NovelToon NovelToon

I Love You My Step Mother

Aku Andrian

Pagi yang cerah. Burung saling berkicauan. Dengan semangat empat lima aku siap berangkat ke sekolah. Membuka garasi mobil. Mendorong motor sport kebanggaanku ke depan halaman rumah.

Di teras, tampak papa yang berjongkok tengah memandikan burung Makau kesayangannya. Setiap pagi papa rutin membersihkan burung beserta kandangnya itu. Banyak burung koleksi papa di belakang rumah yang dia pelihara, sudah hobi mendarah daging.

Aku menghampiri papa sambil mengulurkan tangan menyalaminya. "Andrian berangkat sekolah dulu ya, Pa. Assalamu alaikum."

Papa tersenyum padaku. "Iya hati-hati di jalan."

Helem sudah terpasang di kepala. Naik ke atas motor dan mulai menstarternya. Namun, papa menyeru, "Andrian!"

Spontan aku menoleh cepat menatapnya. "Nanti pulang sekolah ada yang ingin Papa bicarakan sama kamu dan ingin mengenalkan kamu pada seseorang. Kamu pasti sudah mengenal orang ini." Papa mengulum senyum. "Kamu tidak ada kegiatan, kan sepulang sekolah nanti?" sambungnya.

"Tidak ada, Pa."

"Ya sudah. Nanti Papa tunggu ya, jangan main kemana-mana soalnya ini penting."

"Baik, Pa." Aku mengangguk tanda mengerti kemudian mulai memacu motorku dengan cepat menuju sekolah.

***

Saat ini adalah jam pelajaran Bahasa Indonesia, pelajaran kesukaanku. Alasan lainnya karena guru mata pelajaran tersebut. Aku suka dia.

Entah mengapa, setiap kali memandang wajahnya membuat hati ini berbunga. Senyum manis lengkap dengan lesung pipi itu membuat jantungku berdebar tidak karuan. Apalagi kalau berdekatan dengannya, membuatku terkesima saja.

Bu Alfira, begitulah aku memanggilnya. Mengapa kau begitu mempesona? Cara bicaramu, gayamu, gestur tubuhmu semuanya tentangmu aku amat suka. Kau seperti menghipnotis diri ini yang selalu terpaku tak beralih dari memandangmu.

"Dri ... Andrian. Woy!" bisik si bocah petakilan yang berada di samping kananku berhasil menghancurkan aktifitas terkesimaku pada Bu Alfira. Menoleh malas aku menatapnya.

"Ada apa?"

Bocah ingusan itu malah cengengesan. "Lu dari tadi ngelamunin apa? Mikirin yang jorok ya? Hihi."

"Enak aja lo sotoy," sanggahku sambil menjitak kepalanya kesal. Bisa-bisanya si telur puyuh Doni bersu'udhon begitu padaku. Memangnya aku cowok mesum apa?

Doni malah nyengir kuda. Perlahan ia mendekatkan bibirnya ke telingaku, hendak membisikan sesuatu. "Gue perhatiin nih ya selama dua tahun ini, setiap pelajaran bahasa Indonesia, lu tuh kelihatan bersemangat banget. Beda kalau sama pelajaran yang lain. Apa jangan-jangan ...." Ia menggantungkan ucapan, "lu suka sama Bu Alfira ya?"

Deg..!

Sialan! Kenapa tebakannya tepat? Otomatis aku jadi salah tingkah. Dasar bocah ini! Oh Tuhan, pasti sekarang dia melihat mukaku yang mungkin memerah seperti tomat. Andai aku bisa bercermin.

Aku menghamburkan arah pandang ke papan tulis. Buang muka. "Bi--bi--asa aja ah, apaan sih lu?" balasku gugup sambil kugaruk tengkuk yang tak gatal.

"Ko lo jadi gugup gitu, sih?" kulirik ia sekilas. Doni menatapku dengan tampang menyelidik. Dasar jail!

Bel istrihatpun berbunyi, untunglah aku bisa keluar dari situasi ini. Bergegas aku pergi ke kantin meninggalkannya.

"Tunggu woooy, bareng gue!" teriak Doni padaku, tapi aku tak mengacuhkannya .

***

Suasana kantin sangat ramai. Setelah mengambil makanan, aku memilih meja yang tampak kosong. Ketika aku sedang asik menyantap mie ayam, seorang gadis menghampiri kemudian mendudukan dirinya di sebelahku.

"Hai, Ka." Dia menyapaku dengan senyum imutnya. Aku balas senyum.

Siska menyodorkan sebotol kopi instan padaku. "Buat Kakak."

Lagi-lagi aku diberi sesuatu olehnya. Lumayan juga, itung-itung dapat gratisan. "Makasih," ucapku dibarengi senyum terbaik.

"Sama-sama." Tampak Siska menopang dagu dengan sebelah tangannya sambil menatapku lekat. Jujur, aku merasa risih.

Cewek ini. Dia adalah Fransiska Gumelar. Si cewek cantik cucu pemilik sekolah swasta SMA Gumelar. Ketua genk dari 'cecaker' yang katanya sih kumpulan cewek-cewek cantik modis dan keren, tapi nama genknya itu sedikit absurd menurutku. Bisa dibilang ia itu cewek populer di sekolah ini, si tukang bully juga. Konon, kata teman-teman Siska menyukaiku, tapi aku tidak pernah mempedulikannya alias cuek saja.

Entah mengapa ia sering memberikan aku sesuatu. Makanan, minuman dan sebagainya. Aku selalu menerimanya karena merasa tidak enak saja untuk menolak. Kalau kata teman-teman Siska itu 'caper' padaku, tapi aku tidak pernah peka. Mau peka bagaimana coba, sedikitpun ketertarikanku padanya tidak ada.

"Kak, ko belum diminum sih kopinya?" tanyanya seraya menunjuk ke arah kopi yang kupegang.

"Ini mau diminum." Aku berusaha membuka tutup botol tersebut, tetapi sulit sekali terbuka. Apa aku tidak cukup tenaga? Memalukan kalau dilihat Siska.

"Susah ya bukanya, mau dibantuin?"

"Nggak usah, Sis. Aku bisa sendiri ko masa cowok gak bisa sih," sahutku. Kudengar Siska terkekeh pelan.

Setelah sekian detik aku berusaha, akhirnya terbuka juga. Aku meneguk sebotol kopi instan itu tanpa jeda. Hmm, enak juga.

"Kak, ko makin hari makin ganteng aja sih?"

"Uhuk!" Aku terbatuk. Untuk kesekian kalinya ia terus-terusan memujiku, membuat aku sedikit kikuk.

"Mungkin udah takdir, haha ...," aku tertawa hambar.

"Ish, kakak bisa aja deh. " Kedua jari Siska mencubit pipi kiriku pelan.

Sungguh menjengkelkan, aku tidak suka diperlakukan seperti ini. Dengan tingkahnya itu, alhasil, kamipun jadi pusat perhatian. Aku mengerling sebal.

Sesaat kemudian, sorot mata ini tiba-tiba teralihkan pada sosok yang aku kagumi. Netraku menangkap seseorang yang aku rindukan setiap saat. Siapa lagi kalau bukan Bu Alfira. Ia berjalan melewati meja makanku entah mau ke mana. Terbesit dalam benak untuk mengikutinya.

"Sis, gue cabut dulu ya, ada hal penting." Tatapanku masih terpaku pada punggung Bu Alfira.

Ketika hendak beranjak, tiba-tiba Siska mencekat lengan kananku erat. Aku mendelik padanya. "Ko Kaka pergi? emang mau ke mana?" Siska tampak cemberut. Reflek aku melepaskan pegangannya pada lenganku.

"Ada deh." Tidak menghiraukan Siska, aku langsung beranjak pergi meninggalkannya. Kudengar Siska agak mendengus. Apakah kesal? What ever!

Setelah diam-diam membuntuti Bu Al, rupanya ia menuju ke arah taman belakang sekolah. ia duduk di atas kursi kayu reyot di bawah pohon beringin yang lebat. Namun, ekspresi wajahnya terlihat murung. Ada apa?

Tatapan Bu Alfira tampak kosong memandang ke depan entah apa yang dipikirkan. Tanpa ragu, kulangkahkan kaki ini berjalan menuju sang empunya hati. Ciaah, lebay. Siapa lagi kalau bukan Bu Alfira.

"Siang Bu," sapaku ramah.

Sadar dengan kehadiranku, Bu Alfira menoleh. "Oh Andrian, iya siang juga," balasnya sambil tersenyum simpul. Oh astaga, senyuman itu. Tolong ... hatiku jadi meleleh.

Sambil duduk aku bertanya padanya, "kok Ibu sendirian aja?"

'Sudah jelas dia sendirian masih saja ditanya dasar bego kau Andrian!' umpatku dalam hati.

"Pengen sendirian aja," ucapnya datar. Bu Alfira kini mengeluarkan ponsel di saku rok span hitam lalu memainkannya.

Hening. Tidak ada obrolan lagi tercipta.

Ada apa dengan mulut ini? Kenapa setiap di dekatnya aku tidak bisa berbicara, rasanya seperti terkunci. Hanya jantung ini saja yang tidak bisa diam, berdetak naik turun tak karuan, seperti mau copot saja. Pandanganku masih terpaku tak bisa lepas darinya.

"Dri, kamu kangen nggak sama mama kamu?" Akhirnya Bu Al memulai obrolan. Namun, mengapa tiba-tiba ia bertanya seperti itu? Aku berdenyit heran.

"Ya kangenlah Bu, apalagi Andrian, kan sudah ditinggal sedari kecil. Kenapa emang?" Sesaat kemudian Bu Alfira menoleh menatapku intens. Terasa sekali muka ini mulai panas, mungkin efek dari tatapannya.

"Kalau ada orang lain yang menggantikan sosok ibumu itu apa kamu mau menerimanya?"

Jiwaku mulai bertanya-tanya. Mengapa Bu Alfira tiba-tiba bertanya mengenai kehidupan pribadiku? Mengapa ia mendadak membicarakan almarhumah ibuku? Tidak seperti biasanya, kalaupun kami mengobrol itu hanya prihal masalah pelajaran, tidak lebih.

Kalau masalah aku anak tanpa ibu aku pikir semua orang juga sudah tahu. Ibuku meninggal ketika aku berusia sembilan tahun akibat kangker payudara menjadikan papa seorang single parent.

Mengulum bibir, lantas aku berkata, "hmm ... dulu sih emang Andrian nggak mau punya mama baru, tapi sekarang Andrian nggak mau egois, selama wanita itu bikin papa bahagia, ya it's ok."

Bu Alfira terdiam cukup lama. Hening kembali.

Tak terasa waktu cepat berlalu, dan bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Aduh,  padahal diri ini ingin menikmati waktu bersamanya lebih lama.

"Sudah waktunya kita pergi, yuk," ajak Bu Al seraya beranjak dari tempat duduk. Aku hanya mengangguk patuh, meskipun agak malas. Pasalnya, aku masih ingin menikmati moment berdua dengannya, kalau bisa sih selamanya Bu Al ada di sisiku. Hehe

Hancur Hati Aku

Brukk!

Aku membanting pintu kamar. Melempar kasar tas ransel dan menghempaskan diri ini ke tempat tidur. Aku tak bisa menahannya lagi. Rasa kesal dan kecewa membuat buliran air mata tiba-tiba keluar tanpa diminta. Rasanya sakit sekali setelah mengetahui kabar mengejutkan itu. Hatiku seakan dipukul berulang kali.

Aku menatap ke luar jendela, tapi pikiranku jauh berkelana. Sekarang papa akan menikahinya. Bagaimana mungkin bisa? Aku merasa terjebak dalam keadaan yang rumit ini, tak berdaya menghadapi takdir yang tak diduga.

Perasaan cinta yang kurasakan begitu tulus dan dalam. Apakah harus aku kubur saja sebab sekarang semuanya hancur dengan rencana pernikahan papa. Begitu sulit menerima kenyataan ini dengan mudah.

Aku merenung dalam keheningan kamar, mencoba memahami perasaan campur aduk yang berkecamuk di dalam diri. Mencoba cari jawaban atas pertanyaan yang terus bergumul dalam benakku. Mengapa dunia begitu kejam? Mengapa cinta yang kurasakan harus bertabrakan dengan hubungan keluarga?

Aku harus menemukan kekuatan dalam diri untuk melepaskan cinta yang terlarang ini. Mungkin ini adalah ujian yang harus ku alami, meskipun rasanya seperti pedang yang menusuk hati.

Mungkin ini saatnya aku musti merelakan wanita itu pergi, bahkan jika itu berarti melihatnya bersanding dengan papa di pelaminan.

Saat ini, aku masih menangis dalam diam. Mencoba melepaskan semua rasa sakit yang terpendam. Mungkin suatu hari nanti, aku akan bisa melihat cinta ini sebagai kenangan yang indah dan menemukan jalan baru untuk melangkah maju.

Mengusap wajah kasar, aku mengumpat kesal, "sialan! Kenapa sesakit ini?"

Dasar bodoh! Seharusnya dari dulu aku nyatakan cinta padanya, maka aku tidak akan merasa sesakit ini. Aku benci ketika harus menerima kenyataan kalau ia akan menjadi ibu tiriku! Ingin ku teriak bilang, tidak!

***

Flashback

Sepulang sekolah, papa memintaku untuk pulang cepat, katanya ada hal penting yang harus disampaikan. Dia ingin mengenalkanku pada seseorang. Teringat pintanya tadi pagi, dengan gesitnya aku langsung menjalankan motorku sekencang mungkin.

Di tengah perjalanan, perutku terasa mulas. Memarkirkan motor di depan masjid, terbirit-birit aku berlari menuju toilet karena sudah merasa tidak tahan.

Setibanya di rumah, sayup-sayup terdengar suara papa sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita. Aku bergeming sesaat. Suara itu begitu familiar bagiku.

Segera ku langkahkan kaki ke ruang tamu.

"Assala---." Belum sempat diri ini melanjutkan salam,  tiba tiba dia menoleh. Seketika aku tertegun.

"Bu Alfira," gumamku tak percaya. Mengapa Bu Alfira ada di rumahku?

"Wa'alaikum salam," jawabnya pelan dengan tersenyum hangat ia berikan.

"Sini, Nak, kita ngobrol bareng calon ibumu."

Apa? Calon mama?'

Tiba-tiba semuanya jadi suram. Aku termangu ketika mendengar apa yang terlontar dari mulut papa barusan. Terkatup aku bergeming dengan tubuh yang bergetar. Menggigit bibir bawah, aku coba menahan sekuat tenaga air mata yang minta untuk keluar. Dasar lebay!

"Sini duduk, Nak. Masa berdiri di situ terus?" ucap  papa seraya menepuk sofa di sampingnya memintaku untuk duduk. Aku hanya mengangguk lesu, lantas mendudukan diri dengan lemah.

"Jadi gini. Papa cuman ingin kasih tau kamu kalau dua hari lagi papa dan Bu Alfira akan melangsungkan pernikahan."

Membelalakan mata aku terkejut. Apa? Nikah? spontan aku langsung menoleh ke arah papa.

"Ke--napa tiba-tiba?" tanyaku terbata.

Papa menghela napas panjang. "Sebenarnya, Papa dan Bu Alfira sudah menyiapkan semuanya tanpa kamu ketahui. Undangan sudah disebar, dekorasi, catering semuanya sudah siap. Sengaja Papa tidak memberitahumu, Papa takut kamu tidak merestui pernikahan kami. Teringat perkataanmu dulu, katanya kamu tidak ingin punya mama baru. Tetapi Jujur, Papa kesepian, Nak. Papa juga butuh pendamping hidup, dan akhirnya Papa temukan seseorang yg cocok untuk Papa."

Aku hanya terdiam mendengarkan penjelasan papa tanpa sanggup berkata-kata.

"Kalaupun kamu enggan dengan pernikahan ini, kamu tidak akan bisa melakukan apapun, karena semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Jadi Papa minta pengertian kamu. Papa yakin Bu Alfira akan menjadi istri dan ibu yang baik untuk kita."

'Aku tidak ingin dia jadi ibuku aku ingin dia jadi kekasihku, milikku seutuhnya!' Batinku berontak, tapi mulutku bungkam.

Oh papa! Kau tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini yang sakit dan hancur. Bagaimana mungkin aku merestui pernikahan kalian. Justru yang aku inginkan adalah menolak pernikahan itu mentah-mentah. Namun, itu, kan dua hari lagi. Mana bisa aku menolaknya. Tidak mungkin jika aku mengacaukannya dengan meng-ubrak abrik, mengamuk kemudian mengumumkan ke seluruh dunia bahwa aku mencintainya dan menolak pernikahan ini bak sinetron di India.

Aku masih peduli pada papa, dan tidak mungkin sebagai seorang anak diriku mempermalukan dirinya seperti itu. Begini-begini juga aku sayang padanya, tapi sekarang jadi benci dan kesal. Namun, mengapa harus kesal? toh papa tidak mengetahui perasaanku pada Bu Alfira, bukan?

Intinya, papa tidak bersalah sebab aku tidak pernah memberitahukan tentang rasa ini. Yang salah adalah, papa baru memberitahukanku menuju hari pernikahannya.

"Dri, bagaimana?" tanya papa membuyarkan lamunanku.

Menghela napas berat aku hanya bisa pasrah. “Terserah, Papa.” Cuma itu yang aku ucapkan.

"Kamu sakit, Andrian? Ko pucat?" Bu Alfira bersuara. Ia menatapku dengan bias kekhawatiran di wajahnya. Menoleh aku memandangnya.

Mata coklat itu, tubuh indah itu dan semuanya yang ada pada Bu Alfira akan jadi milik papa. Aku membuang tatap ke sembarang arah. Tidak ingin terbuai dengan wajah cantiknya karena aku merasa tidak pantas untuk membayangkannya lagi.

"Aku baik-baik saja, Bu," balasku kemudian.

"Oh. Ibu pikir kamu kenapa-kenapa." Bu Alfira terdengar menyeruput segelas teh hangat.

"Kalau bicara itu jangan buang muka begitu, Andrian, " tegur papa yang otomatis membuatku kembali memandang ke arah Bu Alfira. Tampak ia tersenyum kaku ketika melihatku.

"Andrian tidak tahu kalau Papa dan Bu Alfira sudah saling kenal." Aku menunduk pilu. Sejak kapan mereka saling kenal? Pertanyaan itu terlintas dalam benakku.

Papa berujar disertai tawa ringan. "Oh itu ... hahaha pokoknya gitu deh."

"Papamu adalah sahabat ayahku, Andrian. Itulah mengapa kita bisa bertemu dan saling kenal." Aku menatap Bu Alfira dengan kerut di dahiku. Sahabat?

"Kok bisa papa dan ayah Bu Al bersahabat?"

Aku memalingkan wajah ke arah papa. Dia tersenyum malu sambil mengangkat secangkir kopi. "Panjang pokoknya kalau diceritakan sekarang."

Bi Narsih, asisten rumah tangga papa datang sembari membawakan beberapa camilan berupa kue kering dan pisang goreng di nampan.

Wanita paruh baya berkerudung longgar itu meletakkan dua piring di atas meja. "Silakan dinikmati, neng ... eh, Bu." Bi Narsih meralat ucapan sambil menutup mulutnya malu. Mungkin ia bingung harus panggil Bu Alfira dengan sebutan neng atau ibu. Tahu sendirilah Bu Alfira sangat muda jika bersanding dengan papa.

"Iya, makasih, Bi." Bu Alfira tersenyum ramah membuatku terhanyut dalam pesonanya.

"Mau kemana?" tanya papa heran setelah melihatku bangkit berdiri dari sofa.

"Andrian ke kamar dulu ganti baju."

"Jangan lama-lama, nanti kita makan bareng," kata papa yang aku balas anggukan lesu.

Sudah tidak tahan dengan situasi ini, berjalan gontai aku bergegas pergi menuju ke kamar. Putus asa, sesak di dada karena hati yang terluka. Tubuhku lemah seperti tidak punya gairah hidup.

Pernikahan

Alfira POV

Hari pernikahanku dengan Mas Reza akhirnya tiba. Aku duduk di hadapan bapak penghulu mengenakan gaun pengantin putih yang indah. Ayah dan Mas Reza berhadapan seraya berjabat tangan untuk melafalkan beberapa kalimat janji pernikahan. Senyum lebar terukir di wajahku, tetapi di dalam hati, kepedihan yang tak terungkapkan melanda.

"Bagaimana hadirin, sah?" Bapak penghulu celingukan memandang sekeliling.

"Sah!"

Serempak semua orang melafalkan doa setelah proses ijab qabul telah dilakukan. Semua orang memberikan ucapan selamat dan tepuk tangan penuh kegembiraan. Aku berusaha menyimpan kesedihanku di dalam, membiarkan senyum palsu terus menyertai langkahku. Setiap langkah yang aku ambil menuju pelaminan, setiap kata yang terucap dalam janji pernikahan, semuanya seperti pukulan yang tak terelakkan.

Aku memandang sekeliling, melihat wajah-wajah yang dipenuhi sukacita dan kebahagiaan. Keluarga dan teman-teman yang hadir, semua mengucapkan selamat padaku dengan tulus. Namun, hanya aku yang tahu bahwa di balik senyum yang kuhiasi, hatiku hancur.

Aku berusaha keras berpura-pura bahagia, mencoba menyembunyikan perasaan sakit yang menyiksa. Aku melihat Mas Reza, calon suamiku tersenyum bangga di sampingku. Dia tidak tahu bahwa di balik senyuman ini, aku merana karena dijodohkan dengannya, seseorang yang tak aku cintai dengan sepenuh hati.

Aku menghadirkan binar mata palsu di wajah saat aku bergandengan tangan dengan Mas Reza, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa membuatnya bahagia. Tetapi di dalam hati, ada rasa kosong yang tak terisi. Aku bertanya-tanya apakah aku akan menemukan kebahagiaan yang sejati di sini, dalam pernikahan yang diperuntukkan bagi orang lain.

Jika bukan karena Ayah sebenarnya aku tidak menginginkan pernikahan ini. Aku terpaksa, karena bisnis Ayah yang hampir collapse, maka dari itu dengan perjodohan ini, bisnis Ayah akan bisa terselamatkan. Ayah rela menjodohkanku dengan seorang duda sekaligus sahabatnya, yang sekarang jadi partner bisnisnya, Mas Reza.

Perbedaan usiaku dan Mas Reza terbilang sangat jauh. Kami terpaut dua puluh tiga tahun. Aku 22, sedangkan Mas Reza 45. Bahkan ia sudah punya anak remaja, yang tak lain adalah muridku di SMA.

Andrian. Anak itu, semenjak ia mengetahui hubunganku dengan papanya, ia seperti menjaga jarak denganku. Ia jadi bersikap dingin, tidak seramah dulu. Mungkinkah sebab aku akan menggantikan posisi ibunya menjadi alasan dirinya bersikap demikian?

Bukankah ia sendiri pernah bilang bahwa kelak ia akan menerima siapa saja untuk mendampingi papanya, asalkan wanita itu setia dan menyayangi papanya sepenuh hati. Namun, kenyataannya ...

Berteriak dalam hati aku frustasi. Aku sungguh dibuat bingung memikirkan perubahan sikap anak itu. Terserahlah, aku pusing! Yang jelas, sekarang diriku harus menerima kenyataan bahwa sekarang aku adalah seorang ibu tiri. ****!

"Dek, kenapa ko melamun sedari tadi?"

Sambil tersenyum tipis, kualihkan pandang menatap Mas Reza di samping kanan. "Nggak kenapa-napa ko, Mas."

"Oh. Kalau cape istirahat saja," ucap Mas  Reza yang aku balas anggukan lesu.

Percakapan kami terhenti karena tamu datang silih berganti. Terpaksa aku berdiri kembali, menyalami satu persatu tamu yang datang ke pesta pernikahan ini.

***

Mobil yang kami tumpangi berhenti di pelataran rumah Mas Reza. Dua mobil sebelumnya telah terparkir rapi di sini. Mungkin mobil itu berisi kado dan seserahan pernikahan yang baru dipindahkan dari gedung pernikahan.

Ayah dan bunda langsung pulang ke rumah setelah kami berpamitan. Begitupun Andrian. Keningku berkerut heran, sosoknya tidak kelihatan sedari tadi. Apakah ia sudah berada di kamarnya?

Mas Reza lekas keluar dan membukakan pintu untukku. Aku turun dari mobil dengan gaun pengantin yang masih menempel cantik di tubuh. Bi Narsih dengan sigap menggandengku ke teras rumah.

Mas Reza tersenyum pada asisten paruh baya itu. "Bi, tolong antar istriku ke kamarnya, ya. Dan nanti sekalian bantuin saya beres-beres barangnya Bu Al di mobil."

Bi Narsih mengangguk patuh. "Baik, Pak. Silakan ikuti saya, Bu Alfira."

Aku mengikuti Bi Narsih menuju ke kamar dengan langkah berat. Kami berdua sampai di depan pintu kamar, dan Bi Narsih membukanya dengan hati-hati.

"Ini adalah kamarnya. Jika ada yang Bu Al butuhkan, tolong beri tahu Bibi, ya."

"Terima kasih, Bi Narsih. Aku menghargainya," kataku dengan bibir menyungging ke atas.

Sebelum berlalu Bi Narsih merapikan dulu seprai, guling dan bantal di ranjang. "Jika ada yang bisa Bibi bantu, jangan sungkan untuk memanggil Bibi. Semoga Bu Alfira dapat menemukan kenyamanan di sini."

"Terima kasih, Bi. Saya akan mencoba untuk beradaptasi."

Bi Narsih kemudian memberikan senyum penuh kehangatan sebelum meninggalkan kamar. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi ruangan yang asing ini. Hatiku masih dipenuhi dengan kebingungan dan perasaan tak pasti tentang masa depan rumah tanggaku dengan Mas Reza.

Setelah beberapa saat, Mas Reza datang memasuki kamar. Ia melihatku dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi wajahku yang terlihat lelah.

"Dek, ada yang kurang nggak di kamar? Apa Adek lapar?"

Aku menggeleng lemah. "Nggak, Mas. Mau langsung istirahat saja, mau bersih-bersih dulu terus ganti baju."

"Ya sudah kalau begitu. Mas mau beres-beres dulu, ya."

Aku mengangguk kecil tanpa mengatakan sepatah kata. Setelah itu, pintu kembali tertutup. Menghela napas panjang menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba anganku menerawang jauh. Terbesit pertanyaan dalam benak. Apakah aku bisa bahagia hidup bersamanya?

Dengan hati yang berat, aku melepas gaun itu perlahan-lahan, melipatkannya dengan penuh kehati-hatian. Aku merasa seakan melepaskan satu babak hidupku yang indah, tapi juga penuh dengan kesedihan dan keraguan.

Kini handuk menutupi setengah badanku sampai dada. Berjalan menuju kamar mandi, membilas wajah dengan air sejuk guna menghilangkan bekas makeup dan air mata yang mengering di pipiku. Setiap percikan air memberikan rasa segar, mengingatkanku bahwa hidup terus berjalan meskipun hatiku sedang dalam keadaan hancur.

Usai membersihkan diri, aku kembali ke kamar dengan langkah lesu. Aku berdiri di depan cermin, memandang refleksi diri yang tampak lelah. Aku melihat gaun pengantin yang tergeletak di kursi, mengingatkanku pada impian yang tak terwujud.

Setelah menggantungkan handuk di dinding, aku mengambil kaos dan celana pendek di dalam koper. Setelah pengap menggunakan gaun pengantin itu seharian, sekarang aku bisa bernapas lega dengan mengenakan baju yang sederhana ini.

Mendengar suara gagang pintu yang kembali terbuka spontan aku menoleh.  Tampak Mas Reza datang dengan senyum hangat terpancar di wajahnya. Rupanya ia telah berganti pakaian dengan kaos putih dan celana panjang.

"Capek ya, Dek?" tanyanya sambil mendudukan diri di tepi ranjang.

Terkesiap aku bangkit merubah posisiku terduduk dari pembaringan. Memberikan senyum tipis di wajah.

"Iya Mas," balasku seraya merapikan rambut kikuk.

"Mau Mas pijitin?" Mata ini melebar sempurna. Oh astaga. Aku dibuat melongo mendengar tawarannya. Apa barusan? Dipijit?

"Ng--gak usah Mas, badanku nggak pegel ko, he." Terkekeh pelan, aku benar-benar gugup dan canggung dengan situasi ini.

"Ya sudah. Kalau gitu tidur aja, udah larut malem." Mas Reza naik ke atas ranjang, merebahkan badan lalu terpejam. Sementara aku masih bergeming terduduk kikuk tak karuan.

Atmosfirnya begitu canggung sekali ketika berada di dekatnya. Kembali diriku berbaring di atas kasur. Namun, kali ini memunggunginya.

"Good night, Mas," ucapku pelan.

"Night," balas Mas Reza. Rupanya ia belum tertidur lelap.

Sambil menutup mata, aku berdoa agar mendapatkan kekuatan dan keberanian untuk melangkah maju. Meskipun hatiku masih merana, aku harus mencari cara untuk menyembuhkannya dan menerima kehidupan yang tak terduga ini. Mulai menguap, dan kurasakan kantuk yang luar biasa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!