NovelToon NovelToon

Biarkan Aku Pergi

Bab 1. Kenyataan Pahit

Suara tamparan terdengar menggema di sebuah ruangan. Syarifa Hanna, atau yang lebih akrab disapa Hanna, tak kuasa menahan amarah pada suaminya.

Suami yang membersamainya selama dua tahun telah tega menodai pernikahan mereka. Ya, Wildan Gustian yang tak lain suami dari Hanna, diam-diam telah menikah dengan wanita lain.

"Kurang apa aku selama ini, Mas? Aku rela mendampingi kamu berjuang dari nol hingga sukses seperti sekarang, tapi dengan seenaknya kamu menikah tanpa izin dariku!" teriak Hanna.

"Aku ingin punya anak, Hanna. Sementara sampai sekarang kamu tak kunjung hamil," sergah Wildan tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Harus berapa kali aku bilang, Mas? Semua itu atas kehendak Tuhan, bukan kita yang menentukan," balas Hanna.

"Lalu harus sampai kapan aku menunggu, Hanna? Usiaku semakin bertambah dan aku tak kunjung memiliki anak. Sementara teman-temanku sudah punya anak," tukas Wildan.

"Jadi, mau tak mau kamu harus menerima Novita sebagai madumu. Dia juga akan tinggal di sini bersama kita," imbuh Wildan sebelum dia pergi meninggalkan Hanna yang masih tergugu.

Rasa sakit yang menggerogoti hati tak dapat disembunyikan, pernikahan yang diimpikan akan berjalan harmonis nyatanya menjadi buah simalakama.

Wanita mana yang tak hancur, jika belahan jiwanya telah menggoreskan luka yang amat dalam? Apakah dia akan sanggup tinggal satu atap dengan sang madu? Yang sudah bisa dipastikan akan semakin menambah besar luka di hatinya.

**

Di lain tempat, Wildan sedang berada di apartemen milik Novita. Dia mengatakan jika akan memboyong istri mudanya itu untuk tinggal bersama dengan Hanna.

"Kamu yakin, Mas? Apa mbak Hanna mengizinkan aku tinggal di sana?" tanya Novita.

"Dengan atau tanpa izin dari Hanna, aku tetap akan membawamu untuk tinggal di sana. Kamu juga istriku dan berhak tinggal di rumah itu," tegas Wildan.

Setelah membereskan perlengkapan dan keperluan milik istri mudanya, dia dan Novita langsung keluar dari apartemen.

Wildan berencana, setelah mengantar Novita ke rumah, dia akan pergi ke rumah orang tuanya. Dia sangat yakin jika mama dan papanya mendukung tindakannya untuk menikah lagi, demi mendapatkan keturunan yang akan menjadi penerus keluarga besar mereka.

***

"Dasar anak kurang ajar!" teriak pak Riswan uang kemudian melayangkan satu pukulan di pipi kiri Wildan.

"Pa, sudah! Jangan terbawa emosi!" Bu Ginan mencoba menenangkan sang suami yang sangat murka.

"Lepaskan papa, Ma! Papa ingin menghajar anak tak tahu diri ini," tukas pak Riswan.

"Apa kamu lupa, jika dulu kamu yang mengemis dan memohon untuk merestui pernikahanmu dengan Hanna? Dan sekarang dengan seenaknya kamu malah menikah lagi tanpa sepengetahuan Hanna," cecar pak Riswan.

Bu Ginan mengajak pak Riswan untuk duduk agar tenang. Sementara Wildan hanya menunduk sambil memegangi sudut bibirnya yang berdarah.

"Mama nggak habis pikir sama kamu, Dan. Sebenarnya apa maumu? Apa kamu tidak sadar? Jika yang kamu lakukan itu sama saja dengan menyakiti mama sebagai perempuan," ujar bu Ginan.

"Wildan ingin punya anak, Ma. Namun, sampai sekarang Hanna belum juga hamil," sanggah Wildan.

Bu Ginan menghembuskan napas dengan kasar seraya memijit pangkal hidungnya.

"Andai kamu tahu perjuangan mama dan papa dulu, mungkin kamu akan berpikir seribu kali untuk menikah lagi," ucap bu Ginan dengan tatapan sendu.

"Dulu mama sudah divonis dokter akan sulit hamil karena ada kista yang bersarang di rahim mama. Berbagai cara telah kami lakukan, hingga di tahun kelima pernikahan barulah kamu hadir," ungkap bu Ginan.

Hati Wildan serasa tersayat sembilu, melihat sang mama yang menangis karena tindakannya yang terlalu buta akan kuasa Tuhan.

"Lebih baik kamu pergi dari sini! Jangan pernah menyesal jika suatu saat nanti kamu akan kehilangan sebagian duniamu," ujar pak Riswan dengan dingin.

Akhirnya, Wildan memilih untuk pulang. Semua yang dia pikirkan nyatanya tak terjadi, berharap mama dan papa setuju dengan pernikahan ini, tapi justru malah sebaliknya.

Mobil yang dikendarai Wildan berhenti di halaman rumah, dia segera keluar dari mobil dan bergegas masuk rumah.

Setibanya di dalam, dia langsung disambut Novita yang khawatir karena melihat kondisinya. Sudut bibir yang berdarah dan pipi yang terlihat lebam.

"Mas, kamu kenapa? Kok, bisa jadi kayak gini," ujar Novita lalu menuntun sang suami agar duduk di sofa.

Setelah Wildan duduk, Novita beranjak ke dapur untuk mengambil air hangat dan handuk kecil untuk membersihkan luka.

Ketika akan kembali ke ruang tamu, Novita berpapasan dengan Hanna yang baru keluar dari kamar.

"Mbak, bisa minta tolong ambilkan obat pereda nyeri?" pinta Novita dengan pelan.

"Untuk siapa?" tanya Hanna dengan wajah nyaris tanpa ekspresi.

"Mas Wildan, Mbak," jawab Novita.

Hanna mengangguk dan ber-oh ria, dia segera menuju tempat di mana biasa menyimpan obat-obatan.

"Ini." Hanna memberikan obat pereda nyeri pada Novita, lalu dia segera berbalik badan menuju dapur.

Tak ada sedikit pun rasa khawatir di hatinya, yang ada hanya rasa kecewa dan sakit karena pengkhianatan yang dilakukan sang suami.

Novita hanya diam memandangi punggung Hanna yang menghilang dibalik dinding dapur. Dia menghela napas sejenak, paham dengan apa yang dirasakan istri pertama suaminya.

Wanita mana yang rela berbagi suami? Tak ada satupun wanita yang sanggup berbagi jiwa dan raga, kecuali dia wanita yang berhati besar.

"Aku bersihkan dulu lukanya, Mas. Setelah itu minum obat dan istirahatlah," tutur Novita.

...****************...

Keesokan pagi, setelah Wildan berangkat ke kantor, Hanna sedang berkutat di dapur membuat kue untuk mertuanya. Dia berencana ingin mengunjungi sang mertua, juga ingin menghindar dari Novita.

Novita yang baru keluar dari kamar dengan rambut setengah basah, berjalan menghampiri Hanna. Namun, belum sempat dia menyapa sang madu, perhatiannya teralihkan dengan bunyi bel rumah.

Mengerti jika Hanna sedang sibuk, Novita pun menuju depan untuk membukakan pintu. Setelah pintu terbuka, tampaklah seorang wanita paruh baya yang berdiri dengan tatapan dingin.

"Nyonya mencari siapa, ya?" tanya Novita, dia memang belum tahu wajah orang tua Wildan.

Tanpa menghiraukan pertanyaan Novita, Bu Ginan lantas masuk ke rumah dan menemui sang menantu yang ada di dapur.

"Lagi bikin apa, Han?" tanya Bu Ginan membuat Hanna langsung menghentikan kegiatannya.

"Mama! Kok, nggak bilang kalau mau ke sini? Padahal tadinya aku mau ke sana sekalian bawain kue kesukaan papa," sahut Hanna lalu mencium tangan ibu mertuanya.

Tak berselang lama, Novita menyusul ke dapur. Hanna yang melihat kedatangan madunya langsung meminta untuk membuatkan minuman Bu Ginan.

"Dia siapa, Han? Kok mama baru lihat. Kamu punya ART baru?" tanya bu Ginan seolah tak tahu siapa Novita.

Hanna melirik ke arah Novita yang menunduk setelah mendengar pertanyaan bu Ginan.

"Dia istri barunya Mas Wildan, Ma," jawab Hanna dengan tenang.

"Jadi, dia perempuan yang berani mengusik rumah tangga kalian," ketus Bu Ginan.

"Ma!" Hanna menggelengkan kepala sebagai tanda agar mertuanya itu tak menyudutkan Novita.

Bu Ginan yang melihat isyarat dari sang menantu hanya bisa menghela napas dengan raut wajah masam.

Ingin sekali beliau memaki istri muda putranya itu. Sebagai sesama perempuan, apakah dia tak punya hati nurani? Hingga mau dinikahi pria yang sudah memiliki istri.

"Kita ke mall, yuk! Sudah lama mama nggak shopping bareng kamu," ajak Bu Ginan.

"Boleh, Ma. Aku siap-siap dulu, sekalian nunggu kuenya matang," jawab Hanna kemudian berlalu menuju kamarnya.

Sepeninggal Hanna, Novita membawa secangkir teh hangat untuk bu Ginan.

"Silakan, diminum, Ma!" ucap Novita dengan pelan.

Bu Ginan menatap tajam Novita, beliau merasa tak suka dipanggil dengan sebutan 'mama' oleh menantu barunya itu.

"Jangan pernah memanggil saya dengan sebutan mama! Karena sampai kapan pun, menantu saya hanya Hanna seorang, mengerti!" tukas bu Ginan kemudian beranjak pergi meninggalkan dapur.

......................

Usai makan malam, Hanna langsung mengurung diri di kamar setelah membereskan peralatan makan. Dia sengaja menghindari suami dan madunya.

"Han!" Tiba-tiba Wildan masuk kamar dengan wajah tak enak dipandang.

"Ada apa?" tanya Hanna melirik sekilas sang suami.

"Kenapa kamu pergi ke mall tanpa mengajak Novita? Ingat, Han! Dia sekarang menjadi bagian dari keluarga kita," cerca Wildan.

Hanna bangkit dari duduknya lalu melangkah mendekati Wildan yang berdiri tak jauh darinya.

"Oh, jadi dia ngadu sama kamu. Dia punya kaki, kan? Masih tahu jalan, kan? Kenapa aku harus repot-repot ngajak dia? Sementara mama sendiri yang melarangku untuk mengajak istri barumu itu," pungkas Hanna dengan ketus.

"Jika tak ada hal penting yang kamu bicarakan, silakan keluar dari sini! Nikmatilah, masa pengantin baru kalian!" imbuh Hanna.

Wildan tak menyangka, istri yang dulu bertutur dengan lemah lembut dan selalu bersikap sopan padanya, kini justru berubah menjadi istri yang berani berbicara panjang lebar.

Dia lantas keluar dari kamar yang pernah ditempati selama dua tahun terakhir ini. Bukan ini yang dia harapkan, perubahan sikap Hanna sekarang mampu membuat hatinya dilanda gelisah.

Bab 2. Tak Lagi Sama

Hari-hari dilalui Hanna seperti biasanya, tetapi ada satu hal yang berbeda. Jika dulu dia selalu menyiapkan segala keperluan sang suami, kini dia tak lagi melakukan hal itu. Sebab sudah ada Novita yang kini telah menjadi istri Wildan, yang berarti adalah madunya.

Pagi ini dia telah bersiap untuk pergi ke suatu tempat, saat melewati ruang tengah langkah kakinya terhenti karena panggilan dari sang suami.

"Kamu mau ke mana sepagi ini sudah rapi?" tanya Wildan dengan sorot mata mencari tahu.

"Aku ada perlu sama seseorang pagi ini," jawab Hanna seperlunya.

"Sarapan dulu, Mbak. Aku udah masak tadi," sela Novita yang baru dari dapur bermaksud mengajak sang suami untuk sarapan.

"Makasih, aku sarapan di luar aja. Kasihan kalau temanku nanti nunggu terlalu lama," tolak Hanna.

Seketika senyum yang tergambar di bibir Novita pun hilang, berganti dengan mimik wajah sendu. Sementara Wildan yang melihat raut sendu istri barunya itu mencoba untuk membujuk Hanna agar mau menerima ajakan Novita.

"Menunggu sebentar juga nggak akan membuat temanmu marah, Han. Setidaknya hargai usaha Novita yang udah menyiapkan sarapan buat kita," ucap Wildan.

Dengan tatapan sinisnya, Hanna pun menjawab, "Lebih tepatnya sarapan untuk kalian berdua, Mas. Karena aku juga nggak nyuruh dia buat bikinin aku sarapan. Jadi, kalau mau sarapan, silakan! Sebab aku lebih menghargai perasaan temanku yang sudah sabar menunggu karena harus meladeni kalian pagi ini."

Tanpa menunggu ucapan Wildan yang akan membuatnya telat pergi, Hanna segera keluar dan menuju garasi. Dia menyalakan mobil lalu memacu kendaraannya ke tempat yang akan dituju.

Sementara itu, Wildan berusaha menghibur Novita agar sabar karena Hanna yang mungkin belum bisa menerima pernikahan mereka.

"Jangan putus asa, ya. Aku yakin secepatnya Hanna akan menerima kamu sebagai madunya," ucap Wildan.

"Iya, Mas," balas Novita disertai seulas senyuman.

***

Di sebuah perusahaan yang cukup besar, Hanna menuju ruangan CEO yang merupakan temannya sewaktu kecil. sesampainya di ruangan yang dia tuju, dia sudah disambut ramah oleh sekertaris temannya.

"Selamat datang, Nona. Bu Annisa sudah menunggu di dalam," sambut Maria, yang merupakan sekertaris teman Hanna.

"Terima kasih, saya ke dalam dulu," balas Hanna dengan ramah.

Tanpa mengetuk pintu, Hanna membuka pintu dan mengucap salam, "Assalamu'alaikum, An."

"Wa'alaikumsalam. Hanna, kamu udah datang. Silakan, duduk," jawab Annisa dan mempersilakan Hanna untuk duduk di sofa.

"Ya ampun, seneng banget aku bisa ketemu kamu lagi," ujar Annisa sambil memeluk Hanna penuh rindu.

"Aku juga seneng bisa ketemu kamu dan sekarang kamu sudah semakin sukses," timpal Hanna tak lupa membalas pelukan Annisa.

Mereka pun bercerita tentang masa kecil saat masih bersama hingga terpisah karena orang tua Hanna yang harus pindah ke luar kota.

"An, kamu lagi ada lowongan nggak?" tanya Hanna.

"Buat siapa?" Annisa balik bertanya dengan tatapan penuh selidik.

Sesaat Hanna bingung harus menjelaskan bagaimana. Karena dia tak berniat menceritakan masalah yang tengah dihadapinya, tapi jika tak berkata jujur tentang alasannya mencari pekerjaan, dia khawatir Annisa akan kecewa padanya.

"Sebenarnya ...," Hanna pun mau tak mau harus menceritakan semuanya, tentang dirinya yang dipoligami tanpa sepengetahuannya dan madunya yang tinggal satu atap dengannya.

Terlihat dengan jelas raut muka Annisa berubah menjadi emosi, bukan tanpa alasan sebab dia sangat menyayangi Hanna layaknya saudara sendiri. Bahkan dia yang sudah mengenal Hanna sejak lama pun tak pernah membuat Hanna sakit hati.

"Keterlaluan sekali Wildan, mentang-mentang dia kepala keluarga jadi berbuat seenaknya. Kamu kenapa nggak tuntut dia di pengadilan? Wildan menikah lagi tanpa persetujuan kamu sebagai istri pertama yang sah secara agama maupun negara," ucap Annisa.

Hanna mengembuskan napas perlahan, pandangannya lurus ke depan seolah itu bukan masalah besar baginya.

"Untuk apa mempertahankan lelaki seperti Mas Wildan? Aku bertahan semata ingin menyelamatkan apa yang telah menjadi hakku. Karena sedikitpun aku tidak akan rela wanita itu mendapat apa yang dimiliki Mas Wildan saat ini."

Hanna menatap Annisa dan kembali melanjutkan ucapannya, "Aku tidak ingin dianggap lemah jika harus mundur secepat ini, An. Aku sudah tak peduli dengan apa yang dia lakukan, yang aku fokuskan saat ini hanyalah mentalku aman dan bahagia dengan caraku."

Annisa menggenggam erat jemari Hanna, seolah dia sedang melihat Hanna kecil yang begitu tanggung dan pantang menyerah selagi dia benar.

"Apa pun keputusanmu, aku akan selalu mendukungmu. Bagiku, melihatmu hidup bahagia adalah yang paling penting," ucap Annisa.

"Jadi, bagaimana? Ada lowongan kerja tidak?" tanya Hanna.

"Untuk saat ini aku lagi nggak ada, Han. Nanti aku coba tanyakan pada temanku, barangkali dia sedang butuh karyawan di kantornya," jelas Annisa.

"Oke, nggak apa-apa. Kabari saja kalau memang ada lowongan," ucap Hanna.

"Pasti," balas Annisa.

......................

Sepulang dari kantor Annisa tadi, Hanna sengaja tak langsung pulang ke rumah, melainkan pulang ke rumah mertuanya.

"Han, kalau ada apa-apa atau kamu butuh bantuan, jangan segan buat kabari mama, ya! Mama memang orang tua kandung Wildan, tapi mama juga tidak membenarkan kelakuannya itu. Bagi mama, siapa yang benar itu yang akan mama bela," ucap Mama Ginan.

"Iya, Ma. Hanna pasti akan kasih tahu Mama jika Hanna perlu bantuan," balas Hanna.

"Untuk sekarang, apa yang kamu rencanakan? Nggak mungkin 'kan kalau kamu seterusnya bakal hidup satu atap dengan wanita itu?" tanya Mama Ginan.

"Saat ini Hanna belum merencanakan apa pun, hanya saja Hanna akan bertahan demi menyelamatkan hak Hanna selama ini. Setelah itu terwujud, kemungkinan Hanna akan pergi dari kehidupan mereka," ungkap Hanna.

" Maksud kamu cerai?" tanya Mama Ginan memastikan dan dijawab anggukan oleh Hanna.

Mama Ginan menghela napas panjang, beliau sudah terlanjur menyayangi Hanna dan tak ingin Hanna pergi. Akan tetapi, perbuatan putra sulungnya memang sudah sangat keterlaluan, beliau pun tak bisa memaksa sang menantu untuk terus tetap bertahan.

"Lakukan apa yang menurutmu baik, Han. Mama akan selalu mendukung keputusanmu jika memang itu yang terbaik. Satu yang mama minta dari kamu ...,"

"Apa, Ma?" tanya Hanna saat ibu mertuanya menghentikan ucapannya.

"Jangan pernah lupakan mama dan papa. Anggap kami seperti orang tua kandungmu, yang akan selalu ada untukmu," lanjut Mama Ginan.

"Iya, Ma. Bagi Hanna, kalianlah keluarga Hanna satu-satunya yang Hanna punya."

Mama Ginan pun lekas memeluk Hanna, mencurahkan rasa sayang kepadan sang menantu.

****

Menjelang Maghrib, Hanna baru sampai rumah. Dilihatnya mobil Wildan sudah terparkir di garasi, dia pun segera memarkirkan mobilnya.

Sambil mengucap salam dalam hati, Hanna membuka pintu rumah dan langsung disambut tatapan tajam sang suami.

"Bagus, ya. Pergi dari pagi, jam segini baru pulang. Ke mana aja kamu? Apa kamu nggak ingat kalau punya suami, hah? Bukannya bantu Novita urus rumah, malah kelayapan nggak jelas," ucap Wildan dengan suara lantang.

Tanpa rasa takut, Hanna mendekati Wildan lalu menatap tajam balik sang suami.

"Sudah selesai bicaranya? Boleh aku yang berbicara sekarang?"

Hanna menarik napas panjang untuk mengontrol emosinya karena dia masih mengingat jika pria di depannya ini adalah suaminya.

"Dengar, ya, Mas. Mulai saat ini aku akan mencari kebahagiaanku sendiri. Apa kamu lupa kalau kamu itu seorang imam? Yang mana jika imam itu melakukan sesuatu pasti akan diikuti oleh makmumnya. Seperti yang kamu lakukan, kamu mencari kepuasanmu sendiri dan aku pun begitu selagi tidak di luar batas wajar seperti kamu yang diam-diam menikah lagi tanpa sepengetahuanku."

Hanna membalikkan badan dan bersiap melangkah pergi dari hadapan Wildan, tetapi baru beberapa langkah dia kembali berhenti dan berbalik menatap sang suami.

"Satu lagi, aku tidak meminta istri mudamu untuk mengurus pekerjaan rumah. Kalau memang dia keberatan, kamu kerjakan saja seorang pembantu untuk mengurus rumah. Karena menurutku percuma jika aku harus ikut turun tangan membantu pekerjaan rumah sebab selama ini pengabdianku tak pernah dihargai."

Usai mengucapkan itu, Hanna segera berjalan menuju kamarnya tanpa menghiraukan sang suami yang mematung karena perubahan sikapnya.

Bab 3. Ardiansyah Mahendra

Hari ini Hanna lalui dengan mengurung diri di kamar, seolah kehidupannya sekarang lebih nyaman menyendiri. Bahkan, saat sang suami yang hendak berpamitan ke kantor pun, dia hanya menemui di depan pintu kamar.

Usai sang suami berangkat, Hanna kembali masuk ke kamar dan sibuk melihat perkembangan bisnisnya yang di kelola kakaknya. Dia memang belum bercerita tentang masalah rumah tangganya, dia hanya tidak ingin membebani sang kakak yang saat ini sedang hamil 5 bulan.

Tentunya, bisnis yang dimiliki Hanna tersebut tak diketahui oleh siapa pun termasuk Wildan. Semua dia lakukan semata untuk masa depannya dan anak mereka kelak. Akan tetapi, belum sempat dia diberikan kesempatan menimang seorang bayi, justru sang suami telah berani mengkhianati ikatan suci pernikahan mereka.

Hal itu tentu menjadi pukulan tersendiri bagi Hanna, segala impian dan harapan yang dia rajut kini harus sirna sebelum terbentuk sempurna. Dan yang menghancurkan adalah lelaki yang bergelar suaminya.

Saat sedang fokus dengan laptopnya, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Hanna yang sudah tahu siapa orangnya pun mengizinkan untuk masuk.

"Mbak, aku mau bicara," ucap Novita setelah diizinkan masuk.

"Bicara soal apa?" tanya Hanna tanpa mengalihkan perhatiannya pada laptop.

"Aku tahu Mbak Hanna masih belum bisa menerimaku, tapi bisakah kita hidup seperti layaknya orang normal? Aku janji tidak akan menuntut apa pun, Mbak. Bahkan, jika harus merelakan waktu Mas Wildan lebih banyak untuk Mbak Hanna," ujar Novita.

Seketika Hanna menghentikan gerakan jarinya, dia tak menyangka jika madunya berani berbicara hal itu. Apakah sebagi sesama wanita dia tak punya perasaan?

"Gampang banget, ya, kamu ngomong kayak gitu? Posisikan aku ini sebagai kamu, bagaimana perasaan kamu ketika orang yang kamu anggap sangat setia, ternyata tega menikah dengan wanita lain tanpa sepengetahuanmu?"

Kali ini Novita tak bisa membantah ucapan Hanna yang memang sepenuhnya benar, bahka dia tahu jika lelaki yang menikahinya telah beristri.

"Aku rasa kamu juga sudah tahu jika Mas Wildan sudah beristri, tapi kamu masih tetap mau menikah dengan dia. Di mana hati nurani kamu sebagai wanita? Sebegitu rendahkah harga dirimu sampai kamu rela dinikahi pria beristri?" lanjut Hanna dengan emosi yang sudah menggebu.

"Cukup, Mbak!" sentak Novita.

"Aku tahu, aku salah dalam hal ini, tapi bisakah kita hidup normal biar aku nggak selalu dihantui rasa bersalah karena sudah menyakiti kamu," ucap Novita diiringi isak tangis.

"Aku bukan malaikat, Nov. Jadi, jangan pernah minta aku untuk hidup sesuai kemauanmu itu. Karena prinsip hidupku, aku tak pernah mau berbagi apa pun, termasuk suami. Aku diam bukan berarti aku kalah dan mengalah, tapi karena aku sedang mempersiapkan diri untuk pergi dari kehidupan kalian," ujar Hanna.

"Jika sudah tidak ada yang dibicarakan, silakan, keluar dari kamarku," sambung Hanna lalu kembali fokus dengan laptop.

Dengan hati yang berkecamuk, Novita pergi meninggalkan kamar Hanna. Jujur saja, dia hanya ingin hidup damai tanpa dibayangi rasa bersalah. Dia tak berniat menyakiti hati Hanna, tapi dia juga sangat mencintai Wildan dan tak ingin kehilangan lelaki itu. Katakanlah dia egois, ingin bahagia di atas penderitaan wanita lain.

......................

Malam harinya, Wildan merasa ada yang aneh dengan istri mudanya itu. Wanita itu lebih banyak diam dan melamun, tak seperti biasanya yang selalu ceria saat dia sudah pulang dari kantor.

"Kamu kenapa dari tadi diam melamun terus? Apa Hanna sudah menyakiti kamu?" tanya Wildan seraya menggenggam lembut tangan Novita.

Novita buru-buru menyanggah pertanyaan sang suami karena tak ingin Wildan berasumsi buruk tentang Hanna. "Enggak, kok, Mas. Mbak Hanna sama sekali nggak nyakitin aku, bahkan seharian ini Mbak Hanna nggak keluar dari kamar."

Novita sengaja tak menceritakan tentang kejadian siang tadi. Dia tak ingin terjadi pertengkaran di rumah itu yang kemudian akan semakin menambah rasa bersalahnya.

"Nggak keluar kamar seharian?" tanya Wildan memastikan.

"Iya, Mas. Aku ajak untuk makan siang bersama saja Mbak Hanna menolak, dia makan setelah aku selesai makan," terang Novita.

"Ya sudah, mungkin dia masih butuh waktu buat menerima keadaan yang sekarang," ucap Wildan.

"Mas .... Apa nggak sebaiknya kamu bagi waktu untuk aku dan Mbak Hanna? Semenjak aku di sini, kamu lebih intens bersamaku dibanding Mbak Hanna yang seharusnya jauh lebih diutamakan. Kalau kamu lebih condong ke aku, itu sama saja kamu telah berbuat dzalim pada Mbak Hanna karena kamu lalai dengan kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang suami," tutur Novita.

"Mbak Hanna masih sah istri kamu, Mas. Dia masih berhak mendapatkan nafkah lahir dan batin dari kamu. Jangan karena ada aku di sini, kamu jadi mengabaikan dia," sambung Novita.

Wildan mulai merenungkan perkataan Novita, dia akui selama menikah lagi, dia memang hampir tak pernah memerhatikan Hanna yang jelas-jelas lebih berhak atas dirinya.

Kesenangan sesaat telah membutakan hatinya, dia tak pernah meluangkan waktu sejenak sekadar mengobrol berdua dengan Hanna. Dia benar-benar merutuki kebodohannya yang secara tak langsung telah menyakiti dan menghancurkan perasaan sang istri.

***

Pukul 9 malam, Wildan memberanikan diri untuk masuk ke kamar utama, yakni kamarnya bersama dengan Hanna dulu. Saat pintu terbuka, suasana yang dia rasakan sangat berbeda. Terasa lebih dingin dan sunyi, seperti tak ada penghuninya.

Perlahan kakinya melangkah menuju balkon kamar, menyusul sang istri yang sedang duduk di sana. Setelah langkahnya semakin mendekat, dia bisa melihat dengan jelas raut bahagia yang terpancar dari wajah Hanna. Meski, raut bahagia itu bukan karenanya, tetapi dari seseorang yang tengah menelepon sang istri.

Samar-samar dia mendengar percakapan antara Hanna dan si penelepon. Hingga perkataan terakhir Hanna, membuat mematung dengan dada yang bergemuruh sebab sang istri menyebut nama seorang pria yang sangat dikenalinya.

"Ardiansyah Mahendra," gumam Wildan.

"Ada hubungan apa Hanna dengan temannya itu? Nggak mungkin jika Hanna berselingkuh di belakangku," batin Wildan.

Tak ingin larut dalam asumsi yang belum pasti, Wildan memberanikan diri untuk bersuara seolah dia baru datang.

"Han," panggil Wildan.

Hanna segera menoleh saat dirinya dipanggil, dia segera mengakhiri panggilan karena tak ingin sang suami mendengar obrolannya meski sebenarnya Wildan sudah mencuri dengar sebelumnya.

"Ada apa? Sudah malam, kenapa Mas ke sini? Kasihan nanti Novita nyariin kamu, disangkanya aku yang minta kamu buat ke sini." Hanna berkata seraya berjalan masuk dan menutup pintu yang menghubungkan ke balkon.

"Justru aku ke sini karena Novita yang minta," ujar Wildan.

Hanna tersenyum sinis mendengar ucapan sang suami. "Ya, aku tau. Secara kamu sudah tidak membutuhkanku, jadi buat apa datang ke mari."

"Bukan begitu maksudku, Han," sanggah Wildan.

"Lalu apa? Bukannya sudah jelas? Selama kamu ada istri baru, apa pernah kamu melihat aku? Menganggap bahwa aku ini adalah istri kamu. Enggak 'kan? Karena yang ada di pikiran dan hatimu sekarang hanya Novita, Novita, dan Novita. Jadi kamu nggak perlu menyanggah ataupun membuat alasan yang membuatku semakin membencimu," sela Hanna.

"Lebih baik kamu keluar sekarang! Aku mau istirahat," ucap Hanna mengusir sang suami.

Wildan yang menyadari Hanna dalam kondisi emosi terpaksa mengurungkan niatnya, tetapi sebelum pergi dia memberanikan diri untuk menanyakan ada hubungan apa Hanna dengan Ardiansyah.

"Oke, aku akan keluar, tapi sebelum itu aku ingin bertanya. Ada hubungan apa kamu dengan Ardiansyah?"

"Apa itu hal penting yang harus aku jawab, Tuan Wildan? Mau aku berhubungan dengan siapa pun itu sudah bukan urusanmu lagi. Sebab aku masih bisa menjaga batasan dalam sebuah hubungan, jangan samakan aku dengan kamu," ketus Hanna.

Akhirnya, Wildan meninggalkan kamar dengan perasaan tak karuan. Dia pun memutuskan untuk mencari tahu sendiri perihal Hanna dengan Ardiansyah. Karena dia tidak pernah rela Hanna berpaling pada lelaki lain.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!