“Lily, dasiku yang berwarna biru gelap kau letakkan di mana?”
Entah sejak kapan Lily yang berstatus sebagai pengasuh bayi di rumah besar keluarga McGold itu bertransformasi menjadi pembantu yang ikut mengurusi kebutuhan tuannya. Bukan hanya mengurus Mary, anak dari sang tuan rumah—tapi sudah sejak lama sekali Lily terakhir kali mengingat dia harus mengurus bayi besar yang selalu lupa di mana letak barang-barangnya itu.
Lily yang berada di kamar Mary tergesa-gesa berlari menuju kamar tuannya lalu mengambilkan dasi biru tua yang dimaksud.
“Kan sudah kubilang, aku meletakkannya di sini, kenapa Tuan tidak bisa mengingatnya?” Lily menggerutu.
Darren McGold hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum, lalu mengambil dasi yang Lily sodorkan padanya. 6 tahun tinggal dengan Lily, Darren sudah belajar untuk terbiasa dengan omelan.
Setelahnya, tanpa pamit, wanita itu kembali berlari ke kamar Mary. Buru-buru Lily memasukkan peralatan sekolah Mary di dalam tasnya. Semalam dia terlupa karena kecapekan. Hari Minggu memang biasanya Mary akan diajak ayahnya ke berbagai tempat hiburan dan jelas Lily harus ikut serta. Jadi, Lily berakhir kalang kabut di hari Senin yang super sibuk ini.
“Mary, kau sudah selesai memakai sepatumu, belum?”
Mary tidak menjawab. Lily langsung menoleh ke belakang. Rupanya Mary sedang berusaha memasukkan kakinya ke dalam sepatu. Menghela napas, Lily menghampiri anak majikannya itu.
***
Lilly sama sekali tidak pernah lalai dalam melakukan tugasnya selama bekerja untuk keluarga McGold. Well, mungkin pernah. Di minggu-minggu pertama dia bekerja karena harus membiasakan diri. Tapi setelah itu, selama 6 tahun ini, Lily tidak pernah sekalipun mengecewakan majikannya.
Jadi bagaimana bisa! Bagaimana bisa Lily kehilangan jejak? Dia mendadak panik.
Anak-anak SD kelas 1 biasanya pulang 20 menit sebelum pukul 10 pagi, lewat itu, sudah tidak ada anak-anak lagi yang berkeliaran selain siswa kelas 2 hingga 6. Makanya Lily berpikir bahwa Mary mungkin saja dibawa orang lain, dan itu jelas bukan Darren.
“Apa bapak tidak melihat ada yang aneh saat anak-anak keluar dari gerbang?” Lily bertanya panik pada seorang Satpam sekolah.
“Aduh, Bu. Saya juga kurang tahu, anak-anak yang keluar ada banyak, tidak mungkin saya perhatikan satu-satu. Kalaupun ada yang masih menunggu orangtuanya, pasti akan menunggu bersama saya di pos ini. Tapi pulang sekolah tadi, anak-anak hampir semua langsung dijemput orangtuanya, saya tidak melihat hal-hal mencurigakan, Bu.”
Mendengar jawaban itu, Lily hanya bisa merenung. Kalau memang tidak ada yang mencurigakan, sudah pasti orang yang membawa Mary adalah orang yang cerdik. Untuk saat ini, dia harus melapor ke majikannya terlebih dahulu.
“Begitu ya?” Sang Satpam mengangguki. “Kalau begitu saya permisi dulu ya, Pak.” Setelah itu Lily pamit pergi dan memutuskan untuk duduk di halte depan sekolah.
Lily mengeluarkan ponselnya dari dalam saku kemudian menghubungi nomor Darren. Beberapa saat menunggu dengan panik, Lily langsung berbicara, “Halo?!”
“Ada apa?” Darren bertanya dengan tenang.
“Maaf, Tuan. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain memberitahukan hal ini pada Tuan, tapi ....” Lily mengigit jarinya. “Mary hilang!”
Lily ingin menangis setelah mengakui hal itu. Ini semua salahnya! Salahnya karena tidak datang lebih cepat. Lily takut majikannya kecewa karena ia yang selama ini sudah merepotkan mereka malah lalai dalam tugas.
“Kau bilang apa?” Darren seperti tidak percaya di ujung sambungan sana.
“Aku terlambat menjemputnya, dan sekarang Mary tidak ada. Aku sudah tanya pada Satpam, tapi tidak ada hasil. Aku bingung harus bagaimana, Tuan. Ini ... ini salahku.” Lily tergugu dalam satu tarikan napas untuk menjelaskannya, dia panik dan takut.
Di seberang sana Darren malah terdengar bergegas seraya mengatakan, “Oke, sekarang kau ada di mana?”
“Di halte depan sekolah Mary.”
“Tunggu aku di sana sampai aku tiba, kita akan mencarinya bersama.”
Lily tidak sempat menjawab ketika sambungan telepon diputus secara sepihak. Menggenggam ponselnya dengan cemas hingga Darren datang menjemput, Lily akhirnya kini berada di dalam mobil majikannya.
“Tuan ....” Lily tertunduk. “Aku minta maaf.”
Darren masih fokus menyetir. “Tidak usah kau pikirkan, aku sudah melacak lokasinya yang terhubung dengan jam tangannya.”
Ah, jam tangan itu! Darren membeli dan menyetelnya untuk jaga-jaga. Dan rupanya benda itu ada gunanya hari ini.
“Lalu Mary ada di mana?”
“Di kafe.”
“Kafe?!”
Tapi Mary tidak tahu arah jalan, bagaimana mungkin dia bisa ke kafe!
Darren mengangguk. “Kita akan menemukannya di sana, jadi kau tidak perlu khawatir.”
Lily jadi ingin menangis. Bahkan majikannya tidak terlihat marah sedikitpun, padahal kan ia sudah merepotkannya. Lily jadi merasa bersalah untuk kesekian kalinya.
“Ayo turun.”
Begitu sampai, Darren dan Lily sama-sama turun dan berjalan memasuki kafe santai yang ternyata beberapa blok dari jarak sekolah Mary.
Kring ....
Bel di atas pintu berbunyi, Darren dan Lily mengambil kesempatan untuk memerhatikan meja yang terdapat anak kecil. Dan itu tepat di dekat jendela kafe.
Namun ada yang aneh, seorang wanita sedang bersama Mary. Posisinya membelakangi mereka. Ketika dihampiri, Lily dengan jelas melihat perubahan ekspresi pada wajah Darren. Mereka bertatapan cukup lama.
Lily tidak tahu siapa wanita itu, tapi dia memilih diam mengamati. Penampilannya bukan seperti penculik, dia memakai kaca mata hitam dengan dress putih biasa yang sayangnya pas di tubuhnya. Modis sekali.
Tapi saat itu Darren langsung menarik Mary dan menggendongnya, kemudian mengambil tas Mary dan memberikannya pada Lily yang berdiri di sebelah.
“Jangan temui dia lagi, atau kau akan melihatku marah.”
Adalah kalimat terakhir yang Darren berikan dengan penuh tekanan pada wanita tersebut sebelum mengajak Lily dan Mary keluar dari kafe.
Mengikut di belakang dengan terburu-buru, serta melihat ekspresi kesal Darren, Lily dipaksa untuk tidak menanyakan siapa wanita itu dan kenapa majikannya begitu berbeda ketika berhadapan dengannya. Lily hanya diam selama perjalanan sambil memeluk Mary di kursi belakang yang mendadak ketakutan karena tidak paham dengan situasi.
Seharian Lily berusaha mengalihkan kesedihan Mary dengan bermain dengannya. Setelah kejadian pagi tadi, Darren pamit untuk kembali ke kantor dan pulang pukul 11 malam.
Setelah menidurkan Mary dan memanaskan makanan untuk majikannya, Lily menemani Darren makan. Pria itu terlalu tidak biasa kalau harus makan sendirian. Pokoknya harus ada yang menemani, kalau tidak ada, dia lebih baik tidak makan saja.
Dengan gugup Darren menyesap susu hangat yang dia buat. Biasanya dia tidak setegang ini, tapi karena kejadian tadi pagi yang masih penuh tanda tanya, Lily beranggapan Darren masih tidak ingin bicara padanya karena kecewa.
Namun, saat pria di hadapannya itu tiba-tiba membuka suara, Lily dipaksa untuk mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk.
“Perihal pagi tadi ….”
“Ya?”
Tatapan mereka bertemu.
“Kau pasti penasaran apa yang sudah terjadi tadi,” lanjut Darren.
Lily mengiyakan dalam hati.
“Kau pasti masih ingat saat kuceritakan tentang ibu kandung Mary, kan?”
Lily mengangguk.
“Wanita tadi pagi … dia adalah Victoria, ibu kandung Mary.”
Lily melotot dalam diam. Kaget. Pantas saja dia seperti pernah melihat wanita itu di suatu tempat. Dulu kalau tidak salah, Darren bilang Victoria jadi seorang model setelah 2 tahun kepergiannya, jadi mungkin saja Lily melihat wajah wanita itu di beberapa produk kecantikan.
Tapi Lily tidak mengerti satu hal. “Kalau dia ibu kandungnya, kenapa harus membawa Mary seperti tadi? Bahkan dia tidak memberitahu Tuan.”
“Kau pikir kenapa dia melakukan itu?” Lily mengerjap ditanyai begitu. “Kau pikir aku akan dengan mudah setuju kalau dia bertemu Mary? Tentu saja dia melakukannya karena dia tahu bahwa aku akan menolaknya mentah-mentah,” jelasnya dengan nada yang sedikit tersulut emosi karena membayangkan tindakan Victoria yang nekat.
Lily mengangguk paham. Tadi pagi setelah tiba di rumah dan ditanya, Mary bilang bahwa wanita itu hanyalah teman bisnis ayahnya, makanya dia mau-mau saja diajak ke kafe. Wanita itu benar-benar nekat.
“Tapi dia tetap ibunya Mary, apa Tuan tidak berpikir bahwa mungkin saja ibunya merindukan Mary?”
Mendadak ekspresi Darren berubah. Duda itu memiliki pembawaan yang kalem dan berwibawa, jadi kalau sedikit saja ada perubahan dari ekspresi biasanya, maka Lily akan merasakannya dengan sekali lihat meski Darren tidak memperlihatkannya dengan jelas.
“Kalau dia merindukannya, apa butuh bertahun-tahun untuk bertemu? Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dari dulu?”
Saat itu Lily sadar bahwa dia sudah menyinggung perasaan Darren. Wajah Lily kembali tertunduk. Samar-samar dia mendengar Darren menghela napas panjang.
“Lily ….”
Lily mendongak. “Ya?”
“Apa aku bisa minta tolong padamu?”
“Apapun, selama aku sanggup.”
“Tolong, kalau Victoria kembali lagi untuk melakukan hal yang sama seperti hari ini, apa kau bisa mengaku sebagai ibunya Mary? Untuk sekali ini saja. Aku sungguh tidak enak meminta ini darimu, tapi mungkin dengan ini, dia akan pergi dengan sendirinya. Dia mungkin tidak akan mengganggu kami lagi kalau tahu bahwa kau adalah bagian dari keluarga ini.”
Lily menganga. Dirinya? Yang hanya seorang pengasuh ini? Disuruh jadi ibu dari anak majikannya? Mana berani!
“Tapi Tuan, saya mana berani.” Lily merasa menciut di tempatnya duduk.
“Aku tahu. Makanya aku meminta tolong padamu hanya untuk sekali ini saja. Kau juga akan dapat gaji tambahan kalau mau. Lakukanlah demi Mary.”
Lily terdiam menatap wajah Darren. Dia bukan wanita yang seperti itu, melakukan apapun demi imbalan uang. Lily menyayangi Mary Jane seperti Mary menyayangi Lily. Jadi kalau Darren ingin Lily melakukan ini demi Mary, dia akan melakukannya tanpa pamrih.
“Tidak perlu membayarku, Tuan. Aku akan melakukannya demi Mary.” Lily memantapkan hatinya. “Tapi aku punya pertanyaan.”
Darren mengangguk mengiyakan.
“Kenapa Tuan begitu membenci Victoria?”
6 tahun lalu Lily hanya pernah diberitahu begini; Victoria dan Darren berpacaran, putus berbulan-bulan dan tidak menikah, Mary adalah hasil kesalahan remaja yang dilakukan mereka berdua. Tapi Victoria malah membuat Darren mengurus bayi mereka seorang diri sementara wanita itu sendiri lari dari kenyataan.
Jadi Lily hanya ingin tahu alasan sebenarnya dari Darren agar Lily tak berpikiran yang tidak-tidak kedepannya. Karena bagi Lily, Darren sudah merelakan segalanya, meninggalkan masa lalunya, jadi kenapa dia harus membenci Victoria? Atau jangan-jangan Darren masih mencintai Victoria?
Bukankah hati yang membenci karena ia pernah mencintai dengan begitu sangat?
“Bukannya sudah jelas? Dia meninggalkan kami saat kami yang paling membutuhkannya.”
Setelah itu Darren meminum airnya dengan ekspresi dingin kemudian beranjak dari kursinya karena sudah selesai makan.
“Terima kasih untuk makanannya,” ucapnya sebelum pergi dari sana. Meninggalkan Lily dengan perasaan bersalah karena telah membuka kenangan lama Darren yang 6 tahun lalu coba ia simpan sendiri.
Lily tidak mau sampai mengecewakan majikannya lagi! Kali ini dia nekat datang 30 menit bahkan sebelum bel pulang sekolah berbunyi.
Sebelum masuk, Satpam sekolah yang kemarin sempat bertanya begini, “Ibu yang kemarin, kan?”
Lily mengiyakan.
“Mau laporan ke pihak sekolah ya gara-gara kemarin?" Satpam itu bertanya ragu-ragu. Tentu saja, kalau sampai wanita di hadapannya ini melapor lalu menuntut Satpam yang tidak becus kerjanya, sudah pasti dia harus jadi pengangguran.
Tapi senyuman dan jawaban Lily membuat hatinya merasa lega. “Tidak, Pak. Kemarin anak saya sudah ditemukan, sekarang saya mau ke sini buat jemput anak saya lagi.”
Seperti kesepakatan Darren dan Lily sendiri, Lily akan berpura-pura menjadi ibu Mary. Bukan hanya di depan Victoria, tapi juga di depan satpam ini. Untuk jaga-jaga saja, siapa tahu wanita itu datang lagi, Satpam kan tinggal bilang bahwa sudah ada ibunya yang menjemput anak itu.
Ah, Lily tidak tahu dia bisa sepintar itu untuk mengelabui orang lain.
Tapi … kalau dipikir-pikir lagi, Lily merasa bersalah. Mary seharusnya mendapatkan haknya untuk sekedar bertemu dengan Mary, tapi karena Lily, Victoria akan berpikir bahwa Lily hanyalah batu penghalang. Apa dia berdosa karena melakukan hal ini?
“Bu, ibu ….”
Lily terlonjak kaget dari lamunannya saat sedang bersantai di kantin sekolah. Ketika berbalik, dia menemukan ibu kantin di belakangnya.
“Iya?”
“Bel sekolah sudah bunyi, mungkin anak-anak kelas satu sudah ada yang keluar.”
Bergegas memakai tasnya, Lily beranjak dari bangku dan berterima kasih pada ibu kantin tadi sebelum pergi menuju kelas 1 A.
Menunggu bersama orang tua lainnya, Lily mengintip melalui jendela. Setelah memberikan salam pada guru, anak-anak mulai berhamburan keluar menemui orangtuanya. Lily bahkan menerobos untuk bisa menarik Mary dari sana.
“Hari ini Mary belajar apa?” Tanya Lily sambil berjalan menuju gerbang sekolah.
“Matematika dan Bahasa Inggris!”
“Oh, ya? Apa Mary mencatat semuanya?”
“Hm!” Mary mengangguk semangat.
“Apa Mary mendengarkan guru dengan baik?”
“Hm!” Mary mengangguk antusias lagi. Baginya, pulang bersama Lily itu menyenangkan.
Ah, Lily gemas jadinya.
“Mary mau makan es krim, tidak?”
Pertanyaan itu spontan membuat Mary mulai meloncat-loncat. “Mau! Mau! Mau!”
“Mau rasa apa?”
“Stroberi!”
Lily mengangguk seraya tersenyum. "Okeee!”
“Mary!”
Tiba-tiba sebuah suara memanggil. Itu datang dari arah sebrang jalan. Lily mengenalnya. Mary datang lagi seperti perkiraan Darren.
Wanita itu menghampiri mereka. Entah kenapa Lily tidak bisa lari dari sana, mungkin karena Victoria sudah terlanjur melihat mereka.
Karena Victoria bertingkah seolah-olah akan memeluk Mary, Lily terpaksa bergerak defensif untuk menyembunyikan Mary di belakangnya.
Victoria terkejut. "Siapa kau?” Tanyanya tersinggung. Dia tidak mengenal wanita ini sebelumnya. Tapi rasanya dia pernah melihatnya di suatu tempat.
Lily tidak kalah terkejut. Apa dia harus berperan sebagai ibu Mary sekarang?
“Aku … aku ibunya!” Astagaaa, maafkan aku nyonya karena menghalangimu, batin Lily yang ketakutan.
“Ibunya?” Victoria terlihat tidak suka. “Jadi kau ….”
Lily mengangguk cepat saja. Asal semua ini cepat selesai.
“Tapi dia——!” Victoria berhenti di sana, dia tidak bisa bilang bahwa Mary adalah anaknya. Semua akan sia-sia untuk mendekati putrinya itu.
Perlahan Victoria tersenyum paksa alih-alih memarahi Lily. “Bagaimana kalau kita berbicara di tempat yang bagus?”
“Ha?”
Victoria sudah duluan menarik tangan Lily. "Ayo.”
Mau tidak mau Lily menurut. Victoria menarik Lily, Lily menarik Mary, mereka menyebrangi jalan seperti itu. Setelah memasukkan Mary ke dalam mobil, Lily ikut naik. Namun sebelum itu terjadi, seseorang mencegah Lily.
“Berhenti di sana!”
Victoria dan Lily menoleh terkejut. Itu Darren! Dari mana dia datang, Lily tidak tahu. Karena hal selanjutnya yang terjadi adalah Mary kembali dikeluarkan dari dalam mobil kemudian Lily ditarik pergi.
Sejenak Darren melempar tatapan tajam ke arah Victoria. “Jangan ganggu keluargaku lagi!” Tukasnya meninggalkan Victoria yang terdiam berdiri melihat kepergian mereka.
***
“Kenapa kau tidak bisa menolaknya? Bukankah sudah kubilang untuk membuat Victoria sadar bahwa dia tidak ada tempat dan hak di keluarga ini?”
Darren menghakimi Lily di ruang keluarga. Mary sudah dari tadi disuruh masuk ke kamarnya dan dilarang mendengar percakapan mereka.
Lagi-lagi Lily tertunduk, dia ingin menangis. “Maaf, Tuan. Tapi aku tidak bisa. Aku takut menjadi batu sandungan bagi Victoria. Hanya karena aku, dia jadi tidak bisa bertemu putrinya. Aku merasa sangat berdosa kalau harus melakukan itu. Bagaimanapun kalau dipikir-pikir, itu hal yang kejam kalau sampai memisahkan anak dari ibunya.”
Darren memijat pangkal hidungnya seraya mendudukkan diri di sofa. Dia terdiam sejenak untuk menenangkan diri sebelum akhirnya mengangkat pandangannya.
“Victoria lah sendiri yang lebih dulu memisahkan dirinya dengan Mary. Jadi bagaimana bisa kau berkata seperti itu? Kau juga seharusnya tidak berpikir demikian. Kau bukanlah batu sandungan. Kau bukan penghalang. Sama sekali bukan. Seharusnya kau berpikir, bahwa dengan melakukan ini, kau bisa membuat Mary tidak harus merasa tersakiti. Kau pikir bagaimana rasanya kalau Mary sampai tahu bahwa dia tidak diinginkan bahkan sebelum lahir?”
Lily tertegun. Tiba-tiba rasa bersalahnya untuk menjauhkan Mary dari ibu kandungnya serta merta hilang begitu saja. Darren benar sekali. Dari awal Victoria memang tidak menginginkan Mary, dia membuang Mary lebih dulu, meninggalkannya setelah lahir. Pasti menyakitkan sekali mendengar hal ini bagi seorang anak yang berusia 6 tahun.
Lily menggigit jarinya. “Lalu … Tuan ingin aku melakukan apa?”
“Tetaplah berpura-pura menjadi Ibu bagi Mary. Perjuangkan Mary seolah-olah dia anakmu sendiri. Jangan biarkan dia merebutnya. Jangan biarkan dia memasuki kehidupannya. Apa kali ini kau bisa melakukannya?”
Ragu-ragu Lily mengangguk mengiyakan. “Baik, Tuan.”
Setelah pertengkaran dan kesepakatan kedua kalinya itu, Darren kembali lagi ke kantornya dan Lily memutuskan untuk naik ke atas.
Perlahan Lily membuka pintu kamar Mary, didapatinya anak itu sedang menonton kartun dengan suara nyaring kelewat batas. Sepertinya dia benar-benar mematuhi ayahnya untuk tidak mendengar percakapan orang dewasa.
“Lily ….” Panggil Mary yang langsung beranjak duduk. Dia menyambut seolah-olah sudah dari tadi menunggu Lily.
Lily tersenyum lembut, lalu mendadak pura-pura kaget. “Aduh! Kita lupa membeli es krim!” Lily meloncat menaiki tempat tidur seraya tertawa geli.
Mary ikut tertawa lalu kembali teringat. “Lily, Lily .…”
“Iya?”
“Sebenarnya … Tante yang tadi itu siapa?”
“Eh? Bukannya Mary bilang dia teman kerja Ayah, ya?”
“Iyaaa! Tapi dia seperti orang jahat, dia memarahi Lily tadi.”
Mata Lily bergerak gelisah, tapi dia tutupi dengan senyuman. “Aih! Mana ada? Dia mungkin belum kenal dengan Lily makanya tadi kaget.”
Mary seperti tidak puas dengan jawabannya, meski begitu dia mengangguk saja.
“Tapiii … di depan Tante tadi, Lily bilang bahwa Lily adalah ibunya Mary. Kenapa? Apa sekarang Lily benar-benar adalah ibu Mary?”
Mary terlihat senang sekali dengan pemikiran itu. Lily mengangguk seraya tersenyum. Dia harus terlihat meyakinkan dalam perannya, kali ini bukan hanya di depan Victoria, tapi di depan semua orang. Demi Mary, katanya.
“Benarkah?!” Mary senang kelewat batas, sampai-sampai dia melompat ke pelukan Lily begitu saja. “Yeaaay! Sekarang Mary punya Ibu. Lily jadi Ibunya Mary!” Mary mengecup pipi Lily begitu lama. “Pokoknya, Mary sayaaang sama Lily!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!