Jian Prisillya wanita tiga puluh tahun yang memiliki seorang putri berusia dua belas tahun. Menikah muda dengan seorang Alex Wijatmaka membuatnya berpikir hidupnya akan bahagia. Namun ternyata ia salah, selama pernikahan hanya tekanan dan penderitaan yang ia rasakan karena tekanan ekonomi membuat sikap Alex terkesan pelit. Tidak hanya itu, Alex selalu menyalahkan Jia tentang sikap anak semata wayang mereka yang mulai beranjak remaja. Apapun yang Jia lakukan selalu salah di mata Alex.
Mereka bukan berasal dari kalangan berada. Alex Wijatmaka bekerja di di sebuah PT sebagai manager keuangan yang gajinya lumayan. Namun ia memiliki sikap cuek, perhitungan dan terkesan pelit kepada istrinya. Ia hanya memberikan nafkah untuk kebutuhan sehari-hari, bukan untuk kebutuhan pribadi Jia. Namun Jia tidak mempermasalahkan itu, selama tiga belas tahun ini Jia selalu setia menemaninya tanpa mengeluhkan sikap suaminya.
Malam ini di dalam dapur sederhana namun terasa nyaman, Jia sedang menyiapkan makan malam untuk suami dan putri tercinta. Setelah selesai ia memindahkan masakannya ke dalam wadah.
" Ma."
Jia menoleh ke belakang, putri cantiknya nampak berjalan menghampirinya.
" Iya sayang, ada apa?" Tanya Jia tersenyum manis.
Valerria, gadis itu tahu jika di balik senyuman sang mama tersirat kepedihan yang mendalam. Sering kali ia mendapati mamanya menangis di malam hari setelah terlibat perdebatan dengan papanya. Satu hal yang sering mereka perdebatan adalah masalah uang. Papanya selalu bilang kalau Jia boros, tidak pandai mengatur keuangan, padahal uang yang di berikan papanya hanya cukup untuk makan. Ia tahu kalau sisa gaji yang di berikan kepada mamanya masih banyak. Namun ia tidak tahu papanya gunakan untuk apa.
" Sayang, kenapa? Kok malah melamun?" Tanya Jia menyentuh bahu putrinya.
" Ma, kalau aku minta uang sama papa untuk makan makan sama teman teman aku, kira kira boleh nggak ya Ma. Bulan depan kan aku ulang tahun, aku sering di ajak makan sama teman teman pas ulang tahun mereka. Aku nggak enak Ma giliran ulang tahun aku, aku tidak memberi apa apa." Curhat Valle kepada ibunya.
Semua orang pasti punya pemikiran masing masing, begitupun dengan Valle. Ia punya prinsip, jika ia mau menerima pemberian maka ia juga harus mau memberi. Hitung hitung balas budi kepada mereka yang telah memberi kita.
" Coba saja kamu bilang sama papa, tapi jangan sakit hati kalau papa tidak memberinya. Mama akan berusaha memberikannya untukmu sayang." Sahut Jia.
Ibu mana yang tega menolak permintaan putrinya, apalagi permintaan itu cukup sederhana. Sebagai seorang ibu, Jia ingin memberikan yang terbaik untuk putrinya asalkan permintaan putrinya masih di batas wajar.
" Semoga papa mau memberi ya Ma, jangan seperti biasanya kalau aku minta uang jawabnya pasti tidak punya. Benar benar pelit." Gerutu Valle.
" Nggak baik sayang seperti itu sama papamu sendiri. Kamu sendiri kan tahu pekerjaan papa kamu, mungkin saat ini papa sedang menabung untuk masa depan kamu karena semakin ke sini biaya sekolahmu semakin mahal sayang. Kamu yang sabar ya." Ucap Jia mengelus rambut putrinya.
" Iya Ma, aku minta maaf." Ucap Valle.
" Mama maafkan sayang, sekarang bantu Mama menata makanannya di meja makan. Sebentar lagi papa kamu pulang." Ujar Jia di balas anggukkan oleh Valle.
Selesai menata makanan, nampak Alex menghampiri mereka.
" Sudah pulang Mas?" Ucap Jia mencium punggung tangan suaminya dengan takzim.
" Siapkan aku makan!"
Selalu seperti itu, tidak ada hangat hangatnya sikap Alex kepada Jia. Ia hanya akan memanggil Jia jika ada perlunya saja. Seperti minta kopi, minta di belikan rokok, atau minta di pijitin. Terkadang Jia berpikir, apakah suaminya sudah tidak mencintainya lagi?
" Kita sudah tidak muda lagi, sudah bukan waktunya membicarakan tentang cinta. Yang penting selama ini aku tidak pernah bermain wanita di belakangmu. Aku tetap menjalankan tanggung jawabku dan kewajibanku padamu."
Kata kata itu yang selalu keluar dari mulut Alex saat Jia menanyakan tentang perasaannya. Bukankah jawaban itu membingungkan? Namun Jia tidak pernah ambil pusing, setelah ia bertanya ia selalu melupakan hal itu.
Dengan penuh kasih sayang, Jia melayani Alex dengan baik.
" Ini Mas." Ucap Jia meletakkan piring berisi makanan beserta air minumnya di depan Alex.
Mereka makan dengan khidmat, selesai makan Alex mematik rokoknya lalu menyesapnya. Valle menatap Jia di balas anggukkan kepala olehnya.
" Pa bulan depan aku ulang tahun." Ucap Valle.
Alex tidak bergeming, ia lebih asyik menikmati rokoknya.
" Aku mau minta uang buat traktir teman teman." Sambung Valle.
Alex langsung menatap Valle dengan tajam.
" Kamu itu bisa sekolah saja mestinya sudah bersyukur. Kenapa harus ada acara ulang tahun? Pakai mau traktir teman teman segala. Memangnya papamu banyak uang apa? Papa dulu tidak sepertimu, jangankan untuk membeli jajan. Bisa makan saja sudah bersyukur."
Cessss....
Hati Jia bagaikan di sayat sembilu, matanya berkaca kaca menahan air mata yang siap tumpah membasahi pipinya. Jia menatap Valle yang menundukkan kepalanya, entah apa yang Valle rasakan saat ini Jia sendiri tidak tahu.
" Mas jangan samakan zaman kita dengan sekarang. Valle hanya ingin...
" Turuti terus semua permintaannya. Kamu terlalu memanjakannya Jia sehingga dia tidak bisa menjadi anak mandiri." Ucap Alex dengan nada tinggi membuat Jia berjingkrak kaget sambil memejamkan matanya.
" Minta anakmu untuk sekolah yang benar biar dia jadi orang yang sukses. Dengan begitu apapun yang dia mau, dia bisa membelinya sendiri." Ucap Alex.
Jia memberikan kode lewat matanya kepada Valle untuk mengikutinya. Mereka berdua berlalu meninggalkan Alex sendirian.
" Selalu seperti itu. Kalau di nasehati selalu marah, selalu ngambek. Dasar anak sama ibu sama saja." Teriak Alex.
Jia menggandeng tangan Valle menuju kamarnya.
" Kamu masuklah ke kamar! Jangan khawatir! Mama pasti akan memberikanmu uang." Ucap Jia.
Valle hanya bisa menganggukkan kepalanya saja. Ia tahu apa yang akan di lakukan ibunya setelah ini. Dengan patuh Valle masuk ke dalam kamarnya. Begitupun dengan Jia, ia masuk ke kamar lalu membanting tubuhnya di atas ranjang.
" Hiks... " Isak Jia memukul dadanya yang terasa sesak.
" Kenapa harus berkata seperti itu? Kenapa harus menyakiti hati putriku? Jika aku yang tersakiti sudah biasa, tapi putriku? Aku tidak bisa menerimanya. Ya Tuhan.. Sampai kapan aku harus merasakan sakit seperti ini?" Hati Jia menjerit menahan rasa sakit yang menjalar di dadanya.
" Aku harus melakukan sesuatu demi perubahan dalam hidupku dan anakku."
Kira kira apa nih yang akan di lakukan Jia?
Jujur Author ngetik ini sambil menangis. Adakah yang pernah merasakannya?
Terima kasih...
TBC....
Dari sinilah awal perubahan hidup Jia. Ia bertekad untuk mencari penghasilan sendiri walaupun tidak seberapa yang penting bisa memenuhi keinginan anaknya tanpa harus meminta uang dari suaminya yang terkesan pelit itu. Ia tidak mau terus terusan merasakan hinaan suami yang malah akan membuatnya sakit hati.
Namun yang jadi masalah saat ini adalah Jia sedang di landa kebingungan, ia ingin bekerja namun ia tidak di perbolehkan bekerja oleh Alex. Lalu pekerjaan apa yang bisa ia lakukan di dalam rumah saja tanpa pergi kemanapun?
Jia berjalan mondar mandir di dalam kamarnya. Kamar berukuran tiga kali empat dan di isi dengan ranjang yang hanya cukup di tempati berdua saja. Di sertai meja kerja sang suami yang terletak di pojokan sebelah almari pakaiannya.
Jia duduk di tepi ranjang, ia membuka ponselnya. Ia mencoba membuka aplikasi Pl@ystore mencari aplikasi yang membuka peluang penghasilan untuknya, barangkali ia bisa menemukannya. Ia terus menscroll sambil membaca kegunaan aplikasi yang sedang di pasarkan di pl@ystore tersebut.
Tiba tiba tangannya berhenti pada sebuah aplikasi novel online yang berwarna biru. Ia membaca setiap ulasan orang yang mengunduh aplikasi tersebut. Aplikasi yang banyak di minati oleh para pecinta novel karena gratis membacanya. Tanpa pikir panjang, ia segera mengunduh aplikasi tersebut.
Selesai mengunduh, Jia membuka aplikasinya lalu log in dengan menggunakan akun facebooknya. Ia mulai membaca satu novel milik penulis superstar di aplikasi tersebut. Sekitar lima belas menit ia membaca, ia membuka profilenya sendiri lalu mempelajari apa saja isi yang ada di profile tersebut.
" Mengetik naskah." Gumam Jia.
" Ya, aku bisa memulai dari sini. Tapi apakah aku bisa sehebat penulis senior itu? Bagaimana jika di tengah jalan aku kehilangan inspirasi?" Jia ragu untuk memulainya.
Maklum saja, ia hanya lulusan SMP yang tidak punya pengetahuan luas seperti para penulis lainnya. Jangankan pengetahuan luas tentang umum, tentang setiap daerah sekitarnya saja ia tidak tahu. Seumur hidupnya hanya ia habiskan di rumah saja. Ia tidak tahu bagaimana rasanya merantau ataupun bekerja. Selesai sekolah SMP, ia langsung di pinang oleh Alex saat itu.
Selain karena cinta, faktor ekonomi pun menjadi pemicu pernikahan muda keduanya. Orang tua Jia tidak mampu membayar sekolah SMA waktu itu, apalagi dulu sama sekali belum ada bantuan dari pemerintah sehingga membutuhkan banyak biaya. Di tambah lagi, Alex memang pacar Jia sejak kelas dua SMP. Saat saat itu, adalah saat saat takutnya kehilangan, merasa ada kesempatan untuk memiliki Alex, Jia langsung menerima pinangannya tanpa berpikir panjang kedepannya.
" Bismillah, aku berniat menulis novel untuk diriku sendiri. Rejeki pasti akan mengikuti, jika Tuhan menjadikan ini sebagai ladang penghasilanku, maka aku yakin akan ada pembaca yang mau mampir ke novelku meskipun tidak sebanyak pembaca penulis lainnya. Rezeki tidak ada yang tahu, siapa tahu dari sini aku bisa mendapatkan hasil yang lumayan untuk memenuhi kebutuhan Valle."
" Berkahi keputusanku ini Ya Robbi. Demi anakku, demi kebahagiaan anakku semoga Kau memberikan rezeki yang mengalir deras di sini. Amin." Monolog Jia.
Jia mulai menulis novel pertamanya yang berjudul pria cacat itu suamiku. Terinspirasi dari pertemanan putrinya dengan seorang cowok yang mengalami cacat tangan. Ia menulis kata demi kata hingga menjadi rangkaian paragraf yang sempurna. Walaupun ia hanya lulusan SMP tapi dari kecil ia memang suka mengarang cerita. Di sinilah Jia mulai menuangkan hobi yang sudah lama terpendam.
...****************...
Malam hari selesai makan malam, Alex dan Jia kembali ke kamarnya. Alex duduk di ranjang bersandar pada head board sambil memainkan game onlinenya. Jia segera mendekatinya, ia duduk di samping Alex.
" Mas." Panggil Jia.
Alex tidak bergeming, ia fokus pada game yang sedang berjalan seperti biasanya.
" Mas." Ucap Jia dengan masa lebih keras.
" Hmm." Gumam Alex.
" Aku mencoba menjadi penulis novel online. Aku minta doamu agar kelak novel yang aku buat bisa sukses seperti novel novel lainnya." Ucap Jia.
Awalnya Jia tidak ingin memberitahu Alex, namun ia berpikir bagaimana pun Alex adalah suaminya. Alex harus tahu apa yang Jia lakukan. Dan ridho suami penting bagi usahanya saat ini. Ia diam menunggu jawaban dari Alex, kalaupun Alex melarangnya, ia tetap akan membangkang. Cukup sudah baginya telah menurut apa kata Alex.
" Gimana menurutmu Mas?" Tanya Jia.
" Untuk apa kamu membuang buang waktumu. Kau tidak akan mendapat banyak uang dari sana. Mengurus pekerjaan rumah saja kamu keteteran, apalagi di tambah menulis novel. Yang ada seharian kamu hanya bermain ponsel tanpa melakukan pekerjaan apapun. Rumah pasti akan berantakan kalau kau jadi orang sibuk. Belum lagi kalau migrain kamu kambuh, sudah tahu tidak bisa berpikir keras malah mau menulis novel. Kau akan merasa lelah nantinya." Ucap Alex.
Jia sudah menduga sebelumnya, jawaban Alex pasti selalu seperti ini jika dia menyinggung tentang keinginannya untuk bekerja. Entah apa alasan Alex sebenarnya, entah karena saking cintanya dengan Jia hingga ia tidak mau Jia sampai kecapekan atau karena Alex takut Jia tidak akan menghormatinya lagi jika Jia punya penghasilan sendiri.
Apalagi selama ini Alex selalu membiarkan Jia bersikap mandiri. Pekerjaan apapun selalu Jia lakukan sendiri, seperti mengangkat galon, memasang tabung gas. Bahkan membeli beras beberapa karung saja Jia lakukan sendiri karena Alex akan berkata Jia manja jika berani meminta bantuannya.
Jia nampak menghela nafasnya pelan.
" Selalu begini, melarangku bekerja tapi tidak mau mencukupi kebutuhan kami. Terus aku harus bagaimana? Semakin ke sini aku merasa semakin terhimpit oleh keadaan. Di sisi lain aku ingin membahagiakan anakku tapi di sisi lain aku selalu terkekang oleh suamiku. Ya Tuhan... Berikan aku kesabaran untuk menghadapi sikapnya yang sulit di mengerti ini." Jia hanya bisa menggerutu dalam hatinya. Bisa bisa terjadi perang dunia kedua kalau ia berani mengeluarkannya langsung pada Alex.
" Aku akan membagi waktuku Mas, aku janji tidak akan mengesampingkan pekerjaan rumahku." Ujar Jia.
" Terserah kau saja, aku tidak mau tahu itu. Dan ya.. Ajari Valle untuk mengerjakan pekerjaan rumah agar dia tahu pekerjaan. Tidak bisanya hanya mengurung diri di dalam kamar saja. Sudah masuk SMP masih tidak tahu pekerjaan rumah. Mau jadi apa dia." Ucap Alex menohok hati Jia.
Lagi lagi Jia hanya bisa menghela nafasnya pelan. Padahal selama ini Valle selalu membantu Jia melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci piring, bahkan memasak nasi pun sudah Valle lakukan sejak kelas empat SD meskipun menggunakan magic com.
Namun Alex tidak bisa melihat semua itu. Ia selalu merendahkan Valle sesuka hatinya. Yang di bilang pemalas lah, bodoh lah tidak seperti teman temannya. Hal itu membuat Valle semakin jauh dengan papanya. Ia selalu mengurung diri di dalam kamar jika papanya ada di rumah. Ia terlalu malas berhadapan dengan papa yang tidak pernah menghargai mamanya. Valle bukan anak kecil lagi, ia tahu apa yang sebenarnya ibunya rasakan selama hidup bersama papanya.
Jia berbaring miring membelakangi Alex. Tak terasa air mata menetes begitu saja di pipinya. Tahu jika istrinya sedang menangis, tidak membuat Alex ingin menenangkannya. Ia lebih asyik memencet layar pada ponselnya untuk memenangkan permainanya.
Bagi Jia ini sudah biasa. Selama ini apapun yang ia lakukan tidak pernah mendapat dukungan dari Alex. Hanya Valle lah anak sekaligus sahabat yang selalu menemani dan mendukungnya.
Begitupun sebaliknya, Jia selalu mendukung Valle sendirian. Demi kebaikan Valle apapun ia lakukan. Ia bahkan sebisa mungkin membuat Valle merasa nyaman dalam hal apapun. Bagi Jia, selama ia masih hidup Valle tidak akan kekurangan satu apapun.
Sudah puas mengeluarkan banyak air mata, Jia beranjak dari ranjang. Ia mengambil ponselnya, ia kembali membuat bab baru pada novelnya.
" Akan aku tunjukkan padamu Mas, jika suatu saat nanti aku akan sukses. Dan aku bisa membelikan apapun yang anakku mau tanpa harus meminta uang dari kamu." Batin Jia.
Valle nih... Cantik nggak?
Sedih nggak sih? Pastinya sedih kan..
Terima kasih atas dukungan kalian semua..
Miss U All...
TBC...
Beberapa bulan berlalu, Jia mendapatkan pencapaian yang luar biasa menurutnya. Ia berhasil memiliki lencana gold di aplikasi novel onlinenya. Itu berarti Jia sudah mendapatkan penghasilan sendiri. Ia berhasil menarik uangnya dan ia gunakan untuk membeli keperluan Valle. Tidak lupa ia juga membeli beberapa skincare untuk perawatan wajahnya yang sudah lama tidak tersentuh skincare sama sekali.
Pagi ini selesai mandi, Jia duduk di meja riasnya. Ia mulai mengaplikasikan cream siang di wajahnya. Alex yang baru saja keluar dari kamar mandi, menatapnya dengan intens.
" Uang darimana kamu bisa membeli skincare itu?" Tanya Alex.
" Kemarin aku menarik uang hasil novel ku Mas." Sahut Jia tanpa menoleh.
" Menarik uang bukannya untuk membantu membeli kebutuhan malah kamu gunakan untuk membeli barang tidak berguna. Kamu kan tahu, aku tidak suka kamu berdandan. Lalu untuk apa kamu membeli semua itu?"
Ya... Alex memiliki sifat yang sangat unik, yaitu ia tidak suka jika Jia berdandan. Entah apa alasannya, Jia sendiri tidak tahu. Alex berkata kalau Jia akan terlihat jelek dan tua kalau berdandan. Itu sebabnya Jia hanya berpenampilan biasa saja selama ini.
" Mas aku tidak berdandan, aku hanya pakai cream saja untuk perawatan. Aku juga ingin terlihat cantik di mata kamu Mas." Ujar Jia.
" Cantik di mataku apa di mata pria lain hah? Apa kamu pikir aku tidak tahu alasanmu yang sebenarnya? Kau ingin membuat para lelaki tergoda denganmu kan? Kalau kamu sudah tidak bisa di atur, terserah saja. Aku sudah tidak peduli." Ucap Alex.
Jia menghela nafasnya pelan, selama ini seperti inilah yang selalu ia rasakan. Jia menatap Alex yang sedang berdiri di depan cermin memakai bajunya dengan perasaan sedih.
" Tidak perlu menatapku seperti itu, sekarang siapkan sarapan untukku." Ucap Alex.
" Iya Mas." Sahut Jia.
Jia segera berlalu dari kamarnya menuju meja makan. Ia menata makanan yang tadi sudah di masaknya di atas meja. Valle yang sudah berseragam sekolah berjalan menghampirinya.
" Pagi Ma." Ucap Valle.
" Pagi sayang." Sahut Jia.
Alex berjalan dengan gagahnya lalu duduk di kursinya. Jia segera mengambilkan makanan untuk sang suami tercinta. Mereka makan dengan khidmat.
" Mas." Ucap Jia membuka suara.
Hening, Alex tidak menyahutnya sama sekali.
" Hari ini aku mau jalan jalan sama teman teman ke pantai. Aku..
" Tidak usah, di rumah saja. Selesaikan pekerjaan rumahmu, rumput halaman belakang sudah tumbuh banyak lebih baik waktumu kamu gunakan untuk mencabutnya. Jadi rumah terlihat bersih." Sahut Alex memotong ucapan Jia.
" Tapi Mas aku sudah janji dengan mereka, aku..
" Kalau aku bilang tidak boleh ya tidak boleh Jia. Tidak usah membantah lagi. Selesaikan makan dan antar putri kesayanganmu itu ke sekolah." Ucap Alex.
Jia memilih bungkam daripada terjadi masalah. Ia meneruskan makan dengan hati dongkol. Selama ini Alex tidak membiarkannya pergi bebas bersama teman temannya. Itu sebabnya terkadang Jia pergi tidak meminta ijin dulu kepada Alex, apalagi kalau Valle mengajaknya ke pantai untuk sekedar refreshing.
" Oh ya, aku di tugaskan ke luar kota menemani Bos untuk beberapa hari."
Senyuman Valle dan Jia mengembang sempurna di sudut bibirnya. Mereka merasa senang jika Alex pergi ke luar kota. Setidaknya mereka berdua bisa bernafas dengan bebas sebebas bebasnya.
" Kapan kamu pergi Mas?" Tanya Jia.
" Sepulang dari kantor aku langsung pergi, aku tidak pulang dulu. Sekarang packing keperluan ku, aku akan menunggu." Ujar Alex.
" Baik Mas."
Jia segera kembali ke kamarnya untuk melakukan perintah Alex.
Di meja makan Alex menatap Valle yang hanya menundukkan kepala karena tidak berminat untuk sekedar mengobrol dengan ayahnya.
" Papa mau pergi, kamu jangan nakal di rumah. Belajar dengan baik supaya kamu bisa mendapat peringkat yang baik. Bantu mama kamu menyelesaikan pekerjaan rumah. Kasihan kalau mama kamu melakukannya sendirian. Kamu kan tahu kalau mama kamu kecapekan migrain nya bisa kambuh, siapa yang akan mengurus mama kamu kalau Papa tidak ada di rumah." Ujar Alex menasehati Valle.
" Iya Pa." Sahut Valle.
Terkadang Valle merasa bingung dengan sikap papanya. Kalau di rumah papanya terkesan dingin dan cuek, tapi kalau sedang di luar kota, papanya memberikan perhatian pada mamanya layaknya seorang suami yang baik. Entah apa yang ada di pikiran ayahnya, Valle sendiri tidak tahu.
Selesai berkemas, Alex segera berangkat ke kantor. Dan Jia mengantar Valle ke sekolah dengan menaiki motor matic pemberian ayahnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jam dua belas siang, Jia menjemput Valle sekolah. Sampai di depan sekolah, rupanya bel kepulangan siswa belum berbunyi. Jia memilih berteduh di depan ruko yang ada di depan sekolah. Ia duduk di sana sambil memainkan ponselnya.
" Jian Prisillya."
Jia menoleh ke asal suara yang memanggil namanya.
Deg....
Jantungnya berdetak sangat kencang saat menatap pria tampan di depannya, Jia ingat betul siapa dia. Seorang teman masa putih biru yang pernah menyatakan cinta kepadanya.
" Wahyu." Ucap Jia.
Wahyu tersenyum ketika Jia masih mengenalinya.
" Rupanya kau masih mengenaliku." Ujarnya duduk di sebelah Jia.
Wahyu memang terlihat sangat berbeda. Yang dulu dekil, item sekarang menjadi tinggi, berkulit putih dan jangan tanyakan wajahnya. Wajahnya berubah seratus persen yang semula jelek kini menjadi tampan, namun hal itu tidak membuat Jia melupakannya.
Jia menanggapi ucapan Wahyu dengan senyuman.
" Lama tidak bertemu, bagaimana kabarmu?" Tanya Wahyu.
" Alhamdulillah baik." Sahut Jia.
" Ngapain kamu di sini?" Wahyu bertanya lagi.
" Aku sedang menjemput anakku." Sahut Jia menunjuk ke sekolahan Valle.
" Owh. Sudah besar ya anakmu." Gumam Wahyu. Jia menganggukkan kepalanya.
" Andai saja dulu kamu tidak menolakku, pasti anak kita juga sudah besar sekarang." Ujar Wahyu.
" Apaan sih Yu." Ujar Jia enggan membicarakan tentang masa lalu mereka.
" Kalau kamu?" Tanya Jia.
" Pasti kamu sudah berkeluarga kan?" Sambung Jia.
" Anakku masih dua tahun." Sahut Wahyu.
" Owh." Gumam Jia.
Mereka lanjut mengobrol layaknya teman yang telah lama tidak bertemu pada umumnya. Wahyu terus menatap Jia dengan perasaan tidak menentu di dalam hatinya. Ada kebahagiaan tersendiri saat Jia tidak berusaha menghindarinya seperti beberapa tahun silam.
" Aku bahagia melihatmu bahagia Jia, tapi akan lebih bahagia jika aku bisa kembali dekat denganmu." Ujar Wahyu dalam hati.
Ingin sekali Wahyu menghabiskan waktu dengan duduk bersama Jia. Namun saat ini ia sedang terburu buru karena ada urusan penting yang harus ia selesaikan. Tidak lupa Wahyu meminta nomer Jia, dan tanpa di duga Jia pun memberikannya.
" Aku pergi dulu ya, kamu hati hati pulangnya. Jangan sampai lecet! Kalau ada apa apa segera hubungi aku, aku sudah mengirimkan nomerku ke ponselmu." Selalu seperti itu, Wahyu selalu memberikan perhatian yang lebih pada Jia.
" Iya." Sahut Jia.
Jia menatap punggung Wahyu yang mulai menjauh darinya. Ia menggelengkan kepala saat teringat dengan masa lalu mereka. Jia menolak Wahyu karena Alex, Alex lebih mendominasi hatinya daripada Wahyu.
Tak lama Valle keluar dari gerbang sekolahnya. Jia segera melajukan motornya menuju rumahnya.
...----------------...
Jam sembilan malam Jia masih terjaga, ia sedang mengetik naskah novelnya melanjutkan cerita yang ia buat kemarin.
Ting..
Ponselnya berdering tanda pesan masuk. Jia membukanya lalu membaca pesan yang ternyata di kirimkan oleh Wahyu.
Malam Jia apa kamu sudah tidur ~Wahyu
Belum ~ Jia
Pasti lagi ngetik novel ~ Wahyu
Hmm ~Jia
Aku ganggu nggak? Atau malah butuh teman buat begadang ~Wahyu
Butuh teman nih kaya'nya 😁~Jia
Baiklah kalau gitu, aku temenin ~Wahyu
Salah... Ya Jia memang salah karena Jia mau menanggapi pesan dari pria lain. Tapi Jia berpikir mereka hanya berteman saja, tidak lebih.
Mereka bertukar pesan sampai larut malam, bahkan sampai Jia berhasil menyerahkan naskah dua bab sekaligus. Entah mengapa malam ini imajinasinya begitu lancar tidak seperti biasanya yang pergi timbul. Mungkin karena ada teman yang membuat semangatnya membara.
Dari sinilah kedekatan Wahyu dan Jia terjalin. Walaupun hanya lewat media saja namun semua itu membuat Jia merasa nyaman. Jia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, apakah rasa nyaman itu akan berubah menjadi perasaan cinta? Atau hanya sekedar rasa nyaman saja?
Mau tahu jawabannya? Tunggu di bab selanjutnya ya...
Eits.. Jangan menghujat Jia sebagai pelakor ya.. Pantengin terus biar tahu endingnya...
Jangan lupa tekan like koment vote dan hadiahnya...
Terima kasih....
Miss U All...
TBC...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!