Kabar tentang kemenangan Penguasa Alam Iblis yang berhasil membunuh Dewa Matahari telah sampai di telinga Ratu Iblis Xin Li Wei. Sang ratu bersama suaminya To Tao mengerahkan pasukan bangsa iblis untuk menginvasi alam dewa dan juga alam fana dan menjadikan bangsa iblis sebagai bangsa yang berkuasa di semesta raya.
Namun, upaya sang ratu tidak berjalan sesuai keinginannya, meskipun mereka diuntungkan dengan kondisi alam yang mengalami kerusakan parah seusai pertarungan dari dua pemimpin agung kedua bangsa yaitu bangsa iblis dan bangsa dewa.
Penghuni alam fana dan penghuni alam dewa terus melakukan perlawanan sengit untuk mempertahankan wilayah dan kelangsungan hidup kedua bangsa dari invasi bangsa Iblis. Dengan demikian, hal itu membuat peperangan lintas bangsa terus terjadi di alam Fana dan juga alam Dewa dalam kurun waktu seratus tahun lamanya dan terus berlangsung hingga kini.
Di alam fana, peperangan yang terjadi begitu berkecamuk di batas area kekaisaran. Seorang pemuda tampan yang merupakan seorang pangeran dari kekaisaran Xiao terlihat begitu memprihatinkan. Dengan pakaiannya yang compang-camping dan pedang yang tergenggam erat di tangannya, sang pemuda tergopoh dalam kepungan para Iblis.
“Hari kematianmu telah tiba, kehancuran kekaisaran tidak bisa lagi terhindarkan.” Seringai tajam penuh aura kematian terpancar dari seorang wanita iblis melangkah pasti menghampiri sang pemuda.
“Ragaku mungkin hancur, tapi jiwaku akan terus hidup melawan kalian semua di alam ini!” tegas sang pemuda tidak terlihat putus asa di sorot matanya yang tajam.
Tampak, cucuran keringat terus menetes keluar dari pori-pori kulit wajah sang pemuda yang berjuang keras hingga tetes darah penghabisan. Deru napasnya begitu berat, ia terengah setelah melalui pertarungan tanpa henti. Namun, tekadnya terus membara membakar semangat juang yang tidak pernah pudar.
Sang iblis wanita menyeringai dingin menatap sinis sang pemuda tampan yang tidak bergeming dengan aura kematian yang dipancarkannya. Tak ingin terlalu lama mengulur waktu, sang iblis wanita mengayunkan pedang panjang ke arah tubuh si pemuda tampan dengan membelahnya menjadi beberapa bagian lalu pergi meninggalkannya begitu saja.
Di sebuah kamar penuh dengan poster idola, seorang remaja terbangun dari mimpinya. “Ah, mimpi ini lagi! Kenapa aku selalu bermimpi tentang peperangan di dunia yang tidak pernah aku tahu sama sekali? Dan kenapa juga aku harus menjadi seorang pangeran yang mati di medan perang? Tak ada bahagianya!”
Remaja bernama Ucup Rekber terus mengeluh di setiap kali terbangun dari mimpinya. Ekspresinya begitu rumit, seolah dirinya mengalami langsung peperangan yang terjadi di dalam mimpinya.
Ucup beranjak dari ranjangnya yang empuk dipenuhi dengan ukiran indah berbagai pulau hasil dari kreasi bibirnya yang selalu menganga di sepanjang malam.
Ia lalu melangkahkan kaki keluar dari kamarnya menuju ke arah dapur yang terletak di lantai bawah. Diambilnya sebotol air dari lemari pendingin lalu duduk di kursi tempat keluarganya biasa makan, Ucup termenung mengingat kembali mimpinya yang selalu ia alami hampir di setiap kali ia tertidur.
Ibunya yang mendengar suara dari arah dapur terbangun karenanya.
“Pasti si Ucup yang berada di dapur,” ucap sang ibu menebaknya, ia lalu beranjak keluar kamar menghampiri arah suara yang didengarnya.
“Aa, apakah Aa bermimpi itu lagi?” tanyanya dengan rasa iba melihat anak lelakinya termenung dalam diam.
Ucup terperanjat dari lamunannya lalu berkata, “Eh, Ibu! Iya aku mimpi itu lagi, … apakah ada maksud tertentu dengan mimpiku ini, Bu?”
Sang ibu bernama Maya Espala terdiam memikirkannya.
“Hem, kalau mimpi Aa selalu sama dan terus terjadi, sepertinya dugaan Aa itu benar, nanti Ibu akan tanyakan kepada orang pintar. Siapa tahu nanti akan diketahui maksud dari mimpi Aa selama ini. Sekarang Aa kembali ke kamar, berdoa dulu sebelum tidur!” jawab Bu Maya kemudian mengecup kening anak lelakinya.
Ucup mengangguk lalu kembali naik ke lantai atas di mana kamarnya berada.
“Aa!” panggil Bu Maya.
Ucup menghentikan langkah lalu menolehnya.
“Iya, Bu. Ada apa?”
“Hentikan kebiasaan burukmu menonton film dewasa! Ibu nggak mau kamu jadi kecanduan dan ingatlah! Hal itu bisa merusak otakmu juga kesehatan mentalmu, dan itu pun termasuk dosa besar yang harus kamu pertanggungjawabkan nantinya,” ujar Bu Maya menasihatinya.
“Ba-baik, Ibu.” Ucup terperangah mendengar perkataan ibunya yang mengetahui kebiasaan buruknya.
“Ya sudah, lekas tidur!” imbuh Bu Maya memintanya.
Ucup mengangguk lalu berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya.
“Sialan, bagaimana Ibu bisa tahu semua ini!?” rutuknya lalu membenamkan kepala di bantalnya yang penuh ukiran hasil dari kreasi tidurnya.
Esok hari, Ucup terbangun dengan raut wajah yang begitu malas. Mimpinya semalam masih terbayang jelas di ingatannya. Ucup menggelengkan kepala berusaha menyangkalnya, lalu melangkah dengan gontai menuju kamar mandi.
Ucup bersandar pada sudut dinding rumah menunggu seseorang keluar dari kamar mandi.
“Aa, kenapa melamun? Sana mandi, aku sudah selesai!” tegur seorang gadis menyadarkannya dari lamunan.
Ucup memaksakan senyum ke arah suara si gadis yang merupakan adiknya bernama Putri Rekber.
“Dih, senyum Aa hanya membuatku mual!” ledek si gadis yang langsung melarikan diri.
Ucup menyeringai sinis dengan bibir yang mengkerut membalas adiknya. Tak lama kemudian, Ucup keluar dari kamar mandi lalu kembali ke kamarnya dengan sedikit semangat setelah membersihkan diri.
Ia memakai seragam sekolah dan setelah itu, ia menjatuhkan tubuhnya di kasur.
“Hidupku nggak ada semangatnya, apa sebaiknya aku bicara ke Ibu kalau hari ini nggak masuk sekolah?” gumamnya.
Ucup membuka kembali seragam sekolahnya, memakai kaos singlet lalu turun ke lantai bawah menemui ibunya yang sedang memasak.
“Bu, bolehkah Aa tidak sekolah hari ini?” rajuk Ucup memintanya.
“Nggak boleh! Selama Aa tidak dalam kondisi sakit, Ibu tidak akan pernah memberikan izin untuk bolos sekolah … kembali ke kamar, pakai seragamnya lalu turun sarapan bersama Ayah dan Puput!” tegas Bu Maya menolaknya.
Ucup tersentak mendengarnya. Setelah itu, ia pun membalikkan badan kembali ke kamarnya.
“Ya ampun, kenapa begini hidupku!?” keluh Ucup yang dengan terpaksa harus menuruti perkataan sang ibu.
“Kenapa wajahmu begitu kusut, Nak?” tanya seorang pria paruh baya bernama Andi Rekber mengamati raut wajah Ucup yang terlihat murung berjalan ke arahnya.
Ucup tidak langsung menjawabnya, ia menarik kursi lalu duduk di sebelah adiknya, Putri. Setelahnya, Ucup mengambil sepiring nasi goreng kemudian melahapnya tanpa mengindahkan pertanyaan dari sang ayah.
“Ucup!” panggil Pak Andi dengan suara tinggi.
Ucup yang sedang mengunyah makanan langsung tersedak.
“Maaf, Ayah. Aku sedikit kurang bersemangat hari ini,” ungkap Ucup seraya mengambil gelas lalu menenggak isinya.
Pak Andi tersenyum simpul menatap Ucup. Ia menebak-nebak apa yang terjadi dengan putranya itu.
“Apa kamu sedang ada masalah dengan gadis di sekolah?” tanya Pak Andi menerkanya.
“Tidak, bukan itu, Ayah. Sudahlah, Ayah!” jawab Ucup serba salah.
“Lagi berantem ya sama Kak Indri?” celetuk suara Putri menyambung percakapan ayah dan kakaknya.
Ucup menoleh dengan wajah garang memelototi sang adik.
“Ngomong apa kamu? Ikut-ikutan saja.”
Putri menundukkan wajah sambil cemberut lalu mendengus kesal.
“Sudah, sudah. Kalian ini masih pagi sudah bikin ribut!” tegur Bu Maya menimpali keributan, “sudah waktunya kalian berangkat!”
Ucup, Putri, dan Pak Andi langsung mengakhiri sarapan dan bergegas mempersiapkan diri untuk pergi pada aktivitasnya.
“Apa kalian mau berangkat bersama dengan Ayah? Nanti kalian bisa lanjut naik angkutan umum di persimpangan jalan,” tawar Pak Andi kepada kedua anaknya.
“Nggak, Yah. Nanti aku bisa terlambat masuk sekolah. Jalanan jam segini lagi macet-macetnya,” jawab Ucup memperhitungkan waktu tempuh menuju sekolahnya dengan menaiki mobil ayahnya.
“Bagaimana denganmu, Puput?” sambung Pak Andi melirik anak gadisnya.
“Aku ikut dengan Aa Ucup saja, lebih cepat sampai ke sekolah,” jawab Putri menjelaskan.
“Baiklah, Ayah tidak akan memaksa kalian. Berhati-hatilah di perjalanan dan belajar dengan giat di sekolah!” imbuh Pak Andi selosor pergi tanpa berpamitan dengan istrinya.
Bu Maya hanya menggelengkan kepala melihat suaminya pergi tanpa berpamitan kepadanya.
“Ibu, kami pergi dulu,” pamit Ucup lalu mencium punggung tangan ibunya diikuti Putri, lalu keduanya menaiki motor berboncengan.
“Hati-hati di jalan, Nak. Belajar yang giat!” balas Bu Maya menyaksikan kedua anaknya yang berlalu pergi.
Sepulangnya Ucup dan Putri dari sekolah. Bu Maya langsung menghampiri keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.
“Aa, nanti sore Pak Gofur akan bertamu ke rumah. Ibu sudah menelponnya, memberi tahu tentang mimpi yang Aa alami selama ini. Ibu pinta, Aa jangan main dulu hari ini!” ujar Bu Maya memberitahukannya.
“Baik, Ibu,” sahut Ucup singkat.
Sore hari menjelang, tamu yang ditunggu akhirnya tiba.
Tok, tok, tok.
“Assalamualaikum,” salam Pak Gofur di depan pintu.
Bu Maya yang sedang sibuk masak di dapur langsung menghentikan kegiatannya, kemudian ia bergegas menghampiri membukakan pintu.
“Waalaikumsalam,” sambut Bu Maya tersenyum, “silakan masuk, Pak Gofur! Maaf, rumahnya masih berantakan.”
Pak Gofur tersenyum membalasnya, lalu mengikuti langkah Bu Maya memasuki ruang tamu.
“Silakan duduk, Pak!” pinta Bu Maya lalu melangkah ke arah tangga.
“Aa, ayo turun! Pak Gofur sudah datang,” panggil Bu Maya dengan suara lantang.
“Baik, Ibu. Sebentar!” sahut Ucup yang langsung keluar dari kamarnya.
Ucup menyalami Pak Gofur lalu duduk berhadapan dengannya.
“Bu Maya, boleh saya meminta segelas air mineral?” pinta Pak Gofur.
Bu Maya mengangguk lalu pergi mengambilnya. Setelah itu, Bu Maya meletakkannya di meja depan Pak Gofur.
Sambil memegangi kening Ucup, Pak Gofur mulai membacakan doa. Setelahnya, Pak Gofur meminta Ucup meminum air yang telah dibacakan doa. Ucup pun mengikutinya dengan meneguk habis air yang telah dibacakan doa tersebut.
“Bagaimana, Pak? Apa yang sebenarnya terjadi dengan anakku?” tanya Bu Maya penuh rasa ingin tahu.
Pak Gofur menggelengkan kepalanya seraya menjawab, “Kita serahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita tidak mengetahui apa rencanaNya. Biarpun begitu, aku berfirasat, Ucup akan menjadi orang besar di masa depan.”
Bu Maya mengangguk pelan.
“Terima kasih, Pak. Silakan dicicipi penganan seadanya!” tawar Bu Maya.
Setelah kepergian Pak Gofur, Ucup menyandarkan kepalanya di bantalan kursi. Pikirannya tak karuan, ia merasa akan terjadi sesuatu di perjalanan masa depannya. Pandangannya tertuju ke arah ibunya yang sedang melamun memikirkan dirinya.
“Bu, apa yang terjadi denganku? Kenapa Pak Gofur tidak mengetahui apa pun tentang mimpiku?” tanya Ucup masih penasaran.
Bu Maya sedikit terperanjat mendengarnya. Dengan sedikit memaksakan senyum, Bu Maya berkata, “Ibu juga tidak tahu, Nak. Namun, seperti yang dikatakan oleh Pak Gofur, kita harus menyerahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segalanya.”
Setelah mengatakannya, Bu Maya beranjak pergi meninggalkan Ucup yang masih bersandar di bantalan kursi.
Ucup mendengus pelan, pikirannya masih terpaku pada mimpi yang sering dialaminya.
“Sebaiknya aku tidak perlu memikirkan sesuatu yang tidak aku mengerti. Jangan takut! Bajingan kok lemah,” gumamnya menyemangati diri.
Ucup kemudian berdiri dari kursi dan melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Hari demi hari telah dilalui Ucup. Mimpi yang sama pun terus dialaminya setiap kali dirinya tertidur. Ucup menguatkan tekadnya memberanikan diri untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi kepadanya di masa depan.
Suatu pagi, Ucup membantu ibunya memasak di dapur.
“Bu, suatu saat nanti ketika Aa sudah bekerja, Aa ingin memiliki istri seperti Ayah yang memiliki Ibu. Seorang istri yang baik hati dan penyayang,” celetuk Ucup sambil mengiris bawang merah.
Bu Maya tersipu mendengarnya, sudut bibirnya melebar dengan sorot mata yang memancarkan kebahagiaan.
“Semoga keinginan Aa tercapai, ya, Sayang. Kamu harus ingat, jadilah seorang pria yang bertanggung jawab pada istri dan anak-anakmu kelak,” balas Bu Maya mendoakan dan mengingatkannya.
Ucup menganggukan kepala menyetujui perkataan ibunya. Selesai memasak, seperti biasanya Ucup akan sarapan bersama ayah dan adiknya. Setelah itu, Ucup bersama Putri berpamitan menuju sekolahnya.
Di perjalanan, Putri yang penasaran kisah asmara kakaknya memberanikan diri untuk bertanya, “Aa, apa kabarnya Kak Indri? Kalian nggak lagi berantem, kan?”
Ucup yang mendengarnya bersikap acuh tak acuh, dengan malas, ia pun menjawab, “Anak kecil, belajar yang giat. Jangan mengurusi hubungan Aa sama Indri!”
Ucup lalu menarik gas dengan kencang dan membuat Putri terkejut lalu memeluk erat Ucup dengan wajah yang disembunyikan di punggung sang kakak.
“Aa, pelan-pelan. Aku laporin ke Ibu baru tahu rasa!” ujar Putri mengancamnya.
Setelah jam pelajaran berakhir, Ucup yang sedang menaiki motor kesayangannya dihampiri oleh pacarnya, Indri.
“Aa, bolehkah aku ikut ke rumah Aa? Sudah lama aku tidak bertemu dengan Ibu,” pinta Indri dengan senyumannya yang cantik.
“Baiklah, tapi aku harus menjemput Puput. Kamu duluan saja ke rumah,” balas Ucup lalu menarik gas motornya meninggalkan Indri di parkiran.
Beberapa waktu kemudian, Bu Maya yang sedang mengangkat jemuran di halaman belakang, mendengar suara klakson motor yang dibunyikan di depan pagar depan rumahnya. Ia pun langsung berjalan menghampiri.
“Eh, Nak Indri. Ibu kira, Nak Indri sudah lupa sama Ibu,” ucap Bu Maya lalu membuka gerbang.
“He-he, nggak lupa kok, Bu. Justru aku kangen banget dengan masakan Ibu,” tukas Indri lalu menarik gas motor dan memarkirkannya di pojok halaman.
Tak lama berselang, Ucup dan Putri sampai di rumah. Keduanya lalu turun dari motor dan menyalami ibunya yang berdiri menyambut keduanya. Ucup dan Putri langsung masuk ke dalam rumah setelah menyalami Indri yang berdiri di samping Bu Maya.
“Nak Indri, Ibu pinjam motornya sebentar, Ibu mau membeli bahan masakan di pasar,” pinta Bu Maya sambil menjulurkan tangan.
Indri merogoh saku jaket lalu menyerahkan kunci motor kepada Bu Maya. Tiba-tiba saja dari arah dalam rumah, Putri berlari cepat ke arah ibunya.
“Ibu, Puput ikut!” ucapnya dengan napas yang terengah.
Setelah kepergian keduanya, Indri kembali duduk di kursi teras menunggu Ucup yang akan menemuinya. Namun, setelah sekian lama ditunggu, Ucup tidak menampakkan dirinya. Indri pun masuk ke dalam rumah untuk menghampirinya.
Ucup yang sedang asyik rebahan di lantai dengan hanya menyisakan celana sekolah, dikejutkan oleh kehadiran Indri yang selonong memasuki kamarnya.
“Eh, Indri! Kenapa kamu masuk? Aku belum mengganti pakaianku,” tegur Ucup merasa gugup melihatnya.
Indri menatapnya dengan kesal lalu berkata, “Apa kamu gak kangen sama aku?” Indri berbalik pergi.
Ucup berdiri lalu menarik tangan Indri dan memeluknya, dengan refleks Ucup mencium bibir tipis kekasihnya. Setelah itu, keduanya saling bertatapan dengan penuh kebahagiaan.
“Kamu tunggu di bawah! Aku tidak ingin ketika ibuku pulang dan melihatmu di sini, pasti Ibu akan memarahi kita,” ujar Ucup mengingatkan.
Menjelang matahari terbenam di ufuk barat, Indri pulang. Ucup yang sedang berbahagia langsung kembali ke kamarnya dan melemparkan tubuhnya ke atas kasur.
Baru saja Ucup menutup mata sambil mendengarkan musik, Putri memasuki kamar Ucup tanpa mengetuknya. Ucup yang tersadar ada orang yang memasuki kamarnya langsung berdiri.
“Puput, kalau masuk ketuk pintu dulu. Bagaimana kalau Aa sedang tidak mengenakan baju? Kebiasaan!” gerutu Ucup merasa jengkel.
Putri menyentuh hidungnya sendiri mengejek Ucup. Dengan menampilkan wajah polos penuh keingintahuan, Putri mendekatkan wajah di depan Ucup lalu berbisik, “Aa tadi ngapain sama Kak Indri berduaan di dalam kamar? Aku tahu loh, kalau kalian berdua memanfaatkan kekosongan rumah.”
Ucup menyeringai dengan tatapan tajam menatap sang adik yang menampilkan wajah mengejeknya. Tak lama kemudian, ia langsung menggigit hidung mungil adiknya.
Krauk!
“Ah, Aa sakit!” Jerit Putri yang hidungnya digigit oleh Ucup.
Ia pun berlari sambil memegangi hidungnya, menangis. Sebaliknya, Ucup menyeringai dingin merasa puas sudah menggigit hidung adiknya.
Malam harinya, Ucup merasakan sakit yang teramat kuat di kepalanya. Ia berguling-guling mencengkram rambutnya hingga dirinya tak sanggup lagi menahannya. Ucup pun tergeletak tidak sadarkan diri di atas lantai kamarnya.
Putri yang hidungnya dilapisi kain kasa, berjalan sambil menenteng buku ke kamar kakaknya, Ucup.
Tok, tok, tok.
“Aa, bantu Puput mengerjakan PR!” kata Putri sambil terus mengetuk pintu kamar.
Tidak ada sahutan dari dalam kamar, membuat Putri merasa yakin kalau kakaknya masih marah kepadanya.
“Apa Aa masih marah sama Puput? Maafin Puput ya, Puput janji akan jaga rahasia,” imbuhnya berharap Ucup mau membukakan pintu dan memaafkannya.
Setelah ditunggu cukup lama, Putri mulai kesal karena tidak dibukakan pintu sama kakaknya. Ia lalu menggerakkan pegangan pintu dan mendorongnya. Setelah pintu terbuka, Putri langsung mematung melihat Ucup yang tergeletak dengan wajah pucat pasi.
“Aa, bangun! Aa kenapa?” Putri terus menepuk wajah Ucup, berusaha membangunkannya.
“Aa!” teriak Putri dengan keras.
Pak Andi yang sedang menikmati secangkir kopi ditemani istrinya, mendengar jelas suara teriakan dari anak gadisnya.
“Bu, kenapa Puput berteriak? Coba Ibu hampiri!” kata Pak Andi memintanya.
“Biasanya Puput berantem sama si Aa. Ibu ke atas dulu,” balas Bu Maya lalu bergegas menaiki tangga.
Samar-samar terdengar suara tangisan dari anak gadisnya di kamar Ucup. Bu Maya semakin mempercepat langkah menuju kamar anak bujangnya.
Terperanjat perasaan Bu Maya melihat kondisi Ucup yang tidak sadarkan diri dengan wajah yang sangat pucat.
“Ayah, ke sini, Yah! Ini, Aa kenapa? Ayah!” jerit tangis Bu Maya bersimpuh memeluk Ucup.
Pak Andi tersedak mengecap kopi yang masih panas, mendengar jerit tangis istrinya. Ia lalu berlari cepat ke kamar anak lelakinya.
Tidak ingin mengulur waktu, Pak Andi langsung memangku tubuh Ucup.
“Ayo cepat, Bu! Ambil kunci mobil! Kita harus secepatnya membawa anak kita ke rumah sakit,” pinta Pak Andi melangkah cepat membawa Ucup menuruni lantai atas.
Bu Maya dengan sigap berlari untuk mengambil kunci lalu membuka pintu rumah dan diteruskan dengan membuka pintu mobil.
Lalu, Pak Andi menempatkan tubuh Ucup di kursi belakang bersandar di pangkuan Putri. Setelahnya, Pak Andi langsung membawa mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit.
Di ruang tunggu Unit Gawat Darurat, Pak Andi, bu Maya dan juga Putri menunggu dengan cemas keadaan Ucup yang sedang diperiksa oleh tim dokter yang membawanya ke ruang ICU.
Setelah memakan waktu sekitar satu jam lamanya, seorang dokter pria datang menghampiri.
“Selamat malam, Bapak dan Ibu. Apakah kalian keluarga dari pasien?” tanya dokter mengonfirmasi.
“Iya betul, Dok. Kami semua keluarga dari pasien, saya ayahnya. Bagaimana keadaan anak saya sekarang?” jawab Pak Andi disertai tanya.
“Perkenalkan, saya Dokter Andre. Sampai sekarang kami belum bisa memastikan kondisi dari Saudara Ucup. Setelah hasil dari laboratorium keluar, kami akan menginformasikannya kepada kalian. Sebelum itu, sebaiknya Bapak dan Ibu menyelesaikan administrasi terlebih dahulu. Pasien akan kami rawat sampai kami mengetahui penyebabnya,” ujar Dokter Andre menjelaskan.
Baik, Dokter. Terima kasih,” timpal Pak Andi lalu pergi ke ruang administrasi.
Setelah beberapa hari, Ucup dipindahkan ke ruang rawat inap. Dokter Andre menjelaskan tentang kondisi Ucup kepada keluarganya. Dalam paparan penjelasannya, Ucup tidak memiliki hal yang perlu dikhawatirkan. Merujuk kepada hasil laboratorium, kondisi Ucup dinyatakan normal, namun pihak rumah sakit masih menyelidiki penyebab Ucup yang masih tidak sadarkan diri.
Tanpa terasa waktu terus berlalu, dua minggu Ucup tertidur di ranjang rumah sakit, tidak ada tanda-tanda dirinya akan bangun dari tidur panjangnya. Pihak rumah sakit memutuskan untuk terus menyelidiki dan mengembangkan kasus Ucup hingga mendatangkan beberapa pakar kesehatan untuk membantu dalam memecahkan masalah yang menimpa Ucup atas rekomendasi dari Dinas Kesehatan terkait.
Kabar tentang kondisi Ucup menjadi buah bibir di kalangan praktisi kesehatan dan meluas menjadi berita di beberapa media dengan menyebutnya sebagai “Pangeran yang Tertidur”.
Dukungan mengalir deras dari kalangan masyarakat bahkan pejabat daerah ikut menjenguk Ucup.
Jauh di alam lain di ruang hampa. Dewa Hampa mengernyitkan wajah menatap semesta di bawah naungannya mengalami kerusakan parah di hampir sepertiganya.
“Kekuatan dan kekuasaan tanpa disertai tanggung jawab akan membawa kehancuran pada alam yang memberikan semua kebutuhan hidup seluruh penghuninya. Tidakkah mereka menyadari semua itu?” lirih Dewa Hampa menggelengkan kepala.
Empat orang lainnya yang sedang bermeditasi dalam posisi melingkar membuka mata mengakhiri meditasi. Keempatnya merenungkan semua perkataan dari Dewa Hampa.
"Dewa, semua yang terjadi merupakan suratan takdir. Biarkanlah semesta yang akan menemukan jalannya sendiri untuk memperbaiki diri," ujar Dewa Cahaya menanggapi.
"Kehancuran alam semesta merupakan kesalahan kita yang tidak bisa menjaganya," sambung Dewa Kematian.
"Itulah yang aku sesalkan selama ini. Setelah satu abad dari berakhirnya pertarungan dua penguasa, kita berusaha menyeimbangkan kembali alam semesta dari kehancuran total. Namun, para iblis memanfaatkan situasi tersebut dengan menginvasi alam fana dan juga alam dewa yang membuat peperangan terus terjadi hingga kini," ujar Dewa Hampa.
Keempat lainnya terlihat risau dengan semua yang didengarnya.
"Apa yang meski kita lakukan untuk mengembalikan kondisi alam fana dan juga alam dewa pada keadaan semula?" tanya Dewa Cahaya.
"Kenapa kita tidak turun tangan mengusir bangsa iblis dari alam fana dan alam dewa?" sambung tanya Dewa Kematian.
Dewa Hampa merentangkan kedua tangannya memberikan isyarat untuk tenang. Ia lalu berkata, "Kita tidak bisa mencampuri urusan penghuni alam. Jangan gegabah!"
Seorang Dewi mengangkat tangan meminta izin untuk berbicara. Keempat dewa langsung mengangguk mempersilakannya.
"Apa tidak sebaiknya kita menunjuk seseorang untuk menjalankan misi mengembalikan keutuhan semesta?" cetus Dewi Kehidupan.
"Itu mungkin bisa dilakukan, tapi akan menyalahi takdir?" kata Dewa Hampa meragukannya.
Suasana menjadi hening seketika. Tak berselang lama, seorang dewa berdeham lalu berbicara, "Ada seorang pangeran muda di benua Matahari yang jiwanya masih bertahan di tubuhnya yang membusuk. Keinginan hidupnya sangat kuat. Menurutku, dia mungkin bisa kita jadikan sebagai orang yang akan mengemban misi merekonstruksi alam."
"Apa kita akan menentang takdir?" tanya Dewa Kematian menegaskan.
"Tidak masalah, asalkan salah satu dari kita harus menerima konsekuensi terganti olehnya setelah misi selesai," ujar Dewa Hampa menjelaskan.
Para dewa kembali terdiam. Masing-masing dari mereka fokus memikirkan solusi tentang hal tersebut. Hingga seseorang di antaranya menyeringai menatap keempat dewa lainnya.
"Bagaimana kalau kita meminjam satu jiwa dari semesta lain untuk menjalankan misi? Setelah selesai, kita bisa mengembalikannya," Kata si Iblis Kegelapan menyampaikan pendapatnya.
"Apa maksudmu?" tanya serentak keempat Dewa meliriknya dengan sorot mata yang tajam.
"Kalian tidak perlu menatapku seperti itu. Ini hanya solusi supaya tidak ada yang tersisih di antara kita," jelas Iblis Kegelapan.
Ketiga dewa mengangguk memahaminya. Hanya seorang dewi yang menggelengkan kepala.
"Itu kejahatan, aku kurang setuju," kata Dewi Kehidupan menolaknya.
"Ha-ha. Kalian semua tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Aku punya rencana," kekeh Dewa Hampa lalu mengeluarkan sebutir mutiara yang bersinar.
"Mutiara ini adalah inti energi semesta. Tadinya akan aku gunakan untuk merekonstruksi alam, jika saja kehancuran tak dapat lagi terhindarkan," jelas Dewa Hampa, "sekarang aku memahami ada manfaat lain untuk menggunakannya. Mutiara ini yang akan menjadi solusi untuk kita semua."
Semringah wajah keempat orang merasakan kelegaan bisa mendapatkan solusi terbaik.
"Dewa Cahaya, bawalah jiwa yang kau sebutkan tadi!" pinta Dewa Cahaya.
"Baik," sahutnya.
Iblis Kegelapan berdiri dari tempatnya, lalu berkata, "Aku akan pergi ke alam tak dikenal, … mungkin akan sedikit memakan waktu, kuharap kalian bersabar menungguku."
Setelah itu, Iblis Kegelapan langsung menghilang dari posisinya berdiri.
Beberapa waktu kemudian, Dewa Cahaya kembali dengan membawa jiwa seorang pangeran ke hadapan Dewa Hampa.
Sang pangeran tampak bingung memperhatikan empat dewa yang hanya terlihat sinarnya saja.
“Siapa kalian? Bagaimana aku bisa berada di sini?” tanya Pangeran sedikit ketakutan.
Dewa Hampa dan ketiga dewa lainnya tersenyum menanggapi pertanyaan dari Pangeran. Namun, mereka bertiga tidak menjawabnya.
Dewa Hampa melirik ke arah Dewa Cahaya lalu bertanya, “Inikah orang yang membuat dirimu begitu terkagum?”
“Betul, aku sangat kagum melihat perjuangannya mempertahankan diri dan martabat dari kepungan bangsa iblis. Dia sangat cocok untuk mengemban misi dari kita,” jawab Dewa Cahaya meyakini.
Dewa Hampa menoleh ke arah jiwa sang pangeran.
“Kondisi alam sudah sangat memprihatinkan. Kami butuh seseorang untuk merekonstruksi alam kembali pada kondisi semula. Apakah kau bersedia, Xiao Li Dan?”
Pangeran Xiao Li Dan mengernyitkan wajah tidak memahaminya. Namun, keempat dewa yang bersamanya bukanlah sosok sembarangan. Ia pun tahu, tawaran yang datang kepadanya merupakan anugerah besar yang tidak mungkin ditolaknya. Ia lalu mengangguk seraya tersenyum simpul menerimanya.
“Yang Mulia, hamba bukanlah kultivator hebat. Tugas ini mungkin akan menjadi sia-sia di tangan hamba. Mohon Yang Mulia bisa memberikan kebijaksanaan yang akan menjadi bekal hamba dalam menjalankan misi,” ujar Pangeran menyampaikan keinginannya.
“Kau tidak akan berjalan sendiri. Ada seseorang yang harus dibimbing olehmu. Jadilah pembimbing yang baik baginya!”
Pangeran Xiao Li Dan merasa heran mendengarnya, namun ia tidak ingin mempertanyakan maksud dari ucapan sang dewa kepadanya.
“Baik, Yang Mulia.” Pangeran Xiao Li Dan menerimanya.
“Setelah menyelesaikan misi, kami akan mengangkatmu menjadi Penguasa Alam Semesta.”
Bergetar hati sang pangeran tidak menyangka akan diberikan posisi yang jauh dari apa yang bisa dibayangkan oleh semua makhluk di alam semesta. Ia lalu menjura dengan posisi berlutut.
“Dewa Cahaya, antarkan jiwanya kembali ke alam fana!”
Dewa Cahaya mengangguk lalu membawa jiwa sang pangeran kembali ke alam fana. Di depan potongan tubuh yang membusuk, Dewa Cahaya mengeluarkan mutiara inti semesta yang dititipkan oleh Dewa Hampa kepadanya.
“Ini merupakan mutiara inti semesta yang diberikan oleh Dewa Hampa. Masukkan mutiara ini pada sisa tubuhmu itu, kemudian tunggulah sampai jiwa dari semesta lain memasukinya, lalu bimbinglah dia dalam menjalankan misi!” Dewa Cahaya memberikannya kepada Pangeran Xiao Li Dan yang langsung menerimanya.
Setelah itu, Dewa Cahaya menempelkan ujung jarinya di kening Pangeran Xiao Li Dan. Seberkas cahaya melesak memasukinya.
“Pelajarilah dengan baik, di dalamnya merupakan semua pengetahuan tentang alam semesta!”
Setelah mengatakan itu, Dewa Cahaya menghilang meninggalkan Pangeran Xiao Li Dan yang tatapannya terus terpaku menatap tubuhnya yang terbagi menjadi beberapa bagian yang terbelah. Ia lalu meletakkan mutiara inti semesta tepat ke jantungnya yang membusuk.
Seketika tubuhnya bereaksi menjadi serpihan debu. Setelahnya, partikel-partikel kecil menyerupai serbuk tepung mulai membentuk tubuh baru dengan sempurna dan memancarkan cahaya terang yang menyilaukan. Lambat laun, sinar terang mulai meredup dengan sendirinya.
Melihat tubuhnya kembali utuh dengan sempurna, Xiao Li Dan begitu mensyukurinya. Akan tetapi, reaksinya berubah tatkala ia menatap bagian tubuhnya yang lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!