Bab. 1
Suara tepuk tangan pun terdengar begitu riuh di saat seorang penari baru saja menghentikan gerakannya.
Lekukan tubuh yang terlihat begitu menggoda, apa lagi dengan gaun berwarna merah sedikit kekurangan kain tersebut, tentu menjadi titik pusat perhatian yang sangat memanjakan mata. Bahkan mungkin juga mengajak otak dari beberapa pria yang ada di sana pun jalan-jalan gratis. Asal jangan disentuh, diraba, apa lagi kalau sampai dijilat. Eh!
"Lo emang seksi, Gi!" teriak salah seorang dengan kesadaran sedikit terkikis, karena minuman beralkohol itu sedikit mengendalikannya.
"Calon simpanan gue, nih! Minggir dong!" teriak pria yang lain. Kondisinya? Sama. Sama-sama terpengaruh oleh minuman yang mereka teguk malam ini.
"Satu kali lagi dong, Gi! Keluarin tuh goyangan maut lo! Sedot, muter, mampus!" pinta pria yang berjalan sedikit sempoyongan. Mendekat ke arah table yang diinjak oleh gadis dengan julukan penari kelas berlian. Karena emas saja tidak akan cukup untuk membayar gadis berparas cantik tersebut. Walaupun sebagian wajahnya ditutupi oleh topeng di bagian matanya.
Tidak perlu harus melihat seluruh wajahnya untuk menebak jika gadis itu cantik atau tidaknya. Dari bibir berwarna merah yang seolah selalu ingin di sesap dan di gigit, serta bentuk tubuh dan juga setiap gerakan yang dilakukan oleh gadis itu, sungguh mampu membuat imin para pria yang ada di tempat hiburan ini ambyar semua. Apa lagi kalau sampai dibuka topengnya. Beuh ... jelas buyar nyawa mereka. Karena mereka akan berkelahi demi berebut untuk mendapatkan gadis itu.
"Gue belikan Mixue, asal malam ini lo mau gue bungkus bawa pulang, Gi!" teriaknya yang lain.
Sementara itu, gadis yang sedang diteriaki oleh pelanggan club Naimos, napasnya tampak terengah. Mungkin karena capek. Sebab gadis itu baru saja menyelesaikan tarian di putaran kedua. Sudah satu jam setengah dirinya menari di atas table, tetapi masin saja mereka merasa kurang.
"Ck! Ogah banget. Dandanan elit, tapi bayarnya pelit!" cibir gadis itu yang langsung di senggol manager club secara langsung.
Di mana manager club Naimos itu selalu mendampingi aset berliannya. Karena tidak mau terjadi sesuatu jika sudah berada di antara para zombie hidup yang selalu merasa kedinginan dan butuh kehangatan tersebut.
"Jangan bicara kayak gitu, kalau nggak mau gue potong gaji lo!" ingat seorang pria bertubuh kekar, serta tampilan yang terlihat sangat menakutkan.
Gadis itu mendengkus kesal. "Ck! Mending gue nikah sama lo aja, Bang. Nggak apa deh jadi istri kedua. Dari pada beginian. Beneran kayak jablay deh, gue!"
Lah, kagak tahu apa jika dia memang beneran jadi jablay di sini.
Gadis itu langsung memekik tertahan ketika pinggangnya dicubit tanpa perasaan.
"Hmmm ... lo bilang apa barusan sama suami gue?" geram seorang wanita yang memakai hoodie dan juga selalu berada di dekat aset berliannya itu.
Gadis itu meringis dan mengatupkan tangannya ke arah wanita yang barusan mencubitnya.
"Bercanda, Tan ... bercanda. Lagian siapa juga yang mau jadi madu lo. Yang ada gue remuk semua, lo pakai buat samsak," sahut gadis itu.
Dengan dibantu Tania—sahabat dan juga istri dari manager tempat kerjanya ini, gadis idaman para zombie itu turun dari table. Tentu, Tania juga merentangkan sebuah kain yang dia bawa untuk menghalangi pemandangan menggiurkan nantinya dari asetnya itu. Lalu Tania melilitkan kain yang dia bawa ke pjnggang ramping aset nya tersebut.
"Udah kan kerjaan gue malam ini?" tanya gadis yang bernama Regina.
Ya. Seorang penari yang diidamkan oleh para zombie ketika malam hari di club Naimos itu bernama Regina Shivania Aresti. Mahasiswi yang tengah menunggu wisuda dan tengah menjalani pekerjaan sambilan sebagai penari club dan entah dia harus beruntung atau merasa sial, karena menjadi idola para zombie di sini sehingga sangat sulit bagi Regina untuk keluar dari pekerjaan yang sangat menjijikkan sebenarnya.
Betapa tidak. Dia harus berpakaian begitu minim, harus menahan rasa malu yang sengaja dia buang sebentar urat malunya jika malam tiba. Apa lagi jika sudah masuk ke club. Ditambah lagi Gina—sapaan akrab gadis itu juga harus rasa mualnya jika melihat salah dari para zombie itu sampai muntah di depannya. Jujur saja, Gina itu orangnya gampang merasa jijik terhadap yang seperti itu.
Namun, apa boleh buat. Sebagai kaum yang lapar akan duwid, Gina terpaksa menekan rasa jijiknya itu demi mendapat dana yang banyak untuk memuaskan perut dan juga untuk melanjutkan S2-nya nanti. Dan hanya pekerjaan inilah yang duwidnya banyak. Karena jika siang hari, Gina menjadi guru les anak SD dan SMP. Pernah ada tawaran buat anak SMA, tetapi Gina tolak. Sebab takut kalau sampai murid lesnya nanti tertarik kepadanya. Bakalan repot bukan? Pikir Gina. Karena sejatinya dia tidak menyukai brondong.
Nah, seperti itulah tingkat kepercayaan diri seorang Regina. Penari club Naimos yang terkenal akan kemolekan serta kemisteriusnnya. Sebab, sejauh ini belum ada orang yang mengetahui wajah aslinya seperti apa.
"Jam gue udah selesai kan, Bang?" tanya Gina lagi pada Sandi—manager club.
Sandi melihat jam yang melingkar di tangannya, lalu menganggukkan kepala ke adah Gina.
"Ya, udah selesai," lalu Sandi menatap ke arah istrinya. "Kamu temenin dia ganti baju ya, Yaang. Dari pada ini anak dibungkus beneran sama mereka. Kita yang rugi. Club jadi sepi ntat kalau nggak ada dia," ujarnya pada sang istri dan mendapat kecupan di kening.
"Siap, Mas. Kamu balik aja udah ke ruanganmu. Dia biar jadi urusanku," balas Tania.
"Yeeee ... pasangan suami istri somplak! Mana terang-terangan banget lagi niat jual gue di sini!" protes Gina tidak terima. Namun sadar, hubungan di antara mereka itu simbiosismutualisme. Jadi sama-sama saling menguntungkan dan membutuhkan.
Sandi tertawa mendengar omelan dari Gina. Pria itu kemudian meninggalkan istri dan juga Gina di depan ruang ganti. Karena di rasa tempat itu sudah aman. Banyak scurity yang berjaga di sana. Lebih lagi istrinya juga jago bela diri. Jadi bisa menjaga Gina dari zombie yang berniat membungkus gadis itu.
"Udah, buruan ganti sana. Gue tinggal ke toilet bentar, ya? Kebelet banget. Dari tadi nahan anu, cuma buat jagain lo biar nggak digigit zombie-zombie itu," pamit Tania yang langsung pergi ke toilet yang berada di dekat ruang ganti.
Sementara itu Gina menghela napas panjang. Lelah? Menyesal? Tentu Gina rasakan saat ini. Namun, mau bagaimana. Hidup di ibu kota itu harus kuat. Urusan perut sama pendidikan harus tetap stabil terjaganya. Tidak boleh oleng sedikit. Biar nanti kalau pulang ke Surabaya, dia bisa mendirikan sebuah usaha di sana. Atau paling tidak jadi direktur di perusahaan besar lah minimal.
"Andai gue anak orang kaya, gue nggak akan lakuin kerjaan beginian," gumam Gina yang mulai melepas topeng yang dia pakai.
Lalu gadis itu melangkah mendekat ke arah lokernya, lalu menyalakan lampu di ruang ganti tersebut.
"Huakh!" pekik Gina.
Betapa terkejutnya ketika ia melihat ada sosok lain di ruang ganti dan soalnya Gina terlanjur melepas topeng yang dia pakai tadi. Lebih parahnya Tania nggak ada di sana sekarang.
Seseorang yang memiliki tatapan begitu tajam itu mendekat ke arah Gina. Membuat Gina secara refleks mundur ke belakang.
"Siapa lo?!" sentak Gina. Mencoba tenang, meski aslinya sangat panik.
"Dua puluh ribu, bikin gue tersenyum malam ini." tawar pria itu dengan tatapan tajamnya.
Hai hai hai .... Akhirnya Yuta bisa sapa kalian. wkwkwk. Selamat menikmati novel yang ke ... Argh! Yuta lupa ini yang ke berapa. hehe. Suka ndak dengan anuku yang baru ini? hmm? tolong kerja samanya ya, Yaang. tolong, jangan tabung bab, secroll sampe bawah kalo baca. soalnya kalau kalian tabung bab atau loncat² kek kodok bacanya, Yuta enggak dapat bayar nanti. hiks. Mohon pengertiannya. Salangeyoooooo
Bab. 2
Ditawar dengan seharga bakso urat, eh, ralat. Bahkan harga bakso urat saja sekarang tiga puluh lima ribu. Ini malah dirinya ditawar segitu. Ya jelas membuat Gina langsung tertawa. Bukan menertawakan tawaran dari pria yang ada di hadapannya. Melainkan dirinya yang ditawar dengan harga segitu. Sungguh, Gina merasa dinistakan oleh kecantikan dan kemolekan tubuh yang setiap malam dipuja oleh para zombie di luar sana.
Bukannya merasa takut lagi dengan pria yang ada di hadapannya sekarang, gadis itu justru beringsut dan berjongkok di tempatnya. Menyembunyikan wajahnya di ujung lutut. Membuat pria yang menawarnya tadi menatap heran.
Perasaan dia belum menyentuh gadis di depannya, namun kenapa gadis itu seolah terlihat sedang menangis. Terbukti dari bahunya yang gemetar.
"Hei! Lo kenapa?" tanya pria itu mendekat ke arah Gina yang semakin keras nangis nya.
Karena takut dikira dirinya yang membuat gadis itu menangis seperti ini. Bahkan sampai gelenjotan seperti anak kecil yang tidak dikasih mixue.
"Huwaaa ....!" rengek Gina yang semakin menjadi. "Lo tega banget nawar gue dua puluh ribu! Sialan banget sih jadi orang. Kagak liat gue cantiknya minta ampun, hah!"
Gina terus saja merengek serta mengeluarkan uneh-unegnya pada pria yang kurang ajar menawar dirinya dengan harga yang membuatnya tertawa.
"Gue tau gue bukan orang kaya, Om! Tapi naikin dikit dong kalau mau nawar. Lipstikku aja harganya lima kali lipat dari tawaran lo!" teriak Gina.
Lalu tanpa di duga oleh pria yang kini juga ikutan berjongkok di depan Gina, Gina melayangkan pukulan demi pukulan ke arah pria itu.
Otomatis pria itu langsung menghindar serta mencrkal tangan Gina.
"Gimana kalau seratus ribu?" tawar nya lagi yang memang tidak punya hati. Seolah olah tengah menawar cabai di pasar.
Membuat Gina yang mendongak, menatap pria berkacamata dengan frame tipis tersebut mengerjapkan mata beberapa kali. Entah, sebenarnya pria yang ada di hadapannya ini mengerti apa tidak.
"Lo nggak sedang bercanda kan, Om?" tanya Gina menghentikan pukulan terhadap orang yang main masuk ke ruang gantinya tanpa ijin.
Kemudian Gina memutuskan untuk berdiri. Tentu, dengan menolak bantuan dari pria kurang ajar di depannya saat ini. Mengusap pipinya yang tidak basah sama sekali. Karena memang gadis itu tidak benar-benar menangis. Menangis tanpa air mata? Gina jagonya.
"Memangnya mau apa kok sampai nawar gue? Minta ditemenin tidur?" mulut Gina memang tidak bisa direm sama sekali jika sudah berhadapan dengan orang yang kurang ajar menurut gadis itu. "Kalau memang itu, apa lo nggak liat penampilan gue sekarang? Seratus ribu? Apa pantas?"
Gina pun memutar tubuhnya di hadapan pria itu. Kain yang menutupi kaki jenjangnya tadi masih dia kenakan. Sehingga kini yang terlihat begitu menggoda jalan bagian atas tubuh Gina.
Pria dengan wajah datar itu hanya menatapnya tanpa memberi tanggapan.
"Sebutkan saja!" perintah pria itu.
Gina menghela napas panjang. Memutar malas bola matanya.
"Hidup sedang capek-capeknya, malah ditawar seperti ini. Unik sekali memang hidup lo, Gi," gumam gadis itu. Mengabaikan tawaran yang diberikan oleh pria di dekatnya.
Gina memilih membuka lemari kecil yang berisi pakaian ganti miliknya, lalu berniat mengganti baju di toilet saja. Tidak lupa membawa topeng yang dia pakai tadi.
"Tunggu!" cegah pria itu. Membuat Gina benar-benar ingin mengunyah pria gila itu secara mentah-mentah. Tanpa perlu ada sambal terasi sebagai pelengkapnya.
"Apa lagi, Om! Gue udah capek banget ini. Dingin juga makai beginian lama-lama!" protes Gina.
Kalau saja tidak ingat ini club milik orang tua Tania, mungkin sudah Gina bikin pincang pria di hadapannya saat ini.
"Gue tidak menerima penolakan." tekan pria itu sangat tidak punya malu sedikit pun.
Gina mendengkus seraya menarik sudut bibirnya ke atas.
"Lo kira gue penari topeng monyet, apa! Enak bener main tawar menawar kayak gini. Ogah! Cari aja yang lain!" ujar Gina yang mulai tersulut emosinya gegara pria ini.
Tidak ingin mengeluarkan tenaganya hanya untuk berdebat dengan pria ini, Gina membalikkan badannya. Berniat untuk keluar dari sana. Akan tetapi, sepertinya memang pria ini ditakdirkan untuk menguji kesabaran yang dia miliki malam ini. Mana stoknya sudah sangat menipis.
Brak!
Pintu yang sudah Gina buka, terpaksa tertutup kembali karena di dorong dengan sangat keras oleh orang yang berada di belakang Gina. Membuat gadis itu tersentak kaget. Bahkan sampai terjingkat.
"Lo apa-ap—" Gina membalikkan badannya, berniat untuk mengomeli pria asing yang seenaknya saja masuk ke dalam ruang ganti tersebut.
Namun, suara Gina terpaksa tertelan kembali di saat posisinya begitu dekat dengan orang itu. Bahkan keningnya hampir saja menyentuh dagu pria yang jauh lebih tinggi dari nya. Padahal perasaannya ia sudah lumayan tinggi untuk ukuran perempuan.
Sementara itu, pria yang dari tadi membuat Gina naik tensi, langsung menarik kembali tangannya dari pintu yang sengaja dia tutup.
"Dua miliyar," ucap pria itu tiba-tiba sembari menjauhkan tubuhnya dari Gina. Membuat Gina mematung mendengar nominal yang disebutkan barusan. "Dua miliyar, sembuhkan penyakit impotenku." bisik pria itu yang semakin memberi spasi di antara mereka.
Gina tediam. Matanya berkedip lambat dengan mulut terbuka. Seolah tengah mencerna sesuatu yang sangat sulit sekali untuk diuraikan.
"Du-dua miliyar?" ulang Gina tergagap.
Pria yang ada di depannya mengangguk mantap dengan tatapan begitu tajam.
"Gue akan bayar dua miliyar, asal lo bisa sembuhkan penyakit impotenku," jelas pria itu lagi.
Sementara Gina menggelengkan kepala. Bukan maksud menolak. Hanya ingin menyegarkan otaknya agar bisa menelaah tawaran ini dengan benar.
Sangking shock nya, Gina krmbali duduk di kursi yang terbuat dari stainless di dekat pintu. Duduk di sana sambil memikirkan uang yang disebutkan nominalnya barusan. Karena memang selama dirinya hidup dua puluh dua tahun, Gina sama sekali belum pernah memiliki uang dua miliyar di rekeningnya.
Dan juga sebagai kaum yang sangat haus serta lapar akan duwid, tentu Gina tidak boleh gegabah dalam tawaran yang sangat menggiurkan ini. Kapan lagi coba dirinya mendapat tawaran seperti ini.
"Gue nggak bi—"
"Sudah gue bilang, gue nggak menerima penolakan!" tekan pria itu lagi dengan nada tinggi. Lagi dan lagi membuat Gina terjingkat, karena kaget.
Gadis itu pun dengan beraninya memukul pria yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk sekarang.
"Gue nggak budek, Om!" pekik Gina sangking kesalnya.
"Hanya mengingatkan."
"Ck! Terahe yo angel banget ngomong sama orang sepuh," cibir Gina yang ia yakin orang ini tidak akan mengerti maksud dari ucapannya barusan yang menggunakan bahasa jawa.
Maap, kemalaman Yaang. Si Ayang minta dicayang dulu soalnya. hehehe
Bab. 3
"Apa alasan Om minta bantuanku?" tanya Gina yang mengubah cara bicaranya sedikit sopan. Karena bisa saja orang di hadapannya ini akan menjadi sumber rekening miliknya kalau saja kerjasama di antara mereka mencapai kesepakatan.
Sekarang ini mereka berada di sebuah restoran, karena request Gina yang mengatakan jika gadis itu lapar. Tentu saja Tania juga bersama dengan dirinya. Buat jaga-jaga saja, setidaknya kalau dirinya sampai dibungkus, masih ada yang menolong. Kalau ternyata tidak, ya lumayan lah, bisa makan gratis di restoran. Kapan lagi coba makan enak seperti yang ada di hadapan mereka saat ini. Pikir Gina yang sangat pintar sekali memanfaatkan sesuatu.
"Habiskan dulu makananmu," perintah pria itu. "Jangan panggil gue om, karena gue belum setua itu untuk dipanggil om." protes pria yang mengenakan kemeja hitam yang di gulung sampai siku juga bawahan hitam.
Gina meringis setelah menyuap satu nasi beserta lauk pauk yang dia sendok tadi. Mengunyahnya sebentar, lalu bertanya lagi.
"Maaf, nama anda siapa? Karena kita belum pernah bertemu sebelumnya. Juga aku lihat anda baru pertama ini datang ke club Naimos. Kenapa menawariku pekerjaan seperti itu? Kenapa bukan penari yang lain? Atau di club yang lebih elit, mungkin?" cecar Gina yang tidak memberi jeda serta ruang sedikit pun untuk pria itu menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut Gina yang penuh akan makanan.
Tania yang melihat itu pun langsung menyenggol lengan Gina.
"Sopan dikit sama calon sumber ATM lo, bego. Jangan ceplas ceplos. Langka ini!" tekan Tania dengan nada yang begitu lirih. Bahkan saat ini mereka terlihat seperti tengah berbisik.
"Lah! Punya sahabat gini amat. Malah dukung banget kalau gue jual diri beneran," protes Gina dengan suara biasa. Membuat pria yang ada bersama mereka berdehem.
"Boleh gue bicara?" tanya pria itu dengan wajah serius.
Gina dan Tania menoleh ke arah pria yang sempat mereka nistakan keberadaannya. Lalu Gina mengangguk samar, sedangkan Tania mempersilahkan dengan isyarat tangannya.
"Naka Kamajaya. Panggil saja Naka. Pekerjaan, berangkat pagi pulang malam. Usia dua puluh delapan tahun. Belum menikah. Jadi nggak usah khawatir kalau nanti lo bakalan dicap pelakor. Palingan cuma ...."
"Nggak usah diperjelas. Gue udah tau gue siapa. Jadi tersinggung gue kalau lo perjelas!" sahur Gina cepat di saat pria yang bernama Naka itu belum selesai mengucapkan kalimatnya. Gaya bicara gadis itu juga kembali ke setelan awal.
Lagi dan lagi Tania langsung memberi cubitan di paha sahabatnya tersebut. Juga mendelikkan matanya sebagai peringatan atas sikap Gina.
"Bukan salah gue, lah. Dia duluan yang mau rendahin gue. Ya walaupun emang bener gue jablay, tapi lo tau sendiri. Selama ini gue nggak pernah di sentuh sama mereka. Cuma goyang sama pamer doang!" protes Gina sedikit ngegas.
Tania mengangguk. "Berarti sebutan lo selama ini?"
Gina menggaruk lengannya seraya meringis ke arah Tania. "Jablay," jawabnya.
"Ya sudah! Nggak usah tersinggung! Dia juga bener kok ngomongnya." teman Tania semakin jelas. Membuat Gina cemberut dan mengalihkan pandangannya.
"Tau gitu nggak gue ajak lo ke sini." gerutu Gina.
Sedangkan Naka yang sedari tadi diam dsn menyimak obrolan para wanita yang ada di hadapannya itu, menghela napas. Jika seperti ini, tidak akan kelar urusannya.
Pria itu pun kemudian berdiri setelah mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan menaruhnya di atas meja. Membuat Gina dan Tania sedikit heran. Lebih heran serta tak diduga, Naka menarik tangan Gina hingga gadis itu terpaksa berdiri dan mengikuti langkah pria yang memaksa dirinya saat ini.
"Eh, eh! Mau kemana ini, em ...!" Gina bingung sendiri mau memanggilnya bagaimana. Om atau kak. Atau mungkin mas. Karena kalau cuma dengan sebutan nama saja, itu jauh jauh kurang ajar. Sebab usia pria yang saat ini menarik tangannya selisih enam tahun dengannya.
"Diem dan jangan berisik!" sentak Naka menatap tajam ke arah Gina membuat Gina langsung kicep. Karena nada serta tatapan pria ini begitu mengerikan seketika ia rasa.
Sangat berbeda dari sebelumnya. Kali ini Naka bersikap lebih tegas. Karena permasalahan yang akan dia bahas benar-benar sangat penting menurutnya.
Sedangkan Tania ingin mengejar, akan tetapi ada seseorang yang menghalangi di tambah lagi suaminya juga menghubungi dirinya. Sehingga membuat wanita itu mengurungkan niatnya.
***
"Diam dan dengarkan apa yang gue katakan!" tekan Naka.
Perangai nya sangat berbeda dengan sebelumnya yang tampak santai. Kali ini aura otoriternya begitu kental. Sampai-sampai Gina yang biasanya banyak kata pun seolah kehabisan kata. Bukan bukan, maksudnya tidak mampu mengeluarkan sebuah suara dan hanya mengangguk menurut. Seperti anak anjing yang sudah berhasil dijinakkan dalam waktu sekejap aaja.
"Nggak usah bentak-bentak juga kali. Gue nggak budek," gumam Gina dengan suara lirih.
Saat ini mereka berada di dalam mobil milik Naka.
"Alamat lo mana?" tanya pria itu dengan nada dingin sambil menghidupkan mesin mobil.
"Jalan Kenanga," jawab Gina tanpa melayangkan protes. Tubuhnya terlalu lelah, malah diajak main culikan seperti ini. Sungguh menyebalkan. Waktu tidurnya terpangkas beberapa menit.
Naka pun menepikan mobilnya ketika berada di sekitar taman kota. Membuat Gina terkejut.
"Masih jauh, O—Pak!" protesnya yang tidak jadi memanggil Naka dengan sebutan om, tetapi malah memanggilnya dengan sebutan pak. Sial sekali bukan pria yang ada di balik kemudi tersebut.
Naka tidak menggubris lagi dirinya mau dipanggil apa. Terserah. Toh, bukan itu maksudnya di sini dan membawa gadis ini secara paksa.
Setelah mematikan mesin mobil dan memarkirkan mobilnya di tempat aman, Naka membuka kaca jendela untuk memudahkan udara masuk ke dalam mobil. Sehingga nanti mereka tidak terasa sesak karena kehabisan oksigen di dalam.
"Kembali ke tawaran gue sebelumnya," ucap pria itu dengan wajah seriusnya.
Membuat Gina yang semulanya ingin memejamkan mata, karena suasana terasa dingin dan enak untuk dibuat tidur sebentar. Akhir nya gadis itu mengurungkan niatnya. Membenahi posisi duduknya.
"Bentar bentar," cegah Gina. Gadis itu menggelengkan kepala, mencoba mengusir rasa kantuk yang mulai mendera. Mungkin karena tubuhnya juga begitu lelah yang menjadi faktor lainnya. "Tadi kata Kak Naka, aku suruh sembuhin penyakit Kak Nama?" ulang Gina yang mengingat inti dari tawaran Naka. "Jangan kaget gitu. Kurang sopan kalah aku ngomongnya sama kamu makai lo gue. Sedangkan usia Kak Nama aja jauh banget di atasku. Ntar dikiranya aku nggak ngerti attitude sama sekali. Meskipun minim, setidaknya aku paham dasarannya," jelas Gina ketika melihat raut Nama yang heran mengenai bahasa yang Gina pakai.
Cetak!
"Bagus kalau kamu tahu," sahut Naka menyentil kening Gina lalu pria itu menatap serius.
Kemudian Naka pun menceritakan mengenai penyakit yang dia alami dari sebab dan penyebabnya dari mana. Karena dulu tidak seperti itu. Naka juga bukan tanpa alasan tiba-tiba saja mencari seseorang untuk membantu dirinya.
"Kenapa harus aku?" tanya Gina yang juga serius. "Banyak gadis yang lebih seksi dariku."
Pertanyaan itu membuat Naka terdiam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!