Cinta Sejatinya muncul lagi.
...****************...
Dengan jantung berdegup dan napas yang terasa tercekik, Rambo akhirnya melepaskan kata nikah itu untuk perempuan lain. Setelah sekian lama memantapkan hati hanya kepada Marwah, perjuangan itu akhirnya harus pupus sementara atas permintaan ibunya yang kedua kali.
"Sudah 5 tahun lewat kamu cari gadis itu, sekarang sudah tidak ada waktu lagi sebelum ibumu ini mati dimakan umur. Menikahlah dengan Erin, anaknya Om Ryan itu. Bapak kamu sudah atur jadwal, kalau masih kamu batalkan ibu bakal bunuh diri, titik."
"Cintaku sudah habis hanya untuk satu orang itu." Jawab Rambo melalui mulut yang sebelumnya hanya terkatup rapat mendengar permintaan ibunya yang hampir putus asa. Tatapannya menyapu pada bayangan Marwah (gadis dalam masa lalunya) yang tampak mengabur sambil terus berlari.
"Ibu tidak minta banyak, cuma mau lihat anak-anak ibu sudah menikah sebelum akhirnya ibu meninggal. Kalau kamu sudah punya istri, ibu bisa tenang. Memangnya kamu tidak sayang dengan ibumu ini? sudah 5 tahun, mungkin gadis itu bukan jalan hidupmu Rambo. Cobalah buka hati untuk gadis lain."
Rambo hanya diam tanpa memberikan jawaban. Yang dapat dilakukannya sekarang hanyalah pasrah.
Benar, 5 tahun sudah Rambo si Polisi gondrong itu mencari pujaan hatinya. Marwah, yang entah sekarang ada dimana batang hidungnya, masih menjadi pemilik dan penguasa cinta si Rambo. Apa yang terjadi padanya kini? sudahkah dia menikah? masihkah dia bernyanyi, menjadi diva di jalan hanya agar bisa makan?
Sama seperti Rambo, mungkin Marwah yang berada di jauh sana juga memikirkan pertanyaan demikian tentangnya.
Dengan segala desakan dan keputusasaan yang melanda palung hatinya itu, tak pelak Rambo kali ini akhirnya menyetujui pernikahan itu.
Udara semilir di pertengahan siang dan sore, akhirnya menjadi saksi sejarah petualangan Rambo yang terpaksa beristirahat sejenak pada dada seorang gadis bernama Erin.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Erina Widya Karisma dengan Mas kawin tersebut dibayar tunai!!"
"Sahh.... "
Akan tetapi, semua itu tidak lantas menjadikan Erin bidadari jiwa yang menarik hanya karena telah sah dipersunting Rambo. Bagi Rambo, Marwah adalah segalanya, meski saat ini ia telah menjadi seorang imam bagi wanita lain. Jiwa dan pikirannya yang tak kenal lelah mengembara pada cinta Marwah dengan perantaraan dua sayap: Janji untuk Marwah dan Cintanya yang tak pernah padam untuknya.
Kecantikan yang dimiliki Erin dan kecerdasannya yang selalu diasah terus-menerus hingga berkilauan, meski dasarnya biasa-biasa saja. Membuat Rambo tak henti-henti memandangnya seperti Marwah, satu yang membedakan dan hanya Rambo yang tahu perbedaan itu; kepribadian keduanya.
"Karena kita sudah menikah, aku mau panggil kakak dengan sebutan Mas!" Ucap Erin, di malam pengantinnya bersama Rambo.
Sementara hak sepatu Rambo mengetuk-ngetuk lantai marmer saat ia mengganti pakaian. Erin tahu ia sedang dicueki. Lagi-lagi. Erin merasakan tatapan mata Rambo yang menusuk dadanya, bahkan di saat sedang mencoba dekat, mencari peluang yang ia tahu takkan ia temukan.
"Kamu bisa buatkan kopi?" Seru Rambo mendekat.
"Ah, soal itu. Maafkan aku! aku tidak bisa buat yang begitu, aku tidak pernah kerja di dapur Mas! maaf. Sementara ini, kalau kamu buat sendiri dulu bagaimana? nanti aku bakal belajar kok, atau kamu coba pakai asisten rumah tangga di rumah ini!"
Begitulah jawaban Erin yang belum genap 24 jam menjadi istri Rambo itu.
"Begini, mas. Aku baru saja lulus dan kerja di kantor impian, baru kerja setengah tahun. Harus benar-benar fokus di situ, karena pimpinan baru saja memandangku. Jadi tidak ada waktu untuk di dapur. Dari kecil mama tidak pernah suruh aku kerja-kerja rumah tangga, cuma fokus untuk belajar dan berkarir. Maafkan aku ya Mas!"
Begitulah kenyataannya, meski Erin cantik, kaya, dan cerdas. Dia bukanlah sosok wanita yang sempurna. Dia memiliki kelemahan permanen sebagaimana perempuan pada umumnya dan yang paling penting bagi Rambo, kelemahan ini sungguh berbanding terbalik dengan Marwah. Erin terlalu : Manja, dan kurang perhatian, nyaris bagaikan binatang peliharaan yang terlalu disayang tuannya.
Dia juga terlalu bangga pada sisi intelektualnya sehingga kecerdasannya jadi agak mudah terpengaruh oleh perasaannya. Kelemahan lainnya adalah kemampuannya untuk sadar pada posisi dan kewajiban istri. Erin tak bisa merawat bahkan memperhatikan Rambo sebagai suaminya, dan ia terlalu sadar bahwa hal mendasar itu merupakan cara untuk memanjakan suami dan melanggengkan hubungan.
Pernikahan yang penuh kedataran tanpa kasih sayang dan kedekatan itu, rupanya mampu bertahan lebih dari dua bulan. Masing-masing dari mereka memiliki alasan tersendiri untuk bertahan, Rambo yang tak bisa lagi membantah arahan kedua orangtuanya sampai mati rasa dan Erin yang tak mau menjanda di usia muda.
Hingga hari itu tiba, puncak dari segala pencarian dan penantiannya. Rambo mendapat tugas untuk melakukan operasi penangkapan gembong judi di perkampungan sempit. Ia akhirnya dipertemukan lagi dengan gadis impiannya, Marwah, si pemilik warung kopi tempat para buron main judi.
"Angkat tangan semua!!" Rambo dan rekannya mulai menodongkan pistol pada para pelaku.
"Ampun pak!"
Kemudian Rambo masuk ke dalam warung untuk cari terduga pelaku yang lain. Namun, yang ia temukan hanya seorang wanita yang sembunyi dibawah meja.
"Pak tolong jangan ditangkap! saya tidak tahu apa-apa, cuma jual kopi saja pak!" Perempuan yang diketahui sosoknya adalah Marwah, memohon histeris di hadapan Rambo.
Harus diakui Rambo, saat mendapati sorot mata dan suara Marwah kembali, jantungnya berdebar hebat seperti ia telah menemukan kembali napas kehidupannya. Tiap guratan di wajah Marwah tak ada yang berubah sedikitpun, masih sama cantiknya dengan lima tahun yang lalu saat mereka pertama kali bertemu.
"Marwah----" Ucap Rambo pelan sekali, persis keadaan tubuhnya yang sekarang lemas tanpa tenaga. Sementara Marwah memberi respon yang sama, mulutnya terkatup rapat dengan mata berlinang.
Puncaknya adalah saat Rambo meraih tubuhnya, memeluknya dalam rengkuhan dadanya yang atletis. Semakin lama dan semakin erat. Meluapkan gairah kerinduan yang begitu hebat, hingga ia lupa pada statusnya sebagai suami dari Erin.
"Kamu masih ada disini! kamu di kota ini selama ini! kenapa pergi dariku.... "
"Om?----"
"Ya, aku di sini Marwah. Kenapa kamu pergi tinggalkan aku waktu itu? aku sudah cari kamu bertahun-tahun. Kamu membuatku merasakan neraka bahkan sebelum aku mati."
Sambil menyeka air matanya, Marwah mulai bicara. "Aku tidak bisa tinggal lagi di dekatmu, Om. Kamu bakal menikah waktu itu, lalu apa maksudmu mencariku bertahun-tahun?"
"Aku mencintai kamu!"
Akhirnya Kata itu terucap setelah tertunda sekian lama. Kata yang sakral untuk keluar dari mulut seorang Rambo. Bahkan tak pernah sekalipun terlontar untuk Erin, istrinya sendiri.
"Omong kosong, kamu bicara apa Om!"
"Aku memang cinta dengan kamu! aku cari kamu untuk mengatakan perasaan ini, tapi kamu sudah pergi jauh dariku. Aku cari kamu kemana-mana, begitu sulitnya sampai aku berulang kali jatuh bangun." Tegas Rambo. "Wajah kamu kenapa? bibir kamu bengkak?"
Sebelum tangan besar Rambo itu menyentuh wajahnya, Marwah segera berpaling.
"Hei coba lihat aku sebentar!" Rambo menegaskan ulang kata-katanya. "Siapa yang menyakiti kamu?!"
"Aku dipukul suami---"
...****************...
Assalamu'alaikum...
Siapa yang cari dan tunggu cerita Kak Rambo dan Marwah? Kisah ini adalah Spin-off dari karya "I LOVE U! SUAMI DADAKAN", jadi untuk yang belum baca boleh coba mampir ke situ ya?!
Kisah Om gondrong author buat sedikit gebrakan, meski author berkali kali memantapkan hati untuk alur ini, karena takut bikin pembaca kecewa karena Rambo dan Marwah author buat sudah menikah. Dengan Problema rumah tangga mereka masing-masing, istri Rambo yang sibuk dengan diri sendiri, dan suami Marwah yang melakukan KDRT. Bakal jadi bumbu yang seru gak?
Oh ya, menimbang untuk memperluas kemampuan hehe, author coba nulis pakai POV 3, agak beda dari biasanya yang pakai POV 1. Tapi masih enak dibaca kan?
Akhir kata, selamat membaca BAB selanjutnya, jangan lupa tinggalkan dukungan untuk Om Gondrong ya! vote, komentar, like, bunga, dan perintilannya.
Semoga kalian suka!!!
"Suami? Kamu sudah menikah?"
Marwah menundukkan kepala, entah untuk menyembunyikan lagi lukanya atau karena tak sanggup menatap mata Rambo yang berapi-api. Saat ini keduanya tengah diguncang oleh perasaan yang tak bisa digambarkan, rindu, marah, menyesal dan perasaan lain yang terlalu banyak jika harus di sebutkan.
"Aku sudah menikah! satu tahun yang lalu Om. Dia pria baik yang selamatkan aku dari preman jalanan waktu ke daerah sini dulu."
Sakit hati yang dirasakan Rambo begitu mendengar kenyataan itu dari Marwah, kenyataan bahwa Marwah telah menikah sudah seperti belati yang menghunus dadanya, begitu menyakiti hatinya sampai ke dalam-dalam.
Namun, ia tak bisa menyalahkan keadaan. Sebab ia pun telah melakukan hal yang sama, yaitu menikahi Erin 2 bulan yang lalu. Seketika itu Rambo ingin menyumpahi waktu, yang menjawab harapannya pada waktu sekarang, saat mereka telah sama-sama menjatuhkan pilihan pada orang lain, menikahi orang lain.
"Kalau memang baik, kenapa dia pukul kamu begini?! sial!"
Rambo memukul tiang penyangga atap kayu di warung Marwah. Dan suara umpatan yang keluar dari mulut penuh janggutnya itu bagaikan hantu yang siap mengamuk.
"Bukan apa-apa, memang aku yang buat salah." Marwah membela suami yang nampaknya bakal menjadi incaran maut Rambo.
"Tetap saja! dia tidak pantas pukul kamu, sebesar apa pun kesalahan yang kamu buat!"
Marwah hanya menunduk, kemudian perhatiannya itu beralih pada pergelangan tangan Rambo yang kecoklatan.
"Gelang itu---" Katanya sambil melirik ke arah gelang hitam yang dipakai Rambo ditangan kiri. "Om sudah pakai... istrinya bagaimana? suka tidak?"
"Aku bakal pakai terus hadiah dari kamu ini, tapi istriku yang sekarang, tidak."
Tak ada waktu dan kesempatan bagi Marwah untuk menunjukkan nestapanya. Tak ada waktu untuknya merasa khawatir lagi memikirkan Rambo yang akrab disapanya dengan sebutan Om Gondrong karena pertemuan ini telah membuktikan bahwa lelaki yang dicintainya itu memang sudah menikah. Tak ada waktu apa pun selain berpura-pura bahagia dan tenang seperti yang dilakukannya dulu.
"Memang hadiah dariku tidak seberapa, tidak heran kalau istri Om kurang suka. Maafkan aku ya, waktu itu belum punya uang untuk beli yang mahal." Ucapnya.
"Bukan dia tidak suka. Benar aku telah menikah, tapi dengan orang lain. Dulu aku sempat batalkan pernikahan, karena aku sadar bahwa aku tak bisa kehilangan kamu. 5 tahun sudah aku berjuang, tak ada hasil. Sampai setelah aku menikah dua bulan yang lalu, barulah takdir mempertemukan kita lagi." Ungkap Rambo dengan berat hati. "Seperti yang kamu katakan bahwa aku harus memakai gelang ini dengan pasangan yang kucintai. Jadi aku hanya berharap bisa pakai ini bersama kamu, bukan yang lain. Meskipun aku telah menikah, tapi aku tidak mencintainya."
Seorang rekan polisi yang tiba-tiba datang menodongkan pistol pada Marwah, tepat pada posisinya di belakang Rambo. Anggota Rambo itu berteriak dengan tegas, sedangkan Marwah sontak hanya sanggup mengangkat tangan dan berseru, "Maafkan aku! maaf."
Mendengar teriakan anggotanya, Rambo langsung memutar badan, kemudian dengan tenang seperti tak terjadi apa pun mengangkat setengah tangannya. "Lewat, yang ini bersih. Tangkap pria pelanggan warung kopinya tadi saja."
"Siap ndan! semua sudah diamankan! tapi tak ada yang mengaku siapa bandarnya!" Ucap anggota tadi sambil menurunkan senjatanya.
"Terus cari, aku segera menyusul!"
"Siap, ndan!"
Anggota tadi kemudian pergi, dan bersamaan dengan itu Rambo berbisik di telinga Marwah sebelum kemudian mengucapkan perpisahan lagi untuk malam ini, "Jangan pergi lagi, aku akan kembali nanti, setelah tugas ini selesai. Banyak yang harus kita ceritakan."
Kini dengan hanya beberapa menit saja, Rambo telah berlari seperti bayang-bayang. Sementara Marwah hanya diam membisu di warungnya, seakan masih tak percaya dengan kejutan yang diberikan Tuhan padanya malam ini. Kejutan baik, tapi juga buruk.
"Aku kira aku akan aman jika bersembunyi di perkampungan kecil yang memang hanya berjarak setengah jam dari perbatasan kota. Ternyata salah, aku masih bertemu denganmu Om, meski 5 tahun telah berlalu." Gumam Marwah dalam hati.
Udara malam yang kian menusuk, terasa dingin yang terus menggigit kulit-kulit Rambo yang eksotis. Begitu ia menyelesaikan tugas penangkapan itu, Rambo kembali ke rumah. Penglihatannya langsung terpaku pada sosok Erin, istri manja yang baru dipersuntingnya 2 bulan lalu.
Bayangan sosok Marwah yang baru dijumpainya lagi tadi kembali melintasi kepalanya, rupanya memang agak mirip dengan Erin, dari usia, rambut, caranya tertawa, semuanya sampai ia tak bisa membedakan satu sama lain. Om Gondrong, Mas, Om Gondrong, Mas------ Pikiran Rambo kacau balau.
"Akhirnya kamu pulang juga, Mas... " Erin membuka matanya tiba-tiba dalam kilasan yang begitu cepat, sampai Rambo tak bisa mengalih.
"Aku mau mandi, siapkan air panas. Buatkan juga kopi." Pinta Rambo kemudian.
"Mas.... ini sudah malam tahu. Kamu tahu sendiri besok aku harus kerja, kalau aku bangun kesiangan terus terlambat nanti ditegur atasan. Kamu kan bisa buat kopi sendiri, aku capek mas... Hmmmm... " Erin mend3sah sambil menggosok matanya lagi dengan malas.
Lagi-lagi Rambo mendapat perlakuan yang sama. Erin terlalu manja dan bersikap apatis pada dirinya. Pikiran tentang kemiripan dengan Marwah tadi langsung lenyap sudah. Meski Erin sendiri telah bicara untuk belajar tentang perannya sebagai istri, rupanya sampai sekarang pun semua hanya sekedar kata.
"Kalian memang mirip, gambaran dirimu, wajahmu, caramu tersenyum, bicara, sampai usia. Semuanya membuatku seperti menemukan dia pada dirimu. Awal bertemu denganmu, aku seperti melihat cermin yang memantulkannya sosok dia pada dirimu. Tapi semua itu hanyalah kemiripan fisik, sedangkan kenyataannya kalian telah jauh berbeda.... " Kata Rambo dengan tatapan kosong pada Erin.
Erin yang mendengar ucapan Rambo yang terdengar aneh itu, langsung membuka matanya kembali.
"Kalian tidak sama---" ucap Rambo kembali.
Mata kosong itu, membuat Erin kebingungan. Ia langsung bangkit dari tempat tidur, mengayunkan telapak tangannya di hadapan Rambo untuk memastikan kalau suaminya itu tidak sedang melantur.
"Mas? ngomong apa sih?! kamu melantur?!" Ucap Erin, meskipun intonasi suaranya sama sekali tak terdengar hangat. "Makanya tidak usah kerja malam-malam, repot bikin kopi siapkan air mandi. Kamu pikir aku ini tidak capek, aku juga seharian kerja! merintah terus, kalau tidak dituruti mulai bicara ngelantur."
Rambo menghela napas untuk kesekian kali, mendengar gerutu Erin yang tak kelar-kelar meski kupingnya panas. Kalau saja ia ringan tangan seperti suami Marwah, mungkin Erin sudah habis bonyok malam ini. Siapa yang tahan pada istri seperti itu?
"Makanya pakai asisten rumah tangga! berapa kali aku ngomong! selalu ngeyel. Mulai malam ini aku mau pisah kamar, tidak mau diganggu kamu terus kalau pulang kerja. Aku juga mau istirahat!" Umpatan itu terus berlanjut sampai Erin bersiap untuk keluar dari kamar dengan ekspresi kesalnya yang membuat Rambo muak tidak kepalang.
Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti di muka pintu. Tepat saat Rambo hendak membanting gelas di nakas samping ranjang. Memang pernikahan yang tercipta itu, lahir tanpa kerukunan.
"Tapi sebentar, apa maksud kamu aku berbeda? aku beda dengan siapa mas?" Tanya Erin kembali pada Rambo. "Selama ini kamu selalu bandingkan aku dengan siapa?"
Jangan sekarang, pikir Rambo liar, berusaha sekuat tenaga mengusir amarah yang membanjiri kepalanya saat ini. Biasanya, Rambo dapat mengatasi perasaan itu dengan santai. Tapi kini berbeda, ia tak mampu berdiam apalagi bila ingat barusan ia telah bertemu kembali dengan Marwah, yang menurutnya adalah cinta sejatinya yang pertama dan terakhir.
"Apa Mas? kenapa diam? walaupun tidur aku tidak tuli Mas!" Erin menatapnya dengan tatapan curiga sembari mengangguk sekilas. "Oh, Jangan bilang kamu di luar sana suka jajan, Kamu tidak sedang bandingkan aku dengan wanita lain kan?"
"Kamu terlihat marah Erin, memangnya apa yang membuat kamu peduli?" Rambo balas menatapnya dingin.
"Dengar jawaban kamu ini, berarti aku benar kan?! kenapa Mas? coba jelaskan bagaimana rasanya nikmatin cewek jalanan? enak?"
Rambo hanya diam. Tentu, Ia mulai memainkan mata, memandang ke pergelangan tangannya; Gelang Pragma terindah pemberian Marwah. Memang cuma kamu tempatku berteduh, meski aku belum bersama denganmu.
Belum selesai mematung, sebuah lemparan maut menuju ke arah Rambo. Bantal tidur yang tadi dibawa Erin melayang tepat mengenai wajahnya, membuatnya sadar dari lamunan.
Tak sampai situ, pukulan susulan datang pula dari kepalan tangan Erin yang baru saja datang mendekat.
"Kamu jahat ya Mas. Jahat kamu! pernikahan kita baru seumur jagung, tapi kamu tega main belakang dari ku! aku ini masih istri kamu Mas! kenapa tidak bisa tahan napsu?!"
"Cukup!!!" Rambo menaikkan nada bicaranya. "Aku tidak jajan seperti yang kamu tuduhkan!"
Sambil menelan ludah dengan susah payah, Rambo akhirnya berhasil menyentak tangan Erin yang membabi buta. Ia berhati-hati untuk tidak salah mengucap kata, kalau tidak semua bakal berantakan dengan kacau.
Erin membutuhkan satu-dua menit untuk berkonsentrasi. Memaksakan diri untuk mengambil napas dalam-dalam, perlahan-lahan. Perasaan panik yang tiba-tiba menemani hatinya malam ini, melingkari relung dadanya dan menggeram mengancam, baru kali ini Erin merasa takut.
"Dengar ya Mas, jangan pernah kamu coba-coba untuk mengkhianati aku. Aku kerja di kantor penyiaran, kamu bakal lihat bagaimana akhirnya kalau semua orang tahu seorang perwira Polisi melakukan perselingkuhan! hancur kamu, camkan itu Mas!"
Rambo hanya tersenyum tipis, namun dia tetap berusaha tenang. "Kamu kerja di kantor penyiaran, bagaimana kalau semua orang tahu kalau presenter ramah di luar rupanya sangat pembangkang? kamu terlalu naif Erin, suami mana pun belum tentu bisa sesabar aku menghadapi istri yang manja dan kurang ajar seperti kamu!"
"Kamu marah karena aku tolak permintaan kamu tadi? cuma perkara kopi dan air panas?" Jawab Erin dengan pertanyaan balik.
"Sudahlah, aku mau mandi. Kamu tidurlah di kamar lain seperti keinginan kamu tadi."
Rambo mengambil celah di samping Erin dan pergi ke kamar mandi. Tak ada waktu baginya untuk berdebat, ia harus berpikir untuk mencari tahu perkara kekerasan yang di alami Marwah dalam kehidupan rumah tangganya. Harus mencari cara untuk membebaskan Marwah dari jerat suami setan yang Berani-beraninya buat tanda merah yang telah menghiasi wajah wanita yang dicintainya itu.
"Andai itu memang terbukti, aku berani bersumpah untuk ambil kamu lagi dari orang itu." Rambo bergumam di bawah kucuran air shower.
Rambo tahu betul ia pasti sekarang terlihat setengah sinting saat ini. Tuhan tahu seperti itulah perasaannya sekarang, kehabisan napas, kalut, gelisah, dan bingung. Rumah tangganya yang sudah kacau balau, bahkan hampir terasa seperti neraka dunia walau baru berjalan beberapa bulan saja. Kini, ia juga harus memikirkan Marwah, wanita yang paling dicintainya, meski belum kesampaian.
Demi Tuhan, kenapa garis takdirnya begitu sulit?
Apa yang harus dia lakukan?
Tentu, pikir Rambo frustasi. Ia memandang langit-langit kamar mandi kemudian ke arah ventilasi untuk menatap langit. Aku bakal ceraikan Erin, kalau tiba waktunya nanti.
Kini dia telah mantap. Kali ini ia tak akan melepaskan Marwah, setelah penantian panjang selama bertahun-tahun, Rambo siap memastikan bahwa cintanya tak akan lagi tertunda untuk kedua kalinya.
Besok dia akan kembali ke perkampungan kecil itu untuk bertemu lagi dengan Marwah. Sementara sekarang dia harus beristirahat dan pergi tidur. Nyaman sekali tak ada Erin di sampingnya, meski memang mereka belum pernah melakukan hubungan intim.
Rambo ingat betul, bagaimana Erin membangun reputasinya dalam bekerja agar sempurna. "Aku belum bisa hamil sekarang, Mas! Karirku sedang naik daun, sayang kalau harus mengandung dalam waktu dekat." Begitu Erin menegaskan dulu saat malam pengantin pertama mereka.
Besoknya, alarm ponsel Rambo kembali berbunyi. Rupanya hari sudah pagi, ia terpaksa bangkit meski kesadarannya belum datang secara penuh.
Setelah beres siap-siap, rupanya ia telah disambut oleh wanita yang menjadi teman ributnya semalam, Erin berdiri di depan pintu tepat saat Rambo keluar kamar.
"Maaf," Erin menjaga kepalanya tetap menunduk dan bahu membungkuk, dengan pandangan bahwa ia telah menyadari sesuatu.
"Bodoh," gumam Rambo sambil menghela napas. "Jika ada barangmu di dalam ambil lah, aku mau pergi kerja. Tapi kalau bukan, apa pun yang kamu pikirkan sekarang tolong minggir lah sedikit, aku mau lewat." Ucapnya.
"Tidak, maaf," jawab Erin dan memaksakan diri untuk menatap Rambo, meskipun ia yakin bahwa mata Rambo akan sama menakutkannya dengan perasaannya sekarang. "Aku hanya ingin menyuarakan pikiranku sekarang, bisa beri aku kesempatan bicara sebentar sebelum kita sama-sama berangkat kerja?"
"Baiklah." Rambo menatap sekilas arlojinya baru kemudian menyandar di bibir pintu. Mata coklatnya mengamati Erin untuk waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya bertanya, agar Erin segera bicara. "Apa yang mau dibicarakan?"
"Pertama, aku minta maaf soal keributan semalam. Aku sungguh tak bermaksud membangkang atau melawan, tapi kamu tahu sendiri dan aku sudah mengatakannya dari awal kita menikah, aku memang tidak pernah sentuh dapur dan pekerjaan rumah tangga lain Mas. Bukan tidak mau, tapi memang aku tidak tahu." Kata Erin, dan berusaha untuk tenang setelah akhirnya mendapati sorot mata Rambo kembali.
"Kedua, karena aku sibuk kerja dan berkarir, jadi untuk mencegah kejadian semalam terulang lagi, aku mau kamu cari asisten rumah tangga di rumah ini."
Rambo menarik napas dan memandangi lantai-lantai depan kamar yang putih berdebu. Ia senyum-senyum tipis dengan permintaan Erin kali ini. Beruntung dulu dia selalu menolak, tapi kini nampaknya ia bersyukur dengan permintaan kedua itu.
Dulu, sengaja agar Erin bisa belajar. Tapi sekarang lain lagi, ide itu bisa menjadi jalan agar bisa melancarkan aksinya.
Melakukan hal yang sama, seperti saat pertama kali aku bertemu dia, bagaimana jika aku kembali memperkerjakan kamu Marwah? dengan begitu kita bisa kembali dekat, dan aku tak perlu susah payah mendatangi kamu. Pikir Rambo sedikit liar.
Apakah ini akan membuatnya semakin terjerat pada dahsyatnya rasa cinta? Tapi bukankah sejak pertemuan malam itu ia sudah siap untuk terperangkap? Rambo tak perduli dengan semua itu, yang terpenting kini ia mendapatkan celah untuk kembali bersama Marwah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!