" Lalu maumu apa Pak Tua?"
" Enak sekali hidupmu, setelah mengacaukan masa depan adikku kamu justru hidup dengan tenang."
" Rumah tangga yang hangat pulang disambut dengan senyuman istri tersayang dan anak-anak yang memiliki masa depan cerah. Lalu bagaimana dengan adikku hah?"
" Sekarang dia lumpuh, tak bisa berbuat apa-apa kecuali tidur di atas ranjang rumah sakit. Kekasihnya juga telah memutuskan pertunangan mereka."
"Dan sekarang, kau mau lepas tanggung jawab, hah? Enak saja!"
Pria itu berbicara tanpa henti dengan amarah yang membuncah. Di hadapannya duduk seorang pria paruh baya, yang selama ini telah Setia menjadi sopir pribadi adiknya.
Namun sayang, sebuah kecelakaan menjadikan semua tidak lagi sama seperti dulu. Hubungan antara atasan dan bawahan yang dulunya harmonis seperti sebuah keluarga, kini seolah berjarak dan renggang.
Bumi Syam Mahardika Pranadipa.
Adik kandungnya. Anak ke dua dari di keluarga ini dulunya menjadi sosok yang selalu bisa dibanggakan dalam keluarganya. Berprestasi, sudah pasti. Senantiasa menuruti kedua orang tua, tak pernah ada masalah dengan orang lain semenjak sekolah.
Tapi lihatlah keadaannya sekarang, tak berdaya. Entah dosa apa yang dilakukan adiknya itu. Iapun tak tahu.
Adiknya yang duduk di kursi penumpang mobil saat itu, kini harus setia terbaring di atas brangkar Rumah Sakit, atau paling mentok duduk di atas kursi rodanya. Setelah body samping mobilnya ditabrak oleh pengendara lain.
Sementara Lihatlah keadaan sopir pribadinya, sehat bugar tanpa celah sedikitpun meski setelah kecelakaan itu. Terlalu timpang bukan?
Wajarkah keadaan ini?
Apakah salah jika dirinya membenci pria yang tengah duduk dengan menundukkan kepala di hadapannya ini?
Rasanya tak terima jika mengatakan semua itu hanyalah sebuah kecelakaan. Maaf saja jika ia harus berpikiran negatif tentang pria ini.
Bisa saja kan kecelakaan itu telah di manipulasi? Jika memang itu sebuah kecelakaan, mengapa Bumi menderita seorang diri?
Meskipun, orang tua mereka tak henti-hentinya mengatakan jika ini hanyalah sebuah musibah dan mereka harus menerima keadaan ini, namun tidak untuk dirinya. Dan dengan ini, rasanya dia ingin membagi penderitaan adiknya dengan sopir ini.
" Kalau tidak salah kedua anakmu perempuan kan?" Tanya Buana dengan mengangkat satu alisnya. Putra sulung dari pasangan Amira dan Surya ini.
Seseorang yang telah menjadi pemegang tampuk kekuasaan dalam keluarga besarnya. Paman dan papanya telah lama memberikan kekuasaan kepada kedua Putra kebanggaannya. Dan itu mampu dijalankan dengan baik sebelum kecelakaan ini terjadi.
Nadanya memang tenang, namun seperti petir yang menyambar di telinga Pak Rusli.
Pak Rusli bahkan sampai mengerutkan keningnya karena terlalu bingung. Bukankah sebelumnya, semua orang telah sepakat mengatakan bahwa ini adalah kecelakaan? Dan pihak yang memang bersalah telahpun mendapat ganjaran. Lalu bagaimana kasus ini kembali dilimpahkan pada dirinya.
Pak Rusli yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu, lalu mengapa sekarang menyebut tentang kedua putrinya?
" Bagaimana jika kita jodohkan salah satunya dengan adikku. Rasanya itu seimbang dengan sakit hati yang dirasakan oleh adikku." Ia hanya ingin membagikan sedikit kesakitan pada pria ini. Biar adil pikirnya.
" Tapi anak-anak saya masih sekolah den." Ucapan lirih dan berbata-bata keluar dari bibir pria itu.
Atau mungkin pria ini sengaja mencari alasan hanya untuk mencari pengganti kekasih BUmi Syam yang telah memutuskan pertunangan secara sepihak itu?
" Bukannya yang sulung sudah kuliah?" Buana tau jika pria ini tengah mencari alasan untuk menyelamatkan kedua putrinya.
"Ma-masih kuliah den."
" Oh, sudah cukup umur berarti. Udah bisa kawin itu." Jawabnya dengan enteng.
Benar bukan? Gadis-gadis di usia seperti itu setelah banyak yang merajut kisah melalui ikatan pernikahan. Jadi tak ada alasan lain bagi pria itu untuk mengelak lagi.
" Tapi putri saya masih kecil den, kasihan!" Kepalanya semakin tertunduk, Ia masih berupaya meminta keringanan hati Sang Putri majikan.
"Ck, heh." Buana membuang nafasnya keras, seolah telah membuang kepenatannya. Sebenarnya ia ingin semua berjalan dengan begitu baik namun sepertinya tak mudah. Ia harus banyak-banyak bicara untuk lebih membuka pikiran sopir pribadi adiknya ini.
Benar-benar orang tua ini tak tahu diri. Rutuknya dalam hati.
Entah mengapa emosinya saat ini tak bisa ia kontrol. Emosi cepat sekali menanjak meski hal sepele. Mungkin karena keadaan kantor yang sedang tak kondufis setelah kecelakaan adiknya itu.
" Baiklah! kalau memang kamu tidak mau menyelesaikan masalah ini dengan kekeluargaan, apa boleh buat."
"Saya... Terpaksa akan melaporkanmu kepada pihak yang berwajib dengan alasan lalai dalam bekerja hingga mencelakakan orang lain." Santai sekali cara bicaranya, meski Jika boleh jujur amarah masih tetap bersemayam dalam dadanya.
Kamu, panggilan untuk pria muda ini. Ia merasa setelah kehilangan rasa hormatnya pada pria paruh baya itu.
" Jangan den!" Dan lihatlah, pria itu langsung memohon padanya. Bahkan kedua tangan itu telah terlipat di depan dada.
" Anak-anak bungsu saya masih sekolah den. Keluarga saya bagaimana den. Kasihan!"
" Aku kasih kamu pilihan, menikahkan salah satu putrimu dengan adikku atau mendekam dalam penjara. Bagaimana?" Ingin sekali mengakhiri pembicaraan ini dan tentu saja dia mau keinginannya ini tercapai.
" Tapi jika dipikir-pikir, memang lebih pantas kamu berada dalam penjara, kan teledor sampai membuat orang lain celaka."
Buana memilih berlalu setelah memberikan ancaman-ancaman pada Pak Rusli. Abai dengan kebingungan dengan keadaan yang baru saja terjadi ini.
Saat semuanya telah tenang, kakak dari majikannya itu justru datang mendorongnya ke lubang yang tak pernah ia gali.
" Jadi bagaimana yah?"
Setibanya di rumah kegundahan hatinya langsung ia bagi pada Bu Aina, selaku teman hidupnya.
" Ayah juga nggak tahu." Kepala itu masih tertunduk, berat sekali meski hanya memandang wajah cantik sang istri.
Pernikahan mereka dikaruniai 2 gadis cantik.
Nada, gadis sulungnya yang kini telah duduk di bangku kuliah. Namun rasanya tak mungkin menyodorkan gadis itu pada keluarga majikannya.
Putri sulungnya itu telah memikili kekasih yang senantiasa mengantar jemputnya ke kampus. Berapa lama mereka menjalin kasih? Rasanya sudah lama, semenjak baru saja masuk kuliah.
Apakah kedua orang tua itu sanggup untuk memisahkan mereka.
Terlebih lagi dari cerita Nada, putrinya itu telah diperkenalkan dengan keluarga pria itu. Menandakan jika pemuda itu tidak hanya sekedar bermain-main dengan putri mereka.
Ainun, anak ke dua yang masih duduk di bangku sekolah. Jelas-jelas tak mungkin kan? Anak itu masih di bawah umur untuk menikah.
" Kita ngomong dulu sama Nada yah, siapa tau bisa." Besar harapan ibu, putrinya itu mau berkorban sedikit saja demi kelangsungan hidup mereka.
" Ibu saja yang ngomong, Ayah nggak tega." Selalu beranjak pergi dari sana. sejenak hendak mendinginkan tubuh dan otak yang rasanya gerah dan sempit semuanya.
SAtu Bulan yang lalu.
“ Hati-hati di jalan, kalau udah nyampe, jangan lupa chat!”
“ Daaah,...” Lambaian tangan dari sang kekasih membuat lengkungan bibir Bumi Syam juga ikut tertarik.
Di dalam mobil Bumi Syam memajukan bibirnya, kecupan jauh untuk gadis yang di berdiri di teras rumahnya.
Hari ini, di balik kesibukan mereka tetap menyempatkan diri untuk fitting baju pengantin yang akan di gunakan bulan depan. Rasa lelahpun tergantikan dengan kebersamaan mereka.
Pak Rusli mulai melajukan mobil meninggalkan gadis yang masih melambaikan tangannya ke arah mereka.
Bumi Syam memilih memejamkan mata sambil bersandar di jok mobilnya. Waktu perjalanannya ia gunakan untuk istrirahat sejenak.
Namun.
BRAKKK.
Tak ada isyarat sebelumnya saat mobil mereka mendapatkan guncangan yang sangat keras, berikut rasa sakit yang teramat sangat yang ia rasakan di bagian bawah tubuhnya.
Teriakan keraspun terdengar dari depannya, di mana sang sopir yang menoleh ke arahnya sambil meringis.
" Ya ampun Den!"
Bumi Syam semakin meringis saat hendak bergerak namun tak bisa. Dan saat ia membuka mata, melihat keadaan yang sesungguhnya, kakinya terjepit.
Dan di sinilah ia berada sekarang.
Bukannya sampai di rumah terlebih dahulu Ia justru mendarat di ruang gawat darurat di sebuah rumah sakit. Seolah memukul keras batinnya adalah ketika mengetahui keadaan tubuhnya yang kini tidak berfungsi dengan baik.
Kedua Kakinya tidak bisa lagi digerakkan dengan normal, tangan kirinya pun tak jauh berbeda, dalam keadaan yang sama, patah tulang. Dan kini bahkan dirinya masih terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan di rumah sakit ini, meski jujur dirinya telah bosan.
Beberapa kali ia hanya bisa memandang nanar pada tangan kirinya yang kini hanya seperti pajangan saja, tak bisa digunakan.
Itu belum seberapa sakitnya.
Setelah kecelakaan itu, dia masih mendapat dukungan dari orang-orang yang ia sayangi, keluarganya dan juga sang kekasih hati. Mereka semua mau menerima keadaan dan memberikan suport untuknya. Setidaknya masih tak terlalu jatuh, dan ada mereka yang menurutnya turut merasakan kesakitannya.
" Masih bisa sembuh kok, hanya butuh istirahat sebentar dari kerjaan."
" Terlalu sibuk bekerja, makanya dikasih libur dulu sama Tuhan."
Ia masih bisa tersenyum saat mendengarkan kalimat yang hampir sama dari setiap orang yang datang menjenguknya.
Selain keluarganya, tunangannya pun ikut mendampinginya menjalani hari-harinya yang hanya bisa terbaring di brangkar rumah sakit ini.
Namun senyumnya seolah menguap, terbang entah ke mana. Gairah hidup seolah terjun bebas ke dasar jurang tak bertepi.
Semuanya terasa berbeda, saat,
" Mungkin kalian memang tidak ditakdirkan untuk berjodoh. Seberapa lama hubungan kalian, tapi tak pernah bersama dalam waktu panjang. Ada-ada saja alasan yang memisahkan kalian."
Suara itu berasal dari seorang wanita paruh baya yang sebentar lagi harusnya menjadi mertuanya, Ibu Irma.
" Biarkan Adelia mencari kehidupannya sendiri. Jika memang kalian memang berjodoh ujungnya pasti bersama di pelaminan. Tapi,... lihatlah. Kalian yang telah merencanakan pernikahan namun justru takdir berkata lain. Jadi tante mohon keikhlasannya melepaskan Adelia."
Bumi memang tampan, memang kaya.
Namun dengan keadaan seperti ini, yang tak bisa berbuat apa-apa meski untuk dirinya sendiri pasti akan membuatnya kerepotan. Masih banyak pria tampan dan kaya di luar sana!
Bagi wanita itu, anak gadisnya cantik bahkan sangat cantik dan tentunya bisa mendapatkan pria yang setara dengan Bumi, atau jika beruntung mungkin yang melebihi pria itu.
Dirinya tak mungkin membiarkan kehidupan putrinya menderita. Dinikahkan hanya untuk jadi perawat seorang pria lumpuh seperti Bumi Syam.
Bumi Syam tak bisa menyaring kata demi kata yang meluncur dan masuk seolah menghujam jantungnya. Tega nian calon mertuanya mengatakan hal itu saat Ia masih berjuang untuk sembuh. Padahal kecelakaan itu baru sebulan, belum setengah tahun Lamanya. Dan ia masih berjuang untuk sembuh.
Meski kenyataan semua itu benar adanya.
Adelia, gadis yang Syam cintai sejak duduk di kelas dua belas SMA.
Bumi Syam melanjutkan kuliah di luar negeri, sementara Adelia memilih untuk tetap di tanah air bersama keluarga besarnya.
Hingga Bumi Syam berhasil menyelesaikan pendidikan dan kembali ke tanah kelahirannya.
Tiga tahun yang lalu Bumi Syam kembali ke ibukota, namun justru Adelia yang pergi berkelana mencari pengalaman. Meski hanya keluar kota, intensitas pertemuan mereka sangatlah jarang.
BUmi mengerti, bukankah mereka memiliki prinsip yang sama? Sama-sama mengedepankan masa depan. Prinsip yang sama itu pulalah yang membuat mereka bertahan meski berjarak.
Baru setahun yang lalu, mereka diizinkan untuk bernafas dan beraktivitas dalam satu kota.
Hingga akhirnya memutuskan untuk bertunangan dan mempersiapkan pernikahan impian mereka.
Di belakang sana, Adelia berdiri seolah berlindung pada sang ibu, dengan wajah tertunduk.
Bukan tak sayang, bukan tak cinta.
Nyatanya keputusan keluarga besar Adelia masih sangat berpengaruh pada gadis itu. Jika dirinya akan terima kondisi Bumi Syam apa adanya, namun tidak dengan keluarganya.
Dia bisa apa?
Tak ada rangkaian bunga yang dijadikan Adelia sebagai buah tangan untuk dirinya seperti sebelum-sebelumnya. Pun dengan sepatah kata yang diucapkan kekasihnya itu.
Bumi Syam terus melirik sang kekasih. Berharap sebuah pembelaan atau penolakan atas keputusan ibunya. Tapi tak ada.
Pemutusan pertunangan yang dilakukan oleh keluarga Adelia tak mampu dirinya hindari meski hati bergemuruh hebat.
Hendak marah pun percuma, Ia tak bisa berbuat apa-apa di atas brangkar rumah sakit itu. Besar sekali keinginannya untuk mempertahankan Adelia agar tetap di sisinya.
Sayangnya, Gadis itu tak terlihat hendak membela hubungan mereka ini. Adelia hanya diam membisu tanpa kata dengan wajah yang terus menunduk, berdiri di belakang tubuh mamanya.
Sedangkal itukah cinta sang kekasih?
Lalu apa artinya semua penantian mereka selama ini?
Bumi Syam sadar diri, Salah satu alasan orang tua Adelia mengambil keputusan sepihak Ini adalah karena keadaannya yang seperti ini.
Tak berdaya. Mungkin hanya merepotkan orang lain saja!
Tapi?
Tidakkah Adelia memikirkan tentang hubungan yang telah lama mereka Bina selama ini?
Bagaimana dengan mimpi-mimpi mereka dulu?
Hanya karena sebuah kecelakaan yang menimpa dirinya, Adelia meninggalkannya begitu saja.
Kecewa marah dan patah hati menjadi satu saat ini. Meski begitu ia tak bisa berbuat apa-apa, Bumi Syam hanya bisa tertunduk mendiam.
Beruntungnya ia masih ada keluarga yang menghibur.
" Apakah memang kami tak berjodoh?" Tanyanya pada siapa saja yang hendak menjawabnya. Dan di titik ini, ia benar-benar merasa jatuh sejatuh jatuhnya.
" Kamu yang sabar ya sayang. Mama yakin suatu saat nanti akan ada wanita yang benar-benar mencintai dan menerima kamu apa adanya. Jodoh akan datang pada waktunya."
" Tenang ya sayang, tenang! Ada mama yang akan selalu menemani kamu!"
Kalimat penenang itu nyatanya mungkin lebih diperuntukkan untuk wanita paruh baya itu.
Mama Mira yang berada di samping sang putra terus saja menggenggam tangannya. Tangis tak bisa disembunyikan, meski telah menahan diri untuk tak menangis di depan sang putra, nyatanya tak bisa.
Wanita itu menunduk dengan linangan air mata yang membabi buta kala mendengar rangkaian kata dari mantan calon besannya itu.
" Aku nggak bisa bu! Ibu kan tahu sendiri aku punya Kak Andri." Wajah cantik itu seketika cemberut. Tidak mungkin baginya meninggalkan sang kekasih hati demi menikahi pria lain yang tidak ia cintai sama sekali. Bahkan seluruh keluarganyapun tahu tentang hubungan mereka.
Terlebih dia juga tahu sendiri, jika yang dimaksud ibunya itu adalah majikan dari sang ayah. Bukankah pria itu juga memiliki seorang tunangan? Sangat jelas karena berita pernikahan keduanya telah tersebar luas.
Keluarga mereka bahkan turut hadir pada acara pertunangan mewah itu.
Kedua sejoli itu terlihat sangat bahagia dengan senyum yang tak pernah pudar. Sesekali terlihat memamerkan cincin yang melingkar di jari manis masing-masing. Genggaman tangan yang seolah tak mau terlepas dengan sesekali saling merangkul itu. Terlalu terlihat jika ke duanya memang sama mencinta dengan begitu dalam.
Lalu kenapa kini ia di tawari untuk menikah dengan pria itu? Ada-ada saja!
" Lalu bagaimana dengan ayahmu? Kalau kamu nggak mau menjadi istrinya, maka ayah akan dilaporkan pada polisi dengan alasan lalai dalam bekerja." Wanita paruh baya itu terlihat tengah menahan tangis.
Bahkan mereka sangat yakin, jika keluarga itu mampu menyeret Pak Rusli dengan berbagai alasan yang mungkin saja tidak masuk akal. Hanya bermodalkan uang, segalanya bisa saja terjadi bukan. Bu Aina bisa menebak, jika ini masalah sakit hati keluarga itu pada suaminya yang tak bisa mencegah dan menghindari kejadiaan naas itu. Tak menerima maaf, meski suaminya pernah dinyatakan tak bersalah.
Dan jika itu benar-benar terjadi, lalu bagaimana dengan hidup mereka. Tanpa suami, tanpa Ayah, tanpa tulang punggung keluarga, mereka bisa apa? Dirinya yang telah menjadi ibu rumah tangga sejati, sejujurnya tak bisa berbuat apa-apa hanya untuk menyambung kehidupan keluarganya. Terlalu berharap penuh pada suami ternyata tak terlalu baik juga.
" Ada Ainun Bu."
" Kamu tega, mengorbankan Adikmu yang masih kecil. Dia belum cukup umur untuk menikah, dia bahkan belum lulus sekolah."
" Jadi maksud ibu, Ibu lebih tega mengorbankan aku daripada Ainun?" Jika benar begitu, fix orang tua mereka pilih kasih. Meski selama ini, keluarga itu hidup dalam kecukupan harta namun sangat berlimpah dalam kasih sayang. Setidaknya sebelum ibunya menyampaikan berita ini.
" Ibu tidak pernah tega mengorbankan anak kandung ibu sendiri, termasuk kamu. Tapi untuk pernikahan anak di bawah umur seperti Ainun belum bisa terdaftar di Catatan Sipil Nada."
Tak pernah terpikirkan sebelumnya mengorbankan kebahagian anak-anaknya. Pernikahan yang ia yakini seumur hidup juga pasti berlaku pada anaknya. Dan ia mau, setidaknya pernihakan itu resmi bukan hanya secara agama tapi negara juga. Hingga ia masih memiliki kekuatan hukum jika saja pernikahan itu hanyalah sebagai mainan bagi keluarga kaya itu.
Mungkin ini hanya sebuah perdebatan yang dilakukan oleh ibu dan anak. Nyatanya ayah dan juga satu putrinya yang lain turut mengikuti kata demi kata yang terlontar dengan nada tinggi dan sengit itu di balik dinding. Tak perlu menguping, karena kamar gadis itu tak tertutup dengan sempurna, belum lagi kamar yang memang tanpa menggunakan peredam suara hingga semua kata mampu tertangkap dengan jelasnya.
" Aku nggak mau!" Geram Nada sebelum beranjak dari situ. Ia tak mungkin tetap di sana saat hatinya bergemuruh hebat.
Marah, kesal jelas saja.
Ia bukanlah anak yang pembangkang, tapi tentang pernikahan jelas saja ia harus berpikir seribu kali. Bukankah pernikahan hanya sekali seumur hidup?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
" Woaaaah, kuenya banyak banget. Buat apa Bu?"
Separuh meja makan terisi dengan hidangan sarapan pagi. Nasi goreng dengan telur ceplok dan kecap. Sederhana sekali. Padahal biasanya ibunya menambahkan tempe goreng atau lainnya. Tetap ada teh hangat untu mereka masing-masing.
Sementar separuh mejanya lagi terisi dengan sekumpulan kue-kue kecil tradisional.
Tumben sekali, ibu membuat kue-kue itu di pagi hari, yang jelas-jelas waktu di mana Ibu sangat sibuk mempersiapkan kebutuhan mereka semua.
" Latihan menyambung hidup jika nanti ayahmu tidak ada." Hanya sebuah kalimat ringan yang mampu membuat semua anggota keluarga terdiam sambil menunduk. Wajah sendu itu tak dapat ibu tutup-tutupi lagi.
Memang sejak semalam telah memikirkan ini. Bahkan tak bisa tidur hanya memikirkan kehidupan mereka selanjutnya. Ancaman dari keluarga majikan sang suami benar-benar mampu mengubah hidupnya yang semula tenang menjadi kacau.
Belum lagi, putri sulungnya itu seolah tak mau tahu dengan keadaan yang menimpa mereka sekarang, Dan kini seolah ia harus bergerak seorang diri, belajar menopang kehidupan mereka sebelum semua mimpi buruk itu benar-benar menjadi nyata.
Hening.
Hari ini, Bu Aina bangun lebih cepat agar bisa menyempatkan diri membuat kue untuk dijajakan di warung-warung dekat rumah. Dicoba tak mengapa.
Tak ada yang berani mengulurkan tangan demi mengambil sarapan masing-masing. Terutama kedua putrinya itu.
Setelah beberapa lama diam membisu, Nada memilih beranjak lebih dulu, mengabaikan sarapan paginya. Ia tak yakin mampu menelan makanan saat perasaannya kacau seperti ini. Bisa dipastikan ibunya hanya ingin menyinggungnya saja.
Dengan tas selempang yang ia gantung di pundaknya mulai keluar dari hunian sederhananya.
" Aku siap kok jika harus menikah dengan Om Syam."
Sayup-sayup suara yang ia dengar dari dalam rumah, menghentikan langkahnya tepat di ruang tamu.
" Nggak bisa Ainun, kalau kamu yang menikah mungkin hanya nikah siri dan kita tak bisa berbuat apa-apa jika keluarga itu melakukan sesuatu padamu."
Di luar Nada terdiam memasang Indra pendengarannya baik-baik. Hatinya sedikit bergetar saat mendengar sang adik bersedia mengorbankan diri. Harusnya kini ia bisa merasa lebih lega, bukan dia yang akan dinikahkan dengan pria dewasa itu.
Namun mendengar bantahan ibunya, lagi-lagi membuat posisinya masih berada dalam ancaman.
Bumi Syam, semua keluarga mengenal sosok pria itu. Tampan, mapan dan juga baik. Kedua putrinya bahkan kadang menerima uang jajan dari pria itu.
Tapi untuk menjadikan pria itu sebagai pasangan hidup, tak pernah terlintas dipikiran kedua gadis cantik itu.
Sebulan yang lalu, telepon dari sang ayah membuat mereka semua panik.
" Kami kecelakaan." Suara lemas ayah di balik telpon seolah menghentikan waktu beberapa detik. Hingga ketiga wanita itu segera meluncur dari tempat-tempat berbeda menuju ke rumah sakit.
Ibu dari rumah, Nada dari kampus dan Ainun dari sekolahnya. Tiba dengan napas yang ngos-ngosan. Dan mampu bernapas lega kala mendapatkan ayah yang berdiri di depan pintu ruang ruang IGD dengan keadaan yang baik-baik saja, meski wajah panik dan ketakutan masih tergambar di wajah pria itu.
"AYah baik-baik saja kan?" Tanya ibu yang langsung memeriksa tubuh ayah. Terlihat bugar meski ada beberapa bercak darah di beberapa titik pakaiannya. Kening yang memerah dan sedikit benjol.
" Ayah baik, tapi majikan ayah,..."
Mobil mereka tertabrak dari arah samping. Tepat di bagian Bumi Syam duduk di kursi penumpang bagian belakang sebelah kiri. Dan ayah mereka, hanya lecet sedikit di bagian kening sebab terbentur dasboard moil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!