DISCLAIMER : Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan tempat, nama, dan juga cerita adalah hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Kenangan itu terjadi pada suatu malam di bulan Juni. Di malam kemarau itu, hawa panas tiba-tiba berubah menjadi dingin. Nyamuk yang berkeliaran seketika menghilang dan membuat malam semakin bening. Malam itu hanyalah satu malam semakin hening. Malam itu hanyalah satu malam kemarau yang sepi. Saat itu Yoga masih berumur sembilan tahun dan lagi dirawat inap di sebuah rumah sakit.
Lorong rumah sakit dalam keadaan remang-remang menjadi saksi bisu kejadian itu. Nyaris tak ada suara lain yang terdengar kecuali napas para pasien yang ada di ruangan bersama dirinya, bunyi detak jam atau suara-suara binatang malam yang berkeliaran mencari mangsa. Di mata suster atau para keluarga pasien yang sesekali lewat lorong, tak ada yang aneh. Bagi mereka, semua dalam keadaan normal.
Namun ada yang terlewat dari pandangan mata mereka. Sesuatu tak kasat mata yang mampu menembus dinding-dinding tebal rumah sakit. Bukan, bukan gadis pucat yang menggendong boneka di tepi lorong atau jiwa-jiwa malang yang duduk menunggu badan koma mereka di ruangan ICU. Makhluk tak kasat mata itu melayang-layang mengikuti lorong yang remang-remang. Percayalah, bila ia melewatimu, maka hawa yang akan kaurasakan akan mendingin, bulu kuduk berdiri, dan kamu akan mengalami kegelisahan tak berujung. Makhluk itu seakan memilih kamar yang ingin dia masuki.
Di kamar 33, Yoga kecil mulai gelisah. Keringat dingin mulai mengalir dari dahinya. Napasnya terasa sesak dan ia mulai panik!
Serangan yang dialami membuatnya takut setengah mati. Sesaat serangan ini menahan napas untuk keluar dari salurannya yang membuat dirinya takut. Dia sungguh tak dapat bernapas dengan normal. Paru-paru yang mengerut, tak bisa menarik atau mengembuskan udara keluar dari tubuh. Sebuah rasa sakit yang terekam baik di ingatannya. Sama seperti kenangan buruk yang tak akan bisa dilupakannya.
"Ma... Ma! MAMA!!!" teriaknya di antara embusan napas yang terengah-engah. Namun, Mama Yoga yang tertidur pulas seakan tak ada pergerakan untuk bangun dari tidurnya yang nyenyak.
Hawa dingin mulai menembus pintu kamar, mengalir seperti air menuju tempat tidur Yoga. Merayap secara perlahan menaiki kaki tempat tidur. Yoga kecil semakin ketakutan dan tak bisa bernapas dengan bebas. Udara seakan tersangkut di lehernya, berusaha untuk melancarkan pernapasan yang tersendat. Yoga kecil berusaha menenangkan diri sementara hawa dingin itu sudah masuk ke balik selimutnya. Dia berusaha meraih inhaler di meja samping tempat tidurnya. Tetapi terlambat baginya. Dua tangan tua berjari panjang dan berkuku tajam keluar dari balik selimutnya dan mencekik leher Yoga.
Cekikikan dari nenek bongkok itu semakin kencang dan genggaman pada leher Yoga kecil pun demikian. Tangan Yoga berusaha melawan eratan tangan itu, namun percuma. Ia tak mampu melawannya dengan kekuatan cekikan ada pada lehernya. Seolah dirinya mencekik lehernya sendiri.
Yoga kecil berusaha berteriak. Tak ada suara yang keluar dari bibirnya, napas terputus-putus, dia menggerakkan kaki untuk meraih tangan mamanya yang tertidur di dekat kakinya. Namun semua itu tidak berguna, Mamanya enak tidur.. Sementara dua tangan seram itu mulai menunjukkan siapa dirinya kepada Yoga kecil. Seorang nenek bongkok dengan rambut yang putih menutupi sebagian kepalanya. Matanya putih dan nyaris keluar dari lubang tengkorak. Kerutan di wajahnya membuat kulitnya seakan melorot.
Kuku tajam menembus leher Yoga yanag menimbulkan luka dalam. Darah mulai menetes dari luka itu. Yoga kecil menatap mata putih yang ada di hadapannya dengan menunjukkan harapan ia tak mau mati saat ini juga.
Tak disangka Yoga malam itu mampu bertahan. Apa yang terjadi setelahnya adalah mamanya bangun, memanggil dokter, lalu si nenek bongkok itu hilang seketika dalam bayangannya. Beberapa hard kemudian Yoga sembuh dan bisa pulang ke rumah yang telah di rindukannya. Ia tak menceritakan kejadian itu, karena ia takut di cap sebagai bermulut besar oleh orang tuanya. Bukannya dirinya suka berbohong, hanya saja ia suka berimajinasi yang berlebihan dan itu membuat dirinya suka berkata besar agar semua orang memperhatikan dirinya.
Untuk pertama kalinya, Yoga masuk ke dalam rumah sakit karena asmanya kambuh. Saat malam itu lah nenek bongkok itu datang pada Yoga untuk pertama kalinya. Dan ia selalu datang tiap kali asma Yoga menyerang dirinya.
...****************...
Bersambung....
Bab 1
Yoga terbangun pukul delapan pagi karena ponselnya terus saja berbunyi. Telepon masuk dari Tia sahabatnya. Belum sempat ia mengangkat sambungan telepon itu, deringnya seketika berhenti. Dia melihat layar ponselnya, baru mengetahui bahwa panggilan itu sudah lima kali. Di tengah rasa kantuknya, dia berusaha mengingat mengapa Tia menelepon dirinya berkali-kali sepagi ini.
Yoga bangkit dari tidurnya dan beranjak perlahan meninggalkan tempat tidur itu. Tidurnya tak enak semalam. Asmanya terus kumat. Yoga langsung menyambar inhaler yang sudah nyaris habis dari meja belajarnya. Dia bergidik, barusan bermimpi buruk tentang kejadian delapan tahun yang lalu.
Yoga duduk di tempat tidur lagi, berusaha menenangkan diri. Ia menghela napasnya panjang. Tangannya meraba lehernya. Luka di lehernya sebelah kanan masih membekas. Sebuah luka yang di dapatkannya dari si nenek bongkok ketika asmanya datang. Kenangan malam itu masih akan bertahan di dalam ingatan.
Yoga bangkit lagi dan mendekatkan dirinya ke cermin. Ia memandang refleksi luka lehernya. Saat asyik memandang di pantulan cermin, deringan ponselnya terdengar dan menyadarkan dirinya dari kantuk yang kembali datang. Yoga mengambil ponsel itu dan membaca satu pesan masuk ke dalam ponselnya.
Tertera satu pesan dari Tia.
"Yoga, lo di mana? Cepetan dateng ke sini, cumi!"
Sesaat dirinya langsung teringat dengan janjinya.
Yoga selesai mandi dan langsung bersiap. Semenit untuk mencari bajunya, semenit untuk memakai baju favoritnya, lalu menyemprotkan body cologne ke seluruh tubuhnya. Dan lima menit kemudian ia keluar dari kamarnya. Ia turun dari tangga sambil berlarian kecil menuju ke ruangan makan.
Mbak Ning, seorang asisten rumah tangganya, kaget melihat anak majikannya sudah bangun sepagi ini.
"Tumben, Mas? Mau ke mana?" tanya Mbak Ning.
"Mau nonton, Mbak," jawab Yoga, "Papa udah berangkat?"
"Barusan aja, Mas. Sarapan dulu, Mas?" Mbak Ning mempersilakan anak majikannya untuk duduk di meja makan.
"Iya, Pop Mie dong, Mbak!"
Mbak Ning buru-buru menyeduh Pop Mie untuk Yoga.
Yoga mengambil jus jeruk dari kulkas, Mbak Ning menaruh Pop Mie yang sudah diseduh ke meja makan.
"Makasih, Mbak!" kata Yoga sambil meminum jusnya.
Tiba-tiba saja sebuah tangan kecil lebih dulu mengambil pop mie dari meja itu. Yoga melotot kepada pemilik tangan itu, Rani. Adik perempuan satu-satunya yang berumur sepuluh tahun.
"EH, itu punya gue, Ran!"
"Bodo amat!" Rani cuek menjawab sambil terus memakan Pop Mie itu. Kuncir rambutnya bergoyang-goyang ketika ia melakukan gerakan menyuapkan sesuap mie ke dalam mulutnya.
"Eh, anak kecil! Lo tau gak siapa yang suka sama anak jahil macam lo?" Yoga bertanya dengan pandangan jahil. Sementara Rani tak terpengaruh dengan pertanyaan itu. Yoga tampak sebal. Dia asyik meniup mie yang ada ditangannya.
"Elo bakal diculik!" Yoga memerhatikan reaksi Rani, namun tak berubah. "Elo entar diculik sama setan nenek-nenek terus badan lo digerus, trus dijadiin sate sama dia, terus dipanggang!" ujar Yoga lagi dalam suara yang pelan. Yoga pun menunjukkan lehernya dengan ruam yang membekas delapan tahun silam. "Biar tahu rasa, lo! Kayak luka gue ini!"
Mata bulat Rani menatap Yoga dengan berani. "Yee... Emangnya gue anak kecil apa? Lukanya kan ara-gara abang ngigo pas diopname waktu kecil. Penakut kok mo nyoba nakutin orang," ujar Rani dengan nada melecehkan.
Yoga kesal karena taktiknya tak berhasil. Dia mengambil Pop Mie dari tangan Rani, Rani berusaha menjangkau Pop Mie itu, namun tak berhasil karena tubuh Yoga terlalu tinggi untuk dirinya.
"Dasar anak kecil! Sok tahu uuu..., Gue pasang boneka pocong di depan kamar lo baru tahu rasa, lo...!" Kali ini Yoga sedikit mengancam.
Untungnya, Nadia, mama Yoga dan Rani datang. Ia langsung menepuk lengan Yoga dengan lembut, lalu menyerahkan pop mie itu ke Rani. Jika tidak seperti itu, bisa jadi perang dunia ketiga antara mereka.
"Sini, mama bikinin lagi Pop Mienya daripada rebutan melulu," ujar Nadia yang berparas Jawa mengambil sebungkus pop mie baru.
Yoga yang melihat itu lantaran memandang mamanya dengan memelas., "Ma, minta uang bensin dong!"
Nadia melengos sebal, tak menggubris permintaan Yoga.
"Jangan mau, Ma! Kemarin abang baru dapat uang dari Papa!" sahut Rani buru-buru menelan mienya.
Yoga menatap ke arah Rani dengan pandangan yang tajam dengan harapan adiknya itu diam tak menginterupsi sang mama.
Rani yang melihat itu hanya memalingkan wajahnya.
Nadia langsung mengambil roti dan menyerahkannya ke Yoga, "Kamu gak kuliah?"
Yoga mengambil roti itu sambil menggelengkan kepalanya. "Gak ada dosen, Ma!" Yoga yang sekarang berumur sembilan belas tahun ini baru saja masuk kuliah jurusan Desain Grafis.
"Bohong dia, Ma!" Rani menimpali ucapan Yoga.
Yoga kali ini benar-benar melotot ke arah adiknya itu yang bisa merusak rencananya. Rani menahan tawanya dan mengalihkan pandangannya ke kaus Yoga dengan gambar superhero.
Rani yang menunjuk kaus yang digunakan Yoga, "Iya deh, yang jagoan..."
Yoga pun menghentikan tatapannya kepada adiknya, lalu tersenyum jumawa.
"Tapi bohong! Ha ha ha ha...," Rani menambahkan dengan kalimat sarkas. Nadia dan Rani tertawa, sedangkan senyum jumawa di bibir Yoga seketika menghilang, berganti dengan bibir yang di monyongkan ke depan, tanda ia cemberut.
Sepuluh menit kemudian Yoga memanaskan mobilnya. "Yoga...," Nadia memanggil namanya putranya. Yoga yang mendengar itu pun langsung masuk kembali ke dalam rumahnya.
Sementara itu, dari radio mobilnya yang masih menyala terdengar dua perempuan bercakap-cakap seru.
"Jadi ya, pas gue sama geng gue nonton film Jelangkung di bioskop kemarin, ada sebaris kosong gitu bangkunya. Di barisan B yang enak banget buat kita nonton. Awalnya sih, gue sebel banget pas kita udah capek antri, eh ada yang gak dateng...," ujar cewek yang bersuara cempreng yang tiba-tiba menghentikan perkataannya.
Suara perempuan yang lainnya, yaitu si penyiar radio, bertanya dengan penasaran, "Ada apa, Nit?"
Terdengar cewek penelepon itu menelan ludahnya dengan nada suaranya yang berubah menjadi ketakutan. "Katanya sih barisan B itu untuk tumbal..."
Si penyiar radio itu berteriak takut, "Serem bangetttt! Tapi thanks ya, Nit, udah nelepon kita na bikin gue takut buat nonton nih!"
Pas penyiar mengakhiri percakapannya itu, Yoga baru masuk ke mobilnya lagi. Ia buru-buru memundurkan mobilnya keluar dari pekarangan rumahnya. Terdengar lagi suara merdu penyiar radio, " Oke Kaula Muda, mending kita dengerin lagu yang menyemangati kita hari ini, yah.., selamat mendengarkan."
Yoga menaikkan volume radionya. Intro lagu mulai terdengar, tapi segera tertutup oleh deru mobil. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan puluh tiga puluh dan Yoga masih jauh dari lokasi janjian dirinya dengan sahabatnya di sebuah mall ternama di Jakarta Selatan. Kondisi jalanan juga macet parah. Sepertinya ia akan terlambat.
Keresahan mulai dirasakannya. Di tiap lampu merah, Yoga tidak mengindahkan para penjual yang turun ke badan jalan untuk menawarkan majalah atau tabloid yang membahas tentang film Tumbal Jelangkung. Yoga hanya mengibaskan tangannya tanda dia tak mau. Ia berkonsentrasi penuh untuk langsung tancap gas ketika lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.
Setelah dua puluh lima menit ngebut dari rumahnya yang berada di Wijaya, akhirnya Yoga berhasil sampai di tujuan.
...****************...
Bersambung
Di layar Premier terlihat poster Tumbal Jelangkung untuk dua studio. Poster bernuansa hitam dengan gambar tiga cowok dan satu cewek memegang senter seperti mencari sesuatu. Di bawahnya, ada gambar boneka jelangkung yang berdiri tegak.
Yoga memarkirkan mobilnya ke basement dan buru-buru masuk ke dalam mall itu. Ia berjalan sambil melihat sekeliling karena jarang berada di dalam mal yang masih sepi di pagi hari. Saat itu toko-toko belum ada yang buka, dan terlihat para pegawai yang sedang beberes, siap untuk bekerja. Segelintir petugas kebersihan berseragam itu sibuk membersihkan lantai mall.
Namun pemandangan sepi itu segera berubah setelah Yoga menaiki eskalator yang masih dalam kondisi mati menuju ke lantai tiga. Awalnya dia hanya mendengar suara ribut orang-orang yang mengobrol. Saat dia sampai di depan cinema XXI di lantai tiga, terlihat ratusan orang sudah mengantri di depan loket untuk membeli tiket film Tumbal Jelangkung, bercampur dalam kebosanan menunggu. Banyak anak sekolah yang bertebaran sengaja bolos sekolah demi menonton film yang lagi viral. Mereka menutupi seragam sekolah mereka dengan berbagai baju oversize.
Banyak juga yang duduk di lantai cinema, beberapa orang yang beruntung duduk menunggu di sofa lobi. Sebagian lagi berdiri. Ada yang asyik mengobrol, bermain game di ponselnya, ada juga yang kebingungan mencari teman-temannya.
Termasuk Yoga yang salah satu kebingungan mencari dua sahabatnya sejak SMP itu, Tia dan Dani. Dengan badan yang menjulang tinggi, setinggi seratus tujuh puluh delapan senti meter, Yoga kira ia dengan mudah dapat menemukan temannya di antara kerumunan. Ia menyerah dan langsung merogoh ponselnya untuk menghubungi teman-temannya. Belum selesai ia menelepon, ia mendengar ada teriakan memanggil namanya, "Yoga! Ga... Di sebelah sini!"
Yoga menengok ke arah suara yang memanggilnya. Entah Dani atau Tia yang memanggilnya yang jelas Yoga melihat kedua temannya itu sedang berdiri mengantre di depan sana. Dani yang berambut cepak dengan badan tegap, memakai kaus biru gelap, sedangkan Tia memakai tank top v-neck dan rok mini. Rambutnya di kuncir kuda. Tampak Seksii.
Yoga berjalan menuju kedua sahabatnya. Wajahnya yang Indo karena darah bule dari ayahnya hanya cengar-cengir. Matanya mencuri pandang sedikit ke belahan dada Tia tapi pandangannya berhenti seketika karena suara galak cewek itu.
"Eh, masih bisa ketawa! Jam delapan itu jarum pendeknya ada di angka delapan! Bukan di sembilan."
Yoga hanya cengar-cengir dengan wajah berdosanya. "Sorry, gue semaleman ngerjain komik. Mana gue tahu nonton film doang antreannya bejibun kek gini!"
Dani yang menimpali dengan suara sok galak, "Untung aja kita on time, kalau nggak pasti nggak dapet tiket, nih!"
Yoga tersenyum memelas untuk mendapatkan iba dari dua orang itu yang merupakan sahabatnya. Di antara riuh rendah suara lain, Yoga mendengar kata "tumbal" disebut. Ia memundurkan badannya. Menguping pembicaraan itu.
Tiga orang perempuan yang duduk di bangku SMA itu menyebutkan kata tumbal tepat di belakang Yoga dan kawan-kawan.
"Gue tuh serius, pas kemarin gue nonton, kursi baris B itu kosong. Dan itu dilarang sama pihak dari bioskopnya. Nggak ada yang boleh duduk!" Seorang dari mereka bercerita.
"Lo yakin itu untuk tumbal film, Re?" seorang lagi menimpali. Perempuan itu mengangguk.
Seorang lagi yang dari tadi diam akhirnya ikut bicara, "Ya, iyalah! Logikanya ngapain juga dikosongin? Masa Cinema XXI ama yang bikin film nggak mau untung banyak, sih? Pasti ada alasan khusus lah itu. Gue rasa gak ada kaitannya dengan tumbal deh."
Kedua temannya mengangguk setuju. Mereka lalu mengobrol hal lain. Masalah kakak kelas yang menyebalkan di sekolahan mereka.
Yoga beralih, memajukan tubuhnya kembali ke barisan pada teman-temannya dan berhenti menguping. Ternyata Dani dan Tia juga ikut menguping pembicaraan dari anak perempuan yang duduk di bangku SMA itu. Tia memandang Yoga dan Dani dengan serius.
Dia mulai berbisik, "Temen gue kemaren juga nonton, dia bilang kalau kursi baris B itu nggak boleh didudukin. Yang dudukin bisa gila!" Kristiani memberikan jeda. Wajah cantiknya semakin serius, "Katanya bakalan ada yang "ngejar-ngejar" orang yang berani duduk di kursi itu." Tia bergidik. "Ih, amit-amit deh sampai kejadian di gue!"
Mendengar komentar Tia. Yoga langsung tertawa mengejek. "Ah, elo gitu aja takut."
Yoga menatap Dani yang awalnya meminta dukungan, tetapi tawanya berhenti karena cowok itu juga serius seperti Tia.
Dani menatap Yoga dengan serius. "Temen gue yang anak Mapala, bilang kalo dia pernah ke tempat yang ada di film, di Alas Ruban".
Yoga yang masih tertawa itu, menggelengkan kepalanya tak percaya, "terus?"
"Ya kalo Alas Ruban beneran ada, tumbalnya juga pasti beneran dong." jawab Dani dengan serius. Ia tak mau menyebarkan hoax.
Tia mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. Sedangkan Yoga menggelengkan kepala sebal. Dia menganggap dua sahabatnya ini terlalu naif. Mana ada yang seperti itu. Ia tak mempercayai tahayul. Obrolan seketika berhenti saat jam menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh menit, karena petugas bioskop itu memutuskan untuk membuka loket untuk pembelian tiket.
Orang-orang yang sejak pagi mengantri langsung bersiaga. Mereka segera berdiri dalam antrean, di depan loket. Tia memandang kedua temannya dengan harap-harap cemas. Dia takut tak kebagian tiket karena antrean itu bergerak sangat cepat. Wajah para pengantre lain di belakangnya juga terlihat resah, takut tak kebagian tiket. Mereka sudah mengorbankan waktu yang begitu lama untuk mengantri tiket film ini.
Sedangkan petugas kasir di loket terlihat panik. Baru kali ini dia menjual begitu banyak tiket karena viral film ini.
Dalam waktu tiga puluh menit saja antrean panjang itu berangsur-angsur memendek. Yoga, Dani, dan Tia tak ada lagi di dalam antrean tiket itu karena mereka sudah mendapatkannya. Mereka bertiga lalu membeli pop corn dan minuman. Senyum mengembang di bibir Tia. Di tangannya sudah ada tiga tiket "Tumbal Jelangkung".
Tia mendekat ke arah Yoga. "Di baris O ya, Ga!"
Dan sekarang giliran Yoga yang cemberut. "Baris O?" Yoga memberikan minuman yang masih dipegangnya ke Tia dan Dani seraya memerhatikan tiket itu. "Serius di barisan O? Kita Udah ngantre segitu lama, loh, masa cuma dapet baris ini sih? Mana gue udah bela-belain cabut kuliah lagi!"
Kedua temannya itu memutar bola mata mereka secara bersamaan. Mereka sebal sekaligus sudah terbiasa dengan tingkah Yoga yang emosional. Yoga menatap ke arah pengantre lain yang tak jauh dari mereka berdiri. Segerombol anak SMP berjalan senang, salah satunya dengan gembira berseru, "Untung aja dapet di baris D."
Yoga melirik sebal. "Belagu banget nonton film horor! Paling entar nggak bisa tidur ntar lu!"
Dani menyambar ucapan Yoga. "Belagu banget sih lo, Ga. Pas nonton Pengabdi Setan juga lo ketakutan abis!" Danu dan Tia tertawa terbahak mengingat tingkah Yoga yang ketakutan setelah mereka bertiga menonton film itu.
Yoga yang terdiam sebentar langsung menanggapi ledekan dari Dani, "Itu kan nonton di TV! Tapi tetep aja nggak asik nonton film ginian di depan banget. Ini di bioskop, loh!"
Tia menghela napas, lalu berujar, "Ya udah. Untung aja bisa dapet. Kalau enggak, bukannya Lo tambah sia-sia? udah ah, Lo bawel banget, sih!"
Yoga kali ini benar-benar terdiam. Sejak dulu ucapan tegas Kristiani sudah cukup membuat dirinya atau Petrus terdiam.
Lalu mereka bertiga memandang ke sekeliling di dalam bioskop itu.. Loket sudah ditutup. Pertunjukan untuk sore hingga malam sudah sold out. Tiket habis terjual. Banyak pengantre yang tak kebagian jatah malah marah-marah karena kecewa. Satpam bioskop pun sibuk menenangkan bagi para penonton yang ingin membuat keributan.
...****************...
bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!