Di suatu malam yang mana kondisi di luar tengah terjadi hujan lebat disertai petir yang menggelegar seorang wanita nampak duduk diam di dalam mobilnya, ia nampak menatap pada sebuah rumah yang ada di depannya. Wanita bernama Ambar itu nampak masih ragu apakah harus turun dari mobilnya dan menghampiri rumah itu yang merupakan rumah lain milik suaminya. Akhirnya setelah diam beberapa saat, Ambar memutuskan untuk turun dari mobilnya dan berjalan dengan payung menuju rumah tersebut, ada sedikit keraguan ketika Ambar berdiri di depan pintu utama rumah itu. Ia menekan bel namun tidak ada jawaban dari dalam, tangan Ambar kemudian sontak mendorong gagang pintu dan rupanya pintu tersebut tidaklah terkunci yang membuatnya terkejut.
“Tidak terkunci?”
Ambar kemudian masuk ke dalam rumah dan menutup kembali pintu rumah, ia meletakan payung di sebuah tempat khusus yang disediakan dekat rak sepatu, ia melihat sepasang sepatu milik suaminya dan juga sepasang sepatu milik wanita yang tentu saja miliknya.
“Apakah aku sanggup untuk menghadapi semua ini?”
Ambar kemudian melepas sepatunya dan berjalan masuk lebih jauh ke dalam rumah yang nampak sepi dan minim penerangan itu namun ada sebuah penerangan dari sebuah kamar yang jelas pantulan cahayanya terlihat dari
tempatnya berdiri. Ambar kemudian berjalan menuju sumber cahaya itu berasal dari sebuah kamar yang pintunya tidak tertutup dengan rapat hingga menyisakan celah kecil bagi Ambar untuk dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ambar memberanikan diri untuk melihat dari celah pintu yang terbuka itu dan ia mendapati suaminya yang tengah memadu kasih dengan wanita yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri. Ambar tidak kuasa untuk menahan emosinya, ia langsung mendorong pintu dan merangsek masuk ke dalam yang membuat kedua orang yang tengah memadu kasih itu terkejut bukan main.
“Ambar? Apa yang kamu lakukan di sini?!” tanya suaminya.
“Harusnya aku yang bertanya padamu, Mas! Kenapa kamu ada di sini dengan Sintia?!” jerit Ambar dengan berlinang air mata.
“Aku bisa menjelaskannya Ambar, aku… aku ….”
“Sudahlah Mas, kamu tidak perlu menutupinya lagi dari Ambar sekarang juga dia sudah tahu yang sebenarnya kan?” ujar wanita yang bernama Sintia itu dengan seringai puas di wajahnya saat melihat ekspresi hancur dan terlukanya Ambar saat mendapati suaminya tengah bermadu kasih dengan wanita lain.
****
Ambar nampak marah dan kecewa, ia ingin melampiaskan kemarahannya itu pada Sintia namun suaminya menahannya, Ambar tentu saja mengancam akan memberitahu keluarga suaminya mengenai perselingkuhan ini.
Setelah mengatakan itu Ambar langsung balik badan dan langsung berlari menuju mobilnya.
“Ambar tunggu dulu!”
“Mas, kamu mau ke mana?”
“Lepaskan aku! Aku harus mengejar Ambar!”
Ambar sudah masuk ke dalam mobilnya dan kemudian ia melajukan kendaraan itu dengan berlinang air mata, ia tak menduga bahwa selama ini kecurigaannya benar bahwa suaminya dan sahabatnya rupanya bermain api di
belakangnya namun ia terlalu polos hingga memercayai semua sandiwara yang mereka lakukan di depannya.
“Kenapa kamu begitu bodoh sekali hingga dapat dengan mudahnya memercayai mereka? Kamu bodoh sekali, Ambar!”
Ambar yang baru belajar mengemudi mobil nampak tak fokus mengemudi karena emosinya tidak stabil selain itu jalan gelap gulita karena hujan lebat malam ini hingga akhirnya sebuah hal buruk pun terjadi yaitu mobil yang Ambar kemudikan oleng dan dari arah yang berlawanan sebuah truk melaju kencang dan kecelakaan pun tak dapat dihindari.
“AAAAA.”
****
Ambar dibawa menuju rumah sakit dengan kondisi tak sadarkan diri dan luka parah disekujur tubuhnya akibat hentakan keras kecelakaan tersebut, polisi sudah mengamankan sopir truk yang menjadi pelaku tabrakan itu. Suami Ambar yang bernama Regan terkejut ketika mendapat kabar bahwa istrinya masuk rumah sakit dan kini kondisinya kritis, ia segera menuju rumah sakit yang mana di sana Ambar tengah dirawat. Regan sudah menelpon
keluarganya dan juga Ambar mengenai kondisi Ambar saat ini, dokter yang sejak tadi menangani Ambar keluar dari ruang IGD dan Regan segera menghampiri dokter seraya bertanya bagaimana keadaan istrinya.
“Istri anda mengalami pendarahan yang cukup hebat akibat kecelakaan itu, dia kehilangan banyak darah dan kami butuh pendonor untuk beliau.”
Saat itulah keluarga Regan dan Ambar tiba, dokter mengatakan bahwa mereka butuh donor darah sekarang juga untuk menyelamatkan nyawa Ambar. Tanpa pikir panjang, ibu dari Ambar langsung mengatakan pada dokter untuk melakukan donor sekarang juga karena golongan darahnya dengan Ambar sama. Dokter pun segera membawa ibunya Ambar untuk ikut dengannya dan perawat supaya proses transfusi darah bisa segera dilakukan.
“Regan, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ambar bisa begini?”
****
Kondisi Ambar sudah membaik walaupun ia masih belum siuman dan masih ditempatkan diruangan ICU, tidak ada yang dapat mereka lakukan selain berdoa dan meminta pada Tuhan dengan kesembuhan Ambar.
“Selamat siang Tante,” sapa Sintia ketika ia datang ke rumah sakit ini untuk menjenguk sahabatnya.
“Sintia, kamu datang?”
“Iya Tante, aku dengar dari Mas Regan bahwa Ambar mengalami kecelakaan semalam, aku sangat sedih dan langsung datang secepatnya ke sini.”
“Begitulah Nak, sampai sekarang Ambar masih belum siuman dan masih ditempatkan di ruang ICU, tidak semua orang dapat masuk ke dalam.”
“Ya Tuhan, kasihan sekali dia, apakah kata dokter lukanya parah?”
Ketika Sintia dan ibunya Ambar tengah berbincang, Regan muncul dan nampak terkejut dengan kedatangan Sintia yang sama sekali tidak ia duga.
“Sintia, apa yang kamu lakukan di sini?”
“Kok pertanyaanmu aneh begitu, Mas? Tentu saja aku datang ke sini untuk menjenguk sahabatku, memangnya aku tidak boleh datang menjenguk sahabatku?”
“Ikut denganku sekarang juga,” ujar Regan seraya
menarik tangan Sintia untuk ikut dengannya.
Sintia sama sekali tidak menolak ketika Regan membawanya pergi dari dekat ruang ICU itu dan membawanya menuju taman rumah sakit yang kebetulan saja tidak terlalu ramai pengunjung.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Apakah kamu ingin membuat masalah?”
“Aku sudah mengatakan padamu bahwa aku datang ke sini untuk menjenguk Ambar, tidak lebih.”
****
Ambar akhirnya siuman setelah hampir 1 pekan ia tidak sadarkan diri, Warsinih begitu bahagia ketika melihat anaknya membuka kedua matanya, ia tidak henti-hentinya mengucapkan syukur pada Tuhan karena telah mendengar semua doanya.
“Nak, syukurlah kamu baik-baik saja.”
Ambar masih diam dan menatap ibunya, Warsinih tentu saja khawatir kalau Ambar tidak mengenali dirinya dan sontak saja ia menanyakan apakah Ambar mengenali dirinya atau tidak.
“Iya, aku mengenali Ibu.”
“Syukurlah Nak, kamu membuat Ibu takut saja, Ibu pikir kamu terkena amensia akibat kecelakaan itu.”
Pintu ruangan inap terbuka dan menampakan sosok Regan di sana, raut wajah Ambar berubah saat melihat Regan datang bersama dengan anak mereka yang bernama Daisy.
“Syukurlah kamu sudah siuman, aku mengkhawatirkanmu,” ujar Regan.
Baru saja Regan hendak menghampiri Ambar, pintu ruangan inap kembali terbuka dan kali ini sosok Sintia yang muncul di sana sambil membawakan buah tangan untuk Ambar, sebuah senyum tercetak di bibirnya.
Ambar nanpak terkejut dengan kedatangan Sintia dan juga suaminya yang nyaris bersamaan, bukan hanya Ambar saja yang terkejut namun Regan sendiri juga sama terkejutnya dengan Ambar. Ia menatap tajam Sintia namun
wanita itu nampak tak memedulikan hal itu, ia langsung berjalan mendekati Ambar dan berusaha bersikap baik pada wanita ini karena ada ibu dan anak yang tengah mengawasi mereka.
“Ambar aku senang sekali akhirnya kamu siuman juga.”
“Bu, bolehkah aku minta waktu untuk bicara dengan mas Regan dan Sintia?”
“Mama aku merindukan Mama,” ujar Daisy.
“Mama juga merindukanmu, kita akan menghabiskan waktu setelah Mama bicara dengan papa dan tante Sintia.”
Warsinih membawa cucunya keluar dari ruangan inap Ambar dan kini hanya tersisa mereka bertiga saja di dalam sana, Ambar tidak dapat menahan rasa sakitnya saat ia mengingat dengan jelas apa yang terjadi sebelum kecelakaan itu terjadi.
“Ambar, kamu baik-baik saja kan?”
Regan hendak menyentuh Ambar namun segera Ambar menepis tangan suaminya itu, rasa jijik seketika menggelayut dalam benak Ambar setelah bayangan hubungan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh Regan dan Sintia bermain di dalam kepalanya.
“Ambar, kenapa kamu bersikap begini?”
“Harusnya aku yang bertanya padamu Mas, kenapa kamu tega berselingkuh dengan sahabatku sendiri?”
“Ini semua hanya salah paham Ambar, aku tidak bermaksud untuk berselingkuh dengan Sintia, kamu salah paham.”
“Mas, Ambar mengingat semuanya dan biarkan saja dia tahu yang sebenarnya,” ujar Sintia.
“Kamu diam saja! Jangan ikut campur dalam masalah rumah tangga kami, Sintia!” seru Regan berang.
“Sejak kapan kalian menjalin hubungan?” selidik Ambar.
“Sejak 1 tahun yang lalu, bukan begitu, Mas?” ujar Sintia yang bergelayut manja di lengan Regan yang membuat Ambar terbakar cemburu.
“Apakah kamu selalu melakukan hal menjijikan seperti itu pada suamiku? Kamu benar-benar tidak punya malu, Sintia!”
“Ambar, terima saja nasibmu bahwa Mas Regan tidak pernah mencintaimu, buktinya dia bisa jatuh cinta padaku bahkan malam itu kamu memergoki kami tengah bercinta kan?”
****
Regan merasa muak dengan Sintia, bukannya membuat masalah menjadi selesai justru Sintia malah sengaja membuat masalah semakin besar dengan mengompori Ambar supaya hubungan rumah tangga mereka kandas.
“Lebih baik kamu pergi saja dari sini, Sintia! Jangan membuat keributan di sini.”
“Aku tidak akan pergi dari sini kecuali pergi denganmu, Mas.”
Ambar merasa jengkel dan menyuruh Sintia untuk pergi bahkan Ambar pun mengancam akan memanggil perawat untuk mengusir Sintia dari ruangan inapnya. Sintia pun mengalah dan mengatakan bahwa ia akan pergi namun
sebelum wanita itu pergi, Sintia sempat mengatakan sesuatu pada Ambar.
“Terimalah kenyataan bahwa aku dan suamimu memiliki hubungan, jangan menyakiti dirimu dengan memertahankan rumah tangga ini.”
“Pergi sekarang juga, Sintia!” seru Regan.
Sintia pun kemudian pergi meninggalkan ruangan inap Ambar, selepas Sintia pergi nampak Regan berusaha membujuk Ambar untuk tidak mendengarkan apa yang Sintia katakan namun Ambar bergeming. Tidak lama kemudian Daisy dan Warsinih muncul yang membuat Ambar seketika mengalihkan pandangannya pada anaknya. Regan sendiri tidak mau mengganggu Ambar dan ia memilih untuk pergi dari ruangan inap istrinya ini.
“Papa mau ke mana?” tanya Daisy.
“Papa mau cari makan siang dulu, kamu mau ikut?”
“Tidak, aku mau bersama mama saja.”
****
Warsinih merasa bahwa ada sesuatu yang janggal antara Regan dan putrinya namun ia tidak berani bertanya lebih jauh mengenai apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua apalagi saat ini Ambar baru saja siuman, ia takut kalau memaksakan diri bertanya lebih lanjut maka bisa saja hal buruk justru menimpa Ambar.
“Kok Ibu diam saja?”
“Oh tidak kok.”
“Aku tahu kalau saat ini Ibu tengah memikirkan sesuatu kan?”
Warsinih nampak menghela napasnya berat, sejujurnya memang ia memikirkan sesuatu namun tidak mungkin ia mengatakan hal tersebut pada Ambar. Ambar sendiri tahu bahwa ibunya tengah memiliki masalah, Ambar meminta untuk ibunya bicara terus terang saja padanya.
“Ibu tidak perlu sungkan untuk mengatakan ada apa, aku siap untuk mendengarkannya.”
“Kamu yakin? Sebenarnya Ibu memiliki pertanyaan untukmu.”
“Memangnya apa yang hendak Ibu tanyakan padaku?”
“Kalau Ibu perhatikan belakangan ini sepertinya kamu tidak begitu suka kalau Regan datang menjengukmu di sini, ya?”
“Ibu ini bicara apa? Aku senang kok kalau suamiku datang ke sini dan menjengukku.”
“Kamu mungkin dapat menipu orang lain dengan ucapanmu, akan tetapi aku ini ibumu yang tahu persis ketika kamu mengatakan yang sebenarnya dan tidak.”
Ambar terdiam mendengar ucapan Warsinih barusan, ibunya itu menggenggam tangan Ambar dan mengatakan bahwa ia tidak memaksa Ambar untuk mengatakan yang sebenarnya jika memang Ambar belum siap atau tidak mau mengatakannya sekarang.
****
Akhirnya Ambar diizinkan pulang oleh dokter setelah melalui serangkaian pemeriksaan, Ambar dijemput oleh Regan di rumah sakit dan mereka dalam perjalanan menuju rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah nampak Ambar tidak mengatakan apa pun pada Regan, mereka berdua sibuk dalam pikiran masing-masing namun Ambar mengetahui bahwa sejak tadi Regan sesekali mencuri pandang ke arahnya.
“Ambar, tolong kamu percayalah padaku, semua ini hanya salah paham saja.”
“Kalau memang semua itu salah paham, kenapa kamu harus berbohong dengan mengatakan akan ada dinas ke luar kota?”
“Aku terpaksa mengatakan itu karena Sintia mengancam akan melukaimu.”
“Dan apakah kamu pikir aku akan memercayai apa yang kamu katakan, Mas?”
Regan terdiam mendengar pertanyaan yang barusan diajukan oleh Ambar, Ambar sendiri nampak menghela napasnya panjang dan mengatakan bahwa mungkin akan jauh lebih baik kalau mereka berpisah.
“Dari pada kita harus begini, aku tidak sanggup.”
“Tidak Ambar, kita tidak boleh bercerai, apa yang akan dikatakan oleh orang tuaku kalau kita bercerai?”
“Bukankah kamu menginginkan semua ini? Kalau kita bercerai maka kamu bebas menemui Sintia tanpa perlu takut ketahuan denganku.”
“Ambar tolong kamu jangan mengatakan hal seperti itu padaku.”
“Sudahalah Mas, aku lelah.”
****
Di rumah nampak Daisy sudah menyambut kedatangan Ambar dengan gembira, anak itu langsung memeluk mamanya dengan erat dan Ambar membalas pelukan anaknya itu. Tidak hanya Daisy saja yang datang namun juga ada kedua orang tua Regan yang datang untuk menyambut kepulangan Ambar dari rumah sakit.
“Mama senang sekali karena kamu sudah keluar dari rumah sakit,” ujar Helga yang langsung memeluk menantunya itu.
“Iya Ma, terima kasih.”
Ambar mengobrol dengan kedua orang tua Regan tentu saja dengan Regan yang menemaninya sementara Daisy sudah masuk ke dalam kamar untuk tidur karena besok dia akan pergi ke sekolah.
“Kamu tenang saja karena sopir truk yang menabrakmu kini sudah mendekam di balik jeruji besi,” ujar sang papa mertua.
“Kalau Mama boleh tahu kenapa kamu mengemudi sendirian malam-malam di hari hujan seperti malam itu? Apakah ada keperluan mendesak sampai-sampai harus keluar laurt malam saat badai?” tanya Helga penasaran.
“Sebenarnya aku keluar untuk membuktikan sesuatu.”
“Membuktikan sesuatu? Sesuatu apa?”
Helga begitu penasaran dengan jawaban yang diberikan oleh menantunya barusan sementara di lain sisi Regan nampak ketakutan kalau Ambar akan mengatakan yang sejujurnya pada kedua orang tuanya mengenai apa yang
sebenarnya terjadi pada malam itu.
“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Ma.”
Helga nampak kecewa dengan jawaban yang Ambar berikan barusan dan Regan sendiri justru menghela napasnya lega. Akhirnya kedua orang tua Regan pulang dan kemudian Regan mengikuti Ambar sampai ke kamar mereka, di sana Regan menanyakan pada Ambar mengenai apa maksud Ambar mengatakan itu pada mamanya.
“Kenapa? Aku kan tidak mengatakan kalau Mas dan Sintia melakukan hubungan badan saat aku memergoki kalian.”
“Namun aku tahu maksudmu ingin membongkar kejadian malam itu pada orang tuaku kan?”
“Lebih baik kita berpisah saja, Mas.”
“Kamu masih ingin berpisah? Aku kan sudah berulang kali mengatakan bahwa semua ini hanya salah paham saja!”
“Sintia mengatakan hal yang sebaliknya, mau sampai kapan Mas akan seperti ini?”
“Kamu lebih memercayai ucapan wanita itu ketimbang suamimu sendiri? Apakah kamu ini sudah kehilangan akal sehatmu, Ambar?”
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu Mas, apakah Mas sudah kehilangan akal sehat Mas sampai-sampai melakukan hubungan badan dengan Sintia? Ini pasti bukan yang pertama kalinya kalian melakukan ini
kan?!” tuduh Ambar.
“Jaga bicaramu Ambar, jangan sembarangan kamu menuduh tanpa bukti!”
Ambar tidak mau berdebat lebih jauh lagi dengan suaminya, ia memilih untuk tidur di kamar tamu dan mengunci pintu kamarnya walaupun sejak tadi Regan menggedor pintu dan berusaha memanggil namanya namun Ambar memutuskan untuk tak memedulikan itu dan memilih untuk tidur saja. Regan kembali ke kamarnya dan ia nampak begitu kesal dengan Ambar karena istrinya itu masih saja keras kepala ingin bercerai dengannya.
“Tidak, aku tidak bisa membiarkan semua ini terjadi, Sintia dia harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada rumah tangga kami.”
****
Keesokan harinya ketika Regan sudah pergi ke kantor dan Daisy pergi ke sekolah, Sintia datang ke rumah untuk menjenguk Ambar yang katanya sudah diizinkan pulang oleh dokter kemarin. Kedatangan Sintia itu disambut dingin oleh Ambar, wanita itu nampak tak mengatakan sepatah kata pun pada Sintia yang berbading terbalik dengan Sintia saat ini yang berusaha mengajaknya bicara.
“Kamu sedang sariawan?”
“Apakah kamu tidak memiliki malu setelah aku memergokimu berhubungan dengan suamiku?”
“Untuk apa aku malu? Aku malah senang karena akhirnya kamu tahu hubunganku dengan mas Regan.”
“Kamu benar-benar licik Sintia, aku sudah menganggapmu seperti saudara kandungku sendiri namun kamu tega sekali melakukan hal menjijikan seperti ini, kenapa kamu melakukannya padaku, Sintia? Kenapa?!”
“Kenapa? Karena aku mencintai mas Regan, aku ingin memilikinya!”
Ambar nampak menggelengkan kepalanya, ia nampak tak memercayai apa yang Sintia katakan barusan. Sintia kemudian menjelaskan semuanya pada Ambar mengenai kepalsuannya mencintai pria yang selama ini dikenalkannya sebagai pacarnya.
“Kamu benar Ambar, selama ini aku sama sekali tidak mencintai Valdo karena orang yang aku cintai adalah mas Regan!”
“Apakah Valdo tahu mengenai hal ini?”
“Iya, dia sudah tahu dan kami sudah putus sejak 6 bulan yang lalu.”
“Tega sekali kamu Sintia!”
“Aku sarankan supaya kamu dan mas Regan bercerai saja, toh rumah tangga kalian sudah tidak baik-baik saja sekarang kan?”
“Aku sudah meminta cerai padanya namun mas Regan sama sekali tidak mengabulkan keinginanku.”
****
Ketika Sintia dan Ambar masih bicara justru mereka dikejutkan oleh Warsinih yang datang dan ia pun sempat mendengar perbincangan antara Ambar dan Sintia barusan.
“Ibu, kapan datang?”
“Nak, apakah yang kamu katakan barusan benar?” tanya Warsinih.
“Apa maksud Ibu?”
“Apakah Sintia memiliki hubungan dengan suamimu?”
Ambar tidak langsung menjawab sementara Sintia memilih bungkam yang membuat Warsinih kesal, Warsinih mendesak mereka berdua untuk segera mengatakan yang sebenarnya padanya dan akhirnya Sintia pun mengatakan yang sebenarnya pada Warsinih.
“Baiklah, aku mengakui bahwa aku mencintai mas Regan.”
Kejujuran dari Sintia membuat Warsinih naik pitam, ia tak menyangka bahwa wanita yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri tega sekali melakukan hal keji seperti ini.
“Bagaimana bisa kamu melakukan ini pada Ambar? Apakah kamu tidak memiliki nurani sampai-sampai tega melakukan hal menjijikan itu?!”
“Aku mencintai mas Regan dan siapa pun tidak boleh memilikinya kecuali diriku.”
Warsinih begitu kesal dengan Sintia, ia memukul Sintia dan mengatakan bahwa Sintia adalah wanita yang tidak tahu diuntung, selama ini Warsinih dan keluarganya sudah berjuang untuk membesarkan Sintia dengan baik
namun kenapa justru Sintia membalas mereka dengan perbuatan seperti ini?
“Apakah aku meminta supaya kalian merawatku? Kalau memang kalian keberatan merawatku dulu, kalian bisa membawaku ke panti asuhan!”
****
Warsinih masih berada di rumah Ambar sementara Sintia sudah pergi setelah perdebatan sengit barusan, Warsinih masih belum sepenuhnya dapat menerima apa yang baru saja terjadi. Ia tak menyangka bahwa Sintia tega melakukan hal seperti itu pada putrinya, Ambar meminta Warsinih untuk tenang namun Warsinih tentu saja tidak dapat tenang, hatinya sebagai seorang ibu merasa sakit saat tahu anaknya dikhianati oleh Sintia dan Regan.
“Kamu dan Regan harus segera berpisah, pokoknya Ibu tidak mau tahu.”
“Aku juga sudah mengatakannya pada mas Regan namun dia tidak mau mengabulkannya, Bu.”
“Kalau begitu biar Ibu yang bicara dengannya.”
“Tidak, aku mohon Ibu jangan bicara dengannya.”
“Kenapa memangnya? Ibu juga ingin mendengar darinya secara langsung kenapa dia tega berselingkuh dengan Sintia selama ini.”
“Bu, aku bisa mengurus semua ini, tolong Ibu jangan ikut campur terlalu dalam untuk masalah rumah tanggaku.”
“Kamu yakin, Nak? Tapi Ibu tidak mau kalau kamu sampai harus tetap bersama dengan Regan, Ibu mau kalian berpisah.”
“Iya Bu, terima kasih atas perhatiannya.”
Warsinih akhirnya pun pulang ke rumahnya setelah itu, Ambar sendiri menghela napasnya panjang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ibunya akan datang bersamaan dengan kedatangan Sintia yang berujung akhirnya ibunya tahu perihal hubungan terlarang antara Sintia dan suaminya.
****
Pada kenyataannya Sintia justru pergi ke kantor Regan, ia ingin menemui pria itu dan mengadukan apa yang Ambar katakan padanya namun sayangnya ketika ia hendak masuk ke dalam gedung kantor justru satpam malah
menghalanginya dan mengatakan baahwa Sintia tidak bisa masuk ke dalam.
“Apa maksudmu aku tidak boleh masuk ke dalam? Kamu tahu siapa aku kan?”
“Maaf, akan tetapi saya hanya menjalankan perintah dari pak Regan.”
Sintia pun berang dan kemudian mencoba menelpon Regan namun ponsel pria itu tidak aktif yang membuat amarah Sintia makin menjadi-jadi, saat Sintia masih berusaha masuk ke dalam dan berdebat dengan satpam justru seseorang baru saja tiba di lobi gedung kantor ini dan orang tersebut menatap heran ke arah Sintia.
“Bukankah kamu Sintia?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!