Istriku sungguh pandai memasak. Kemarin dia habis membuatkan bubur ayam untuk sarapanku. Pagi ini dia memasak ikan bakar sambal bawang lengkap dengan lalapan kubis dan kemangi. Besok rencananya dia mau menumis kangkung berlauk cumi goreng. Sungguh kreatif caranya memberi nama pada makanan yang begini melulu. Hambar, alot, kotak, dan berwarna putih berbintik cokelat. Setiap hari inilah makanan kami. Hasil dari perubahan iklim drastis yang menerpa seluruh negeri.
Aku muak!
Aku rindu masa kecilku dulu ketika nama-nama makanan menggambarkan kenikmatan yang sesungguhnya. Kini lidahku mati hingga menular ke pikiranku. Serasa aku menyerupai robot-robot yang tengah dikembangkan itu. Meskipun sudah canggih, bisa bergerak lentur, tapi dalamnya beku. Ini hanya gara-gara tidak bisa makan enak.
“Mas Pah, kok ikannya cuma dipandangi? Nanti ikannya kege-eran terus menggaet Mas Pah lho.” Istriku datang, langsung memijat bahuku.
“Si Bun emangnya mau Mas Pah nikah lagi sama ikan? Bolehlah. Tapi mana ikannya?”
“Mas Pah kena apa toh? Kok hari ini suram begitu?”
Aku merenung sejenak sambil mengamati kotak putih alot berbintik cokelat yang hambar itu. Membayangkan ada sirip di kedua sisinya, dan bau kecap terbakar menusuki hidung. “Si Bun masih ingat rasanya kecap?”
Istriku hendak menganggukkan kepala, tertahan, lalu hendak menggeleng dan tertahan lagi.
“Sudah kuduga. Aku sebenarnya kasihan pada anak-anak kita, tidak pernah merasakan yang namanya kecap. Seandainya masih bisa menanam kedelai…”
“Mas Pah tahu tidak? Itu tuh di daerah pegunungan sebenarnya masih ada tumbuhan lho.”
“Ya, itu ‘kan dimiliki pemerintah. Yang mengelola pemerintah buat dijadikan makanan aneh ini. Temanku itu juga kerja di sana, Si Bun. Katanya bahan alaminya sedikit, campurannya banyak. Jadinya ya begini alot dan hambar macam sandal.”
Aku merasakan tepukan di bahuku, lalu berganti pijatan hangat. Otot-ototku sedikit mengendor.
“Mas Pah tahu tidak kalau sandal itu ada rasanya?”
Aku melabuhkan pandangan ke mata istriku. Dia menyambung, “rasa kaki.”
Tawa meledak dari bibir istriku. Aku mengerucutkan bibir, mendengus lewat kedua lubang hidungku. Kudorong piring berisi makanan aneh itu dengan kasar.
“Mas Pah ngambek? Jangan dong nanti Si Bun susah. Oh ya, sebenarnya Gunung Merbabu itu tidak dimiliki pemerintah lho.”
Hatiku terketuk. Aku kembali melabuhkan pandangan ke mata istriku. Dia masih memijatku sambil melanjutkan ceritanya, “katanya, di lereng Merbabu pernah ditemukan mayat yang banyak, masih baru. Itu orang-orang kiriman pemerintah untuk meneliti kondisi di Merbabu. Lain waktu ditemukan juga mayat. Mungkin dari orang-orang yang berniat menjarah. Anehnya, semua mayat itu meninggal dengan luka cabikan hewan. Karena begitu banyaknya korban, semua akses menuju Gunung Merbabu disegel. Dan karena itu juga, Gunung Merbabu tampak segar dipandang mata. Mas Pah tahu kenapa?”
Sedari tadi mulutku terbuka lebar. Pikiranku tiada henti menggambarkan pemandangan yang dulu pernah kusaksikan sewaktu kecil. Rimbunan pohon mangga di pelataran rumah bertahta di atas rumput hijau. Seluruh pagar berhiaskan bunga mawar aneka warna. Tak terkecuali deretan tanaman yang dikumpulkan ayahku sebab hobinya.
“Si Bun, kira-kira bakal seperti apa isi Gunung Merbabu itu?”
“Ya tidak tahu, Mas Pah. Bisa jadi juga tidak sesubur yang kita bayangkan. Jangan lupa fakta kalau ada hewan buasnya!”
Istriku berhenti memijat. Dia mengambil piring yang belum termakan isinya. Aku tidak peduli jika perutku kosong pagi ini. Kurasa, aku akan membolos kerja. Hasrat ingin pergi ke lereng Merbabu untuk melihat kembali hijaunya alam.
Aku menggelengkan kepala keras-keras sampai sadar dari gagasan tadi. Namun, justru rasanya semakin kuat. Aku mengambil kunci mobil, melenggang keluar rumah. Panas terik menyengat kulit, jalanan menyilaukan mata dengan gersangnya daratan. Aku masuk ke mobil, menghidupkan pendinginnya sampai maksimal, lalu melaju ke toko peralatan kemah.
***
Jadi, aku berhasil mengumpulkan peralatan yang dibutuhkan untuk mendaki. Lalu, kuterobos pagar pembatas. Aku melewati perumahan, tetapi sudah tidak dihuni. Aku terbayang cerita istriku tentang hewan buas pembunuh banyak orang, menerka apa jenisnya dan di mana kemungkinan bertemu dengannya. Setelah empat jam mendaki, dari adanya sinar mentari yang menyengat sampai hawa dingin menyergap, tibalah aku di kawasan hutan.
Aku tersesat.
Kalau kulihat peta usang yang kubeli seharga lima lembar uang warna merah―karena termasuk dalam kategori benda antik masa kini―di toko penjual alat kemah, aku sudah mencapai ketinggian dua ribuan meter. Menurut petunjuk arah ini, jika aku mendaki dua jam lagi, aku akan sampai di sabana. Masalahnya, aku ada di sebelah mananya hutan? Tanpa jamahan manusia, hutan ini semakin lebat. Aku heran sebab gunung ini tampaknya tidak terkena dampak perubahan iklim.
Aku menggenggam tanah, meremas-remasnya dengan jemari. Seketika hatiku merasa tenang. Angin sejuk membelai wajahku. Aku rindu perasaan ini. Perasaan yang membuat sepanjang tulang punggungku merinding oleh haru dan ketenteraman.
Kuregangkan jemari tanganku, membiarkan tanah luruh dari sela-selanya. Deru udara yang lembut mengantarkan butiran tanah kembali mendekam dalam pelukan bumi. Aku menumpahkan sisanya, menetapkan hati untuk menelusuri lebih jauh isi gunung ini. Sampai sekarang aku masih aman.
Namun, aku bodoh.
Aku akui ini. Tidak kepikiran untuk membeli jas hujan dan sepatu bot, padahal ini adalah musim hujan. Musim yang mengatakan bahwa ia akan lebih sering menangis di dataran tinggi. Musim yang dilupakan banyak orang karena jarang terjadi. Aku mendirikan tenda dalam keadaan kuyup. Pergerakanku melambat dengan beban pakaian yang semakin berat. Deru angin menambah susah karena menggigilkan raga. Terkadang aku mendengar gemuruh seakan keluar dari perut hewan buas. Aku meneliti sekitar.
Kabut terbentuk dari atas hingga membatasi jarak pandangku. Mau tidak mau, aku harus berkemah sejenak. Mengistirahatkan kaki yang penuh bilur sebab otot-otot yang mengejang saking kagetnya. Kudengar kakiku menjerit selama pendakian tadi, tetapi kubiarkan saja, dan inilah hasilnya. Tidak begitu buruk, kurasa.
Yang parah adalah masalah mulut ini. Ia enggan disumpali makanan batangan yang alot berwarna putih berbintik cokelat tanpa rasa ini, apalagi setelah menemukan alam yang masih asri. Aku berharap menemukan buah atau hewan yang bisa dimakan, tetapi aku belum mendapati satu pun. Bahkan jamur pun tidak ada.
Hujan tidak berlangsung lama. Aku segera membereskan tenda, melanjutkan penelusuran. Langkah kakiku menjadi lambat gara-gara membawa beban air yang tersimpan dalam pakaianku. Aku tidak mau berganti karena hanya punya satu set pakaian yang akan kupakai besok―meskipun juga sama-sama basah. Yang terpenting, aku harus segera sampai di sabana. Bahkan dari sewaktu kecil, ayah berkata bahwa hutan bukanlah tempat yang aman.
Kabut semakin pekat saja, dan warnanya menggelap. Aku melihat jam tanganku―untungnya anti air sehingga ia masih bisa menggerakkan tangan-tangan kecilnya. Biasanya pada jam segini aku baru tiba di rumah. Istriku akan memasakkan air panas yang hanya satu liter untuk campuran satu ember besar. Dia akan memarahiku jika mengguyur lebih dari sepuluh kali. Aku berdalih kalau aku hanya memenuhi separuh gayung, jadi bisa berkali-kali guyuran. Tentu saja, ini bohong.
Hmm… aku heran.
Sudah hampir dua jam aku masih ada di area hutan. Aku memutuskan untuk mendirikan tenda, memanjakan kantuk, dan mengusir letih dari kedua kakiku yang membiru. Malam ini aku tidur dalam beku, tetapi aku tidur sambil tersenyum. Untuk sekian lama, aku bisa melihat lagi “kulit ayam” yang hanya muncul saat aku kedinginan.
***
Tulangku hampir rontok saat meregangkan tubuh. Namun, semilir udara langsung menyambungkan kembali sendi dengan kekuatan baru. Aku membuka kotak bekal, meluncurkan napas berat kala melihat tiga potong kotak putih berbintik cokelat yang alot dan hambar. Aku bersungut saat menyumpalkannya ke dalam mulut. Namun, aku terpaksa sebab perut meronta-ronta. Habis satu batang, aku langsung mengemasi tenda. Kembali mendaki, mencari vegetasi lain selain pohon berkanopi ini.
Aku terkejut!
Masih di dalam hutan, pada semak-semak yang rimbun, tertangkap bundar-bundar warna merah. Aku menyeret sepatu yang basah, menapaki tanah yang meleleh menuju tanaman itu. Buah beri! Entah apa jenisnya, tetapi aku yakin ini buah beri.
Aku melepaskan satu dari tangkainya, lalu mengamati buah berkulit menggerenjal itu dengan seksama. Aku membawa buah itu ke depan bibir, membuka mulut untuk menyambut kedatangannya. Namun, tanganku berhenti. Seketika berpikir jika buah ini beracun. Aku mendekatkan kembali buah itu ke kedua mataku. Di sela pandang, ada burung yang terbang mengitari semak beri. Mematuk satu buahnya, membawanya pergi.
Aku langsung yakin.
Mulutku pun giras melahap buah yang hanya sebesar buku jariku. Aku terhempaskan menuju masa lalu saat bumi masih ramah dan memberi kami segala hasil tanahnya. Aku ingat rasa ini. Manis dan asam. Frambos.
Jemariku lihai memetik dan memetik setiap bijinya, mengumpulkannya dalam dekapan tangan, lalu melahapnya sekaligus. Tiba-tiba, aku merasa ada yang menepuk bahuku. Keringat dingin merembes cepat, membasahi seluruh tubuh. Jantungku berlari seolah sedang dalam kompetisi. Perlahan tapi pasti, aku menoleh.
Mendadak kepalaku disergap warna hitam. Lututku lunglai. Apakah aku baru saja bertemu hewan buas yang suka mencabik itu?
Aku mengangkat tangan, memastikan bahwa aku masih sadar dan hidup. Kulihat ada warna merah di ujung-ujung tanganku. Jemari saling mengusap. Hangat dan menimbulkan bau anyir. Inikah darahku? Tetapi aku tidak merasakan sakit.
Aku mengerjapkan mata, memanggil kembali kesadaran yang tadi mengembara entah ke mana. Saat semuanya terkumpul, kulihat sesosok manusia tergeletak bersimbah darah. Darah yang berasal dari lehernya. Di sana, sebilah pisau tertancap. Aku terpaku. Bukankah itu pisau yang kubeli bersamaan dengan peralatan kemah?
Aku telah membunuh seseorang. Orang itu membawa sebuah kamera bersamanya.
Hawa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gelombang yang menerpa dadanya saat Pak Guntur menyuruhnya mengendarai kendaraan itu. Sebuah kendaraan mirip mobil, tetapi tanpa atap dan dinding, dan rodanya berbentuk persis bola. Kata Pak Guntur, di bawah kursinya ada komponen robotik yang memungkinkan mobilitas dalam medan yang sulit.
“Ini bagian dari pelatihan, Wa. Sangat berguna pas kamu harus bepergian ke pos yang jauh.”
“Tapi, Pak, pos pengamatan saya ‘kan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Lagipula, kendaraan ini hanya ada tiga. Bukankah lebih sering dipakai Kak Rawi?”
“Tidak ada negosiasi, Hawa. Lagipula Angkasa sedang merancang kendaraan keempat, jadi semua orang punya lebih banyak kesempatan untuk menaikinya. Percaya Bapak, Wa. Ini tidak sesulit itu.”
Pak Guntur melingkarkan lengannya ke bahu Hawa, memandunya mendekati kendaraan canggih itu. Lutut Hawa bagaikan berpikiran sendiri, melonjak dan menolak untuk maju. Matanya hampir menangis oleh sebab itu.
“Pak, saya takut terjungkal.”
“Lho ‘kan sudah Bapak bilang kalau kendaraan ini aman. Dia bisa meminimalisir kecelakaan dengan data-data yang terkumpul saat perjalanan. Atau kamu mau coba fitur autonya? Dia akan mengatur semuanya. Kamu tinggal menggerakkan saja ke mana pun kamu mau pergi.”
Pak Guntur memandu Hawa―lebih seperti mendorong dan menyeretnya hingga Hawa berada satu sentimeter dekat dengan kendaraan itu. Pak Guntur menyuruh Hawa duduk di kursi kemudi. Hawa melangkahkan kaki lebih lama dari laju seekor siput. Ternyata itu membuat Pak Guntur tidak sabar dan mendudukkan Hawa dengan segera di kursi itu. Mengikat tubuhnya dengan sabuk pengaman yang dilingkarkan di pinggang.
“Lihat ‘kan? Tidak seburuk itu.”
Hawa bersumpah dia merasakan panas menyengat di sekujur pipinya, memicu bulir-bulir air tumpah dari sudut mata. Dia melirik pada panel kontrol yang tersebar di belakang kemudi.
“Nah, mobil ini juga pakai kunci. Masukkan ke sini untuk menghidupkannya.”
Pak Guntur memutar kunci itu. Mesin kendaraan terdengar halus. Seketika Hawa meraung-raung, mengalahkan bunyi mesin bahkan burung-burung yang asyik menyanyi di atas pepohonan.
“Mas, kamu takkan bisa membuatnya berhasil menaiki ini kalau caranya demikian.”
Hawa menghentikan sedu sedannya, mencari sosok yang menyumbangkan pendapat yang amat disetujuinya. “Kak Rawi, tolong aku!”
Rawi menarik kuncinya sehingga mesin padam. Dia berhadapan dengan Pak Guntur. “Biar aku yang mengajarinya, Mas. Kamu lanjutkan saja membaca data-data itu biar tidak menumpuk dan menyebabkan masalah nanti.”
“Yah, oke, tapi hari ini Hawa harus sudah bisa. Aku ingin seminggu sekali jalan-jalan keliling ditemani Hawa.”
“Hah, sebegitunya?” Rawi menelengkan kepala. Terdengar alunan nada curiga di akhir kalimatnya itu.
“Jangan berpikiran aneh-aneh! Hawa ini ‘kan masih tujuh belas tahun. Usianya pantas untuk jadi anakku.” Pak Guntur diam sejenak. Dia memandang Hawa dan Rawi bergantian. “Eh, tapi rasanya tidak pantas kamu yang mengajari. Jangan-jangan, nanti kamu menggoda Hawa lagi.”
“Mas, tolonglah. Urus saja data-datamu itu. Nanti keburu disusul data yang lain.”
Pak Guntur meninggalkan area depan garasi dengan gemuruh kata-kata di sekitar bibirnya. Rawi menoleh pada Hawa, memberinya senyum kecil yang hampir tidak kelihatan karena tertutup cambang dan kumis yang tebal. Dia melepaskan sabuk pengaman, menyuruh Hawa pindah ke kursi penumpang, sementara dia sendiri menempelkan pantat ke kursi pengemudi dengan nyamannya.
“Sudah kamu pasang sabuk pengamanmu?” Rawi bertanya tanpa menoleh ke belakang.
Hawa tidak menjawab, bingung harus dipasangkan bagaimana sehelai kain elastis yang tertempel di kursi. Dua buah tangan mengambil alih sabuk itu.
“Oh, sambungannya terselip di sini. Nah, tinggal kamu pasangkan begini dan duduk bersandar dengan nyaman. Meski kelihatannya aman, semisal sedang melaju di medan yang sulit, kamu harus tetap berpegangan. Takutnya nanti kamu terpental dari kursi.”
Rawi mengedipkan mata pada Hawa, lalu menghidupkan mesin. Hawa bergegas mengaitkan kedua tangannya ke samping bawah kursi. Otot-otot tangannya menegang. Kendaraan melaju di trotoar berwarna putih, melenggok melewati pintu depan bangunan utama, dan menyisiri deretan bunga mawar beraneka rupa.
“Kak Rawi, kita mau pergi ke mana?”
“Berkeliling tentunya, mengawasi keadaan sekitar.”
“Apa kita akan melewati jurang?”
Rawi tertawa kecil. “Kamu takut?”
“Siapa yang tidak takut kalau mobilnya tanpa atap dan dinding?”
“Aku tidak. Kalau mobil ini membahayakan, aku pasti sudah mati dari dulu. Pokoknya, hari ini aku akan mengajakmu langsung ke tempat-tempat yang ekstrim. Biar kamu tahu betapa serunya menjelajah dengan Solari.”
“Solari? Oh, jadi ini merek mobilnya.” Hawa mengangguk-angguk.
Mobil baru saja memutari bangunan utama. Rawi sengaja berputar-putar agar Hawa merasa lebih nyaman. Dia beberapa kali menoleh, melirik dengan tatapannya yang tajam namun tak menusuk, lalu berkata, “oke, sekali lagi.”
Baru setelah putaran keempat, mobil melaju keluar dari trotoar. Jantung Hawa berdegup kencang ketika ada sedikit guncangan akibat roda-roda menyentuh permukaan tanah yang lebih rendah dari trotoar. Rawi mengatakan bahwa mereka akan baik-baik saja sebab empat roda berarti seimbang. Dia mengajak Hawa berbincang apabila dia pernah menaiki sepeda motor. Hawa menjawab bahwa seumur hidupnya di panti asuhan, dia hampir tidak pernah menjejakkan kaki di luar.
“Pantas saja kulitmu tidak hitam sepertiku.”
Hawa hendak membalas jika Rawi tidak sehitam itu, tetapi seorang perempuan berpakaian rapi datang terlebih dahulu. Suara lembut mesin menjadi senyap. Hawa melihat ke samping kiri dan kanan tubuhnya, hendak turun dari Solari. Tanahnya yang bercampur lumpur hasil terjangan hujan kemarin mengurungkan niatnya.
“Hai, kudengar kamu mengajari Hawa naik Solari? Sudah bisa?”
“Apa mau kamu masukkan ke catatan juga, Naura?”
Perempuan itu menyunggingkan senyum. “Tentu saja. Setiap momen berarti. Oh ya, apa kamu sudah melihat Ranu?”
“Paling dia sedang menyesatkan diri di antah-berantah.”
“Meskipun begitu dia selalu melapor padaku lewat telepon, tetapi kemarin hingga detik ini sama sekali tidak kudengar kabarnya.”
Rawi diam sejenak. Jemarinya mengusap cambang dan kumis. Dia tampak berpikir serius, menerawang jauh menembus hamparan pepohonan yang terbentang di bawah cakrawala. “Baiklah akan kucari dia. Nanti kalau kamu mendengar kabarnya sebelum aku, tolong sampaikan juga padaku.”
“Baiklah, Rawi dan Hawa. Selamat bersenang-senang.”
Mesin mobil kembali hidup. Kendaraan canggih itu melaju kencang di tanah berlumpur, memercikkan cairan cokelat ke segala sisi. Hawa mencengkeram bagian bawah kursi, memandangi punggung yang tampak menegang. Seketika kekhawatiran merayap di hati Hawa sebab dia tahu Ranu bukanlah orang yang suka menghilang tanpa jejak. Ranu biasa menghubungi teman-temannya untuk sekadar memberitahu aktivitasnya di hutan atau memperlihatkan temuannya. Terlebih Ranu adalah kembaran Rawi. Hawa tidak bisa membayangkan perasaan Rawi jika terjadi sesuatu pada Ranu.
“Wa, kamu punya nomor Ranu bukan?” Rawi bertanya tanpa menoleh.
“Iya, aku punya.” Hawa menjawab lirih.
“Coba kamu hubungi dia.”
Hawa mengeluarkan ponsel dari saku celana. Dengan sebelah tangan masih berpegangan, dan laju mobil yang bergoyang-goyang, Hawa mencari nomor Ranu. Dia menekan tombol panggil begitu menemukannya. Telepon tersambung diikuti bunyi tut yang tidak asing. Namun, bunyi tut itu dimatikan dari ujung telepon.
“Tidak dijawab, Kak,” seru Hawa.
“Coba lagi.”
Hawa menelepon kembali nomor Ranu. Kali ini bunyi tutnya bahkan tidak sampai lama. Hawa tetap mencoba. Nomor itu tidak dapat dihubungi. Hawa menyampaikannya pada Rawi. Mendadak mobil berhenti dengan kasar. Hawa terdorong ke depan, pegangan tangannya lepas. Kepalanya terantuk kursi pengemudi. Tidak merasakan sakit, Hawa pun melihat ke depan untuk mengecek keadaan Rawi. Namun, laki-laki itu tidak ada di sana. Kemudian, terdengar umpatan menggelora.
Rawi telah berada di pinggir tebing, beberapa meter dari posisi mobil. Hawa heran melihat betapa cepatnya Rawi berpindah. Selain mengumpat, laki-laki itu juga memanggil nama Ranu berulang-ulang.
“Kak Rawi?” panggil Hawa begitu berada di belakang laki-laki itu.
“Wa, maaf ya. Tapi aku akan bawa mobilnya berkeliling. Kamu terpaksa pulang berjalan kaki.”
Rawi menaiki mobil, setengah melompat, langsung memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Mesin yang lembut naik menjadi tiga oktaf. Hawa berteriak supaya Rawi berhati-hati, tetapi ketika mobil itu melompat dari tebing, dia tidak mampu mengontrol kakinya. Terseok-seok Hawa menuju pinggir tebing, mendapati mobil itu berjalan menempel pada dinding yang hampir sembilan puluh derajat tegaknya.
Setelah mengumpulkan kepingan tenaga yang rontok akibat atraksi Rawi, Hawa kembali ke gedung utama. Beberapa orang telah berkumpul di depan pintu. Di antaranya ada Pak Guntur dan Naura. Raut wajah mereka berkerut dan terlihat serius. Hawa dapat merasakan aura kekhawatiran terpancar dari lingkaran kecil itu.
“Hawa, di mana Rawi? Kamu tidak pulang bersamanya?” tanya Naura.
“Tidak, Kak. Dia mau pergi mencari Kak Ranu. Mungkin sebaiknya ada yang menemani Kak Rawi berkeliling menggunakan So-Solari? Saya takut kalau Kak Rawi gegabah dan celaka di jalan.”
Deru napas terdengar dari bibir Naura. Wajahnya yang tirus semakin terlihat cekung. “Kami sudah menemukan Ranu, Wa. Dia ditemukan meninggal dengan luka tusukan.”
Tiga belas tahun yang lalu, dia berdiri di depanku dengan kemeja putih dan celana panjang warna abu-abu. Wajahnya bersih tiada dihinggapi sehelai rambut pun. Dia menata poninya ke belakang, mengolesinya dengan gel rambut. Entah berapa banyak yang dia pakai, rambutnya itu tampak basah dan kaku. Kelihatan sekali lajur-lajurnya seperti pemandangan ladang jagung yang baru sebetis kaki tumbuhnya.
“Kamu yakin mau tampil begitu? Setidaknya cukur cambangmu biar tampak ramah.”
“Jangan urusi cambangku! Kamu yang keterlaluan, Nu. Keterlaluan bersih. ‘Kan malu-maluin aku.”
“Yakin tidak terbalik?”
“Dari dulu kamu yang selalu dianggap tampan. Biarkan tetap begitu. Biar aku yang mengambil peran si garang.”
Tiga belas tahun yang lalu, kami mengerjakan peran masing-masing. Aku mengurusi masalah keamanan fasilitas penelitian ini sedangkan Ranu berkeliling gunung untuk mengamati flora, fauna, dan habitat mereka. Pekerjaan ini membuat kami jarang bertemu kecuali saat sarapan atau makan malam. Terkadang kami bahkan tidak bertemu sama sekali karena Ranu seakan terobsesi dengan tugasnya. Dia jarang pulang. Sebagai gantinya, dia mengirimi kami pesan gambar untuk memberitahu lokasi terakhirnya.
Tanpa terasa kami berdua sudah berkepala tiga dan masih mengurusi hal yang sama. Pernah aku mengikuti Ranu berkeliling gunung gara-gara tidak ada pekerjaan. Aku menghabiskan waktu mengekorinya, mendaki dan menuruni Gunung Merbabu ini. Ranu tidak menolakku. Dia bahkan mengajariku tentang dunianya. Dia sering berhenti lama di satu titik, mengarahkan pandang pada satu hal tanpa berkedip. Dia seperti kerasukan, merapalkan kalimat dengan suara hampir tak terdengar. Ketika itu terjadi, aku memilih menyandarkan diri pada batang pohon untuk menjelajahi alam mimpi. Bangun-bangun dia sudah menghilang. Lalu, kutemukan dia sedang melakukan hal yang sama di titik lain. Menurutku, dunianya lebih membosankan daripada duduk di depan komputer atau mengawasi keadaan lewat layar CCTV.
Aku masih berharap bahwa Ranu sedang berada di suatu titik, melamun dan menghayati pucuk dedaunan. Dia pasti kelupaan mengisi baterai ponselnya. Mungkin saja, sekarang dia telah kembali karena tidak betah dengan tubuhnya yang lengket dan berbau kecut.
Aku menghentikan laju Solari, mengambil ponselku dari saku celana untuk memanggil Naura. “Sudah ada kabar?”
Hanya helaan napas panjang yang kudengar di ujung telepon. Darahku seketika berdesir. Jantungku berdebar tak karuan. Pikiranku kembali ke momen itu di waktu ada seorang mata-mata pemerintah yang masuk ke fasilitas rahasia ini.
“Naura!” Suaraku kencang, merambat bersama angin menuju gugusan pohon terjauh.
“Kamu pulang dulu ya, Rawi.”
Telepon terputus. Aku mengumpat, lalu melemparkan diri ke kursi pengemudi. Tanpa mengikat sabuk pengaman, kupacu Solari langsung dengan kecepatan tinggi. Aku menyetel fungsi semi-auto dan memasukkan tujuan. Kuambil jalan pintas tanpa memedulikan medannya.
Begitu sampai di trotoar berwarna putih, aku langsung melompat dari kursi pengemudi. Kudapati mereka memandangiku dengan mata melotot. Beberapa bahkan sampai menutupi mulut mereka yang menganga. Kudengar Solari berdecit sebelum bunyi mesinnya senyap.
“Katakan padaku apa yang terjadi pada Ranu!”
Mereka bungkam seolah sedang menyusun kata-kata dalam otak mereka. Aku mengepalkan tangan, ingin memukul sesuatu untuk melampiaskan ketidaksabaran ini.
“Jawab!” Aku berteriak. Mereka masih bungkam. Akhirnya aku berpaling dan menutupi wajahku dengan telapak tangan, berusaha melemaskan otot-otot yang masih menegang.
Seseorang kudengar berdeham. “Candra menemukan Ranu tersembunyi di antara semak beri. Seluruh barang bawaannya menghilang. Dan di tubuh Ranu…”
Aku menoleh menuju sumber suara. Naura sedang mengusap-usap dadanya. Dia mengatur napas yang terdengar tak beraturan. Detik ini juga aku merasakan sesuatu menyusup ke dalam rongga dadaku. Perasaan yang amat tidak nyaman.
“Lanjutkan, Ra,” pintaku.
“Ada pisau… tertancap di lehernya. Ranu sudah meninggal, Wi, karena kehabisan darah. Aku minta maaf.”
Aku hening. Mereka ikut hening. Suasana terasa sangat dingin, mendesirkan sekujur punggungku. Aku teringat kembali di hari itu sebelum datang ke tempat ini. Kukatakan pada Ranu bahwa bisa saja kami bukan dipekerjakan, tetapi dipakai sebagai bahan percobaan. Namun, senyuman Ranu membuatku mengikuti jejaknya. Sekarang senyuman itu takkan pernah kulihat lagi.
“Siapa yang membunuh Ranu?” Aku mengunci mata mereka satu persatu.
“Eh, ka-kami belum tahu penyebab kematiannya, Wi.”
“Bukannya sudah jelas, Ra? Katamu tadi Ranu mati karena kehabisan darah.”
“Ya, tapi itu baru asumsi kami.”
“Bukannya tadi kamu juga bilang kalau Candra yang menemukannya? Candra ‘kan paramedis. Harusnya dia tahu sebab kematian Ranu. Di mana dia sekarang? Aku mau bicara.”
Naura mengantarkanku masuk ke gedung utama menuju ruang konsultasi medis. Di dalam sudah ada Candra, dan dokter kami sedang meneliti raga Ranu yang sebagian tertutup kain putih. Aku melihat betapa pucatnya kulit Ranu. Juga tampak bersih, kecuali bekas sobekan di lehernya. Mataku berhenti di sana, tidak bergerak menuju wajah yang serupa denganku itu.
“Rawi, kamu masuk ke sini apakah sudah siap?”
“Sebenarnya aku mau bicara dengan Candra saja, Dok.”
Kulihat mereka berdua saling berpandangan. Aku memalingkan muka segera karena masih dapat melihat tubuh Ranu yang membujur kaku. Tangan-tangan jam analog merentang ke angka sepuluh dan tiga. Kata Naura, Ranu tidak ada kabar sejak kemarin. Dari kemarin itu, sama sekali tidak ada yang curiga jika Ranu menghilang.
“Bagaimana bisa tidak ada yang tahu soal keberadaan Ranu? Jika dia menghilang sejak kemarin, bukankah setidaknya ada laporan darinya di pagi hari? Ranu biasa memberi kabar saat pagi, malam, dan ketika dia menemukan sesuatu yang harus dibagikan. Apakah dia sudah meninggal dari kemarin?” Aku melirik ke arah dokter itu dan Candra secara bergantian.
Candra berdeham dua kali. Matanya tertunduk menjauhi tatapanku. “Menurut hasil autopsi, memang benar kalau Kak Ranu meninggal kemarin. Tepat satu hari lebih tiga jam. Penyebab kematian adalah perdarahan masif akibat luka tusukan yang dalam mengenai pembuluh nadinya. Aku menemukan pisau pelaku masih menancap di−”
“Cukup!” Aku berseru tak terkendali. Sejenak kuambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Apa ada sidik jari yang terekam?”
Candra menggeleng. “Siapa pun pelakunya membakar pegangan pisau. Dan dia tidak meninggalkan sidik jari lain di tubuh kor―maksudku, Kak Ranu. Tempat kejadiannya bersih, sudah kuteliti dengan cermat. Bahkan barang-barang Kak Ranu juga tidak ada.”
“Apa kamu punya dendam pada Ranu, Candra?”
Pupil Candra melebar. Kedua alisnya naik tinggi-tinggi. Dia menukar pandangannya dariku menuju dokter itu. “Tu-tu-tu-tunggu! Kak Rawi tidak sedang menuduhku ‘kan? Itu tadi hanya sekadar bertanya ‘kan?”
Candra membuat suara cekikikan yang canggung. Jelas sekali terlihat jika dia gemetar, mungkin menyimpan rasa takut. Ketika kukatakan bahwa aku mencurigainya, dia tersedak.
“Aku akan kembali setelah mengumpulkan lebih banyak bukti.” Aku berbalik, melangkah menuju ambang pintu.
“Tunggu, Rawi!” Dokter itu memanggil, menghentikan langkahku. Namun, aku tidak menolehkan wajah. “Kamu tidak mau melihat saudara kembarmu dulu?”
Aku kembali berjalan tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Meski kenyataan ini asli, aku menolaknya. Di pikiranku masih terekam wajah yang serupa denganku. Bibirnya yang bersih dari cambang ataupun kumis menyunggingkan senyum. Dia terlihat bersemangat dan senang dengan keputusan yang kuambil untuk mengikuti jejaknya berkutat di fasilitas penelitian yang tidak diketahui siapa pun, bahkan oleh pemerintah. Akhirnya, aku benar-benar menyesal mengambil jalan ini.
Seharusnya aku tidak pernah menginjakkan kaki di sini. Seharusnya kuyakinkan Ranu untuk melanjutkan hidup di kota itu.
“Sial!” Aku mengumpat berturut-turut. “Kamu bodoh, Nu. Bodoh!”
Aku sudah sampai di pos pengamatanku―sebuah ruang yang ditahtai tiga layar besar penampil rekaman CCTV yang terletak di atas meja bersama dengan papan ketik, tetikus, dokumen, hingga cangkir yang retak bibirnya. Masih diselimuti amarah, aku membanting papan ketik berkali-kali hingga tombol-tombolnya terlepas. Papan ketik itu sudah tidak berbentuk lagi sekarang.
Aku roboh ke atas kursi, membenamkan wajah dalam telapak tangan. “Siapa pelakunya, Nu?”
Aku merenung, mencari tahu siapa saja yang mungkin berpotensi mencelakai Ranu. Tiap kali aku memikirkan seseorang, bayangan Ranu sekilas berlalu. Aku kehilangan konsentrasi. Aku tidak punya minat untuk menjelajahi rekaman CCTV sekarang. Hatiku terlanjur diluapi amarah dan ketidakpercayaan. Aku berdiri, ganti memukul-mukul meja dengan kepalan tangan. Lalu, aku meninggalkan ruangan.
Selain aku, ada dua orang lagi yang bertugas sebagai penjaga keamanan. Mereka juga berkeliling gunung. Kemungkinan besar mereka melihat Ranu di hutan. Bahkan bisa saja tahu siapa pelakunya. Aku menuju gedung utama. Semua orang pasti sedang berada di sana sebab kabar tentang Ranu tidak mungkin tidak mengundang perhatian, kecuali jika orang itu memang cuek atau dia adalah pelakunya.
Seperti yang kuduga, semua orang yang berjumlah tujuh belas berkerumun di lobi. Aku mengunci tatapan mereka satu persatu. Sulit mengatakan siapa pelakunya karena mereka memasang tatapan bersedih dan mengasihaniku. Di pinggir kerumunan, ada Candra berdiri dengan canggung. Dia menghindar dari pandanganku.
“Tidak usah basa-basi. Pembunuh Ranu, datang dan berdiri di hadapanku!”
Semua orang saling bertukar pandang. Naura maju ke depan, tetapi segera mundur. “Apa yang membuatmu berpikir salah satu dari kami pelakunya?”
Aku mencengkeram telapak tanganku. Amarah itu mulai menohok rongga dadaku lagi. Kuulangi kembali pertanyaanku. Salah satu dari kerumunan itu menjawab, “jangan-jangan orang dari pemerintah datang lagi. Siapa yang terakhir bergabung? Hawa ya?”
Aku cekikikan mendengar penuturan itu. “Sebagai orang yang tidak ada di sini saat kejadian itu terjadi, kamu berani menuduh dia? Kalau orang dari pemerintah bisa masuk ke sini lagi, berarti sistem kita telah hancur. Lupakan risetnya dan kembali ke tempat masing-masing! Tapi menurutku, bukan itu situasinya.”
“Tapi tidak mungkin salah satu dari kami−”
“Aku tidak percaya kali kedua, Ra! Kali ini, pelakunya ada di antara kita.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!