Seorang gadis cantik memakai helm full face sedang mengendarai Ducati berwana merah dengan kecepatan tinggi, di belakangnya terdapat mobil polisi yang mengejarnya. Sesekali gadis itu melihat kaca spion untuk memastikan jika ia sudah terlepas dari kejaran polisi yang sedari tadi mengikutinya. Gadis tersebut adalah Embun Raina Cahyani, seorang gadis yang kini berusia 22 tahun. Putri tunggal seorang bisnisman Bagas Cahyono dan mendiang Dian Maharani.
Lampu merah dipersimpangan jalan menunjukan warna hijau dan tinggal menunggu beberapa detik lagi sebelum kembali berubah warna menjadi merah, Embun memperdalam gas motor miliknya dan berhasil melewati lampu merah tanpa harus terjebak lebih dulu. Ia mengendurkan stang motornya dan menengok ke belakang, terlihat jika saat itu mobil polisi yang sebelumnya mengejarnya terjebak macet bersama beberapa pengendara lainnya.
“Haha… Emang enak, salah siapa main-main sama gue. Dan loe Jaguar, loe emang yang paling the best dah, nggak sia-sia gue selama ini ngrawat loe.” Embun tersenyum sambil menepuk-nepuk body motor yang ia beri nama Jaguar, seolah motor yang saat ini ia tunggangi bisa mendengar pujian darinya.
Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi kini Embun kembali mengendarai motor kesayangannya menuju kampus. Embun merupakan mahasiswa tingkat akhir di salah satu Universitas terkenal di kota X.
20 menit Embun mengendarai motor akhirnya ia sampai di tempat parkir. Kedatangannya langsung disambut dengan suka cita oleh Nina yang juga terlihat barusaja sampai di kampus. Mereka berjalan beriringan memasuki area kampus menuju ruang kelas karena memang mereka mengambil jurusan yang sama.
“Woi, ngapain loe pada disini?” Jessy dan Juna yang saat itu sedang ngobrol santai di depan ruangan kelas sontak saja kaget hingga menjingkat.
“Sialan loe Mbun, kaget ekey. Kalau Ekey jantungan gimana?” Tanya Juna mendramalisir dengan gayanya yang lemah gemulai.
“Ya kalau loe jantungan, terus nanti m*ti tinggal di kubur dong Jun. Gitu aja repot.” Ucap Embun sambil mengedikan bahu acuh.
“Emangnya Loe sakit jantung ya Jun, kok gue baru tau ya?” Tangan Nina terulur menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal sama sekali.
“Sembarangan loe Mbun. Kalau ekey m*ti nanti yei-yei pada nggak bakalan bisa nemuin sahabat kayak ekey lagi.” Juna berucap dengan mengibaskan rambut miliknya yang sebenarnya tidak panjang. “Dan loe Nin, kapan sich yei bisa lebih pinter dikit. Pusing tau nggak?” Juna memijat kedua pelipisnya yang terasa pening tentu saja dengan gerakan tangan yang terlihat anggun layaknya seorang perempuan.
“Juna, loe bener-bener dah. Semakin hari gue lihat loe makin serem aja.” Ujar Jessy.
“Serem kenapa?” Tanya Embun dan Nina berbarengan.
“Ya serem aja. Tingkah loe semakin gemulai, gue aja kalah.”
“Haha… loe bener Jey. Fix, kayaknya kalau Indriana tahu dia bakalan illfeel banget sama loe. Cowok yang selama ini dia deketin, yang dia anggap maco, cool, ganteng, emh… ternyata.” Embun menatap Juna dari atas sampai bawah seolah membatin.
“Ternyata apa hah?” Tanya Juna sewot saat melihat ketiga sahabatnya mengulum senyum dan menatapnya aneh.
“Awas aja kalau loe pada ngomong yang iya-iya sama semua orang tentang gue. Loe, loe, loe dan gue END.” Juna menunjuk satu persatu sahabatnya kemudian memberi isyarat tangan yang sedang menggorok leher seolah mengancam, tentu saja ia mengucapkan kalimat itu dengan suaranya yang ngebass tidak seperti beberapa waktu yang lalu dimana ia terdengar gemulai, layaknya seorang artis yang beberapa waktu lalu sempat viral, eh.
“Buseet dah suara kodamnya keluar.” Ucap Nina.
“Haha…” Ketiga cewek-cewek itu tertawa renyah mendengar ancaman Juna yang bagi mereka tidak menakutkan.
“Iih. Nyebelin dech.” Juna berdiri menghentakan kaki, kesal dengan sahabatnya.
“Udah-udah. Mau sampai kapan kita disini. Mending sekarang kita masuk kelas.” Ucap Embun.
“Aellah, sok Rajin loe Mbun. Biasanya juga loe yang paling mager.” Ucap Juna sontak mendapatkan pelototan mata dari Embun.
“Iya dech ayo kita masuk kelas sekarang.” Nyali Juna yang tadinya setinggi langit seketika menciut setelah mendapatkan pelototan mata dari Embun.
“Gue tu bukannya mager, Cuma males aja.”
“Sama aja dodol.” Ucap mereka serempak.
Begitulah keempat sahabat yang selama ini terlihat tidak akur namun tetap selalu saling support, jika dipertemukan selalu ramai dan saling mendebatkan sesuatu yang tidak penting, namun penuh kejutan. Persahabatan mereka terjalin sedari sekolah menengah atas, mereka dipertemukan saat masa orientasi siswa sewaktu SMA.
Mereka berjalan memasuki kelas masing-masing. Embun dan Nina memilih jurusan ekonomi bisnis, Juna Fashion Designer, sedangkan Jessy memilih jurusan kedokteran.
***
Sore hari Embun dan kawan-kawan berada di coffeshop yang dekat dengan area kampus, mereka berbincang dengan asiknya sambil menyesap minuman yang kata orang penuh akan filosofi itu.
“Hufft, gila bu Betty bener-bener killer. Selama ini gue cuma tahu dari orang-orang kalau dia itu dosen yang super duper killer, dan sekarang gue ngrasain sendiri seberapa killer dia.” Ucap Juna mengawali pembicaraan mereka sore itu.
“Kok gitu?”
“Iya, dan loe tahu yang lebih parah dari itu?” Juna melihat satu persatu sahabatnya dan menghela napas panjang sebelum kembali bercerita.
“Tadi waktu gue lihat pengumunam, ternyata dosen pembimbing gue itu dia. OMG Hello Milo. Gue nggak kebayang gimana nasib gue selanjutnya. Kayaknya sebentar lagi gue bakalan ko*it dah.” Juna memegang dua sisi kepalanya yang tampak pening.
Hahaha…
“Masih mending loe sama dosen yang killer tapi perhatian kayak bu Betty setidaknya dia nggak nyusahin loe, nah gue dapet DPA (Dosen Pembimbing Akademik) yang kecentilan macam bu Shintia. Loe tahu sendiri setiap ada cogan (cowok ganteng) lewat, kita sebagai kaum ciwi-ciwi serasa musnah.” Ucap Nina.
“And you know what guys?” Melihat ketiga orang yang ada di hadapan Nina saat ini menggelengkan kepalanya dengan ekspresi wajah penasaran membuat Nina semakin antusias menceritakan apa yang dia alami barusaja.
“Barusan banget gue disuruh sama dia buat bantuin bawain buku tugas anak-anak yang menggunung bahkan kepala gue sampe kelelep, dan parahnya lagi di tengan jalan dia malah asik ngobrol bareng pak Eko sampe sejam lebih tanpa peduliin gue yang sedang menderita akibat pegel saat itu. Nyebelin banget kan?”
“Kenapa loe nggak langsung naruh buku tugasnya ke ruangan bu Shintia aja, dodol?” Tanya Juna.
“Oh iya, gue lupa!” Nina hanya bisa nyengir kuda saja saat melihat ketiga sahabatnya menepuk dahi mereka masing-masing yang disertai gelengan kepala.
“Mending itu mah, loe tahu kan yang namanya pak Arif?” Tanya Jessy.
“Pak Arif Robot?” Tanya mereka bebarengan. “Jangan bilang…” Jessy mengangguk membenarkan. Sontak saja mereka kompak menghela napas panjang. Sebuah helaan napas seolah beban berat sudah dapat dipastikan akan menghiasi perjalanan dalam menulis tugas akhir mereka. Namun itu hanya berlangsung sebentar karena setelahnya tawa mereka meledak memenuhi seisi cafe.
Hahaha…
Merasa ada sesuatu yang aneh, Nina, Juna dan Jessy menengok ke arah Embun yang sedari tadi hanya diam tanpa berkomentar, namun tak urung ia juga ikut mendengarkan cerita para sahabatnya.
“Loe gimana Mbun? Dari tadi diem aja, lagi sarimalem loe?” Tanya Juna.
“Sariawan kali..” Ucap Embun membenarkan. “Gue mah aman, DPA gue juga aman.”
“Dari tadi aman mulu. Emang siapa DPA loe?” Tanya Juna semakin dibuat penasaran dengan jawaban ambigu Embun. Nina yang sudah tahu siapa DPA Embun hanya diam saja.
“Pak Adnan.” Jawab Embun enteng.
“What?” Ucap Juna dan Jessy berbarengan dengan suara yang sedikit keras dan hal itu membuat gendang telinga Embun serasa mau pecah, bahkan tak jarang pengunjung cafe yang ada disana juga ikut menoleh memperhatikan empat serangkai itu. Sungguh sialan mereka batin Embun.
“Maksud loe pak Adnan Kusuma, yang ganteng itu?” Ujar Jessy dan langsung diangguki kepala oleh Embun.
“Gila beruntung banget loe Mbun. Dapet DPA ganteng, smart, dan baik kayak pak Adnan.” Ucap Juna.
“Biasa aja kali.”
“Apanya yang biasa aja. Kita juga mau kali dapet DPA macam pak Adnan gitu, iya nggak.” Ucap Jessy. Mereka semua sontak menganggukan kepala membenarkan ucapan Jessy. Dan dilanjutkan untuk sekian kalinya mereka menghela napas panjang bersama.
“Mbun bukannya tadi pagi loe bilang mau cerita sesuatu sama kita?” Tanya Nina.
“Oh iya guys gue lupa belum cerita, tumben loe inget Nin?” Nina mencebikkan bibirnya karena tahu jika saat ini Embun sedaang menyindir dirinya. Sedangkan pelaku hanya bisa nyengir kuda seolah tak merasa bersalah sama sekali.
“Tadi pagi gue dikejar-kejar sama mobil polisi?” Ketiga sahabat Embun terdiam, tak ada respon apapun seperti yang Embun harapkan.
“Kok kalian diem aja sich, komen kek, kasih tanggepan kek, apa kek?”
Tiga serangkai tersebut hanya bisa menghembuskan napas kasar. “Bukannya loe udah sering di kejar-kejar sama polisi?” Ucap Jessy.
“Beda dong Jey, kali ini polisi kejar gue bukan karena balap liar, tapi karena gue tadi lewat jalan tol.”
“Gimana ceritanya?” Tanya Nina.
“Waktu dipersimpangan jalan deket pintu masuk tol X ada mobil yang tidak sengaja mau nyempet motor gue. Bukannya minta maaf secara baik-baik, pemilik mobil itu langsung menyodorkan segepok uang ke gue dan pergi begitu saja. Tentu aja gue nggak terima, dia pikir gue apaan coba? Sontak gue langsung kejar mobil itu sampai masuk jalan tol. Tapi sialnya, saat gue udah berhasil berhentiin tu mobil ada mobil polisi dateng.”
“Gue tebak loe pasti kabur?” Tebak Juna.
“Tentu saja, gue nggak mau cari mati kalau sampai bokap gue tau. Dan untungnya gue inget nomor plat mobil itu.” Ucap Embun dengan menggebu seolah ingin meluapkan amarah yang sudah ia pendam.
“Ternyata loe takut juga sama om Bagas.” Ucap Jessy dengan seringai mengejek diwajahnya.
“Terus duwitnya?” Tanya Nina.
“Kalau duwit aja ceper loe!” Juna menoyor kening Nina pelan.
“Yah kan gue penasaran Jun.” ucap Nina.
“Gue kasih ke pemulung.”
*
“Guys gimana kalau nanti malem kita nobar bola di tempat gue. Kebetulan nyokap dan bokap gue nggak ada di rumah?” Tanya Jessy memecah keheninggan setelah sekian lama mereka saling diam.
“Setuju.” Sorak Nina girang.
“Sorry Jey, gue nggak bisa. Gue ada janji sama temen kelas mau discuss soal tugas akhir.” Ucap Juna.
“Mbun, loe gimana?” Tanya Jessy.
“Sorry gue juga nggak bisa Jey.”
“Emang apa rencana loe malam ini?”
“Gue ada janji bareng bang Alex malem ini.” Ketiga orang yang ada di hadapan Embun tampak tercengang mendengar nama itu.
“Gila loe. Nggak ada kapok-kapoknya jadi orang loe Mbun, bukannya bokap loe udah wanti-wanti kalo dia nglarang loe buat ngejoki balap liar lagi?” Ucap Juna.
“Bener tu Mbun, gue suka ngeri kalo loe udah janjian sama bang Alex.” Ujar Jessy.
“Loe nggak inget apa beberapa bulan lalu loe hampir aja ko*it? Lebih baik loe batalin aja dech Mbun! Ini juga demi kebaikan loe sendiri kan.” Ucap Juna.
“Bener tu Mbun. Meskipun balapan itu menyenangkan sih.” Ucap Nina.
“Tau dari mana loe kalau balapan itu menyenangkan?” tanya Juna.
“Juna kenapa sih loe selalu saja nething sama gue, gini-gini gue juga pernah nonton balapan kali.” Ujar Nina.
“Benarkah?” Nina menjawab dengan anggukan kepala.
“Dimana?” Juna merasa penasaran akan cerita sahabat lemotnya itu.
“Di televisi itu lo Jun, acara MotorGP.” Jawab Nina polos.
“Bukan MotorGP Nina sayang, tapi MotoGP, M-O-T-O-G-P.” Jessy mengeja setiap huruf dengan sedikit menggertakan giginya karena merasa gemas akan tingkah sahabatnya yang super unik binti lemot seantero itu.
“Iya kan sama aja Jey, cuma beda dikit doang.”
“Tetep aja beda dodol.” Ucap mereka serentak dan sukses membuat Nina menutup kedua telinganya akibat pengang.
“Stopp. Kenapa jadi ngomongin MotoGp sih, kita itu lagi bahas Embun bukan yang lain.” Ucap Juna.
“Mbun, kita tetap pengen loe batalin rencana loe ntar malem. Jangan suka cari masalah dech?” Ucap Jessy.
“Ya gimana lagi ada yang nantangin gue, masa gue nggak jabanin. Ini tentang harga diri gue sebagai pembalap, guys”
“Harga diri loe bilang. Parah loe Mbun. Kemarin loe hampir kecelakaan, sekarang loe mau ngulangin lagi kegiatan nggak guna loe itu. Bahkan sekarang loe mengatasnamakan harga diri. Huh… terserahlah gue capek. Tapi inget! Kalau sampe ada apa-apa, gue kagak ikutan.” Ucap Jessy sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Ayolah Jess, santai aja. Jangan gitu dong! Ya ya.” Embun menggoyang-doyangkan lengan Jessy seolah merayu.
“Kita semua bilang gini tu karena peduli sama loe Mbun, kita nggak mau loe kenapa-kenapa.” Nina dan Juna mengangguk dan membenarkan apa yang diucapkan oleh Jessy. Sedangkan Embun bukannya mengerti tapi malah mengedip-edipkan kedua bola matanya sambil menyangga kedua tangan di dagu seolah ia ingin merayu sahabatnya agar tidak marah padanya, karena dia tahu jika sahabatnya sudah marah, mereka akan memberitahu ayah Bagas tentang semua rahasianya. Dan yang pasti ayah Bagas akan menghukumnya dengan hukuman yang sangat berat yaitu menyita Jaguar. Sungguh itu hukuman yang paling menyiksa bagi Embun karena harus terpisah dengan kekasih hatinya.
“Au ah gelap.” Acuh Jessy
***
Sementara sore hari di sebuah gedung perusahaan seorang asisten presdir sedang melakukan sidak secara memdadak di berbagai departement. Pria berwajah tegas dan dingin tersebut tampak begitu marah setelah beberapa kali membolak-balik laporan yang ada di meja kerjanya. Ia menemukan beberapa kejanggalan pada laporan yang saat ini sedang ia baca.
“Sial.” Pekik Anton, pak Aldo dan asistennya yang saat sedang berdiri di depannya terkaget hingga menjingkat.
“Laporan macam apa yang kamu berikan kepada saya, hah? Laporan ini…” Anton mengangkat lembaran laporan yang tadi ia baca ke udara. “Tidak sesuai dengan yang kalian laporkan kepada saya selama beberapa bulan terakhir.”
“Kenapa kalian diam. Jawab!” Bentak Anton kepada dua orang tersebut namun yang dibentak justru hanya bisa menundukan kepala ke bawah.
“Oh jadi kali masih tetap akan bungkam?”Anton berdiri dari tempat ia duduk dan berjalan memangkas jarak dengan kedua orang itu. “Baiklah jika itu mau kalian, jangan salahkan saya jika besok pagi tuan Bagas akan menerima laporan ini. Kalian pasti tau apa yang akan terjadi selanjutnya bukan?” Tanya Anton.
Pak Aldo dan asistennya langsung menegakkan wajahnya menghadap Anton, seolah tahu apa yang dimaksud oleh asisten pimpinan perusahaan tempat mereka bekerja.
“Tuan, kami mohon jangan lakukan itu. Percayalah kami sama sekali tidak terlibat dengan kejadian ini.”
“Tidak terlibat kamu bilang? Di perusahaan ini kamu yang bertanggung jawab menjadi manager operasional, harusnya kamu tahu jika ada yang tidak beres pada setiap laporan ini. Dan sekarang kamu bilang jika kamu tidak tahu apapun mengenai hal ini?”
“Saya tidak ingin mendengar ocehan kalian lagi. Sekarang juga cepat keluar dari ruangan saya.
“Tapi tuan-“
“Ke-lu-ar.” Mau tak mau kedua bawahan Anton pergi meninggalkan ruang kerjanya saat itu juga.
Setelah kepergian dua orang bawahannya Anton tampak mengurut pangkat hidungnya yang tiba-tiba terasa pusing.
“Bagaimana aku harus menjelaskan pada tuan Bagas?” ******* napas berat Anton keluarkan mengingat keteledoran yang barusaja ia lakukan.
Di arena sirkuit balap
“Gimana loe udah ada kabar belom, Jod?” Tanya Alex pada Jodi yang sedari tadi berjalan mondar-mandir sambil memegang hp miliknya.
“Ponselnya, nggak aktif bro.”Jawab Jodi.
“Woi, lama banget. Mana jagoan yang loe bilang, jangan-jangan nyalinya menciut saat tahu jika orang yang menantangnya itu Ricko.” Ucap seorang laki-laki yang sedari tadi berdiri di samping seseorang yang sedang menunggangi moge berwarna hitam miliknya. Sontak saja seluruh pengunjung yang ada disana tertawa sambil menyoraki Alex dan Jodi.
“B*cot loe!” Ucap Alex.
Selang beberapa menit sebuah motor Ducati merah memasuki arena sirkuit dengan kecepatan tinggi. Motor itu berhenti tepat di samping moge hitam tadi. Embun datang ke sirkuit dengan pakaian serba hitam miliknya dan tak lupa helm fullface kesayangannya. Rambutnya ia gulung ke dalam helm sehingga tidak ada yang tahu jika ia memiliki rambut yang panjang.
“Lama banget!” Protes Alex dengan setengah berbisik.
“Sorry gue tadi keasyikan ngobrol.” Embun hanya bisa nyengir kuda dari balik helm fullface miliknya. Tentu saja tidak ada yang tahu jika saat ini dia sedang tersenyum.
“Ya sudah. Balapannya akan segera dimulai dan seperti biasa, gue mau loe selalu hati-hati.” Embun mengangguk mengiyakan.
Ricko yang saat itu berada di samping Embun merasa penasaran dengan wajah laki-laki yang sudah ia tantang. Ia memberanikan diri untuk mengajak berkenalan Embun yang ia kira adalah seorang laki-laki.
“Gue Ricko.” Ricko mengulurkan tangan berniat berkenalan dengan orang yang sudah ia tantang. Embun tersenyum sinis dari balik helmnya mengabaikan tangan Ricko yang masih terulur tanpa niat menjabat.
Merasa di abaikan Ricko menarik kembali uluran tangan miliknya. Ia semakin dibuat penasaran dengan wajah orang yang sudah ia tantang.
Seorang gadis dengan pakaian serba mini berjalan di antara Embun dan Ricko, ia memainkan syal merah yang ia bawa di tangan kanannya kesana-kemari. Tak berselang lama gadis itu mengangkat tinggi tangannya dan menjatuhkan begitu saja seraya berkata ‘Go’ tanda start telah di mulai.
Embun dan Ricko seketika melaju dengan kecepatan tinggi. Mereka saling mengejar di arena balap, mulanya Embun berada di belakang Ricko namun saat memasuki tikungan, Embun berhasil menyalipnya. Tidak ada yang mau mengalah, mereka saling memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Keunggulan Embun tak berlangsung lama karena ia harus berada diposisi kedua kembali. Balapanpun terjadi dengan sengit dan penuh ketegangan.
Lampu sorot motor pertama yang memasuki garis finish terlihat, seluruh penonton yang menghadiri acara itu bersorak sekaligus penasaran siapa yang akan memenangkan balapan hari ini.
Garis finish sudah terlihat, Embun semakin menancap gasnya seraya menambah kecepatan, ia berhasil memenangkan pertandingan malam itu dengan sangat menakjubkan. Seluruh penonton bersorak gembira akan pencapaiannya. Sedangkan Ricko harus menelan kekalahan pertamanya dengan selisih waktu sangat tipis dari Embun.
“Loe emang nggak pernah mengecewakan gue Rain.” Ucap Alex.
Embun tersenyum, tak seperti kesehariannya ia dipanggil dengan sebutan Rain saat berada di arena sirkuit. Embun melakukan itu karena ia tak ingin ada yang mengetahui identitas aslinya sebagai Embun.
“Seperti biasa bang, kalian harus rahasiain identitas gue.” Alex dan Jodi mengangguki ucapan Embun sebagai tanda menyanggupi permintaannya.
“Bagian loe akan gue transfer nanti.” Ujar Alex
“Nggak perlu, bang Alex lakukan aja seperti biasanya.” Ucap Embun.
“Loe yakin?” tanya Jodi.
“Hemm.” Embun hendak pergi namun niatnya ia urungkan karena seseorang berjalan mendekatinya.
Ricko merasa kecewa karena sudah kalah, kendati demikian ia berjalan mendekati Embun yang saat itu sedang berbincang dengan Alex dan Jodi untuk memberikan selamat.
“Selamat, loe menang.” Lagi-lagi Embun mengabaikan uluran tangan Ricko dan hanya diam mendengar ucapan selamat dari Ricko. Ricko merasa marah karena sikap baiknya yang tak disambut oleh Embun. Namun pada kenyataannya bukan tanpa alasan Embun bersikap cuek, ia melakukan itu agar identitas yang selama ini ia sembunyikan tetap tersimpan rapi. Alex yang melihat kondisi tidak kondusif berinisiatif menyela.
“Sorry bro jagoan gue mau lewat, karena ada urusan penting.” Ucap Alex.
Ricko tak langsung pergi, ia masih berdiam diri di depan Embun. Ia semakin dibuat penasaran akan orang yang beberapa waktu lalu sudah membuatnya kalah.
“Bro?” Suara Alex kembali terdengar dan menyadarkan Ricko dari lamunannya. Ricko melangkah menepi dan hanya bisa melihat kepergian Embun begitusaja tanpa ia tahu identitas aslinya.
Adit, sahabat Ricko yang saat itu melihatnya berdiri mematung menepuk kuat lengan Ricko. “Loe ngapain berdiri disini?”
“Siapa nama orang yang sudah mengalahkan gue hari ini?” Bukannya menjawab pertanyaan Adit, Ricko justru menanyakan identitas asli Embun.
“Gue denger namanya Rain.” Jawab Adit.
“Lalu apalagi info yang loe dapet.”
“Nggak ada. Mereka merahasiakannya.”
“Kenapa?”
“Entahlah. Mungkin aja ia ingin terkesan misterius atau…”
“Atau apa?” Tanya Ricko penasaran.
“Atau karena orang yang sebenarnya sudah ngalahin loe hari ini itu bukan cowok tapi cewek. Haha ...” Canda Adit.
“Menarik.” Ucap Ricko tersenyum penuh maksud.
“Gue mau loe cari tahu siapa orang itu dan loe harus laporkan identitas aslinya sama gue.” Padahal adit hanya bercanda namun Ricko menganggapnya serius karena beberapa alasan.
“Apa? Ayolah bro, gue nggak serius ngomong kayak tadi. Nggak mungkin kan kalau loe kalah sama cewek.” Ucap Adit, sontak saja ia langsung mendapat hadiah pelototan mata dari Ricko.
“Oke-oke, gue bakalan cari tahu.”
“GOOD.”
***
Embun memasuki area gerbang rumah saat jam sudah menunjukan waktu satu dini hari. Ia mematikan mesin motornya dan memilih menuntun moge kesayangannya itu agar tidak menimbulkan kebisingan yang dapat membangunkan singa yang sedang tidur.
Di garasi ia menstandartkan motor serta melepas helm dan menyimpannya di tempat yang sudah tersedia. Kemudian Embun berjalan dengan langkah mengendap-endap layaknya seorang maling memasukin rumah yang terlihat mewah, rumah yang selama ini menjadi tempat bernaungnya bersama ayah Bagas.
Klik
Bunyi kunci telah terbuka membuat Embun mendorong pintu utama, ia menunduk dan dengan sangat hati-hati mendorong pintu agar dirinya bisa masuk. Setelah masuk ia mengunci kembali pintu tersebut kemudian memutar pelan badan, masih dalam kondisi menunduk. Saat sudah menghadap ruang tamu, terlihat lampu ruang tamu dalam kondisi padam.
“Huffst… untung ayah sudah tidur, sepertinya malam ini gue aman.” Gumam Embun pelan.
Embun menegakkan badan dan dengan langkah percaya diri ia berjalan memasuki rumah, Embun pikir jika ayah Bagas sudah terlelap dalam mimpinya. Embun berjalan menaiki tangga, saat ia sudah berada pada anak tangga yang pertama tiba-tiba lampu ruangan menyala dengan terang. Embun menutupi wajahnya yang kala itu pandangannya tampak silau dan berpendar akibat cahaya lampu.
“Siapa sih yang malem-malem ngidupin lampu? ganggu pandangan mata aja.” Gumam Embun.
Deg
Beberapa saat kemudian kedua matanya membola saat ia melihat seseorang yang menatap matanya dengan tajam dan seketika itu pula nyali Embun menciut bagai plastik yang terkena panas api. Ia diam mematung seolah sedang melihat malaikat pencabut nyawa. Bahkan tenggorokannya saat ini sudah mengering.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!