunakan jari telunjuknya.

"Hey!" Galen CS juga bereaksi dengan sikap Cantika yang berani melakukan itu pada Daffin.

"Oups!" Cantika melebarkan kedua telapak tangannya lalu menjauh sambil menoleh pada tiga pria dibalik Daffin.

"Sstt!" Rhea kembali ke depan Cantika dan menatap Daffin.

"Pukul dua siang—" ucap Rhea.

"Di lapangan basket sekolah," jawab Daffin menyela.

"Lapangan basket?" Rhea mengerutkan kening.

"Mau atau nggak, terserah lo. Gue bakalan latihan basket di sana dan lo ... bawa semua yang dibutuhin buat tugas ini!" jawab Daffin lalu melangkah lebih dekat.

"Kami ini murid baru, jadi gak tahu apa-apa. Makanya gue serahin persiapan tugas sama lo, ya!" lanjutnya dengan ekspresi meledek.

Daffin CS tertawa dan melangkah keluar kelas meninggalkan Rhea yang wajahnya sudah berubah merah menahan kesal.

"Ish, tu orang bagus diliat aja tapi gak ada akhlak!" gerutu Rhea sambil menghentakkan kakinya.

"Tapi gue seneng, dia bisa bikin jati diri lo keluar," sahut Cantika yang juga tertawa kecil melihat ekspresi wajah sahabatnya itu.

"Lo suka liat gue kesel kayak gini, hah?" Rhea menoleh lalu menyilangkan kedua tangan.

"Itu juga. Tapi gue seneng lo berani mendebat orang kayak gini, selama mereka emang salah—" jawab Cantika.

"Gue belajar dari lo!" ucap Rhea menyela lalu diakhiri tawa keduanya.

"Yaudah yuk, kita pergi!" Cantika merangkul sahabatnya itu meninggalkan kelas.

***

"Mana boleh gitu, buruan ganti?" protes Daffin.

"Ya lo gak bilang dari awal, kalau kayak gini kan harus diedit lagi!" gerutu Rhea kesal.

"Ya lo gak tanya!" sahut Daffin sedikit meninggikan suara karena terpancing emosi.

"Gue udah tanya, ya. Lo malah fokus ke handphone terus dari tadi!" jawab Rhea tidak kalah nyolot dan keduanya saling menatap tajam karena kesal.

Kelompok Belajar Pt.2

Daffin CS tertawa dan melangkah keluar kelas meninggalkan Rhea yang wajahnya sudah berubah merah menahan kesal.

"Ish, tu orang bagus diliat aja tapi gak ada akhlak!" gerutu Rhea sambil menghentakkan kakinya.

"Tapi gue seneng, dia bisa bikin jati diri lo keluar," sahut Cantika yang juga tertawa kecil melihat ekspresi wajah sahabatnya itu.

"Lo suka liat gue kesel kayak gini, hah?" Rhea menoleh lalu menyilangkan kedua tangan.

"Itu juga. Tapi gue seneng lo berani mendebat orang kayak gini, selama mereka emang salah—" jawab Cantika.

"Gue belajar dari lo!" ucap Rhea menyela lalu diakhiri tawa keduanya.

"Yaudah yuk, kita pergi!" Cantika merangkul sahabatnya itu meninggalkan kelas.

Dengan wajah cemberutnya, Rhea berjalan bersama Cantika menuju perpustakaan. Mereka meminjam buku untuk melengkapi materi tugas yang akan dikerjakan.

Setelah mendapat sekitar lima buku, mereka langsung pergi menuju lapangan basket tertutup yang biasa digunakan team untuk berlatih.

Karena hari ini bukan jadwal team basket berkumpul, lapangan tersebut tampak sepi dan memang bebas digunakan kapanpun oleh seluruh siswa.

Sesampainya di sana, Daffin CS benar-benar ada di sana. Rhea sedikit merasa bersalah karena menduga para pria itu kabur dan tidak mungkin hadir tapi ternyata dugaannya salah.

Daffin menoleh ke arah pintu masuk. Dia sedikit menarik senyum melihat kedatangan Rhea dengan buku-buku ditangannya.

Bahkan kini senyum kecilnya berubah hingga menampilkan deretan giginya ketika Rhea mulai berjalan melewati kursi penonton.

"Heh, kenapa ... senyum-senyum gak jelas?" tegur William menepuk bahu sahabatnya itu.

"Gak ada!" jawab Daffin menetralkan suaranya sambil memalingkan wajahnya tapi masih curi-curi pandang pada Rhea.

Dia pun mengikuti arah pandangan Daffin dan menemukan dua orang yang berhasil menarik perhatian kutub es tersebut.

"Eehhmmmm ada apa lo sama dia?" William menatap curiga sambil menahan senyum lebarnya.

"Hayo looohhhh, naksir Lo ya?" sahut Galen dan Agam yang juga ikut mendekat ke arah Daffin.

"Apaan sih? Ngaco Lo semua!" Daffin berbalik lalu kembali memantulkan bola dan menembakkannya ke ring.

Sedangkan tiga temannya tertawa puas melihat Daffin yang berusaha menyembunyikan perasaannya yang tengah salah tingkah.

"Uwaahhh akhirnya datang juga. Kirain gak jadi?" sapa Agam dengan nada meledek.

Namun hal tersebut tidak digubris Rhea dan Cantika. Keduanya langsung duduk dipinggir lapang lalu membuka laptop dan menyiapkan buku-buku materinya.

Setelah bersiap mengerjakan tugas, Daffin CS justru masih asyik bermain basket, dua lawan dua. Rhea dan Cantika masih membiarkan mereka melakukannya sambil beristirahat sejenak.

Setelah dua puluh menit, dua perempuan itu langsung meminta mereka berhenti dan mulai fokus pada tugas.

"Kalian aja. Kita temenin sambil main aja, okeh?" jawab Daffin yang masih asyik bertanding.

"Yak, kan tadi udah janji mau kerjain bareng!" teriak Rhea lagi sambil memerhatikan permainan para pria itu.

Daffin berlari melakukan lay up shoot dan berhasil mencetak poin. Kemudian langsung menoleh pada Rhea, "Gue gak ngerasa janjiin itu," ucapnya tanpa rasa bersalah.

"Hah?" Rhea mengerutkan kening belum menangkap maksud Daffin.

"Gue cuman bilang kita ketemu di sini dan lo bawa semua buku yang diperlukan. And see, bahannya udah ada, anggota kelompok juga hadir semua, jadi lo bisa mulai kerjain tugasnya, iya kan?" jelas Daffin melipat tangan dan mengangkat sebelah alis diujung kalimatnya.

"Siapa yang nyiptain sistem kerja kelompok kayak gitu, hah? Gak bisa gitu. Kalian juga harus bantu!" protes Rhea.

Perempuan itu berjalan mendekat ke hadapan Daffin lalu menyodorkan satu buku yang dibawanya, "Lo cari materi pertama dari buku ini dan bikin rangkumannya. Satu orang satu pembahasan, dengan cara ini tugasnya bakalan cepet kelar dan—" jelas Rhea.

"Ogah!" jawab Daffin menyela.

"Lo tuh—nyebelin banget, ya. Susah banget sih diajak kerja sama. Kalau gini caranya, gak jauh beda sama ngerjain tugas sendirian. Gak guna!" Rhea menatap Daffin penuh kekesalan.

Wajah Rhea yang memerah tampak lucu di mata Daffin hingga mengundang senyum tawa pria itu. Agam CS juga merasakan ada yang berbeda dengan interaksi yang ditunjukkan Daffin pada wanita itu sejak tadi.

Sedangkan Cantika memilih memerhatikan dari tempat duduknya sambil menyiapkan lembar kerja untuk presentasi tugas mereka.

"Ngapain lo ketawa?" tegur Ayara kesal sementara Daffin tetap terkekeh.

Pria itu langsung menetralkan suara dan tersenyum menatap Rhea, "Gini aja, kita tanding basket. Kalau Lo menang, kita bakalan ikut ngerjain tugas rese itu. Tapi kalau Lo kalah, tugas itu harus lo kerjain sampe selesai dengan nama gue dan temen-temen gue di dalamnya. Gimana?" ucap Daffin tersenyum smirk.

"Kita ... tanding basket? Lo yakin?" tanya Rhea mengerutkan kening.

"Iya!" Daffin memantulkan bola dan kembali menatap Rhea.

"Kenapa ... lo takut?" tanya Daffin lagi.

"Gue? Hahaha ya nggak lah!" jawab Rhea tersenyum meremehkan.

"Cantika, kita ditantangin basket nih!" ucap Rhea lalu mengisyarakatkan Cantika untuk menghampirinya.

Rhea merangkul tangan Cantika dan kembali menatap Daffin, "Kita siap!" jawab Rhea tersenyum yakin.

Daffin yang mendapat jawaban tersebut sempat terkejut tidak percaya tapi ekspresi wajah dua perempuan didepannya ini cukup meyakinkan, "Sepertinya ini akan seru!" gumam Daffin tersenyum dalam hati.

"Gam, lo tim gue. Will sama Galen jadi juri!" ucap Daffin dan langsung disetujui sahabatnya itu.

Rhea, Cantika, Daffin dan Agam memasuki lapangan. Mereka saling berhadapan dengan tim lawan sambil mendengarkan arahan Galen dan William sebagai wasit.

"Kita bermain setengah lapangan dan karena kita gak punya banyak waktu, jadi waktu bermain hanya 2x10 menit saja. Tim manapun yang berhasil mencetak poin paling banyak, dia yang menang," jelas William.

Setelah itu, permainan pun dimulai dan bola diawali dari tim Rhea. Dalam hitungan detik, dua wanita itu berhasil mencetak 2 poin pertama dengan cukup mudah.

Daffin dan Agam cukup terkejut dengan permainan lawan. Mereka kira akan sangat mudah menang dalam permainan ini tapi tenyata Rhea dan Cantika termasuk lawan yang bisa dikatakan hampir seimbang.

Galen dan William juga terkejut sekaligus semakin tertarik dengan permainan tersebut. Dua wasit itu juga penasaran siapa yang akan menang jika lawan mereka ternyata cukup hebat bermain basket juga.

Lima menit berlalu, poin berubah menjadi 14-16 yang dipimpin Rhea. "Gue gak nyangka, kalian jago juga ternyata," ucap Daffin sambil menghadang Rhea yang tengah men-dribbel bola.

"Kenapa, lo nyesel? Siap-siap deh buat kalah dan ngerjain tugas sampe selesai, ya!" jawab Rhea yang berbalik dengan cepat dan berhasil lolos dari Daffin.

Bola dioper pada Cantika dan dua poin tambahan berhasil mereka raih. Senyum mekar ditunjukkan keduanya. Alih-alih merasa kesal, Daffin justru tersenyum dan sangat menikmati permainan sederhana ini.

Pandangannya juga tidak pernah lepas dari Rhea. Ketika melihat wanita itu tersenyum, secara tidak sadar Daffin juga ikut tersenyum bersamanya.

Perubahan tersebut dirasakan cukup jelas oleh tiga sahabatnya itu. Mereka cukup terkejut tapi juga merasa senang dan membiarkan Daffin mengikuti alur pikirannya.

Sepuluh menit pertama pun selesai dan dimenangkan oleh Rhea dengan selisih 5 poin. Merasa cukup, Daffin pun memutuskan mengakhiri permainan dan mengakui kekalahannya.

Hal tersebut membuat Rhea dan Cantika senang. Mereka pun duduk bersama. Daffin CS bertugas mencari dan membuat rangkuman materi, sedangkan para wanita bertugas menyiapkan lembar kerja dan memasukkan poin-poin dari rangkuman yang dibuat empat pria itu.

Waktu pengerjaan menghabiskan setidaknya dua jam lebih. Tepat pukul lima sore, Rhea memperlihatkan tampilan presentasinya dan meminta pendapat anggotanya jika ada sesuatu yang perlu dilengkapi atau diedit agar tampilannya lebih menarik. Semua orang fokus memeriksa kecuali Daffin yang sibuk dengan game online-nya.

"Fin, udah dong mainnya ... ini liat dulu!" ucap Rhea menoleh pada pria yang asyik bicara sendiri dengan gamenya.

"Udahlah, gue ikut aja. Toh itu juga diperiksa lebih dari satu orang, kalian aja udah cukup kok itu!" jawab Daffin acuh sambil terus fokus ke handphone-nya.

Lelah berdebat, Rhea pun memilih mengabaikan dan kembali fokus ke anggota lain yang tengah mengoreksi tugasnya.

"Udah deh, kayaknya. Udahlah, save aja!" ucap Agam.

"Beneran, yakin nih?" tanya Cantika lagi untuk meyakinkan.

"Iya, udahlah. Cukup jelas dan terstruktur kok itu, gampang dibaca juga buat kita presentasi nanti," jawab William.

"Yaudah gue save, ya!" pungkas Rhea sambil men-scroll halaman dan tombol save pun berhasil di klik.

Setelah selesai dan puas dengan pengerjaan tugasnya, Rhea kembali melihat halaman depan yang menampilkan nama-nama anggotanya.

"Eeh tunggu!" ucap Daffin yang ternyata memerhatikan dari belakang.

"Kenapa?" tanya Rhea sedikit menoleh pada Daffin yang duduk di belakangnya.

"Itu nama gue kurang satu. Nama gue, Daffin. Double F, itu cuman satu. Ganti buruan!" protes Daffin.

"Ah elah, ribet lo. Udahlah biarin aja!" jawab Rhea.

"Mana boleh gitu, buruan ganti?" protes Daffin.

"Males ah!" jawab Rhea mulai kesal.

"Ya lo gak bilang dari awal, kalau kayak gini kan harus diedit lagi!" gerutu Rhea kesal.

"Ya lo gak tanya!" sahut Daffin sedikit meninggikan suara karena terpancing emosi.

"Gue udah tanya, ya. Lo malah fokus ke handphone terus dari tadi!" jawab Rhea tidak kalah nyolot dan keduanya saling menatap tajam karena kesal.

"Gak mau tahu, pokoknya ganti!" ucap Daffin.

"Yaudah ganti sendiri, nih!" Rhea menyodorkan laptop-nya.

"Gak mau, inikan tugas lo, salah lo juga, jadi lo yang harus ganti, buruan!" jawab jawab Daffin merajuk.

"Ih nyebelin banget, sih!" protes Rhea menghentakkan kepalan tangan ke pangkuannya.

"Udah, udah, udah ... sini biar gue aja yang ganti!" Cantika lantas mengambil laptop tersebut dan mulai mengedit bagian yang diperlukan.

Sementara itu, Rhea dan Daffin saling memberi tatapan tajam dengan bibir yang mengerucut. Keduanya memalingkan wajah bersamaan, seperti dua bocah yang tengah merajuk satu sama lain.

Cantika dan Agam CS hanya bisa menahan tawa karena perilaku dua orang yang terus berdebat dari awal pengerjaan tugas hingga selesai.

"Akhirnya selesai," ucap Cantika yang langsung mematikan laptop dan semua orang langsung membereskan semua alat tulis mereka.

Ditengah aktivitas tersebut, tiba-tiba dering panggilan masuk ke handphone Rhea, "Halo?" sapanya menjawab telepon tersebut.

"Apa? Iya, iya, aku usahakan, ya ... okeh sampai nanti!" jawab Rhea yang langsung membawa buku-buku untuk dikembalikan dan langsung menarik Cantika untuk segera pergi bersamanya.

"Hey, kalian mau kemana?" teriak Daffin menatap kepergian dua wanita itu.

"Mukanya Rhea berubah kayak khawatir gitu gak sih, setelah dapet telepon?" ucap Galen yang langsung diiyakan oleh William dan Agam.

Empat pria itu saling melempar tatapan dan langsung beranjak dari tempatnya menyusul kepergian Rhea dan Cantika.

***

"Gue seburuk itu, ya? Sampai mereka lakuin ini," gumam Rhea meratapi nasibnya yang malang. Daffin hanya bisa diam menatap wanita dihadapannya itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!