"El, aku hamil,"
Bagai tersambar petir di tengah kemarau setelah pernyataan itu terdengar di telinga. Sendok di tangan pun terjatuh begitu saja. Tenaga rasanya hilang entah kemana karena kejutan di tengah musim kemarau ini.
"Jangan bercanda, Olla!" ujar Elzayin seraya menatap sang kekasih dengan lekat.
Dua garis merah yang terlihat di alat tes kehamilan semakin membuat Elzayin kehilangan tenaga. Senyum manis yang sempat mengembang dari kedua sudut bibirnya tenggelam bersama harapan yang sudah runtuh. Dia memijat kepala yang berdenyut tak karuan karena belum siap dengan semua kenyataan ini. Bagiamana mungkin di usia yang sangat muda ini dia harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi.
"Lalu kita harus bagaimana, Olla? Kita tidak mungkin menikah! Kita masih sekolah!" sungut Elzayin dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dijabarkan lagi.
"Terus aku harus bagaimana, El? Semuanya sudah terlanjur terjadi! Kita melakukannya dengan sadar dan berulangkali di rumah ini! Lalu sekarang kamu tidak mau bertanggung jawab heh?" cecar Yolanda dengan air mata yang terlihat memerah karena menahan tangis.
Elzayin dan Yollanda masih berstatus sebagai seorang siswa di salah satu SMA Negeri Surabaya. Mereka baru saja naik kelas dua SMA. Sedangkan, umur keduanya berbeda satu tahun—Elzayin masih berumur enam belas tahun, sementara Yollanda berumur tujuh belas tahun—mereka berada di jurusan dan kelas yang sama.
"Terus aku harus bagaimana, El? Apa aku harus menggugurkan kandungan ini?" tanya Yollanda seraya menatap Elzayin dengan lekat.
"Jangan!" sergah pemuda tampan itu.
"Apa sih mau mu ini? Menikah tidak mau, menggugurkan kandungan pun tidak diperbolehkan? Lalu, apa aku harus menanggung semua ini sendirian hah?" Sepertinya Yollanda sudah putus asa dengan keadaan yang menimpanya.
Hanya hembusan napas berat yang terdengar di ruang tamu tersebut. Elzayin tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi situasi ini. Masalah yang datang kali ini bukan lagi perkara bolos sekolah atau ketahuan merokok di sekolah, tetapi masalah masa depannya dan juga Yollanda. Dia pun sadar jika semua ini terjadi karena terlalu bebas berpacaran bersama Yollanda di rumah yang sepi ini.
Kedua orang tua Yollanda bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil di bidang pendidikan dan kesehatan. Setiap hari rumah berlantai dua ini selalu sepi karena tidak ada pembantu atau pekerja yang lain. Sementara kakak perempuan Yollanda kuliah di luar kota dan pulang hanya saat libur semester saja. Jadi, keadaan ini sangat mendukung kedua sejoli itu untuk memadu kasih dan bebas melakukan apapun di saat pulang sekolah. Letak rumah dipinggir jalan raya pun sangat menguntungkan keduanya, karena tidak ada tetangga yang tahu jika mereka berada di rumah tersebut.
"Coba kalau kamu tidak mengajakku berhubungan, pasti semua ini tidak akan terjadi, La," gumam Elzayin dengan pandangan lurus ke depan.
Yollanda menegakkan badan dan menatap kekasihnya dengan lekat. Kilat amarah terlihat jelas dari sorot matanya. Tentu Yollanda tidak terima dengan pernyataan yang baru terlontar dari bibir Elzayin itu. "Jadi, sekarang kamu menyalahkan aku, El? Semua ini karena salahku?" sungut Yollanda.
"Bisa jadi begitu," jawab Elzayin. Pemuda berumur enam belas tahun itu terlihat frustasi saat ini. "Semua yang sudah kita lalui ini adalah ide darimu kan, La? Coba saja kamu tidak mengajakku menonton film dewasa dan mengajakku mencobanya, pasti semua ini tidak akan terjadi. Sekuat apapun seorang pria menahan, kalau terus digoda dengan melihat tubuhmu yang sexy dan mulus, tentu tidak akan bisa menahan lagi." Suara Elzayin terdengar bergetar.
"Pengecut!" umpat Yollanda seraya memukul lengan Elzayin beberapa kali. "Semua ini bukan salahku sendiri! Kita melakukannya berdua! Tidak mungkin semua ini terjadi bila kamu berhati-hati!" Akhirnya Yollanda tidak bisa menahan tangisnya lagi.
Elzayin hanya bisa menerima perlakuan Yollanda saat ini. Dia tidak peduli meski Yollanda terus memukulnya karena semua ini tidak sebanding dengan rasa sakit yang mereka berdua rasakan. Elzayin frustasi karena tidak tahu harus bagaimana menyampaikan semua ini kepada kedua orang tuanya. Jelas saja ayahnya akan marah besar jika mengetahui semua ini. Harapan besar yang diberikan ibunya pun pasti akan runtuh seketika.
"Elza, Mama tidak bisa melarangmu berpacaran dengan Olla. Akan tetapi, Mama ingin kamu tetap menjaga batasan dalam berpacaran. Kalian berdua masih sekolah dan tentunya harus fokus pada pendidikan kalian. Jangan sampai kalian berzina seperti yang sedang marak terjadi saat ini. Ingat, Nak. Menikah itu tidak mudah, apalagi di umur yang masih belia. Mama harap kamu selalu mengingat nasihat Mama ini."
Setetes air mata lolos begitu saja dari pelupuk mata Elzayin saat teringat nasihat ibunya. Elzayin sangat terbuka kepada ibu sambung yang sudah merawatnya dari kecil. Dia menceritakan segala hal yang terjadi, kecuali mengenai hubungan yang dilakukan bersama Yollanda di rumah ini.
"Berapa usia kandunganmu, La?" tanya Elzayin dengan suara lirih.
"Mana aku tahu, El! Aku hanya melakukan tes kehamilan dengan alat ini," jawab Yollanda sambil menunjuk tespek yang ada di atas meja.
Bukan hanya jalan keluar atas permasalahan ini yang sedang dipikirkan Elzayin, tetapi ada beberapa hal yang ikut membuatnya merasa setres. Dia tidak tahu harus bagaimana menghadap guru besar perguruan pencak silat yang dia ikuti selama ini, karena Elzayin pun salah satu pelatih di sana. Tentu, ini adalah hal yang sangat memalukan di depan semua orang, bila perbuatannya diketahui oleh mereka.
"Olla, aku tidak tahu harus bagaimana saat ini. Aku pun bingung menghadapi situasi yang tidak pernah kita inginkan sebelumnya. Berikan aku waktu untuk memikirkan semua ini," ujar Elzayin sambil memakai jaket dan sepatunya.
"Apa itu berarti kamu bisa jadi lari dari tanggung jawab, El?" tanya Yollanda seraya menatap kekasihnya dengan lekat.
"Aku pasti bertanggung jawab." Elzayin beranjak dari tempatnya sambil menenteng ransel hitam miliknya.
"Awas saja jika kamu berani lari dari tanggung jawab ini! Aku tidak akan tinggal diam! Aku tidak mau menanggung malu sendirian!" ujar Yollanda saat melihat kepergian Elzayin tanpa berpamitan seperti biasanya.
Brak.
Elzayin menutup pintu berwarna putih itu dengan keras. Lantas, dia segera naik ke atas motor sport merah yang terparkir di halaman rumah Yollanda. Pemuda berusia enam belas tahun itu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi setelah keluar dari pintu gerbang rumah berlantai dua itu.
"Aku harus bagaimana sekarang? Tidak mungkin aku menikahi Olla, karena KTP pun aku belum punya. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin lari dari tanggung jawab. Ah, sial! Kenapa aku harus berada di situasi seperti ini!" batin Elzayin sambil memukul tangki motornya.
Kini, kedua anak muda itu harus merasakan buah dari benih yang mereka tanam selama ini. Tentu mereka akan mengorbankan pendidikan dan masa depan atas kejadian yang menimpa. Elzayin pun harus melepaskan prestasi dan pencapaian yang dia dapatkan selama ini di sekolah.
...🌹🌹🌹🌹...
Beban berat tengah dipikul pemuda yang sedang bersiap di depan kaca almari. Setelah kemarin mendengar berita yang mengguncang ketenangan diri, hari ini Elzayin tetap harus masuk ke sekolah dan tentunya bertemu dengan Yollanda. Dia belum bisa menemukan jalan keluar meski merenung sepanjang malam. Setelah selesai bersiap, dia bergegas keluar dari kamar dan berjalan menuruni satu persatu anak tangga.
"Ma, aku berangkat dulu," pamitnya setelah menemui Fina di ruang makan.
"loh kenapa tidak sarapan dulu? Ini sudah siap loh sarapannya," ucap Fina sambil menunjuk menu yang berjajar rapi di atas meja makan.
"Nanti saja, Ma. Aku buru-buru," jawab Elza seraya mengembangkan senyum tipis. Tak lupa dia menjabat tangan ibu sambungnya itu sebelum pergi.
Fina menatap kepergian putra kesayangannya itu dengan tatapan nanar. Dia melihat sorot mata yang redup serta semangat yang hilang dari Elzayin. Wanita cantik itu mengayun langkah mengikuti Elzayin yang sudah berada di luar rumah.
"Elza," ucapnya saat melihat Elzayin akan memakai helm teropong.
"Ada apa, Ma?" tanya pemuda tampan itu.
"Kamu baik-baik saja, Nak? Apa ada masalah di sekolah?" tanya Fina sambil menepuk bahu Elzayin.
Hati terasa pedih bagai tersayat belati tatkala mendengar pertanyaan itu. Apalagi, melihat ketulusan dari sorot mata wanita berusia tiga puluh tujuh tahun itu. Elzayin rasanya tidak sanggup membayangkan bagaimana perasaan ibu sambungnya nanti ketika kehamilan Yollanda terbongkar. Fina sendiri sangat memahami putra sambungnya itu. Hanya dengan melihat ekspresi wajah Elzayin dia bisa mengerti jika ada sesuatu yang sedang disembunyikan.
"Tidak, Ma. Aku baik-baik saja kok," jawab Elzayin seraya mengembangkan senyum tipis. Dia berusaha menyembunyikan kekalutan hatinya.
"Kamu bertengkar dengan Olla?" tebak Fina dengan pandangan yang tak lepas dari wajah putra sambungnya itu.
"Tidak, Ma. Kami baik-baik saja kok," sanggah Elzayin sambil meraih tangan Fina untuk digenggam, "Mama tidak perlu khawatir begitu. Aku tidak ada masalah apapun. Aku berangkat sepagi ini karena harus mempersiapkan praktik di laboratorium di jam pertama," jelas Elzayin untuk meyakinkan ibu sambungnya itu.
Fina hanya mengembangkan senyum tipis saat mendengar penjelasan itu, "jangan terlalu berlebihan dalam berpacaran. Apalagi, sampai mengganggu pelajaran di sekolah. Ingat, kamu memiliki cita-cita yang tinggi. Papa dan Mama pun semangat mencari biaya untuk kuliahmu nanti. Jadi, sekolah yang benar ya. Pacaran sama Olla gak perlu terlalu serius. Cukup dipakai untuk penyemangat saja. Jangan terlalu sering main di rumahnya Olla yang sepi itu. Bahaya, Nak," tutur Fina seraya mengusap rambut Elzayin dengan penuh masih.
Elzayin hanya mengembangkan senyum karena tidak sanggup menanggapi harapan besar kedua orang tuanya. Dia kembali menjabat tangan Fina sebelum berangkat ke sekolah. Tentu dia tidak sanggup berada lebih lama di dekat Fina, dia masih takut untuk mengatakan perihal yang sebenarnya.
Kehidupan damai yang selama ini dirasakan mendadak sirna. Dia hanya bisa termenung dan meratapi nasib yang sedang di hadapi. Elzayin belum siap menerima dampak atas perbuatan yang dilakukan selama ini bersama Yollanda, yang tak lain adalah cinta pertamanya.
Elzayin kembali mengingat awal berpacaran dengan Yollanda dulu. Mereka merajut kasih sejak kelas satu SMA. Semua berjalan normal dan tidak ada kontak fisik yang berlebihan. Memang semua ini terjadi karena Yollanda sendiri yang memulainya. Rasa penasaran yang begitu besar membuat Yollanda gelap mata hingga berani menggoda Elzayin untuk melakukan sesuatu yang tak seharusnya dilakukan. Apalagi, pergaulan Yollanda sendiri cukup bebas dan tak terkendali. Circle pertemanannya pun bukanlah gadis baik-baik. Mereka berlomba menunjukkan keberanian dalam berpacaran.
"Semua ini bukan salahnya Olla saja. Aku pun salah, kenapa mau saja melakukan dosa besar ini. Andai saja aku dulu mengikuti nasihat Mama, maka semua ini tidak akan terjadi. Aku terlalu bodoh karena terlalu mengikuti hawa nafsu. Andai dulu aku menolak datang ke rumahnya Olla, pasti semua ini bisa dihindari dan aku tidak keterusan melakukan hal ini lebih jauh lagi," gumam Elzayin dengan pandangan fokus pada jalan raya yang dilaluinya.
Hingga beberapa puluh menit kemudian, motor sport yang dikendarai Elzayin berhenti di tempat parkir sekolah. Dia bergegas turun dari motor dan mengayun langkah menuju kelasnya. Seperti hari-hari biasanya, putra sulung Benny itu selalu menjadi pusat perhatian beberapa siswi yang ada di sana. Selain dari wajah yang terlihat cool dan keren, Elzayin pun memiliki banyak prestasi di sekolah. Dia memenangkan beberapa kali olimpiade IPA dan matematika mewakili sekolahnya. Tentu saja, Elzayin pun menjadi idola di sekolah negeri ini.
"Kemana Olla? Biasanya jam kan segini sudah sampai di kelas," gumam Elzayin setelah berada di dalam kelas. Dia tidak menemukan sang kekasih di sana.
Elzayin duduk di bangkunya dan setelah itu dia menghubungi Yollanda beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban. Keadaan ini membuat Elzayin khawatir dan resah. Pikiran buruk terus menghantui karena tidak mau terjadi sesuatu kepada Yollanda.
"Semoga dia baik-baik saja." Elzayin bergumam lirih setelah menyimpan ponselnya.
Selama jam belajar berlangsung, Elzayin tidak bisa fokus pada pelajaran yang disampaikan guru. Tatapannya terfokus pada bangku yang biasanya ditempati Yollanda. Kosong tak berpenghuni. Elzayin hanya ingin datang ke rumah Yollanda untuk memastikan keadaan sang kekasih.
"Aku tidak bisa diam saja. Aku harus pulang sekarang untuk memastikan keadaan Olla. Akan tetapi bagaimana caranya?" batin Elzayin saat pelajaran kedua berlangsung.
Pada akhirnya, pemuda tampan itu nekat izin kepada guru kelas dan guru BK untuk pulang lebih awal. Dia menyampaikan jika sedang sakit dan harus kontrol ke rumah sakit. Meski awalnya sedikit rumit mendapatkan izin, akhirnya pemuda tampan itu berhasil lolos dari sekolah dengan izin resmi dari guru BK.
Motor sport melaju kencang di jalan raya yang tak seberapa ramai itu hingga sampai di depan rumah Yollanda. Dia mengayun langkah menuju teras rumah dan beberapa kali memencet bel yang ada di sisi kiri pintu hingga terdengar suara kunci yang terputar.
"Olla," gumam Elzayin ketika melihat sang kekasih muncul dari balik pintu. Keadaan Yollanda terlihat kacau dengan mata sembab dan rambut yang terlihat acak-acakan.
"Masuk," gumam Yollanda setelah membuka pintu tersebut dan setelah itu menutupnya kembali.
Yollanda menghempaskan diri di atas sofa empuk yang ada di ruang tamu. Dia terlihat lemas dan tak bersemangat. Tak ada senyum ceria yang biasa ditunjukkan di hadapan Elzayin. "Ada apa?" tanyanya sambil menatap Elzayin sekilas.
"Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak masuk sekolah?" tanya Elzayin dengan tatapan lekat.
"Aku sedang hancur, El. Aku tidak mampu menyembunyikan kehancuran ini di depan teman-temanku," jawab Yollanda dengan suara lirih. Air matanya pun mengalir dari pelupuk mata.
Sekeras apapun Elzayin menolak kehamilan Yollanda, dia tetap tidak tega melihat sang pujaan hati menjadi kacau seperti saat ini. Dia mendekap tubuh Yollanda dengan erat. Beberapa kali kecupan penuh kasih mendarat di kepala Yollanda. Tangis gadis berambut panjang itu pun akhirnya pecah di sana. Dia tidak mampu lagi menghadapi semua ini.
"Jangan menangis, Olla. Aku tidak akan meninggalkanmu. Mari kita berjuang bersama menghadapi semua ini. Kita pasti bisa menemukan jalan keluarnya. Please, jangan menangis seperti ini," ucap Elzayin saat menenangkan Yollanda. Rasa cinta yang begitu besar membuat Elzayin terlarut dalam kesedihan sang kekasih. Mereka saling memeluk erat untuk menyampaikan rasa yang dimiliki satu sama lain.
...🌹🌹🌹🌹🌹...
"Bagaimana cara menyampaikan semua ini kepada orang tua kita, El?" tanya Yollanda dengan suara yang bergetar. Gadis cantik itu masih berada dalam dekapan Elzayin.
Hanya helaan napas berat yang terdengar di sana karena Elzayin belum menemukan cara yang tepat. Tidak mudah mengungkap semua ini di hadapan orang tua karena selain umur yang masih sangat muda, status mereka pun masih seorang pelajar. Elzayin termenung sambil membelai rambut panjang Yollanda, tetapi tidak ada satu jalan keluar pun yang muncul dalam pikiran.
"Kita jalani saja semua ini sampai tiba pada waktunya nanti. Aku janji tidak akan meninggalkanmu walau aku sendiri belum tahu bagaimana cara bertanggung jawab atas semua ini," jelas Elzayin.
Bunga asmara telah gugur setelah buah cinta hadir dalam kandungan. Kini, bukan hanya tentang perasaan yang dipikirkan, melainkan tanggung jawab membesarkan dan menjaga buah cinta agar tumbuh tanpa gangguan apapun.
"Berarti kita tidak bisa sekolah lagi, El? Bagaimana dengan cita-cita kita? Bahkan, kamu memiliki cita-cita yang begitu besar, El. Semuanya pasti hancur dan tak akan pernah terwujud," ujar Yollanda seraya mengurai tubuh dari dekapan Elzayin.
"Terus mau bagaimana lagi? Semua sudah terlanjur terjadi. Cita-cita bisa kita pikirkan nanti, setelah masalah besar ini terselesaikan," gumam Elzayin seraya menatap Yollanda.
"Kalau begitu biarkan aku menggugurkan kandungan ini, El. Aku tidak mau semuanya hancur begitu saja," ujar Yollanda seraya meraih tangan sang kekasih.
"Tidak!" sergah Elzayin, "aku tidak akan membiarkan kita tenggelam pada dosa yang lebih besar lagi. Kita sudah berzina selama ini dan sekarang bila kamu menggugurkan kandungan ini, maka dosa kita akan bertambah. Kita tidak mungkin menjadi seorang pembunuh, Olla!" tutur Elzayin seraya menatap Yollanda.
"Janin ini belum bernyawa, El. Jadi, kita tidak membunuhnya!" kilah Yollanda.
"Lalu bagaimana jika terjadi sesuatu kepada kamu? Menggugurkan kandungan sangat berbahaya, Olla. Nyawa mu menjadi taruhan," tutur Elzayin seraya menatap iba sang kekasih.
Tangis Yollanda kembali pecah saat mendengar nasihat Elzayin. Gadis cantik itu sedang berada dalam keadaan sulit. Mempertahankan janin yang ada dalam kandungan sama saja mempertaruhkan nama baik dan harga dirinya. Sedangkan menggugurkan kandungan sama saja mempertaruhkan nyawanya.
"Elza, sebaiknya untuk saat ini dan beberapa hari ke depan, kita tidak berhubungan terlebih dahulu. Jangan menghubungiku sebelum aku menghubungi mu terlebih dahulu. Aku ingin menenangkan diri, El," pinta Yollanda seraya mengusap air mata yang membasahi pipi.
"Baiklah, jika memang seperti itu permintaanmu. Jangan ragu untuk menghubungiku bila kamu membutuhkan sesuatu. Aku pun akan fokus pada persiapan olimpiade matematika. Aku akan berusaha semaksimal mungkin karena bisa jadi ini prestasiku yang terakhir," jawab Elzayin seraya menggenggam tangan sang kekasih dengan erat.
Setelah saling menguatkan diri, pada akhirnya Elzayin pamit pulang. Entah dia akan kemana karena saat ini belum jam pulang sekolah. Satu hal yang pasti, dia butuh menenangkan diri. Pemuda berusia enam belas tahun itu melajukan motor sportnya ke arah jalan kota.
"Sebaiknya aku pergi ke cafenya tante Hanum saja, di sana pasti sepi jadi tidak perlu takut keciduk satpol PP," gumam Elzayin setelah menemukan ide yang cocok untuknya menghabiskan waktu.
Hanum adalah ibu dari teman Elzayin yang bernama Zahra. Mereka bertetangga dan dulu pernah satu sekolah di TK, SD dan SMP. Saat SMA mereka sekolah di tempat terpisah karena berbeda tujuan dan cita-cita. Hubungan mereka cukup dekat meski tak jarang Elzayin bersikap cuek di hadapan gadis ceria itu. Seringkali Zahra meminta bantuan Elzayin dalam mengerjakan tugas sekolah.
"Ck. Ada Zahra ternyata," batin Elzayin setelah berada di dalam cafe tersebut. "Semoga dia gak bawel hari ini," lanjut Elzayin.
Pemuda berusia enam belas tahun itu memilih duduk di sudut ruangan setelah pesan makanan dan minuman di sana. Tak lama setelah itu, Zahra sendiri yang mengantar menu tersebut ke meja yang ditempati oleh Elzayin. Gadis berparas manis itu ikut duduk di sana. Dia mengembangkan senyum manis di hadapan Elzayin.
"Tumben. Bolos?" tanya Zahra tanpa mengalihkan pandangan dari wajah tampan yang ada di hadapannya itu.
"Kepo," gumam Elzayin seraya mengaduk jus melon yang terlihat menggoda itu, "ngapain di sini? Bolos juga?" tanya Elzayin tanpa menatap Zahra.
"Masa iya aku bolos di tempat Mama. Aku sudah mulai praktek dan kebetulan dapat jatah libur hari ini," jawab Zahra sambil mengamati gerak-gerik Elzayin. "Ada masalah apa?" tanya Zahra tanpa basa-basi lagi.
Elzayin termangu setelah mendengar pertanyaan dari temannya itu. Dia mengernyitkan kening karena merasa heran dengan Zahra. "Gak ada tuh!" jawab Elza datar.
"Gak mungkin." Zahra duduk bersandar di kursinya dengan kedua tangan bersedekap, "aku udah kenal kamu sejak kecil, El. Aku sudah mengenal bagaimana dirimu begitu pun dengan sikapmu. Tidak mungkin seorang Elza bolos sekolah jika tidak memiliki alasan yang serius. Lagi berantem sama pacarmu?" Sekali lagi Zahra memberikan penjelasan yang membuat Elzayin menghela napas.
"Gak usah sok tahu. Jangan ganggu aku! Sana kembali ke kasir sana!" Elzayin mengusir Zahra karena sedang tidak ingin diganggu. Dia ingin menyendiri sambil memikirkan jalan keluar yang harus diambil setelah ini.
"Berhubung hari ini kamu pelanggan pertama yang datang, maka ada diskon lima puluh persen dari Nona manis yang sedang berbaik hati ini," ucap Zahra seraya beranjak dari tempatnya.
"Aku gak butuh diskon. Aku butuh sendiri, Ra! Sana pergi!" Elzayin berdecak kesal karena Zahra tak kunjung pergi dari hadapannya.
"Apapun masalahmu, jika membutuhkan teman untuk bercerita, aku siap menjadi pendengar yang baik. Semangat, El," ucap Zahra sebelum meninggalkan meja yang ditempati Elzayin.
Tidak bisa dipungkiri jika Zahra adalah gadis yang baik. Penampilannya sopan, jarang keluar malam meski berada di lingkungan metropolis. Akan tetapi, tak sedikitpun Elzayin memiliki perasaan kepada Zahra atau sekadar tertarik kepada anak pemilik cafe ini.
"Aku harus mencari pekerjaan untuk berjaga-jaga jika dalam waktu dekat ini harus menikahi Olla," batin Elzayin sambil menikmati jus yang segar itu.
Sementara itu di meja kasir, Zahra sedang mengamati gerak-gerik Elzayin. Dia mencoba menerka apa kiranya yang menjadi beban pikiran pemuda yang selalu menarik perhatiannya itu. Sejak kecil Zahra tertarik berada di dekat Elzayin. Tak jarang dia mencari alasan tidak bisa mengerjakan tugas agar bisa dekat dengan pemuda yang sedang termenung di sudut cafe.
"Aku tahu pasti saat ini kamu sedang memikul beban berat, El. Andai saja kamu mau bercerita, aku pasti membantumu. Aku menyayangkan saja, kamu harus bersama Olla. Dia bukan gadis baik-baik yang cocok menjadi kekasihmu. Andai kamu tidak dibutakan cinta kepada gadis itu, pasti kamu tahu bagaimana dia yang sebenarnya," batin Zahra tanpa mengalihkan pandangan dari objek indah yang tak jauh darinya. Yollanda, Zahra dan Elzayin dulu sekolah di SMP yang sama.
...🌹🌹🌹🌹🌹...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!