NovelToon NovelToon

Papaku Seorang CEO

Bab 1: Dijual Kakakku

Flora duduk di sisi ranjang rumah sakit tempat putranya, Gavin, terbaring tak sadarkan diri.

Wajahnya penuh kekhawatiran dan cemas. Sudah beberapa hari sejak kecelakaan mobil yang mengerikan itu, dan Gavin belum juga bangun.

Pintu ruangan terbuka, seorang dokter masuk dengan langkah hati-hati.

“Nyonya Flora, bis akita bicara sebentar?” tanya Dokter Richi yang menangani Gavin.

“Ah, iya, Dok. Silakan duduk dulu.” Flora mengarahkan sang dokter agar duduk di kursi ruang tamu yang ada di ruangan itu.

“Bagaimana kondisi anak saya? Sudah tiga hari dia belum juga sadarkan diri.”

Wajah Flora masih diliputi kecemasan. Anak ceria yang hampir tak pernah sakit tiba-tiba terus tertidur di ranjang perawatan. Akibat terserempet mobil, putranya sampai harus masuk ruang operasi dan mendapatkan jahitan luka di kepalanya.

“Kondisi luka di kepalanya tidaklah berbahaya. Dia hanya mengalami gegar otak ringan. Akan tetapi, kami mendapatkan sesuatu yang mengejutkan dari hasil pemeriksaan darahnya.” Dokter Richi terlihat hati-hati dalam menyampaikan kata-katanya.

“Apa itu, Dokter?” nada bicara Flora sedikit bergetar. Ia semakin khawatir dengan kondisi putranya. Ia hanya ingin putranya segera sembuh dan bisa bermain dengan ceria seperti biasa.

“Hasil pemeriksaan darahnya menunjukkan adanya indikasi penyakit langka, yaitu anemia aplastik. Ini adalah kondisi serius di mana sumsum tulang belakang tidak dapat memproduksi sel darah merah, putih, dan trombosit dengan baik. Kalau dibiarkan terus tanpa ditangani, gejalanya akan semakin parah dan bisa menyebabkan kematian."

Dokter Richi terpaksa tetap mengatakannya. Ia juga sebenarnya kasihan karena menurut informasi yang diterima, Flora merupakan orang tua tunggal yang hidup di negara asing tanpa kerabat.

Flora menutup mulutnya dengan gemetar. Pikirannya berkecamuk dengan berbagai pertanyaan dan kekhawatiran tentang apa yang harus dia lakukan.

“Agar putramu bisa sembuh, dia membutuhkan transpantasi sumsum tulang belakang dari donor yang cocok. Lebih cepat didapatkan, itu akan lebih baik,” kata Dokter Richi.

“Donor? Bagaimana kita bisa mencari donor yang cocok?”

Flora sama sekali tidak paham dengan penyakit yang baru saja disebutkan oleh dokter. Ia baru pertama kali ini mendengar. Rasanya aneh, hanya karena kecelakaan, Gavin divonis menderita penyakit yang katanya langka itu.

“Agak sulit mencari donor yang benar-benar cocok. Kami akan menghubungi bank donor sumsum tulang internasional untuk mencarikan yang cocok. Mungkin akan butuh waktu dan prosedur yang lama. Saran saya, Anda menghubungi semua anggota keluarga Anda baik dari pihak Anda sendiri maupun pihak keluarga Gavin. Semakin banyak yang diperiksa, semakin besar peluang mendapatkan donor yang cocok.”

Flora tertunduk lemas.

“Selain butuh kesabaran mendapatkan donor yang tepat, perlu juga dipersiapkan biaya yang besar. Ada banyak proses pengobatan yang harus dilalui.”

Flora menelan ludahnya. Dia tahu ini bukanlah tugas yang mudah. Dia sengaja tinggal jauh dari negaranya bersama Gavin untuk menghindar dari lelaki yang merupakan ayah biologis anaknya. Tapi sekarang, situasinya telah berubah.

“Iya, Dok, saya mengerti,” jawab Flora pasrah.

“Baiklah kalau begitu, saya ijin pamit. Kalau ada yang perlu ditanyakan, jangan sungkan untuk menemui saya.”

Flora mengantar dokter keluar sampai pintu kamar ruang perawatan putranya. Ia menghela napas. Kehidupannya terasa semakin berat.

“Mama ….”

Flora terkejut mendengar sebuah panggilan lembut dari putranya. Ia membalikkan badan, ternyata Gavin sudah sadar.

“Gavin!” teriaknya.

Flora langsung berlari memeluk putranya. Setelah tiga hari, akhirnya Gavin sadar. Tak bisa diungkapkan betapa bahagia perasaannya saat ini.

“Sayang, syukurlah kamu sudah bangun. Apa ada yang sakit?” Flora menahan air matanya.

Gavin menggeleng.

“Ya Tuhan, terima kasih,” ucapnya penuh rasa syukur. Sekali lagi ia memeluk putranya dengan penuh rasa cinta.

“Ma,” panggil Gavin lagi.

“Iya, Sayang, ada apa?” Flora mengulaskan senyum menatap putra kesayangannya.

“Apa benar aku akan mati?” tanya Gavin dengan polosnya.

Seketika senyuman di wajah Flora memudar.

“Gavin … gavin kok ngomong seperti itu?”

“Gavin dengar percakapan Mama dengan dokter tadi.”

Flora tidak bisa mengelak lagi. Putranya merupakan seorang anak yang kritis dan cerdas, tidak akan mempan jika ia berbohong.

“Sayang, dengarkan Mama.” Flora memegangi kedua tangan putranya. “Kamu pasti akan sembuh, Mama sangat yakin. Mama akan melakukan apapun asalkan kamu bisa sembuh.”

Gavin terdiam sesaat. Ia melihat pancaran ketulusan dari binar matai bunya. “Mama, aku punya satu permintaan,” ucapnya.

“Apa itu, Sayang?” tanya Flora penasaran.

“Gavin ingin bertemu dengan Papa sebelum mati.”

Tangan Flora langsung gemetar mendengar ucapan putranya. Air mata mengalir begitu saja di pipinya. Flora tak bisa lagi menahan kesedihannya. Ia menangis sembari memeluk putranya. Hatinya terasa sakit mengetahui putranya mengalami penyakit yang menyeramkan itu.

“Sayang, kamu pasti akan sembuh. Mama akan merawatmu sampai kamu tumbuh dewasa. Kamu akan baik-baik saja.” Flora mengatakannya dengan berlinang air mata.

“Aku ingin bertemu Papa.”

Sebagai seorang ibu, ia bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk ditukar dengan kesembuhan. Segalanya akan ia lakukan demi Gavin, sekalipun ia harus kembali bertemu dengan lelaki sombong yang telah menghamilinya. Tiba-tiba ingatan Flora kembali ke masa enam tahun silam di mana peristiwa itu terjadi.

***

“Kak! Aku nggak mau!” Flora berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Samantha, kakak kandungnya.

“Diam kamu! Pokoknya malam ini kamu harus melayani Tuan Roman dengan baik. Aku sudah menerima 50 juta darinya!” tegas Samantha.

Tanpa belas kasihan, ia terus menarik tangan adiknya memasuki sebuah hotel yang telah ditentukan.

“Kak, kamu kok tega menjual adikmu sendiri? Aku tidak mau ….” Flora mulai menangis ketakutan. Ia dipaksa memakai pakaian minim dan datang ke hotel untuk melayani seorang pengusaha kaya yang rumornya suka tidur dengan banyak wanita.

“Aku sudah membiayaimu sampai lulus kuliah, jadi ini saatnya kamu berterima kasih kepada kakakmu! Sudah banyak uang yang aku keluarkan untukmu. Kamu hanya butuh tidur semalam saja dengan buaya tua itu dan 30 juta lagi bisa kita dapatkan! Awas kalau ada komplain!” ancam.

Samantha membawa Flora masuk ke dalam sebuah kamar hotel. Ia mengikatnya di atas ranjang agar adiknya tidak bisa kabur.

“Kak! Lepaskan aku! Apa kamu sudah gila?” teriak Flora.

“Minum ini!” Samantha memaksa Flora menenggak alkohol. “Lakukan tugasmu malam ini dengan baik!” perintahnya. Ia langsung pergi meninggalkan Flora di sana sendiri.

Flora hanya bisa menangis di dalam kamar hotel. Ikatan pada kaki dan tangannya sangat kencang hingga ia tak bisa melepaskan. Ia masih tidak bisa menyangka bagaimana seorang kakak bisa menjual adiknya sendiri.

Beberapa saat kemudian, pintu kamar hotel terbuka. Degup jantung Flora semakin meningkat karena ketakutan. Terlihat lelaki itu masuk dan mengunci kembali pintu kamar hotel itu. Flora berusaha melepaskan tangan dan kakinya. Lelaki itu berjalan semakin mendekat ke arahnya dengan sempoyongan.

“Alvaro?” lirih Flora terkejut.

Bab 2: Awal Semua Bermula

“Alvaro?” lirih Flora terkejut.

Kepala Flora terasa sedikit pusing dan pandangannya seperti kabur. Ia sampai mengerjap-ngerjapkan mata untuk memastikan bahwa lelaki yang masuk ke dalam kamarnya benar-benar Alvaro, teman SMA nya dulu yang sangat menyebalkan dan sukai mengatainya jelek karena gendut.

“Alvaro! Tolong aku!” teriaknya.

Lelaki itu masih berjalan sempoyongan mendekat ke arah ranjang. “Hm, kenapa kamu terikat di sini?” tanyanya.

“Bantu aku melepaskan ini!” pinta Flora. Ia mengenyampingkan kebencian dan dendamnya kepada lelaki itu.

Alvaro menurut. Ia melepaskan satu per satu ikatan yang melilit kaki serta tangan Flora. Tubuhnya langsung limbung seakan ia tak punya tenaga lagi.

“Alvaro, kamu kenapa?” tanya Flora sembari memegangi pergelangan tangannya yang masih kesakitan. Alvaro terlihat tidak bergerak. Ia mencoba menggoyang-goyangkan badannya.

“Alvaro, kamu kenapa?” tanyanya lagi.

Lelaki itu menarik tangan Flora lalu menindihnya. Wajahnya seperti orang yang tengah mabuk berat.

“Alvaro, lepaskan aku! Apa-apaan sih!” pinta Flora kesal. Alvaro menahan kedua tangannya.

“Aku sudah menolongmu. Kali ini, bantu aku! Tubuhku sangat panas,” Alvaro marancau tak jelas.

***

Tin! Tin!

Suara klakson mengagetkan Flora saat ia berjalan. Hampir saja ia tertabrak.

“Hah, kenapa aku malah memikirkan hal itu lagi? Bodoh! Dasar bodoh!” Flora memukuli kepalanya sendiri.

Semenjak tahu putranya mengidap penyakit yang serius, Flora terus memikirkan Alvaro, ayah kandung Gavin. Enam tahun lalu lelaki itu yang telah menghamilinya saat mabuk. Ia akhirnya memutuskan kembali ke tanah air untuk mencari lelaki itu. Ia berharap Alvaro akan memiliki kecocokan sumsum tulang dengan putranya.

Hari ini akan menjadi hari pertama Flora masuk kerja. Ia tetap harus menghasilkan uang demi mencukupi kebutuhan dan biaya berobat Gavin. Beruntung ia punya seorang teman yang bisa memasukkannya ke dalam sebuah perusahaan besar untuk mengisi posisi sekertaris.

“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis dengan ramah.

“Saya ingin bertemu dengan Pak Rendi dari bagian HRD. Nama saya Flora Abraham, kemarin sudah membuat janji dengan beliau.” Jawab Flora.

“Baik, akan saya konfirmasikan terlebih dahulu,” kata sang resepsionis seraya menghubungi seseorang lewat sambungan telepon.

Flora masih berdiri menunggu di sana. Sesekali matanya melihat sekeliling lalu Lalang pegawai yang mulai berdatangan. Kantor itu memiliki karyawan yang cukup banyak.

“Ibu Flora,” panggil sang resepsionis.

“Iya?”

“Silakan Anda naik ke lantai empat ke ruangan sebelah kiri paling ujung. Tepatnya di ruangan direktur. Pak Rendi sudah menunggu Anda di sana,” kata sang sekertaris.

“Oh, iya, terima kasih,” ucap Flora.

Flora beralih dari area lobi menuju lift. Ia tekan angka empat sembari menunggu lift terbuka. Ia masuk ke dalam lift bersama beberapa karyawan lainnya. Mereka terlihat memandangi pakaian yang dikenakan Flora dengan tatapan aneh. Flora ikut memperhatikan penampilannya sendiri takut ada yang salah. Menurutnya, penampilannya cukup rapi. Namun, karyawan yang memperhatikannya seperti tersenyum-senyum sendiri.

Saat lift terbuka, ia bergegas keluar. Dicarinya ruangan yang disebutkan oleh resepsionis tadi. Akhirnya ia menemukannya.

“Permisi, Pak,” sapa Flora.

“Oh, kamu Flora, ya?” seorang lelaki paruh baya terlihat berjalan menghampiri Flora. “Silakan duduk dulu!”

“Terima kasih, Pak.” Flora mengikuti Pak Rendi duduk di sofa yang ada di ruangan itu.

“Istri saya sedikit banyak sudah bercerita tentang kamu. Katanya dulu kamu salah satu mahasiswanya yang cerdas,” puji Pak Rendi.

Flora tersipu malu. Memang, orang yang merekomendasikan dia masuk ke perusahaan itu merukapan dosennya dulu saat kuliah. Namanya Bu Retno, istri Pak Rendi.

“Bisa kamu berikan apa yang istriku minta kemarin?” tanya Pak Rendi.

“Ah, iya, Pak. Sudah saya siapkan semuanya.” Flora mengeluarkan ampop coklat lebar dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Pak Rendi.

“Hm, kamu juga sudah punya pengalaman bekerja di luar negeri, ya. Bagus sekali, apalagi kalau ditunjang keterampilan Bahasa Inggris yang bagus. Soalnya kebanyakan klien perusahaan ini merupakan orang asing. Kamu sangat cocok di posisi ini.”

Flora tersenyum lebar. Ia sangat berharap mendapat pekerjaan itu. “Jadi, saya diterima bekerja di sini, Pak?” tanyanya dengan nada antusias.

“Iya, selamat ya, Flora. Kamu diterima bekerja di sini.”

Pak Rendi mengulurkan tangannya yang disambut jabat tangan oleh Flora.

“Katanya sekertaris baru mau datang hari ini?”

Terdengar suara dari arah pintu. Senyuman Flora seketika menghilang menyadari kedatangan orang yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup.

Namanya Alvaro, CEO perusahaan tempat Flora kini bekerja. Perawakannya tinggi dan tegap serta memiliki wajah yang rupawan. Akan tetapi, di balik kesempurnaan fisik yang dimiliki, ia memiliki sifat yang tegas dan sedikit arogan.

Kharisma yang dipancarkan seolah mampu membuat semua orang menurut kepadanya.

Bagi, Flora, Alvaro tak lebih dari sekedar tukang bully. Masa-masa SMA nya menjadi kelam karena ulah Alvaro. Ia tidak menyangka jika lelaki menyebalkan ituulah yang akan menjadi atasannya.

“Selamat pagi, Pak Alvero. Saya sudah mendapatkan sekertaris pribadi untuk Anda,” kata Pak Rendi.

Alvero mengeryitkan dahi. “Jadi dia calon sekertaris baru? Kelihatannya kampungan. Aku tidak yakin dia bisa bekerja dengan baik,” ucapnya dengan sangat enteng.

Flora merasa gregetan. Kalau saja dia bukan bos di sana, mungkin sudah ia jambak rambutnya dan mencakar-cakar wajahnya.

“Silakan dibaca dulu biodatanya, Pak. Dia mantan mahasiswa istri saya. Dia sangat pintar dan bisa Berbahasa Inggris dengan lancer.” Pak Rendi menyerahkan biodata milik Flora kepada Alvero.

“Baiklah, biar aku yang mewawancara sendiri. Silakan Pak Rendi bisa kembali ke ruangan,” kata Alvero.

“Baik, Pak.”

Alvero terlihat angkuh memperhatikan Flora. Dari penampilannya memang sama sekali tidak menarik untuk dijadikan sebagai seorang sekertaris yang harus berhadapan langsung dengan klien.

“Kamu yakin mau melamar sebagai sekertaris di sini? Kok lebih cocok jadi petugas kebersihan sepertinya,” ujar Alvero.

Flora menghela napas berusaha bersabar. Ia mencoba mengalihkan perhatian ke tempat lain.

Pada dinding ruangan terpampang jelas sebuah foto keluarga. Di sana ada foto Alvero bersama seorang anak laki-laki dan seorang wanita yang tidak asing baginya. Prilly Anastasia, seorang artis ternama. Dulu mereka sama-sama mengikuti audisi menyanyi. Seandainya saat itu Flora tidak kabur ke luar negeri karena hamil, ia pasti juga akan menjadi artis sukses seperti Prilly.

Ia tidak menyangka jika ternyata Alvero telah menikah dan memiliki anak. Bahkan anak yang ada di foto itu terlihat seumuran dengan putranya. Hatinya tiba-tiba terasa sakit, seharusnya foto putranya yang terpampang di sana. Davin juga anak Alvero meskipun lelaki itu tidak mengetahuinya.

“Namamu Flora Abraham? Dari SMA Panca Bhakti? Kelulusan tahun 20XX? Yang benar saja …. “ Alvero terlihat bolak-balik mengecek biodata yang Flora berikan. “Kamu … flora yang dulu gendut dan culun pakai kacamata itu, ya?” tanyanya memastikan.

Flora sudah merasa firasat yang tidak enak. Apalagi Alvero terus memandanginya sembari tersenyum mengejek. Baginya, lelaki itu masih sama seperti dulu: menyebalkan!

“Wow, kamu Flora … sekarang sudah kurus, ya! Aku sampai tidak mengenali. Tapi, selera fashionmu masih sama buruknya dengan yang dulu.”

“Maaf, Pak. Saya di sini mau melamar pekerjaan sebagai sekertaris, bukan mau menjadi artis atau model,” tegas Flora. Ia sedang tidak mau bercanda.

Alvero hanya senyum-senyum. “Hahaha … selera humormu memang buruk.”

“Memangnya Anda sedang mencari pelawak?” Flora kembali menimpali perkataan Alvero. Ia sekarang lebih berani dan lebih percaya diri.

Alvero cukup tertarik dengan wanita yang dulu sering ia bully. “Kamu sudah memilih untuk bekerja di sini, jadi harus mengikuti aturan yang ada. Sebagai sekertaris, kamu harus tampil rapi dan cantik karena setiap saat bisa ada pertemuan dengan klien. Kamu tidak boleh terlihat jelek. Untuk hari ini akan aku maklumi.

Jadi, besok, datanglah dengan penampilan yang tidak mengerikan seperti ini,” pinta Alvero.

Flora rasanya ingin berteriak protes di hari pertamanya bekerja. Baru hari pertama saja atasannya sudah sangat menyebalkan.

Bab 3: Bos Tukang Bully

Hari pertama bekerja Flora langsung diminta untuk menemani Alvero menemui seorang klien dari Singapura. Lelaki itu masih sempat sesekali mengejeknya dengan sebutan “Bul-bul” yang merupakan ejekannya saat SMA. Flora hanya bisa berusaha mengabaikan kelakuan kekanak-kanakkan Alvero.

“Penampilanmu sangat jelek, untung saja terbantu dengan kemampuan komunikasimu yang bagus,” ucap Alvero setelah pertemuan itu berakhir.

“Dia memang tidak bisa berubah,” gerutu Flora yang kesal dengan suara kecil.

“Pokoknya besok kamu harus berdandan yang rapi dan cantik. Kalau perlu operasi plastik. Kalau tidak ada biaya, aku yang akan membiayai,” imbuh Alvero.

“Cih, sombong!” lirih Flora.

Ia tidak tahu apakah akan tahan untuk bekerja dengan lelaki itu seterusnya. Baru hari pertama saja rasanya ia ingin berhenti.

“Kamu sejak tadi aku bicara kenapa diam saja?” protes Alvero.

Flora menyunggingkan senyum. “Baik, Pak. Akan saya lakukan apa yang Anda minta,” katanya.

“Pasti akan sangat sulit mendandani wajah jelekmu itu. Tapi, setidaknya kamu tidak gendut seperti dulu. Pipimu juga lebih tirus sekarang.”

“Pak, bisa tidak Anda berhenti membahas fisik saya?” akhirnya Flora mengeluarkan keluhannya.

“Kamu tersinggung?” ledek Alvero.

Flora tidak habis pikir ada lelaki semacam itu. Meskipun wajahnya tampan, tapi jika dia satu-satunya lelaki di dunia ini, dia tidak akan memilihnya. Flora juga merasa lega karena Alvero tidak tahu kalau Gavin adalah anaknya.

“Lebih baik aku mengumpulkan uang yang banyak untuk pengobatan Gavin dari pada meminta tolong kepada lelaki narsis dan sombong seberti dia,” gerutu Flora lirih.

“Apa katamu?” Alvero seperti mendengar Flora berbicara sesuatu.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya memang jelek,” kilahnya.

“Nah, kamu mengakuinya sendiri.” Alvero tersenyum senang. Entah mengapa ia sangat bahagia bisa meledek seseorang yang sudah sangat lama tidak ditemuinya. “Kalau begitu, kita ke lobi sebentar,” ajaknya.

“Bukankah jam kerja saya sudah berakhir?” protes Flora.

Alvero memicingkan sebelah alisnya. “Aku hanya ingin mengenalkanmu pada orang yang biasa membuatkanku minuman. Karena kamu sekarang yang jadi sekertarisnya, jadi kamu yang harus membuatkannya untukku.”

Flora tidak percaya jika menjadi seorang sekertaris juga harus menyiapkan minuman untuk atasannya juga. Ia merasa sedang dijadikan sebagai pelayan.

“Setelah itu kamu bisa langsung pulang,” kata Alvero.

Flora hanya bisa menurut. Ia mengikuti bosnya menaiki lift khusus yang berbeda dengan lift yang tadi pagi ia naiki. Lift ini terlihat lebih bagus dan mewah.

“Ini lift khusus untuk petinggi perusahaan. Karena kamu sekertarisku, kamu boleh ikut memakainya,” kata Alvero.

Ting!

Pintu lift terbuka.

Seorang anak laki-laki berdiri tegap tepat di hadapan mereka. Matanya terlihat jernih dan berbinar-binar.

“Mama ….” Panggil anak itu dengan polosnya.

“Papa?” panggilnya lagi saat melihat Alvero, lelaki yang berdiri di sebelah ibunya.

Flora sangat panik. Ia melangkah keluar lift dengan segera menggendong Gavin dan menutup mulutnya. Sementara, Alvero masih tertegun di tempat. Ia seperti mendengar anak itu memanggil ‘Mama’.

“Maaf, Pak. Sepertinya saya harus pulang sekarang,” kata Flora dengan canggung.

“Mama, apa om tampan itu ….”

Flora kembali menutup mulut anaknya. Ia tidak mau Alvero sampai tahu kalau Gavin adalah anaknya. “Maaf, Pak. Saya pulang sekarang!” ia segera kabur dari hadapan Alvero.

Alvero keluar dari dalam lift dengan perasaan heran. Memang sejak lulus SMA dia tidak pernah lagi bertemu dengan Flora.

“Flora sudah punya anak? Berarti dia sudah menikah?” tanyanya pada diri sendiri. “Tadi anak itu memanggil ‘Mama’, kan? Atau tadi anak itu panggil ‘Papa’? Yang benar saja, masa Flora sudah menikah?”

Seingat Alvero, ia sudah membaca seluruh biodata yang Flora berikan. Riwayat Pendidikan serta pengalaman kerja dan kemampuan yang dimiliki sudah ia baca dengan teliti. Ia yakin jika dalam biodata tersebut dituliskan bahwa status Flora masih single.

“Apa dia sudah janda?” ia semakin merasa penasaran.

Alvero kembali memasuki lift menuju ruangannya. Ia mengambil biodata milik Flora yang masih tergeletak di atas meja kerjanya. Ia kembali membacanya. Di sana jelas tertulis bahwa status Flora adalah single.

“Aku tidak salah, kan? Dia memang masih single,” gumam Alvero.

“Usia anak itu sepertinya sama dengan Leonard, mungkin sekitar lima tahun. Sejak kapan dia jadi ibu tunggal?”

Alvero mengalihkan pandangan ke foto keluarga yang terpasang di sana. Ia rasa anak yang tadi dilihatnya seumuran dengan anaknya, Leonard.

Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. “Tolong carikan informasi tentang sekertaris baruku. Semua hal, pokoknya dapatkan informasinya. Besok aku tunggu laporannya sudah harus ada di meja kerjaku!” perintahnya.

***

“Gavin, kenapa kamu mendatangi kantor Mama?” tanya Flora saat perjalanan mereka pulang dari perusahaan.

“Aku ingin melihat tempat kerja Mama yang baru,” jawab Gavin tanpa rasa bersalah. Ia sibuk menikmati permen lolipopnya.

Flora menghela napas. “Gavin, jangan diulangi lagi, ya! Miss Rida tadi sangat khawatir kepadamu,” nasihatnya.

Gavin mengangguk. “Maafkan Gavin ya, Ma,” ucapnya dengan polos.

“Iya, Sayang. Mama sudah memaafkanmu,” balas Flora dengan senyuman tulusnya.

Anak itu sudah membuat gempar sekolahannya. Semua guru di TK Tunas Permata mengira Gavin hilang dan diculik orang. Ternyata anak pintar itu pergi sendiri ke perusahaan tempat ibunya bekerja.

“Gavin,” panggil Flora.

“Iya, Ma?”

“Kamu tadi ke kantor Mama naik apa?” tanya Flora penasaran. Jarak antara kantor dengan sekolah Gavin terbilang cukup jauh dan Gavin tidak beri uang jajan.

Gavin menyunggingkan senyuman lebar. “Aku tadi pura-pura jadi anak hilang, Ma. Terus, ada pak polisi lewat. Gavin bilang mama kerja di perusahaan itu. Jadi, Gavin diantar ke sana,” katanya.

Jantung Flora rasanya mau copot. Ia merendahkan badan dan berlutut di depan Gavin hingga tatapan mereka sejajar. “Gavin, dengarkan Mama baik-baik … jangan lakukan hal seperti itu lagi, ya!”

Gavin mengangguk.

“Kalau kamu ingin bertemu Mama atau menginginkan sesuatu, bilang kepada Ibu Guru atau Mama. Jangan pergi sendirian.” Flora merasa beruntung karena kali ini putranya bertemu dengan polisi baik hati. Ia tidak bisa membayangkan jika yang Gavin temui adalah penculik, mungkin saat ini Gavin benar-benar hilang.

“Iya, Mama. Nasihat Mama akan aku ingat,” katanya.

“Ah, ini baru anak baik Mama,” puji Flora.

Ia memeluk putranya seraya melanjutkan kembali perjalanan mereka menuju rumah kontrakan.

“Mama, Om ganteng tadi itu siapa?” tanya Gavin.

Flora rasanya sangat malas untuk membahas

lelaki menyebalkan seperti Alvero. Namun, putranya tidak akan puas bertanya sebelum ia menjawab. “Dia Bos Mama, Sayang.”

“Sepertinya Gavin mirip dengan Om itu, Ma. Apa dia Papa Gavin?”

Flora terdiam sesaat. “Sstt! Kamu jangan sembarangan orang memanggil “Papa”, nanti ada yang marah!”

“Kenapa marah, Ma?” tanya Gavin penasaran.

“Bos Mama sudah menikah, dia sudah punya anak juga. Nanti anaknya marah kalau kamu ikut-ikutan memanggil dia ‘Papa’.”

***

Malam itu Flora tengah duduk menemani putranya menikmati makan malam sambil menoton televisi. Gavin sudah terbiasa makan sendiri. Anak itu terlihat lahap menyantap nasi dan ikan shisamo kesukaannya.

Flora masih berkutat pada laptopnya menyusun jadwal pertemuan perusahaan dengan para klien. Ia tidak ingin memberi celah CEO perusahaan yang menyebalkan itu bisa mengkritik pekerjaannya.

"Ma, bos di kantor Mama itu cocok jadi papaku karena dia sangat tampan sama seperti aku," celetuk Gavin.

Flora hanya menghela napas. Ia rasa anaknya juga mewarisi sifat narsis lelaki menyebalkan itu. Wajah Gavin juga cukup mirip dengan Alvaro, apalagi kedua matanya.

"Gavin, mama kan sudah bilang jangan berpikir seperti itu lagi."

"Tapi, kita kan pindah untuk mencari Papa, Ma. Jadi, Papaku yang dimana?" desak Gavin.

Sejak lama ia ingin mengetahui siapa ayahnya. Ia kerap diledek teman-temannya karena tidak punya ayah.

"Kamu sabar, ya. Nanti kalau waktunya sudah tepat, kita akan bertemu Papa," kata Flora untuk menenangkan putranya.

"Mama punya foto Papa nggak? Kita kan bisa bawa ke kantor polisi biar dibantu cari," ujar Gavin.

Putra Flora memang terlalu cerdas untuk dikelabuhi. Sejak kecil, anak itu tumbuh menjadi anak yang kritis. Segala hal ditanyakan sampai terkadang ia bingung sendiri untuk menjawabnya.

"Kebetulan Mama tidak menyimpan foto papamu, Sayang," kilah Flora beralasan.

"Semua teman Gavin punya foto bareng papa mamanya, Ma. Cuma Gavin yang nggak punya," protes Gavin.

Flora menghentikan pekerjaannya dan mendekati Gavin. Ia memeluk anak yang sangat dicintainya. Ia teringat lagi pada foto yang ada di ruang kerja Alvero. Air matanya jatuh, sedih, ia tak bisa mengatakan bahwa ayah Gavin sebenarnya ada di dekatnya.

"Mama kenapa nangis?" tanya Gavin.

"Soalnya Mama sedih belum bisa mempertemukan Gavin dengan Papa. Mama minta maaf, ya," ucap Flora.

Dengan tangan kecilnya, Gavin mengusap air mata yang mengalir di wajah ibunya. "Iya, Mama. Tidak apa-apa. Gavin juga nanti akan bantu cari. Jangan sedih lagi."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!