Sepasang penari bergerak gemulai selaras dengan alunan musik yang mengiringi keduanya di atas panggung. Mereka bergerak ke kanan dan kiri dengan ujung kaki lalu memutar. Melompat dan merentangkan kaki di udara sejurus kemudian mendarat dengan lembut tanpa suara. Tubuh mereka amat lentur seperti tidak memiliki tulang. Penari wanita mengangkat kaki tinggi-tinggi lurus ke atas lalu kembali membuat gerakan memutar.
Harmoni gerakan mereka menghipnotis penonton. Tarian berakhir ketika penari merentangkan tangan ke atas sedangkan tubuhnya condong ke belakang, penari lelaki menahan punggungnya. Keduanya saling bertatapan untuk beberapa saat hingga suara tepuk tangan terdengar riuh menggema ke seluruh ruangan.
Mereka tersenyum puas setelah berhasil menampilkan tarian Romeo dan Juliet dengan baik. Setidaknya mereka berpikir itu baik melihat reaksi penonton yang langsung berdiri dan memberi tepuk tangan begitu tarian berakhir.
Keduanya menatap ke arah penonton yang memenuhi Gandamana Hall. Latihan keras dan rasa sakit mereka terobati oleh tepuk tangan dan senyum penonton.
Mereka adalah Eizlan Syahreza dan Renjana Faralyn Radiaksa, ballerina dan danseur luar biasa yang menginspirasi banyak orang untuk mencintai seni dan produktif diusia muda.
"Kerja bagus, Lyn." Gumam Eizlan seraya mengulurkan tangan pada Faralyn untuk melangkah bersama ke belakang panggung.
Dengan senang hati Faralyn menyambut uluran tangan Eizlan—cowok yang menjadi pasangannya menari selama satu tahun terakhir.
Faralyn membalasnya dengan senyum tipis.
"Lihatlah mereka semua sudah menunggumu." Eizlan melepaskan pegangannya pada tangan Faralyn ketika para wartawan mulai mendekati mereka.
"Mereka juga menunggu mu." Faralyn menatap lurus ke arah kerumunan wartawan di depan sana.
"Kalau nggak tampil bareng kamu, nggak akan ada wartawan disini." Eizlan terkekeh. Kalaupun ada wartawan pasti tak akan sebanyak ini. Tujuan mereka hanya Faralyn. Sudah bukan rahasia lagi jika siapapun yang tampil dengan Faralyn, mereka akan kecipratan popularitasnya. Itu sebabnya banyak ballerina atau danseur lain yang ingin mendapat kesempatan tampil dengan Faralyn. Eizlan cukup beruntung karena ia sudah seperti pasangan tetap Faralyn di atas panggung.
Faralyn hanya geleng-geleng, ia bahkan belum ganti baju, napasnya juga belum stabil setelah menari selama 6 menit di atas panggung tapi ia sudah harus menanggapi para wartawan tersebut.
"Bagaimana perasaan kalian setelah menampilkan tarian Romeo dan Juliet?"
"Faralyn baru kembali dari Moskow tapi penampilan mu tetap luar biasa."
"Apakah kalian merasa puas dengan penampilan itu?"
"Apakah kalian pacaran?"
"Banyak rumor yang mengatakan bahwa kalian pacaran."
Pertanyaan datang bertubi-tubi bersama kilatan cahaya blitz yang menerpa wajah mereka.
"Saya puas dengan penampilan barusan, gimana Lan?" Faralyn melirik Eizlan yang berdiri tepat di sampingnya.
"Saya juga puas dan bangga karena bisa tampil lagi dengan Faralyn." Eizlan menatap Faralyn, untuk sepersekian detik mereka saling berpandangan sebelum kembali melihat ke arah kamera.
"Jadi apakah kalian pacaran?" Tanya wartawan sekali lagi.
"Kami hanya pasangan di atas panggung." Tegas Faralyn untuk kesekian kalian. Banyak orang yang membuat rumor tersebut tapi bagi Faralyn, Eizlan hanyalah pasangannya saat menari. Tak hanya Eizlan, Faralyn juga pernah berpasangan dengan penari laki-laki lain di atas panggung.
Raut wajah Eizlan berubah tapi sedetik kemudian ia mencoba menampilkan senyum kembali.
Para wartawan terus memberondongi mereka dengan pertanyaan tapi beberapa bodyguard langsung mengarahkan Faralyn dan Eizlan ke belakang panggung.
Silau cahaya kamera perlahan mereda, disitu sedikit lebih tenang tapi keadaaan sama kacaunya. Senyum Faralyn lenyap, ini adalah dunianya yang penuh dengan kilau. Penuh pujian sekaligus hujatan. Penuh orang-orang yang mencintainya tapi juga membencinya.
Balet adalah dunia Faralyn sejak kecil, sesuatu yang sudah ia sukai sangat lama. Dulu balet hanya lah sesuatu yang membuatnya bahagia tapi sekarang ia juga dituntut untuk selalu tampil sempurna tak peduli seperti apa keadaannya.
Namun Faralyn percaya kesuksesan tak akan tercapai tanpa pengorbanan yang besar. Popularitas yang kini ia dapat adalah hasil kerja kerasnya selama ini serta peran orang-orang di sekitarnya.
Orang-orang belakang panggung berlalu-lalang membereskan barang, membawa kertas yang Faralyn tidak tahu apa isinya. Mereka juga sudah bekerja keras. Setiap kali ingin menyerah, Faralyn tahu bahwa banyak orang yang menggantungkan karir mereka terhadap dirinya. Sekeras apapun latihan yang harus Faralyn lakukan, ia tidak akan menyerah, tidak boleh.
Dua orang staf menghampiri Faralyn untuk membantunya mengganti pakaian dan menghapus riasan. Mereka melakukannya dengan cepat. Bersama itu juga Winda—asisten Faralyn membacakan jadwal Faralyn untuk seminggu ke depan. Selain latihan rutin, Faralyn juga harus melakukan pemotretan iklan beberapa produk pakaian, make-up hingga makanan khusus diet.
"Dimana makanan ku?" Faralyn duduk di salah satu kursi di ruang ganti setelah ia selesai mengganti baju baletnya dengan kaos dan celana longgar. Ia melewatkan makan siang agar bisa tampil maksimal sore ini, itu sebabnya sekarang perutnya mulai keroncongan.
Winda yang belum selesai membaca jadwal Faralyn segera meletakkan tablet di tangannya dan mengambil makanan yang sudah ia siapkan sesaat sebelum Faralyn turun dari panggung.
"Ini dia." Winda meletakkan semangkuk kacang almond dan yogurt di hadapan Faralyn.
"Cuma ini?" Faralyn menatap tajam pada asistennya tersebut, ia lapar tapi Winda hanya memberinya almond dan yogurt.
"Ini demi kebaikanmu." Winda menatap Faralyn dengan eskpresi datar.
"Seenggaknya beri aku roti." Faralyn melahap kacang almond dan yogurt bersamaan.
"Nanti malam Faralyn yang cantik boleh makan roti." Winda melebarkan senyum dibuat-buat, jika Faralyn galak maka ia bisa lebih galak.
Faralyn mendengus kesal tapi ia tidak punya pilihan selain menghabiskan makanan yang Winda siapkan untuknya.
"Lyn,"
Faralyn mengangkat wajah mendengar seseorang memanggil namanya, siapa yang berani mengganggunya menikmati makannya yang tidak enak ini.
"Eizlan memanggilmu." Winda melirik ke arah pintu dimana Eizlan berdiri disana menunggu Faralyn.
Faralyn mengangkat dagunya, ada apa Eizlan kemari saat Faralyn ingin istirahat sebentar sebelum kembali ke apartemen.
"Keluar sebentar yuk." Ajak Eizlan.
"Kemana?" Faralyn tampak enggan menuruti ajakan Eizlan.
"Ke belakang gedung, aku mau tunjukin sesuatu." Eizlan melangkah menarik tangan Faralyn. Ia juga sudah selesai ganti baju dan menghapus riasan. Jika bukan sekarang maka ia tak akan punya kesempatan lagi untuk mengajak Faralyn melihat sesuatu yang menakjubkan di taman belakang Gandamana Hall.
"Aku pergi dulu ya." Faralyn tak kuasa menolak, akhirnya ia beranjak dari duduknya, tidak lupa menggenggam sisa kacang almond untuk dimakan sambil jalan.
"Jangan lama-lama Lyn." Pesan Winda.
"Ya!" Teriak Faralyn tanpa menoleh lagi pada Winda.
Eizlan dan Faralyn melangkah beriringan keluar dari ruang ganti menuju belakang gedung.
"Kamu ingat nggak aku pernah cerita soal taman belakang gedung ini?" Beberapa waktu lalu Eizlan pernah menceritakan soal betapa indahnya taman belakang gedung-tempat mereka biasa tampil.
Faralyn berhenti mengunyah mengingat-ingat kembali cerita Eizlan soal taman itu. Namun Faralyn tidak bisa mengingatnya, ia hanya menyimpan hal-hal penting di otaknya.
"Nggak apa-apa kalau kamu lupa karena taman itu ada di depan kita sekarang."
Faralyn terperangah melihat pemandangan di hadapannya saat ini, bukan tanaman hias yang membuatnya terpesona atau air mancur di tengah taman apalagi pohon dengan ayunan yang menggantung tapi mural di sekeliling pagar membuatnya tak bisa berkata-kata. Alih-alih membiarkan pagar dinding polos, mereka menghiasnya dengan mural bunga matahari. Di antara kelopak bunga terdapat gambar seorang wanita tengah berdiri dengan satu kaki sedangkan kaki lainnya menjuntai ke belakang.
"Indah sekali." Puji Faralyn, "kenapa mereka menggambar ballerina?"
"Mungkin karena sering ada pementasan balet di gedung ini." Eizlan senang melihat ekspresi takjub Faralyn, sebelum menunjukkannya ia sudah yakin jika Faralyn akan menyukainya. Itu karena Eizlan melihat banyak lukisan di apartemen Faralyn.
Faralyn melangkah mendekat melewati jalan bebatuan yang sengaja ditata agar sampai ke seberang. Di kanan kiri jalan membentang itu terdapat kolam dan air mancur.
"Tapi pementasan musik lebih sering dibandingkan balet."
Eizlan mengedikkan bahu, "mungkin pembuatnya menyukai balet."
Jemari Faralyn menyentuh gambar ballerina di dinding tersebut, salah satu alasannya menyukai balet adalah mereka amat indah dilihat. Namun gambar ini lebih dari sekedar indah.
"Glomerulus?" Faralyn membaca tulisan kecil di sudut dinding yang hampir tidak terlihat di antara gambar-gambar menakjubkan itu. Namun Faralyn bisa melihatnya, ia cenderung melihat sesuatu dengan teliti.
"Itu nama seniman yang membuat mural ini, tentu bukan nama asli." Jelas Eizlan.
"Kenapa mereka memilih nama glomerulus?"
"Aneh ya? aku juga merasa ini aneh."
Faralyn menggeleng, itu sama sekali tidak aneh justru sangat unik. Glomerulus adalah organ yang menyaring air zat air dari aliran darah di dalam tubuh. Tak terasa Faralyn tersenyum karena dua hal, ia senang menatap mural itu dan ia sangat menyukai nama senimannya.
"Kamu menyebut mereka, mural ini dibuat oleh satu orang."
"Oh ya?" Kini Faralyn kembali membelalak, bagaimana mungkin mural sebagus ini dibuat hanya oleh satu orang.
"Ya." Eizlan mengangguk, "katanya dia amat sangat tersembunyi, nggak ada yang pernah bertemu dengannya."
"Terus gimana dia bertemu klien?"
"Ada orang yang menghubungkan antara klien dan glomerulus, dia melukis sepanjang malam dan paginya dia udah nggak ada."
Faralyn manggut-manggut mengerti, memang tidak jarang seniman yang sengaja menyembunyikan identitasnya.
"Kamu tahu banyak."
Eizlan mencaritahu banyak hal sebelum menunjukkan mural ini pada Faralyn. Rupanya ia berhasil karena Faralyn tampak menyukainya.
"Bukankah perempuan ini terlihat seperti kamu?" Eizlan ikut menyentuh gambar ballerina pada dinding, perempuan itu mengenakan pakaian balet berwarna biru muda yang jika dilihat lama semakin mirip dengan Faralyn atau mungkin hanya perasannya saja.
"Ini terlihat seperti ballerina pada umumnya."
"Anehnya ballerina ini nggak pakai sepatu."
"Apalah arti ballerina tanpa sepatu."
Ckrek!
Faralyn menoleh ketika mendengar suara jepretan kamera, ia melihat Eizlan tersenyum lebar sembari mengarahkan ponsel ke wajahnya.
"Kamu cantik sekali tanpa make-up."
"Tapi aku lebih suka pakai make-up." Faralyn mengambil alih ponsel Eizlan untuk melihat hasil fotonya. Ternyata Eizlan mengambil banyak foto sejak mereka sampai di taman ini.
"Boleh aku upload di Instagram?"
"Kamu nggak takut ada rumor macam-macam tentang kita?" Faralyn mengembalikan ponsel Eizlan.
"Aku nggak peduli soal itu, aku cuma butuh izin dari kamu."
"Terserah kamu."
Eizlan nyengir lebar mendapat izin dari Faralyn untuk mengunggah foto tersebut di Instagram pribadinya. Eizlan juga menandai akun Instagram Faralyn pada postingan tersebut.
Sebenarnya Faralyn ingin berada disini lebih lama tapi ia harus segera kembali ke apartemen. Jalanan juga pasti macet di sore hari.
Saat kembali Winda sudah selesai membereskan barang-barang Faralyn. Mereka siap kembali ke apartemen.
Para penggemar dan wartawan menunggu di luar gedung, mereka langsung berkerumun begitu melihat Faralyn keluar.
"Lyn, tolong tanda tangan." Mereka berebut untuk mendapat tandatangan Faralyn.
"Siapa namamu?" Tanya Faralyn pada penggemar yang menyodorkan softcase padanya. Faralyn memberi tanda tangan bergantian.
"Lyn, apa kamu akan hadir di JMF?" Tanya mereka dengan suara nyaring agar Faralyn bisa mendengarnya.
"Tunggu aja ya." Balas Faralyn.
"Lyn kamu cantik sekali."
"Penampilan mu luar biasa."
"Kalian melihatnya?" Faralyn menandatangi buku, softcase, topi dan photocard milik penggemar. Tak jarang juga yang meminta Faralyn berfoto bersama.
"Kami melihatnya melalui layar."
"Terimakasih sudah melihatnya." Ucap Faralyn.
"Nggak Lyn, kami yang harus berterimakasih atas kerja keras kamu."
"Apa kamu makan dengan baik di Moskow?" Tanya mereka.
"Tentu saja, kalian juga harus jaga kesehatan ya."
"Lyn, kamu ada kuliah 30 menit lagi." Bisik Winda.
"Terimakasih teman-teman, sampai ketemu lagi di JMF!" Faralyn melambaikan tangan pada mereka sebelum masuk mobil.
Suara teriakan penggemar perlahan semakin kecil lalu tidak terdengar ketika mobil bergerak meninggalkan halaman gedung.
"Tolong siapkan laptop ku." Pinta Faralyn.
Winda meletakkan laptop di atas meja tepat di hadapan Faralyn. Faralyn akan mengikuti kuliah daring selama perjalanan dari sini hingga apartemen.
"Dia sudah menelepon mu sebanyak 21 kali." Winda menyodorkan ponsel Faralyn.
"Apalagi kali ini?" Faralyn melihat nama Devara dengan tanda hati berwarna hitam di layar ponselnya. Itu Devara sendiri yang memberi nama di ponsel Faralyn. Devara bukanlah nama gabungan antara Dev dan Fara tapi namanya memang Devara.
"Dia pasti sangat mencintaimu, Lyn." Winda mencoba mengendalikan emosi Faralyn.
"Bukannya dia terlalu sering merengek?"
"Itu tanda cinta."
"Aku nggak punya kesempatan untuk merengek dia sudah melakukannya lebih dulu." Faralyn mengetuk ikon webcam di samping kanan nama Dev. Tidak perlu menunggu lama wajah Dev langsung muncul di layar ponsel Faralyn.
"Kamu melihat penampilan ku?"
"Aku nggak mungkin melewatkannya, kamu luar biasa seperti biasa Faralyn."
Faralyn berterimakasih atas pujian Devara.
"Istirahatlah lebih awal malam ini, besok pagi aku jemput kamu."
"Besok aku udah janji jalan-jalan sama Carel, kamu tahu aku nggak bisa datang di hari ulang tahunnya waktu itu."
"Tapi kita udah lama nggak keluar, Lyn."
"Aku janji akan atur jadwal supaya kita bisa menghabiskan waktu berdua."
"Seminggu yang lalu kamu juga bilang begitu."
"Tolong Dev, masa kamu nggak mau ngalah sama Carel."
Devara menghembuskan napas berat lalu mengangguk, ia tidak punya pilihan jika sudah berhubungan dengan adik Faralyn tersebut.
"Lyn, mari umumkan hubungan kita."
"Tiba-tiba?" Alis Faralyn terangkat, ia belum siap mengumumkan hubungan mereka sekarang. Sebenarnya ia tak akan pernah siap karena mengkhawatirkan Devara. Ia takut jika hatters nya akan mengomentari Devara dengan hal-hal buruk.
"Apa ini tiba-tiba? kita sudah hampir satu tahun pacaran." Devara tidak terima jika Faralyn mengatakan itu tiba-tiba.
"Tapi kamu sudah setuju untuk menyembunyikan ini."
"Aku nggak tahan lagi, baru saja aku lihat Eizlan mengupload foto kalian berdua dan banyak yang menyangka kalau kalian pacaran."
"Dev ini bukan pertama kalinya orang-orang menganggap kami pacaran, aku juga sudah menegaskan kalau Eizlan hanya partner ku di atas panggung."
"Apa kamu malu kalau pacar mu bukan ballerina?"
"Dev, ini sudah berlebihan, kamu tahu aku nggak seperti itu."
"Maka umumkan hubungan kita."
"Oke kalau itu mau kamu." Faralyn segera memutus sambungan. Apa Dev menghubunginya hanya karena ini.
"Sabar Lyn, jangan emosi nanti wajahmu keriput." Winda mengusap bahu Faralyn.
"Ck, nggak mungkin lah." Faralyn tampak tidak peduli tapi ia tetap membuka kamera di ponsel untuk memeriksa wajahnya.
Ponsel Faralyn berdenting tiada henti, ratusan notifikasi masuk setiap menitnya. Faralyn memeriksa postingan terbaru Eizlan. Ia menggulir puluhan komentar pada postingan tersebut.
Eizlan numpang tenar sama Faralyn nih
Faralyn mengetik balasan pada komentar yang mengatakan jika Eizlan numpang ketenarannya. Itu sama sekali tidak benar karena Eizlan sendiri merupakan danseur andal.
Eizlan sudah tenar tanpa aku.
Udahlah Lyn, kamu tenar juga karena orangtua mu kan, privilege itu benar adanya.
Apa cuma aku yang merasa tarian Faralyn itu biasa aja
Dia terkenal karena orangtuanya.
Tanpa orangtuanya, Faralyn bukan apa-apa.
Dari sekian banyak ballerina kenapa cuma Faralyn yang terkenal, itu karena orangtuanya. Padahal ada banyak yang lebih jago dari dia.
Faralyn melempar ponselnya ke sembarang arah, membaca komentar hatters tak akan ada habisnya. Setelahnya ia tenggelam dengan materi kuliah pada laptop di hadapannya.
Eizlan Farhreza
Devara Alranza
Hai, ini sekuel Married by Accident dan kamu bisa baca terpisah tapi alangkah baiknya jika membaca novel Married by Accident lebih dulu. Terimakasih!
"Kaki mu makin parah." Winda segera mengambil salep di kotak P3K dekat pintu saat melihat Faralyn membuka sepatu dan kaos kaki. Luka di ujung ibu jari Faralyn mengeluarkan darah yang lengket pada kaos kakinya. "Biar aku membalutnya." Ia mendorong bahu Faralyn agar duduk di sofa ruang tamu untuk mengoleskan salep pada luka di kaki Faralyn.
"Salep itu nggak berguna."
"Bukan nggak berguna tapi dokter memintamu untuk istirahat selama luka ini belum sembuh."
"Aku nggak mungkin istirahat, ada banyak latihan dan pementasan bulan ini." Faralyn meletakkan laptop di atas meja, kuliahnya akan selesai sebentar lagi.
"Jangan bilang kamu nanti mau latihan." Winda melihat Faralyn sekilas, tatapan tajam yang menusuk ke dalam mata Faralyn.
"Ya, memang ada latihan nanti malam." Faralyn mengedikkan bahu santai, ia tidak mungkin melewatkan latihan hari ini hanya karena ujung jarinya terluka.
"Dev memintamu istirahat lebih awal." Winda mencoba mencari alasan agar Faralyn beristirahat malam ini. Faralyn sudah berlatih keras selama satu bulan terakhir untuk penampilannya dengan Eizlan.
"Tapi kami nggak jadi keluar."
"Bukannya kamu mau jalan-jalan sama Carel."
"Carel pasti lebih ngerti dibandingkan Devara."
"Mau aku siapkan sesuatu untuk Carel besok?"
"Nggak usah, dia cuma mau makan es krim sama aku." Faralyn akan menuruti kemauan Carel untuk pergi keluar bersamanya seharian karena ia tidak bisa hadir di acara ulang tahun adiknya. Saat itu Faralyn sedang tampil di Moskow bersama ballerina terbaik disana. Faralyn mendapat banyak pengalaman baru setelah mendapat kesempatan tampil dengan mereka.
"Dia pasti kesepian sejak kamu tinggal disini."
"Kadang aku juga kangen sama adik ku yang menggemaskan itu."
"Aku akan membuat makan malam." Winda beranjak mengembalikan salep ke kotak P3K.
"Bikin Hummus ya!"
"Iya."
Winda membuat roti dengan saus dari kacang giling ditambah minyak zaitun, perasan lemon dan bawang putih untuk menambah rasa.
Sementara itu Faralyn masuk ke kamar untuk mandi setelah sesi kuliahnya berakhir.
Winda memotret menu makan malam tersebut dan mengunggahnya ke Instagram. Ia rutin melakukan itu karena banyak yang bertanya soal diet Faralyn dan kegiatannya di luar panggung. Agar Faralyn tidak perlu lagi menjawab pertanyaan itu, maka Winda sering membagikan kegiatan Faralyn di media sosial miliknya.
"Wah udah jadi ya." Faralyn muncul dengan handuk di kepala, ia segera duduk untuk menikmati makan malamnya lebih awal. Ia harus mengisi tenaga sebelum latihan malam ini.
"Banyak yang tanya diet kamu di kolom komentar, aku yakin mereka nggak akan sanggup menjalani diet seperti kamu."
"Mereka nggak perlu diet kayak aku, ini khusus ballerina." Faralyn melahap roti dengan cocolan hummus yang nikmat. "Kadang aku kangen minum Thai Tea gelas besar sampai bikin aku kembung."
"Kamu bisa minum itu."
"Aku nggak mau semuanya sia-sia, aku harus tampil sempurna." Faralyn harus mempertahankan tubuh langsingnya.
"Kamu bisa minum Thai Tea lalu lari keliling gedung apartemen tujuh kali."
"Ck, kamu capek sama aku Win?" Faralyn mengerucutkan mulutnya.
"Iya tapi nggak ada orang lain yang lebih baik dari aku dalam mengurus mu." Winda menatap Faralyn tajam.
"Jangan capek, aku bayar kamu mahal lho." Canda Faralyn.
"Itu makanya aku akan terus kerja sama kamu."
Winda dan Faralyn sudah berteman sejak kecil. Faralyn rutin mengunjungi panti asuhan bersama orangtuanya sejak kecil, Winda adalah salah satu anak yang berasal dari panti tersebut.
"Apa sih yang ingin kamu capai dengan latihan sekeras ini?" Winda penasaran sejak dulu mengapa Faralyn begitu keras melakukan latihan dan diet ketat padahal ia sudah mencapai kesuksesan sekarang.
"Aku ingin bergabung dengan The Bolshoi Ballet." Tidak, sebenarnya Faralyn ingin membuktikan bahwa ia sukses karena usahanya dan latihan kerasnya bukan semata-mata karena orangtuanya.
"Kamu udah tampil bareng ballerina dari The Bolshoi Ballet, apa masih kurang?"
"Aku ingin menjadi penari utama."
"Tapi kamu sudah menjadi penari utama Wonderful Academy."
"Tahu nggak kenapa orang sering nggak percaya diri sama hidup mereka?"
"Kenapa?"
"Karena mereka nggak punya tujuan, kita harus punya tujuan supaya percaya diri."
"Baiklah, aku cuma bisa dukung kamu." Winda hanya menghela napas berat pasrah pada keputusan Faralyn.
Sementara Faralyn makan, Winda mengeringkan rambutnya. Jadi setelahnya Faralyn bisa langsung berangkat ke studio.
"Aku pergi dulu ya." Faralyn meneguk sebotol air mineral hingga tandas setelah menghabiskan dua potong roti buatan Winda. Ia menyambar kunci mobil lalu keluar apartemen.
Berkendara sendiri saat malam hari adalah cara Faralyn menenangkan diri dari padatnya jadwal. Gedung-gedung tinggi pencakar langit dan lampu kota menjadi pemandangan indah dari balik jendela mobil. Karena Faralyn tidak punya waktu untuk pergi berlibur ke pantai atau gunung jadi suasana seperti ini ia anggap sebagai liburan.
Wonderful Academy adalah salah satu perusahaan balet paling terkenal di Jakarta yang telah menghasilkan banyak ballerina dan danseur luar biasa.
Faralyn belajar balet pertama kali saat usianya 5 tahun di Renjana Dance Academy—sekolah balet miliknya sendiri. Faralyn pindah ke Wonderful Academy setelah lulus SMA hingga sekarang.
"Lho kok kamu disini?" Faralyn terkejut melihat Devara di depan studio. Untuk beberapa saat Devara juga tampak terkejut tapi ia segera menggantinya dengan senyum.
"Aku sudah menduga kalau kamu akan tetap pergi latihan malam ini padahal aku memintamu istirahat lebih awal." Devara melangkah mendekat, "makanya aku datang kesini, kamu sulit banget ditemuin Lyn."
"Kamu sengaja datang kesini buat temuin aku?" Faralyn menatap Devara tak percaya. Tidak biasanya Devara seperti ini.
"Ya, siapa lagi—pacarku cuma kamu." Alis Devara terangkat meyakinkan Faralyn.
Faralyn mengerutkan kening, Devara bisa saja datang ke apartemennya kalau memang benar-benar ingin bertemu.
"Maaf karena kamu harus datang kesini."
"It's okay babe." Devara memeluk Faralyn, "i miss you."
Faralyn membalas pelukan Devara.
"Jangan terlalu keras sama diri kamu sendiri." Devara mengurai pelukan mengusap rambut Faralyn dan menatapnya lekat. "Kamu udah luar biasa."
"Aku nggak akan terlena sama pujian kamu."
Devara terkekeh, percuma ia mengatakan hal seperti itu karena Faralyn akan selalu berambisi untuk tampil sempurna padahal ia tahu Faralyn sudah melakukan yang terbaik.
"Kamu mau aku temenin latihan malam ini?"
"Nggak, aku mau latihan sampai larut malam karena besok Minggu." Tolak Faralyn, Devara juga sibuk dan butuh istirahat yang cukup.
"Cuma kamu yang kerja keras di malam Minggu."
"Kamu ngambek sama aku?" Faralyn mencubit perut Devara pelan.
"Nggak, karena dari awal aku cuma selingkuhan mu, yang pertama selalu balet."
Faralyn tertawa, ia mengeluarkan ponselnya, "aku akan mengumumkan hubungan kita."
"Kamu serius?" Devara membelalak tak percaya, ia pikir Faralyn masih harus mempertimbangkan permintaanya tadi sore. Namun tidak disangka Faralyn langsung menurutinya.
"Serius, setelah aku pikir-pikir pasti berat juga jadi kamu, kita nggak pernah bebas kencan dan kamu cuma bisa diam waktu ada rumor tentang aku dan cowok lain."
"Makasih ya."
Faralyn mengajak Devara berfoto bersama untuk ia unggah di media sosialnya. Devara sumringah mengulurkan tangan merangkul bahu Faralyn, ia mendaratkan kecupan di puncak kepala Faralyn tepat ketika Faralyn menangkap gambar mereka.
Faralyn mengunggah foto mereka ke akun Instagram pribadinya. Selama ini Faralyn tidak pernah mengunggah foto cowok manapun kecuali papa dan Carel adiknya sendiri. Faralyn menambah caption tanda hati berwarna hitam pada unggahannya.
"Apakah setelah ini pengikut Instagram ku akan bertambah pesat?"
"Pengikut mu sudah ratusan ribu dan sembilan puluh persen nya adalah cewek-cewek, mereka juga sering menggoda mu di kolom komentar."
"Kamu cemburu?" Devara menggoda Faralyn.
"Nggak, sesering apapun mereka menggoda mu, pacar mu tetap aku."
"Kamu sangat menggemaskan." Devara mencium pipi Faralyn gemas.
"Aku masuk dulu ya."
"Kita baru ngobrol sebentar." Devara memasang tampang memelas.
"Minggu depan aku janji akan meluangkan waktu untuk kita."
"Oke." Devara mengeluarkan goodie bag berwarna merah dari dalam mobil. "Ini buat kamu."
Faralyn membelalak, "kamu nggak perlu beliin aku barang mahal kayak gini." Dari goodie bag nya Faralyn sudah menebak jika barang di dalamnya seharga jutaan rupiah.
"Biar aku pasang buat kamu." Devara mengambil kotak dari dalam goodie bag tersebut. "Anggap aja ini sebagai tanda kalau kamu milik ku." Ia menyematkan cincin di jari telunjuk Faralyn. "Aku lihat kamu suka pakai cincin di jari telunjuk."
"Dev, kamu bener-bener nggak perlu beli ini buat aku."
"Aku tahu kamu bisa beli sendiri tapi sekali ini aja aku mau belikan kamu sesuatu."
Mata Faralyn berkaca-kaca bukan karena cincin mahal itu tapi ia terharu melihat ketulusan Devara. Ia berterimakasih karena Devara mau bertahan dengan hubungan mereka yang tidak mudah.
"Masuk gih."
"Besok pagi aku telepon kamu ya."
"Nggak perlu, besok jadwal mu kencan dengan Carel."
Faralyn tertawa melambaikan tangan seraya melangkah meninggalkan Devara.
"Akhirnya ada yang go publik." Riana langsung menggoda begitu Faralyn masuk, mereka melihat semua adegan mesra Faralyn dan Devara di depan studio barusan.
"Ya ampun dia ngasih kamu cincin seharga motor?" Dara membulatkan mata melihat goodie bag bertuliskan Cartier di tangan Faralyn.
"Itu sih bukan apa-apa buat seorang Devara." Timpal Hyona.
"Apalagi buat Faralyn, dia bisa beli sendiri selusin malah." Elea ikut-ikutan menggoda Faralyn.
"Kalian dari tadi lihat aku sama Dev?" Faralyn terkejut melihat teman-temannya bereaksi seperti itu, ia sudah menyembunyikan hubungannya dengan Devara tapi mereka tetap mengetahuinya.
Mereka hanya terkikik meledek Faralyn sekaligus memberi selamat karena akhirnya hubungan Faralyn dan seorang pemilik merek pakaian bernama Devara itu dipublikasikan.
"Sudah ayo mulai latihannya, Faralyn ganti baju gih." Jemima—pelatih balet membubarkan aksi meledek itu agar latihan bisa segera dimulai.
"Iya Miss." Faralyn mengangguk patuh dan segera berlari ke ruang ganti sebelum memulai latihan malam ini.
"Aku pikir kamu nggak latihan malam ini." Aca menyusul Faralyn ke ruang ganti.
Faralyn hanya melirik Aca sekilas karena ia sedang fokus menguncir rambutnya.
"Lyn, kamu yakin akan terus latihan disini?"
"Kenapa tanya gitu?"
"Riana, Hyona, Dara, Elea dan teman-teman yang lain punya peluang besar untuk berkembang tapi keberadaan kamu disini menghilangkan kesempatan mereka."
Faralyn mengerutkan kening memutar badan menghadap Aca sepenuhnya. Raut wajah Faralyn berubah dingin menatap Aca.
"Apa maksudmu?"
"Kamu sadar nggak sih Miss Jemima selalu pilih kamu untuk pementasan dengan Eizlan padahal yang lain juga bagus kok."
"Kamu tahu alasan Miss Jemima pilih aku bukan cuma bagus aja."
"Kamu terlalu menonjol sampai yang lain nggak terlihat, waktu kita tampil bareng yang selalu disorot juga kamu, aku harap kamu memikirkan ballerina yang lain, jangan maunya menang sendiri."
"Aku latihan keras untuk itu, kalau kamu mau sepertiku harusnya kamu juga latihan lebih keras lagi, aku yakin kamu bisa."
Aca tersenyum miring, "kamu bodoh atau pura-pura nggak ngerti sih, hanya karena kamu putri dari Kelana dan Renjani—meskipun jelek penampilan mu di atas panggung tetap akan dipuji banyak orang."
"Jaga mulut kamu!" Sentak Faralyn.
"Aku bicara kenyataan, tanpa mereka kamu nggak akan ada di posisi sekarang."
Pintu ruang ganti terbuka mengejutkan Faralyn dan Aca, tampak Jemima melongokkan pintu meminta mereka segera bergabung dengan yang lain.
"Kamu tahu nggak, kita tunda latihan cuma buat nunggu kamu, tahu diri dikit dong." Aca mendorong dada Faralyn dengan telunjuknya sebelum melenggang pergi.
Tangan Faralyn terkepal kuat menatap kepergian Aca, ia tidak terima jika popularitas yang didapatnya semata-mata karena orangtuanya. Ia meniti sendiri kesuksesan ini dengan latihan dan mengorbankan banyak hal sejak kecil.
*******
Studio balet sudah sepi dan gelap setelah latihan malam itu usai. Penerangan hanya berasal dari sinar rembulan yang mengintip melalui celah gorden. Hanya tersisa Faralyn yang masih berlatih seorang diri bersahabat dengan kesepian.
Napas Faralyn tersengal, ia berhenti sejenak mengedarkan pandangan pada studio yang menjadi saksi bisu betapa kerasnya ia latihan setiap harinya. Dinding dingin dan lantai kayu yang menjadi saksi tangisan Faralyn.
Faralyn terduduk di lantai, kakinya gemetar karena dari tadi ia terus memaksakan diri untuk berlatih. Ia membuka sepatu baletnya yang lengket pada luka di kakinya.
Dengan sisa tenaga yang tersisa Faralyn bangkit dan meluruskan kaki bergerak ke kanan dan kiri, ia mulai menari tanpa lagu. Ia sudah menghafal gerakan tariannya di luar kepala.
Bruk!
Faralyn terjatuh membentur lantai, tubuhnya tidak bisa dibohongi. Ia benar-benar lelah hari ini. Ujung ibu jarinya pecah dan berdarah. Ia menyerah dan membiarkan dirinya dipeluk lantai yang dingin. Tulangnya terasa remuk, kepalanya berdenyut, pandangannya berkunang-kunang.
Faralyn memejamkan mata, semoga ia masih bisa menyetir sendiri untuk kembali ke apartemen.
"Sebenarnya kamu nggak cukup berbakat."
"Tarianmu biasa saja."
"Penari lain lebih bagus."
"Kamu terkenal karena Papa mu Kelana, tanpanya kamu bukan apa-apa."
Kalimat-kalimat itu terus terngiang di telinganya. Hal yang paling ia benci adalah ketika orang-orang mengatakan dirinya terkenal hanya karena ia putri Kelana.
Memiliki orangtua terkenal membuat Faralyn harus menanggung beban berat yang sudah ditakdirkan sejak dirinya lahir. Jika penampilannya jelek maka orang-orang akan mencela Faralyn, bagaimana mungkin putri seorang yang terkenal bermalas-malasan di atas panggung. Kenyataannya penampilan Faralyn selalu berhasil menghipnotis penonton, gerakannya yang gemulai dan lentur selalu membuat mereka melongo dan bertepuk tangan meriah pada akhirnya. Namun Faralyn selalu saja menemukan kalimat yang mengatakan jika kepopuleran itu didapat berkat papa nya.
Faralyn tak mau melulu dikenal sebagai putri Kelana dan Renjani. Bukan Faralyn tidak suka menjadi putri mereka, ia hanya tak ingin dipandang sebelah mata.
Faralyn muak dengan itu, ia ingin dikenal sebagai dirinya sendiri bukan putri Kelana. Ia ingin dihargai atas usaha kerasnya tapi semua itu seolah telah melekat pada diri Faralyn. Kadang ia merasa usaha dan latihannya selama ini sia-sia saja.
Faralyn terkesiap ketika suara sakelar lampu terdengar bersamaan dengan salah satu lampu di studio yang menyala. Siapa yang kembali ke studio?
Derap langkah kaki terdengar beradu dengan lantai kayu. Faralyn menghapus air matanya kasar, ia tak mau ada orang yang melihat tangisannya. Faralyn mencoba bangkit tapi kakinya belum bisa digerakkan karena menekuk terlalu lama setelah latihan seharian.
"Arrghh!" Faralyn reflek membekap mulutnya sendiri ketika ia tidak sengaja merintih. Nalurinya mengatakan bahwa orang yang langkahnya terdengar semakin dekat itu bukanlah teman ballerina nya.
Bayangan seorang dengan tubuh tinggi semakin mendekat ke sudut ruangan. Langkahnya terdengar lebih pelan, rupanya ia melepas alas kakinya. Harusnya kau melakukan itu sejak baru masuk studio, pikir Faralyn.
Faralyn mendongak ketika sosok tinggi itu berada di hadapannya, ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena penerangan hanya berasal dari satu lampu dekat pintu. Namun Faralyn bisa memastikan jika sosok itu adalah seorang lelaki berwajah manis. Untuk sesaat Faralyn lupa pada rasa sakit yang menyesakkan dadanya. Kini lelaki itu tersenyum. Faralyn tidak pernah melihat sesuatu yang lebih manis dari itu. Bahkan sirup maple yang biasa Faralyn tuang di atas pancake nya saat sarapan kalah manis dengan senyum lelaki itu.
Bagaimana mungkin seseorang memiliki senyum semanis itu dan bagaimana bisa Faralyn mengakui itu manis padahal lidahnya tidak mencicipinya. Ini adalah manis yang bisa Faralyn rasakan hanya dengan melihatnya.
Lelaki itu mengulurkan tangan bermaksud membantu Faralyn. Namun Faralyn mengabaikan uluran itu dan bangkit dari lantai meski dengan susah payah. Itu lebih baik dari pada menerima bantuan orang yang tidak Faralyn kenal.
Raksa Kavindra
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!