Banyak orang yang bilang, kalau hidup adalah serangkaian dari sebab-akibat. Hukum tabur-tuai. Menanam yang baik, maka akan memanen yang baik.
Padahal, itu hanya berlaku untuk segelintir orang aja. Ada, orang yang tak pernah menanam hal buruk namun ia tetap mendapatkan hasil yang buruk. Sekeras apapun mencoba, hanya kegagalan yang ia temui. Sekuat apapun bertahan, hanya kesakitan yang pada akhirnya tetap menjadi pemenangnya.
Seperti Zodi Akira. Bahkan saat sejak ia mulai membuka mata untuk melihat dunia, ia tak pernah menemui sosok sang ayah. Yang kata orang, ayah adalah cinta pertama bagi putri mereka. Zodi tidak punya yang seperti itu. Baginya, cinta pertamanya adalah Lasmi, sang ibu. Yang melahirkan dan membesarkannya seorang diri hingga hari ini.
Dia punya kakek tiri dan nenek yang juga sangat menyayanginya. Yang membantu mengurusnya saat ibunya sibuk bekerja sebagai asisten penata rias. Dan mereka ini, adalah cinta kedua bagi Zodi.
Selain itu, ia tak punya cukup cinta untuk di bagi.
Ayahnya pergi meninggalkan dia bahkan saat ia masih berbentuk janin di dalam rahim ibunya. Umurnya baru tiga bulan. Dan saat itu, bahkan ruhnya saja belum di tiupkan kepadanya. Tapi, ia sudah merasakan sakitnya di tinggal pergi.
Sekarang, Zodi sudah berusia 18 tahun. Baru beberapa bulan yang lalu ia tamat sekolah SMA. Dia bukan tergolong dalam murid pintar, jadi jangan heran kalau nilainya ada di urutan hampir belakang. Bisa lulus saja, dia sudah bersyukur. Padahal, ia selalu belajar, tapi seolah apa yang di pelajarinya itu tak pernah masuk ke dalam otaknya dan menjadikan dia sebagai murid yang biasa saja.
Hari ini, Zodi sedang duduk bersama dengan ibu dan juga neneknya. Di depannya ada sepasang paruh baya yang sedang berbincang meminta izin kepada Lasmi. Mereka adalah pasangan yang berasal dari Jakarta yang sedang mencari seorang asisten rumah tangga.
Ya, Zodi meng-iakan saat salah satu saudara mereka menawarinya sebuah pekerjaan di kota itu. Mendengar kata Jakarta, membuat Zodi berbinar. Siapa yang tidak ingin pergi ke Ibu Kota Indonesia itu? Zodi juga ingin pergi kesana. Teman-temannya sudah banyak yang pergi kesana. Ada yang sekedar main, ada juga yang memang ingin berkuliah disana.
Kuliah? Zodi tak pernah memikirkannya. Bisa tamat SMA saja, ia sudah bersyukur dengan itu. Akan lebih baik kalau setelah tamat ini ia bekerja saja. Membantu perekonomian keluarganya. Dan untungnya, ada saudara yang menawarinya.
Dan, deraian airmata Lasmi, kakek, dan neneknya, mengiringi kepergian Zodi yang telah di bawa oleh sebuah mobil menjauh dari rumah sederhana mereka.
Zodi, tinggal di sebuah desa pedalaman di Provinsi Sumatera Utara.
di dalam hati Zodi senantiasa merapalkan doa agar Tuhan senantiasa melindungi Ibu, Kakek, dan Neneknya, juga dirinya yang sekarang sedang merantau.
Jadi asisten rumah tangga, tak masalah. Toh ia biasa mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Memangnya apa sulitnya?
Itu sebelum ia tau, kalau keluarga yang ia ikuti bukanlah kalangan biasa seperti dirinya. Ternyata, beban pekerjaan yang di berikan kepadanya terlalu berat.
“Udah berapa kali saya bilang! Kalau nyapu itu, kipas anginnya di matiin!!!” bentak wanita bertubuh gempal itu pada suatu ketika.
Ya, Zodi lupa. Itu memang salahnya.
Ia hanya bisa membungkuk-bungkuk untuk meminta maaf.
Suami dari wanita itu yang merupakan seorang mantri, nampak tidak peduli saat melihat istrinya itu selalu memaki-maki Zodi. Pria berperut buncit itu hanya santai saja membaca koran paginya. Jangankan peduli, pria itu, bahkan tega melecehkan Zodi saat sang istri tak ada di rumah. Menggerayangi perutnya. Atau sengaja menyentuh bo kongnya saat ia sedang sibuk mencuci piring. Tapi, perlakuan pria itu tak pernah bisa Zodi sampaikan kepada istrinya. Ia takut. Karna ia tak punya siapa-siapa di kota ini.
Tiba titiknya dimana Zodi merasa sudah tidak sanggup lagi. Dengan hati-hati, ia meminta ijin kepada pasangan itu untuk berhenti bekerja. Tapi, malah makian yang ia dapatkan.
“Memang dasarnya kamu kurang ajar. Bilang aja kalau Mamakmu itu suruh kamu ikut cuma biar bisa naik pesawat! Udah jauh-jauh di bawa kesini, baru tiga bulan kerja udah minta berhenti.”
Zodi diam saja. Ia menundukkan kepala dengan menahan agar airmatanya tidak tumpah. Ia sedang mengumpulkan keberanian untuk sekedar membantah pasangan itu.
Satu hari sebelumnya, Zodi memberanikan diri meminjam telfon tetangga untuk menghubungi sang Ibu. Karna memang dia tak punya ponsel yang bisa ia gunakan. Sedangkan kalau di rumah majikannya, ia tak bisa bergerak bebas karna selalu diawasi oleh CCTV.
Kepada Lasmi, Zodi menumpahkan segalanya dan meminta sang Ibu untuk menjemputnya. Tentu saja, ia tak menceritakan tentang pelecehan yang kerap ia alami. Ia tak ingin menambah beban fikiran Ibunya.
Hari itu juga, Lasmi menelfon saudaranya yang tinggal di Jogja untuk menjemput putrinya. Hati ibu mana yang akan rela membiarkan putrinya tak di perlakukan dengan baik pada saat jauh di rantau orang. Saat itu, hati Lasmi bagikan di iris-iris.
Pukul 6 pagi ke esokan harinya, dua orang pria datang ke rumah majikannya. Zodi mengenali salah satu dari mereka. Dia adalah Pakde Ito, anak dari kakeknya yang memang tinggal di kota gudeg itu. Pakde ito datang bersama dengan temannya untuk menjemput Zodi.
Pakde ito dan temannya sedang berbincang dengan bapak majikan. Sementara Zodi, sedang mencuci piring bekas sarapan kedua majikannya. Ia merasa harus melakukan itu untuk terakhir kalinya. Sedangkan majikan perempuannya sedang mengawasinya dari meja makan.
Selesai mencuci piring, Zodi memberanikan diri untuk menemui majikannya. Wanita itu sedang menatap nyalang kepadanya. Seperti ada api yang menyambar-nyambar dari matanya.
“Maaf, Buk. Apa saya bisa minta gaji saya?” tanya Zodi hati-hati.
Ya, selama bekerja disini, belum sekalipun Zodi menerima upahnya. Alasan majikannya akan lebih baik kalau uang Zodi mereka yang menyimpan. Daripada habis begitu-begitu saja. Memangnya, Zodi bisa menghabiskan uang itu untuk apa? Toh selama ini Zodi tak pernah di ijinkan untuk keluar dari rumah itu. Kalaupun keluar ketempat tetangga, itu karna ia di suruh mengantarkan atau meminjam sesuatu dari mereka.
Wanita itu berdiri dengan di iringi oleh sebuah dengusan kemarahan. Ia masuk ke dalam kamar dan keluar tak lama setelahnya.
“Ini! Uangmu!” ujar wanita itu ketus. Bukan hanya ketus, wanita itu melempar lembaran uang itu tepat di wajah Zodi. Hati Zodi sakit mendapat perlakuan itu. Tapi lagi, ia tak berani melawan.
Dengan hampir meneteskan air mata, Zodi memunguti lima lembaran seratus ribuan itu dan melipatnya rapi kemudian memasukkannya ke dalam kantung celana jeansnya. Ia merutuki airmatanya yang ternyata tak mampu ia bendung.
Pukul 9 pagi, Zodi, Pakde Ito, dan temannya sudah tiba di stasiun Jatinegara. Sebuah tas jinjing sedang tak
luput dari genggaman tangan kecil Zodi. Padahal, kereta menuju Jogja baru akan berangkat nanti malam, pukul 10. Dan mereka, menghabiskan seharian itu di dalam stasiun saja.
*
halow warga, apa kabar kalian? maaf ya lama baru muncul lagi. belakangan bener-bener gak ada waktu buat nulis.
ini novel terbaruku. masih di keluarga prianggoro. ini cerita anaknya Ranu-Mia.
untuk beberapa bab awal ini masih menceritakan tentang perjalanan zodi sampai ke kota jogja. jangan lupa jejak dan dukungannya ya.
semoga kalian suka sama ceritaku kali ini.
selamat datang di novelku yang ke-7.
selamat membaca...
salam,
PiEl
Semua kenangan menyakitkan itu tak pernah benar-benar pergi dari ingatan Zodi. Bahkan setelah satu tahun berlalu, semua pengalaman pahit itu tetap bertengger di dalam kepalanya. Tak jarang, ia bahkan sampai meneteskan airmata jika teringat semua itu.
Hal yang ia harapkan indah, ternyata tak seperti itu. Tapi ya sudah, ia tak bisa melakukan apapun untuk mengubah apa yang sudah terjadi.
Deringan ponsel di tangannya membuat fikiran Zodi teralihkan. Ia menatap ponsel. Sebuah nama ‘Papa’ tersemat menandakan identitas si pemanggil. Ia segera mengangkatnya.
“Iya, Pa?- oh, iya. Zodi kesana sekarang.”
Ya, sore ini, Zodi sedang menunggu kedatangan Jatmiko, sang ayah yang sejak lahir tak pernah di temuinya. Beberapa bulan yang lalu ia mengirim surat ke Madiun, alamat Kakek dan Neneknya dari pihak Ayah. Berbekal alamat yang di berikan oleh sang Ibu, Zodi memberanikan diri untuk mencari Ayahnya. Sebuah keberuntungan jika mereka semua belum pindah dari alamat lama. Hanya saja, Jatmiko sekarang sudah berada di Kalimantan. Ia bekerja sebagai kepala sekolah di sana.
Dan satu bulan lalu, ayahnya itu menghubunginya. Dia berkata akan menemui Zodi hari ini. Karna itu Zodi menjemputnya di bandara sekarang.
Bertepatan dengan Jatmiko yang menghubunginya, saat itu, Zodi sedang sakit keras. Ia terkena campak di sekujur tubuh yang menyebabkan ia harus di rawat di rumah sakit. Dan pada saat sakit itu, ia mendapat kabar, kalau sang kakek telah meninggal dunia.
Sungguh sebuah pukulan yang sangat keras untuk Zodi. Terlebih, ia tak bisa pulang karna sakit. Hanya Pakde Ito saja yang pulang sementara istrinya tidak ikut karna harus menjaga Zodi.
Tapi, kehilanan itu segera terganti dengan kabar baik. Jatmiko menghubunginya. Sosok Ayah yang ia rindukan itu, telah menghubunginya.
Sebuah kehilangan telah di gantikan oleh pertemuan yang baru.
Jantung Zodi berdebar dengan tak beraturan. Ia berjalan menyusuri bandara untuk mencari sosok sang Ayah yang memang tak pernah di lihatnya. Selama ini, ia hanya mematri wajah Jatmiko yang ia lihat dari foto pernikahan Ayah dan Ibunya.
Kalau kalian beratnya apakah Zodi tidak membenci ayahnya? Tentu saja ia marah pada pria itu. Yang dengan tega meninggalkan ibunya tanpa sepatah katapun. Tanpa pamit, tanpa memberitahu. Hilang begitu saja.
Tapi, ia tidak bisa membencinya. Semakin ia membenci pria itu, maka akan tumbuh rasa rindu yang semakin menjadi pula.
Di foto, Jatmiko terlihat sangatlah tampan. Entah aslinya. Karna sudah 19 tahun waktu berlalu. Tidak mungkin tidak ada perubahan di wajah Jatmiko.
Sambil berjalan, Zodi sambil menelfon Jatmiko. Ia menghentiakn langkahnya saat ayahnya itu memberitahu kalau dia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dengan ransel di punggungnya.
Jantung Zodi tak berhenti berdesir. Pertemuan pertamanya dengan sang Ayah itu membuatnya salah tingkah. Pandangannya tak henti-hentinya menatap sosok pria paruh baya yang masih terlihat gagah dan tampan, mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dan sebuah ransel di punggungnya. Pria itu nampak sedang menelfon. Zodi yakin, kalau itu adalah ayahnya.
“Pa...” lirih Zodi di sebelah pria itu.
Pria itu berbalik. Menatapi Zodi penuh selidik dari kepala hingga kaki.
“Ini aku, Zodi.”
Jatmiko masih menatapi Zodi dengan tatapan menyelidik.
“Kamu bawa foto yang saya minta?” kalimat pertama yang terucap dari mulut Jatmiko begitu menyakiti perasaan Zodi.
Ia fikir, ia akan mendapatkan pelukan kerinduan dari ayahnya itu. Atau setidaknya sebuah pertanyaan mengenai kabarnya. Tapi, yang di tanyakan Jatmiko justru adalah bukti bahwa Zodi adalah anaknya.
Jantung Zodi seperti di remas oleh sesuatu yang tak telihat. Sakit, nyeri sekali rasanya.
Zodi segera mengambil selembar foto dari dalam tasnya. Foto pernikahan lasmi dan Jatmiko yang memang sejak dulu ia bawa. Ia menyerahkan foto itu kepada Jatmiko.
Jatmiko menerima foto itu kemudian memperhatikannya dengan seksama. Setelah puas melihati foto itu, ia mengalihkan tatapannya kepada Zodi. Kemudian, ia merengkuh tubuh putrinya itu ke dalam pelukannya. Mengelus punggung dan kepala Zodi dengan lembut.
Ada sebuah kehangatan yang mengalir ke dalam perasaan Zodi. Pelukan itu, mampu membuka sebuah pintu cinta di hatinya. Cinta untuk cinta pertamanya.
“Kamu udah sebesar ini,” kalimat Jatmiko terdengar bergetar.
Sementara Zodi tak sanggup menjawabnya. Ia hanya mampu menganggukkan kepalanya. Ia terlalu bahagia hingga tak tau harus mengucap apa dari mulutnya. Ia tak tau apa yang bisa mewakili perasaan bahagia yang membuncah itu.
“Ayo, kita cari makan sambil ngobrol,” ajak Jatmiko lagi.
Zodi mengikuti ayahnya itu berjalan selangkah di belakangnya. Jatmiko menghentikan taksi dan meminta taksi untuk mengantarkan mereka ke sebuah restoran bebek goreng terkenal di Jogja.
Mereka makan dalam diam. Zodi masih merasa ada kecanggungan dalam hatinya. biar bagaimanapun, ini adalah pertama kalinya mereka bertemu.
“Jadi selama ini kamu tinggal di rumah Pakde?”
“Enggak, Pa. Zodi ngekos di tempat kerja. Soalnya rumah Pakde jauh dari tempat kerja Zodi.”
“Selama ini kerja apa di sini?”
“Kerja di toko, Pa. Di Prambanan.”
“Zodi?” panggil Jatmiko. Ia membersihkan mulutnya dengan tisu setelah selesai makan.
“Ya, Pa?”
“Kamu mau kuliah, gak?”
Pertanyaan itu mampu membuat jantung Zodi semakin bergetar.
Kuliah?
Tentu saja dia mau.
Keinginan itu timbul setelah Zodi bertemu dengan teman SMA-nya yang sudah berkuliah di Jogja. Melihat temannya itu, nampak keren baginya. Namun waktu itu ia belum bertemu dengan ayahnya dan tidak punya cara untuk melanjutkan kuliah. Karna yang ia tau, kuliah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Walaupun ia punya sedikit tabungan hasil kerjanya selama ini, tapi Zodi rasa itu belumlah cukup untuk membiayai kuliahnya.
Perlahan, Zodi menganggukkan kepalanya. Ia merasa, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
“Udah daftar?”
Zodi menggeleng.
“Rencana mau daftar dimana?”
“Zodi gak tau, Pa. Selama ini Zodi gak punya fikiran mau kuliah.” Jawab Zodi jujur.
“Ya sudah, nanti Papa uruskan daftar di UGM, mau?”
Dan lagi, Zodi langsung menganggukkan kepalanya.
“Tapi Papa punya syarat.”
“Syarat apa, Pa?” entah mengapa, mendengar kata ‘syarat’, membuat jantung Zodi berpacu dengan cepat.
“Kamu gak boleh ngekos sendirian. Papa mau, kamu tingal sama temen Papa. Nanti Papa belikan sepeda motor buat transportasi kamu. Gimana?”
Zodi bimbang. Ia merasa ayahnya terlalu otoriter bahkan di hari pertama mereka bertemu. Tapi tak apa, mungkin maksud papanya baik.
“Terserah Papa aja.”
Dan setelah makan malam itu, mereka langsung bergerak menuju ke rumah teman yang di sebutkan Jatmiko tadi.
Sepanjang perjalanan, Zodi hanya diam saja di dalam taksi. Ia memilih memperhatikan jalanan. Namun, walupun matanya mengedar ke luar jendela, telinganya tetap fokus mendengarkan sang ayah yang sedang menelfon seseorang di sampingnya.
Taksi berhenti di depan sebuah rumah mewah berlantai dua di kawasan Blok O.
“Ayo, kita udah sampai,” ajak Jatmiko dan mereka kemudian turun dari taksi.
TBC
“Miko!!!” pekik sebuah suara seorang perempuan paruh baya yang mengenakan hijab lebar. Perempuan itu datang tergopoh-gopoh menghampiri Jatmiko dan Zodi yang sedang berdiri di depan rumahnya.
“Mia. Apa kabar?” Jatmiko dan perempuan itu bersalaman.
“Alhamdulillah, baik. Ya ampun. Udah lama gak ketemu. Ini?” tanya Mia seraya melihat kepada Zodi.
“Oh, ini anakku. Namanya Zodi. Zodi, kenalin, ini temen kuliah Papa dulu. Namanya Tante Mia.”
“Zodi, Tante.” Ujar Zodi menyalami dan mencium sopan punggung tangan Mia.
“Wahhh. Cantiknya. Ayo-ayo, kita masuk. Ngobrol di dalam aja.”
Jatmiko dan Zodi mengikuti Mia masuk ke dalam rumahnya.
“Silahkan duduk.” Mia mempersilahkan tamunya itu untuk duduk.
Zodi duduk di sebelah Jatmiko.
“Ranu mana?” Jatmiko menanyakan keberadaan suami Mia.
“Lagi mandi. Soalnya abis pulang dari kantor. Tunggu sebentar, ya.”
Mia kemudian berjalan ke dapur dan meminta asisten rumah tangganya untuk membuatkan minuman untuk tamunya. Sementara ia sendri menuju ke kamar untuk memanggil suaminya.
“Mas, udah selesai mandinya? Itu Miko udah datang.” Mia memberitahu Ranu saat suaminya itu sedang mengganti pakaian.
“Oh. Iya.”
Tak berapa lama kemudian, Mia dan Ranu sudah muncul kembali ke ruang tamu. Duduk bersama dengan Jatmiko dan Zodi.
Rasa zanggung luar biasa sedang dirasakan oleh Zodi. Apalagi saat para orangtua itu sibuk bercerita tentang masa lalu yang sama sekali tidak melibatkannya.
“Anak-anak kalian mana?” tanya Jatmiko kemudian.
“Yang cewek tinggal sama suaminya di Magelang. Kalau yang cowok, gak tau deh kok jam segini belum pulang,” jawab Mia.
“Jadi kalian udah mantu? Kenapa gak kasih kabar?”
“Lupa, Miko. Maaf. Hehehehehe.” Ranu menimpali.
“Zodi udah kuliah? Apa masih sekolah?” tanya Mia.
Zodi bernafas lega. Akhirnya, ia diajak bicara juga.
“Udah tamat sekolah, Tante. Tapi gak kuliah.”
“Ooh....” ada gurat rasa tak enak hati dari raut wajah Mia. Ia merasa sudah menyinggung gadis itu.
“Ngomong-ngomong masalah kuliah, besok rencananya aku mau daftarin Zodi kuliah di UGM.”
“Oh, iya. Bagus itu.” Mia antusias.
“Dan selama kuliah, boleh aku menitipkan Zodi sama kalian?” tanya Jatmiko hati-hati.
“Ya boleh dong, Miko. Aku malah seneng ada temennya. Gak apa-apa kan Zodi tinggal disini sama kami. Daripada ngekos sendiri. bahaya buat anak cewek. Lagian anak cewek Tante udah ikut suaminya. Jadi Tante gak ada temen lagi di rumah yang bisa di ajak cerita-cerita. Mau ya, Zodi?” Mia menatap Zodi dengan intens. Ia sungguh berharap gadis itu mau tinggal di rumahnya.
Itu semua di lakukan Mia untuk membalas budinya kepada Jatmiko. Dulu, temannya itu sudah banyak sekali membantunya. Lagipula, ia menyukai Zodi sejak pertama bertemu tadi.
Zodi diam saja. Ia masih mempertimbangkan tawaran dari Mia itu. Setelah ia memutuskan, ia menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Itu juga setelah Jatmiko menatapnya dengan tajam.
“Malam ini kamu nginap dimana, Ko?” tanya Ranu.
“Malam ini nginap di rumah Pakdenya Zodi aja. Sekalian pamit,” jelas Jatmiko lagi.
“Kenapa gak nginap di sini aja?” rayu Ranu kemudian.
“Cutiku cuma 3 hari. Jadi aku gak punya banyak waktu. Besok kami kemari lagi setelah mengambil barang-barang Zodi.”
“Ya udah kalau gitu.”
“Kami pamit dulu, Mia, Ranu. Makasih ya udah mau bantu aku nerima Zodi tinggal di sini.”
“Sama-sama.”
Mia dan Ranu mengantarkan Jatmiko dan Zodi sampai di luar rumah mereka. Setelah itu, ayah dan anak itu melesat menggunakan taksi menuju ke rumah Pakde Ito untuk pamit.
Semalam suntuk Zodi tak dapat tidur. Tadi ia di tanya oleh ayahnya ingin mengambil jurusan apa, dan Zodi belum terfikir ingin mengambil jurusan apa.
Dulu, pernah terbersit dalam benaknya ia ingin menjadi seorang dokter. Tapi karna merasa rendah diri, ia tak berani mengatakannya kepada Jatmiko.
Teringat obrolannya tadi bersama dengan sang ayah.
“Ambil guru saja.” Tawar Jatmiko tadi.
“Tapi Zodi gak percaya diri mengajar, Pa.”
“Jadi, kamu mau ambil apa kalau gitu? Jangan lama-lama mikirnya, Papa gak punya banyak waktu disini. Fikirkan baik-baik malam ini. Besok kita daftar dan kamu udah harus menentukan mau ambil jurusan apa.” Tegas Jatmiko.
Saat dalam ketegasan begitu, membuat Zodi jadi meringsut takut. Ia memang belum mengenal sifat Jatmiko. Jadi, wajar jika ia kaget dengan ketegasan ayahnya itu. Zodi hanya perlu memahami secara perlahan saja.
Bahkan sampai pagi, ketika mereka berdua berangkat ke kampus UGM untuk mendaftar, Zodi masih bingung mau mengambil jurusan apa. Ia menimbang banyak kemungkinan seperti peluang yang akan ia dapatkan ketika lulus nanti. Walaupun ia sudah berselancar di internet mencari informasi, namun ia tetap masih bingung juga.
“Apa Papa punya saran lain?” tanya Zodi pada akhirnya ketika mereka masih berada di dalam taksi.
“Kalau Papa maunya kamu ambil jurusan Matematika atau Biologi, atau sejenisnya. Biar kamu bisa ngajar kayak Papa.”
Zodi terdiam. Tapi ia benar-benar tak berminat untuk menjadi guru.
“Zodi pengen masuk kesehatan, Pa.” Akirnya Zodi berkata walaupun dengan suara lirih.
“Apa? Dokter? Perawat? Atau apa? kalau dokter papa gak sanggup biayain kamu.” Belum juga menjawab, Miko sudah bicara seperti itu.
“Kalau Kesehatan Masyarakat, gimana menurut Papa?” Zodi memilih itu karna semalam ia juga sudah mencari informasinya dan ia cukup yakin untuk mengambil jurusan itu sekarang. Sepertinya ayahnya tak keberatan jika ia megambil jurusan di kesehatan.
“Kamu udah yakin sama jurusan itu?”
“Insha Allah, Pa.”
“Ya udah, kita daftar Kesehatan Masyarakat.”
Ada secuil senyuman yang muncul di kedua sudut bibir Zodi. Ia senang bukan main. Keinginannya yang ia anggap sebagai angan-angan, kini bisa ia rasakan berkat sang Ayah.
Pukul dua siang, Jatmiko dan Zodi telah selesai mendaftar. Ujian berbasis komputer akan di laksanakan satu minggu kemudian.
“Abis ini, kita ke kos kamu ambil barang-barang-barang dan langsung pindah ke rumah Tante Mia.”
“Pa...”
Jatmiko menoleh kepada putrinya itu. Saat itu mereka tengah duduk di pelataran kampus. Di bawah pohon untuk istirahat.
“Kenapa?”
“Kalau boleh, bisa gak Zodi tetep di kos dulu sementara waktu. Lagian kan Zodi masih kerja, Pa. Nanti akhir bulan, setelah selesai ujian masuk, Zodi bisa resign dari toko dan pindah ke rumah Tante Mia. Kalau sekarang langsung pindah, kesannya buru-buru dan Zodi gak enak sama mereka, Pa.”
Jatmiko lupa kalau ia terlalu memaksakan kehendaknya kepada putri yang baru di temuinya kemarin itu. Ia bisa melihat ketakutan dari netra Zodi ketika menatapnya. Ia baru sadar kalau sepertinya Zodi masih kruang nyaman kepadanya. Perlahan, Jatmiko mengelus kepala Zodi dengan lembut.
“Hemh. Maafkan Papa ya. Kayaknya Papa terlalu memaksakan kamu. Kalau begitu mau kamu, gak apa-apa. Papa turutin. Tapi ingat, jangan lupa belajar. Waktumu seminggu buat belajar supaya di terima. Ya?”
Zodi mengangguk dan tersenyum. Rasa canggungnya sedikit demi sedikit mulai terkikis. “iya, Pa. Makasih banyak.”
*
TBC...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!