NovelToon NovelToon

Menjadi Mata Untuk Suamiku

BAB 1

"Iya Sayang, nanti aku akan pulang saat jam istirahat. Kamu langsung aja ke butik, nanti aku susul kesana."

Setelah memberikan kepastian pada sang kekasih, White mengakhiri panggilan telepon lalu melepas handsfree yang ada ditelinganya. Saat ini, dia sedang mengemudi menuju kantor.

Sebulan lagi, dia dan kekasihnya yang bernama Raya akan segera menikah. Rasanya dia sudah sangat tak sabar menanti hari itu. Dan siang nanti, mereka akan melakukan fitting baju pengantin di butik langganan Raya.

Saat sedang membayangkan hari pernikahannya, tiba tiba White dikejutkan dengan sebuah motor yang melaju dari arah lain. Tak sempat menghindar karena jarak sudah terlalu dekat, tabrakanpun tak bisa dielakkan.

BRAKKK

Terdengar benturan yang sangat keras. Hanya itu ingatan terakhir yang tersimpan dimemori White. Gelap, dia tak sadarkan diri setelah mobilnya mengalami benturan yang sangat keras.

.

.

Airi, wanita berusia 23 tahun yang bekerja menjadi salah satu staf disebuah perusahaan, dibuat kesal karena jalanan yang macet. Dia melihat jam yang bertengger dipergelangan tangannya. Lima belas menit lagi, dia sudah harus ada dikantor, tapi sepertinya tidak mungkin karena mobilnya hanya bisa merambat pelan.

Dia terus terusan menggerutu, bahkan mengumpati polisi lalu lintas yang menurutnya tak bisa melakukan tugasnya dengan benar.

Dia melihat sebuah mobil berwarna putih yang hancur bagian depannya.

"Astaga, jadi penyebab kemacetan panjang ini gara gara kecelakaan," gumam Airi. Bulu kudunya seketika meremang. Dia memang seperti itu saat melihat seatu musibah, terlebih kecelakaan lalu lintas.

Tak jauh dari mobil tersebut, ada sebuah motor matic merk sejuta umat warna hitam yang kondisinya juga rusak parah. Melihat ada darah yang lumayan banyak diaspal, Airi buru buru mengalihkan pandangannya. Dia kembali fokus melihat kedepan.

"Kayak motor Abian," Airi mengerutkan kening sambil mengingat ingat motor yang barusan dia lihat tadi. Sayangnya dia tak sempat melihat nopol motor tersebut karena terlanjur ngeri melihat darah diaspal. Tapi kemudian, dia menggeleng, motor seperti itu ada banyak di Jakarta. Ya, itu pasti motor orang lain.

Sesampainya dikantor, Airi langsung berlari menuju tempat kerjanya. Dia mendesis pelan saat manager ternyata sudah memulai breefing. Dan itu artinya, dia sedang dalam masalah. Semoga saja hanya kena omal, tak sampai kena SP.

"Ma-maaf Pak, saya terlambat. Tadi dijalan macet total karena terjadi kecelakaan."

Manager muda yang sedang memimpin breefing tersebut tampak menghela nafas. Namun kemudian, melanjutkan breefing karena ada hal yang lebih penting untuk dibahas daripada membahas Airi yang telat.

Airi bernafas lega. Dia kemudian fokus mendengarkan apa saja yang disampaikan Pak Restu. Tapi tiba tiba, ponselnya berdering, membuat atensi semua orang langsung tertuju padanya. Melihat wajah garang Pak Restu yang seperti mau menelannya hidup-hidup, Airi langsung mengambil ponsel didalam tas dan mematikannya. Dia sempat melihat kalau ibunya yang menelepon. Mungkin ada sesuatu yang tertinggal. Biarlah, nanti dia akan menelepon ibunya balik.

Selesai breefing, semua kembali ketempat masing masing. Takut jika ada hal penting yang hendak disampaikan ibunya, Airi pergi ke toilet untuk menelepon balik.

"Hallo Bu." Ucap Airi begitu telepon tersambung. Tapi bukannya jawaban, yang dia dengar malah suara tangis ibunya. "Ada apa Bu?" Perasaan Airi langsung tidak enak.

Tapi diseberang sana, sang ibu masih saja menangis. Dan tangisannya terdengar sangat pilu, membuat Airi sangat cemas.

"Ada apa Bu? Apa terjadi sesuatu?" Airi kembali bertanya.

"A-Abian kecelakaan."

Ponsel yang dipegang Airi seketika terjatuh. Seluruh tubuhnya terasa lemas, dan cairan bening mulai merembes dari sudut matanya.

Tak mau membuang waktu, Airi langsung pergi ke rumah sakit. Dia berjalan tergesa gesa menuju UGD. Dari kejauhan dia bisa melihat ibunya menangis. Segera dia menghampiri dan menghambur dipelukannya.

"Adikmu Ai, adikmu," tangis Bu Soraya makin pecah. Dia tak menyangka jika putranya yang tadi pagi izin berangkat ke sekolah, malah mengalami kecelakaan.

"Abian pasti baik-baik saja Bu. Dia kuat, Bian anak yang kuat." Airi menahan tangisnya mati-matian. Dia berusaha untuk menguatkan ibunya.

Tak jauh dari mereka berdua, berdiri sepasang suami istri. Mereka adalah orang tua White, pria yang bertabrakan dengan Abian.

"Tenanglah Mah, White pasti baik-baik saja," Sabda berusaha menenangkan istrinya yang tak henti henti menangis.

"Bagaimana aku bisa tenang Pah, anak kita belum jelas kondisinya," sahut Nuri, mama White.

Setelah beberapa saat, seorang dokter keluar dari UGD. Mereka berempat segera menghampiri dokter tersebut.

"Bagaimana keadaan anak saya Dok?" tanya Mama Nuri yang tak sabar ingin tahu kondisi putranya. "Kor-korban yang tadi memakai jas berwarna hitam," jelasnya. Dia takut salah informasi karena korban kecelakaan ada dua.

"Anda keluarga pasien tersebut?"

"Ya, saya mamanya."

"Mohon maaf Ibu, pasien harus segera dioperasi, ada kerusakan pada bagian matanya."

Deg

Tubuh Mama Nuri seketika lemas, beruntung sang suami berhasil menahannya hingga tak jatuh.

"Ada apa dengan mata putra saya Dok?" Papa Sabda ingin tahu lebih jelas.

"Mata pasien terkena serpihan kaca."

Pikiran Sabda dan Nuri langsung melayang kemana-mana. Mereka sudah membayangkan bagaimana jika putra mereka mengalami kebutaan.

.

.

Hari ini sudah seminggu lebih Abian dirawat dirumah sakit. Pemuda berusia 18 tahun itu mendapatkan banyak jahitan diarea kepala serta mengalami patah tulang bagian kaki. Selama dirumah sakit, ibu dan kakaknya senantiasa menjaga dan merawatnya.

"Hari ini Ai cuti Bu. Sebaiknya Ibu pulang saja, biar Ai yang jaga Abian." Airi tak tega melihat wajah pucat ibunya. Wanita paruh baya tersebut selalu menolak jika disuruh pulang, dia lebih memilih berada didekat Abian.

"Ibu disini saja."

"Tapi disini tak bisa tidur dengan nyenyak Bu." Kamar Abian memang bukan kelas VIP, jadi dalam 1 ruangan, ada 2 orang pasien yang ditengahnya disekat menggunakan kelambu.

"Dirumahpun, Ibu tak bisa tidur dengan nyenyak."

Airi hanya bisa menghela nafas. Membujuk Ibunya agar mau pulang memang sangat susah.

Disaat bersamaan, dua orang polisi masuk kedalam ruangan Abian.

"Selamat pagi," ujar salah seorang dari mereka.

"Selamat pagi, Pak." Sahut Airi dan ibunya bersamaan. Sedangkan Abian, wajah pemuda itu langsung pucat pasi. Dia yakin polisi datang untuk menanyainya tentang kasus tabrakan yang dia alami.

"Kedatangan kami kesini, untuk meminta keterangan pada saudara Abian," ujar salah satu polisi.

Bu Soraya dan Airi mengangguk. Mereka lalu membiarkan polisi meminta keterangan pada Abian. Tak hanya Abian yang merasa tegang, Airi dan Ibunya juga sama. Setelah hampir 1 jam, akhirnya mereka menyudahi sesi tanya jawab tersebut.

"Setelah saudara Abian keluar dari rumah sakit, penyidik akan memberikan surat panggilan untuknya."

Tubuh Abian seketika lemas.

"Apa adik saya bersalah Pak?" tanya Airi.

"Menurut keterangan saksi dan rekaman cctv jalan, serta keterangan dari adik anda barusan, bisa disimpulkan jika adik anda bersalah dalam kasus tabrakan ini."

"Bagaimana bisa negitu?" sela Bu Soraya. "Anak saya tertabrak mobil, bagaimana mungkin dia yang bersalah?" protesnya.

"Dari rekaman cctv, saudara Abian berusaha menyalip truk didepannya hingga masuk kejalur lain. Dan disaat bersamaan, ada mobil dari arah lain hingga terjadi kecelakaan. Disini jelas sekali, Abian yang masuk kejalur lain hingga terjadi kecelakaan."

Tubuh Bu Soraya seketika lemas, begitupun dengan Airi.

"Aku tak mau dipenjara Bu," Abian menangis setelah kedua polisi tersebut keluar. "Tolong aku Bu, aku tak mau dipenjara. Kak, aku tak mau dipernjara Kak. Aku takut Kak."

Bu Soraya memeluk Abian sambil menangis. Kedua orang itu menangis sesenggukan hingga membuat Airi tak sanggup melihatnya. Airi keluar dari ruangan Abian, duduk termenung disebuah kursi tunggu sambil memikirkan nasib Abian kedepannya. Adiknya itu masih sangat muda, masih 18 tahun, kalau sampai dipenjara, bagaimana dengan masa depannya.

Airi menyeka air matanya. Dia harus mendatangi keluarga korban, meminta maaf dan mengajak mereka berdamai. Bagaimanapun, semua ini kecelakaan, bukan kesengajaan.

BAB 2

Dokter membuka pelan pelan perban yang menutupi mata White. Jantung pria itu berdebar berdebar kencang. Semoga saja apa yang dia takutkan tidak terjadi.

"Sekarang buka mata anda," titah Dokter.

White membuka pelan-pelan matanya. Rasanya sedikit perih. Sang mama yang berada disebelahnya, menggenggam tangannya erat. Gelap, dia tak melihat apapun meski matanya sudah terbuka. Dia meraba matanya, tak ada perban lagi disana, tapi kenapa dia masih tak bisa melihat apapun.

"Dok, kenapa gelap? Saya tak bisa melihat apapun."

Deg

Jantung Mama Nuri seperti berhenti berdetak. Air matanya luruh tanpa diminta. Ketakutan terbesarnya menjadi nyata. Putra satu satunya, mengalami kebutaan.

"Mah, Pah, kenapa semuanya gelap?" White menggerakkan tangannya kedepan, mencoba meraba apa yang ada. Samar-samar, dia bisa mendengar isak tangis mamanya. "Mah, aku gak butakan Mah?" White mencoba menyentuh apapun, hingga tangganya, berhenti pada sebuah lengan. Tapi dia tak tahu itu lengan siapa. "Dokter, saya tidak butakan?" White mengalami tremor. Sepanjang hidup, baru kali ini dia merasakan ketakutkan sebesar ini.

"Maaf Pak, terjadi kerusakan pada kornea mata anda. Hal itu mengakibatkan, anda tak bisa melihat."

White mencengkeram kuat lengan yang dia pegang. "Bohong, saya tak mungkin buta. Anda bohong kan Dok?"

"Sekali lagi, maafkan saya Pak."

"Enggak," teriak White dengan nafas memburu. "Aku tidak buta, aku tidak buta," dia terus berteriak frustasi.

Mama Nuri yang berada disisi White langsung memeluknya. "Tenanglah sayang, tenang. Pasti ada cara agar kau bisa melihat lagi." Dia berusaha membesarkan hati sang putra, meski dia sendiri tidak yakin. Mencari donor kornea mata bukanlah sesuatu yang mudah.

"Aku tak bisa melihat Mah, aku buta," tangis White pecah.

Papa Sabda yang melihat itu tak kuasa menahan air matanya. Putra yang dulunya sempurna, tiba tiba buta.

Tanpa mereka tahu, seorang gadis mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dia adalah Airi, gadis itu ikut menangis. Gara-gara adiknya, seorang pria kehilangan penglihatannya. Dan sekarang, apakah dia masih punya muka untuk meminta kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.

"Kamu siapa?"

Airi terkejut saat ada yang menepuk bahunya. Saat dia menoleh, seorang wanita cantik berdiri dibelakangnya. Cepat-cepat dia menyeka air mata yang menggenang dipelupuk mata.

"Sa, saya," Airi bingung mau menjawab apa.

"Bisakah kamu minggir, saya mau masuk."

"Ma-maaf, silakan." Airi minggir, memberi jalan wanita cantik itu masuk kedalam ruang rawat lalu menutup pintu.

"Raya," ujar Mama Nuri saat melihat calon menantunya datang.

"Tante, Om." Raya mendekat kearah brankar lalu mencium tangan Papa Sabda dan Mama Nuri.

Sementara Dokter dan suster, karena tugasnya sudah selesai, mereka pamit keluar.

Mengetahui calon istrinya datang, White merasa cemas. Ada ketakutan dalam dirinya jika Raya tak bisa menerima kekurangannya.

"White, perban kamu sudah dilepas?" Raya terlihat senang. Beberapa kali dia datang menjenguk saat White masih mengenakan perban. "Aku senang kau sudah sembuh. Hari ini aku membawakanmu apel, apa kau mau aku mengupaskannya?"

White hanya diam saja sambil menunduk.

"Lihatlah ini kesukaanmukan, apel hijau?" Raya menunjukkan sebuah apel kehadapan White. Tapi dia merasa aneh, pandangan White tak mengarah pada apel tersebut. "Sayang, kau tidak apa apa kan?"

"White tidak bisa melihat," ujar Mama Nuri.

Plug

Apel yang dipegang Raya seketika terjatuh. Tubuhnya langsung lemas mengetahui jika calon suaminya buta.

Papa Sabda, dia mengajak istrinya keluar. Memberi ruang untuk White dan Raya bicara dari hati kehati. Bagaimanapun juga, ini masalah serius. Dan mereka sendirilah yang paling berhak untuk memutuskan seperti apa kedepannya.

Keluar dari kamar, Mama Nuri terkejut melihat seorang gadis berdiri tak jauh dari pintu kamar rawat White. Dia seperti pernah melihat gadis tersebut, tapi dimana, dia lupa.

Airi menghampiri orang tua White, tangannya terulur kedepan untuk menyalami mereka.

"Siapa kamu?" tanya Papa Sabda sambil menjabat tangan Airi.

"Sa-saya Airi."

"Airi, siapa?" Mama Nuri mengerutkan kening.

"Saya kakak dari pemuda yang motornya bertabrakan dengan mobil putra anda."

Sorot mata Mama Nuri yang awalnya biasa saja, langsung berubah menjadi benci. "Jadi kau keluarga tersangka?"

Airi hanya menunduk.

"Untuk apa kau kesini?" tanya Mama Nuri.

"Sa-saya mau meminta maaf atas nama adik saya."

Mama Nuri tersenyum miring. "Hanya meminta maaf, atau ada maksud lainnya?"

Airi ragu untuk mengatakannya, tapi dia tak ada pilihan lain. Dia harus mencoba meski kemungkinan besar tidak akan disetujui.

"Bisakah jika kasus ini diselesaikan secara damai?"

Mama Nuri tersenyum sekaligus menangis. Damai? Putranya kehilangan penglihatan dan semua ini ingin diselesaikan secara damai? Gadis didepannya itu terlalu naif. "Kau lihat dinding disebelahmu."

Airi menoleh dan melihat dinding disebelahnya.

"Apa warnanya?" tanya Mama Nuri.

"Pu-putih," sahut Airi terbata.

"Dan pintu itu, apa warnanya?" Mama Nuri menunjuk pintu ruang rawat White.

"Co-coklat."

"Kau bisa tahu semuanya. Tapi putraku, putraku didalam sana_" Mama Nuri memegangi dadanya yang sesak. "Putraku tak bisa melihat apapun. Putih, Abu, coklat, bahkan untuk menatap wajahnya sendiri dicermin saja, dia tidak bisa," teriak Mama Nuri sambil menangis histeris.

"Sabar Mah, sabar," papa Sabda mencoba menenangkannya.

"Apakah menurutmu semua ini adil. Apa adil jika anakku buta sedang adikmu tak mendapatkan ganjaran yang setimpal. Apa ini adil hah?" teriak Mama Nuri sambil mengguncang bahu Airi.

Airi menangis, dia tahu ini tak adil. Tapi melihat adiknya dipenjara, dia tak akan sanggup. Belum lagi ibunya, wanita itu pasti seperti hidup tanpa nyawa jika Abian dipenjara.

"Mah, tenangkan dirimu Mah." Papa Sabda menarik tangan Mama Nuri agar melepaskan Airi. "Maaf, sepertinya kami harus pergi. Untuk urusan kecelakaan ini, kami sudah menyerahkannya pada pengacara," Papa Sabda membawa Mama Nuri pergi dari sana.

"Kejam sekali mereka Pah. Setelah membuat Whiteku buta, dengan tak tahu malunya meminta damai." Airi masih bisa mendengar itu meski Mama Nuri sudah berjalan cukup jauh.

Dengan langkah lunglai, Airi kembali keruang rawat adiknya. Didepan ruang rawat Abian, terlihat ibunya sedang duduk melamun.

"Bu." Airi menyentuh bahu ibunya lalu duduk disebelahnya. "Kenapa Ibu tidak masuk kedalam?"

Bu Soraya hanya diam. Tatapan matanya terlihat kosong.

"Bu, ayo kita masuk." Airi menggenggam tangan ibunya yang terasa dingin.

Bu Soraya menarik tangannya. "Ibu mau disini saja," acapnya lemah.

Airi menghela nafas berat lalu menyandarkan punggungnya.

"Abian tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Ayah kalian meninggal saat Bian masih berusia 3 tahun. Dan itu semua karena Ibu. Kalau saja malam itu Ibu tak menyuruh ayah kalian pergi membeli sate, ayah kalian pasti masih hidup. Dia tak akan bertemu begal dan meninggal secara mengenaskan." Bu Soraya menangis mengingat kejadian belasan tahun silam.

"Itu bukan salah Ibu." Airi menangis sambil memeluk Ibunya dari samping.

"Ibu dengar, pria yang ditabrak Abian adalah orang kaya. Mereka pasti membayar pengacara hebat untuk menjebloskan Bian kepenjara. Ibu tak akan sanggup melihat Bian dipenjara Ai, Ibu tak sanggup. Nanti, Ibu akan bicara pada Pak Hakim, biar Ibu saja yang menggantikan Bian dipenjara, biar Ibu saja." Bu Soraya menangis sambil menepuk nepuk dadanya yang terasa sesak. Abian anak yang baik, dia tak sengaja menabrak. Mana mungkin dia sanggup melihat putra kesayangannya dipenjara.

BAB 3

Hari ini, Raya mengajak Mama Nuri dan Papa Sabda bertemu direstoran yang ada didepan rumah sakit. Meski Raya belum mengatakan apa-apa, feeling Mama Nuri mengatakan jika Raya ingin mengakhiri hubungannya dengan White.

"Ada apa Ray?" tanya Papa Sabda.

"Emm...sebelumnya, Raya mau minta maaf Om, Tante. Raya diterima masuk agensi mode di USA. Raya akan sangat sibuk tahun ini. Dan sepertinya..."

"Kamu ingin membatallkan pernikahanmu dengan White," potong Mama Nuri.

"Maafkan Raya Tante. Sebenarnya Raya tak ingin membatalkan pernikahan. Tapi kedepannya, Raya pasti sangat sibuk, harus bolak balik Jakarta - LA. Raya takut tak bisa menjaga White dengan baik saat kondisinya seperti ini."

Papa Sabda tersenyum miring. Menurutnya, ini hanya sebuah alasan klasik saja. Tapi saat ini, White sedang butuh dukungan. Pernikahan yang batal, akan membuat White makin terpuruk. "Kenapa kau tak menolak pekerjaan itu? Aku bisa memenuhi kebutuhanmu. Bahkan memberikanmu uang sebesar gajimu sebagai model. Kau tak perlu bekerja lagi. Kau hanya perlu ada dirumah dan menjaga White." Terdengar seperti sebuah permohonan, tapi tak apa, Papa Sabda rela menurunkan harga dirinya demi kebahagiaan sang putra.

"Raya tak bisa kalau hanya diam dirumah Om. Raya ingin berkarir. Dan menjadi model internasional adalah impian Raya.

"Dan menikah dengan White, bukan impianmu?" sela Mama Nuri sambil menatap Raya tajam.

"Bu-bukan begitu maksud saya Tante. Saya ingin sekali menikah dengan White. Tapi saya takut tak mampu menjaganya."

Papa Sabda berdecih, dia makin yakin kalau alasan utama Raya membatalkan pernikahan bukanlah karena karier, melainkan karena White yang sudah tidak sempurna.

"Raihlah cita-citamu, kau berhak bahagia," ujar Papa Sabda. "Dan White, dia juga berhak mendapatkan wanita yang lebih baik darimu." Sebuah kalimat telak yang membuat Raya sekatika menunduk dalam. "Ayo kita pergi Mah." Papa Sabda berdiri lalu mengulurkan tangan kearah istrinya.

"Semoga kau bahagia Raya. Semoga kau mendapatkan pria yang lebih baik dan lebih sempurna dari putraku," Mama Nuri meraih tangan suaminya lalu berdiri. Mereka pergi meninggalkan Raya yang masih terpaku ditempat.

Yang dialami White adalah musibah, dan dari musibah itu, kedua orang tuanya jadi tahu jika Raya tak benar-benar tulus mencintai White. Jika cintanya tulus, dia akan menerima White bagaimanapun keadaannya. Bukan malah meninggalkan disaat mental White masih terguncang seperti saat ini.

.

.

Semantara Airi, gadis itu belum mau putus asa. Hari ini, dia kembali mendatangi ruang rawat pria yang ditabrak adiknya. Dia masih ingin mengiba, meminta belas kasihan agar kasus ini berakhir dengan damai.

Airi mengetuk beberapa kali ruang rawat White. Jantungnya berdegup kencang. Dia menyiapkan mental jika nantinya, dia akan dimaki habis habisan.

"Siapa?" sahut White dari dalam.

Airi membuka perlahan pintu kamar White lalu masuk.

"Si-siapa?" White sedikit cemas. Dia belum terbiasa dengan kondisi tak bisa melihat. Mengetahui ada seseorang tapi tak bisa melihat, membuatnya gelisah. "Dokter? Sus-suster," dia menebak nebak.

"Sa-saya Airi."

"Airi? Si-siapa?" White mencengkeram pinggiran ranjang. Dia tak pernah cemas seperti ini hanya karena bertemu orang asing. Tak bisa melihat, membuatnya kehilangan keberanian sekaligus rasa percaya diri. Mendengar suara derap langkah yang makin dekat, jantung White derdegup kencang.

"Si-siapa kamu? Mau apa datang kemari?"

"Jangan takut," Airi berhenti didekat White. Menatap iba pada pria yang gemetaran tersebut. "Aku bukan orang jahat," lanjutnya.

"Lalu, untuk apa kau kesini? Aku tidak mengenalmu."

"Aku ingin minta maaf."

"Maaf?" White mengerutkan kening.

"Aku meminta maaf atas nama adikku. Adikku tak sengaja menabrakmu."

Rahang White seketika mengeras. "Jadi kau keluarga orang yang telah membuat aku buta?" nafas White terdengar memburu.

"Tolong maafkan adikku, dia tidak sengaja."

"Apa kau bilang, maaf?" White tersenyum miring. "Apa kata maaf bisa membuatku kembali bisa melihat?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Sekali lagi aku minta maaf," Airi tak kuasa menahan air matanya.

"Aku tidak akan pernah memaafkannya," teriak White. "Masa depanku hancur karena dia. Aku tak bisa lagi melihat dunia karenanya. Dan apa kau pikir, semua ini bisa ditebus hanya dengan kata maaf? Jawab," teriaknya. "Kalau saja maaf bisa membuatku bisa melihat kembali, detik ini juga, aku maafkan dia."

"Tapi adikku masih sangat muda. Mentalnya terganggu karena kasus ini. Dia_"

"Apa kau pikir mentalku tidak terganggu hah?" bentak White. Pria itu tak kuasa menahan air matanya. "Duniaku hilang, gelap, aku tak bisa melihat apapun kecuali gelap. Apa kau bisa membayangkan menderitanya jadi aku? Kau sangat egois Nona. Kau hanya memikirkan adikmu, tapi kau tak memikirkan aku."

Airi menggeleng sambil sesenggukan. "Itu tidak benar. Aku mengerti apa yang kau rasakan. Aku rela melakukan apapun untuk menebus kesalahan adikku asal dia tidak dipenjara." Meski terkesan egois dan tak tahu malu, Airi tetap melakukannya.

"Kalau begitu, berikan matamu untukku," sahut White.

"Kalau saja itu bisa, tanpa kau mintapun, aku akan memberikannya. Sayangnya itu tidak bisa. Orang yang sehat tidak bisa mendonorkan kornea mata."

"Kau pikir, aku akan luluh dengan ucapanmu tadi, sayangnya tidak. Pengacaraku akan mengawal kasus ini hingga adikmu mendekam dipenjara. Keluar dari sini," usir White.

"Aku mohon jangan lakukan itu?" Airi mengatupkan kedua telapak tangan didada sambil menangis.

"Pergilah, aku tak akan pernah luluh dengan air matamu."

Dengan langkah lunglai, Airi keluar dari kamar White. Dia terkejut saat melihat Mama Nuri berdiri didepan pintu yang setengah terbuka.

"Ta-tante."

"Ikut denganku," ujar Mama Nuri. Dia berjalan menuju kursi panjang yang tak jauh dari ruangan White. Sementara Airi, dia mengekor dibelakangnya. "Duduklah," Mama Nuri menepuk bangku disebelahnya.

Airi mengangguk lalu duduk disebelahnya. Untuk beberapa saat, mereka saling diam. Tanpa Airi dan White tahu, Mama Nuri mendengar obrolan mereka tadi.

"Berapa usiamu?"

"23 tahun."

"Bekerja atau kuliah?"

"Saya lulus kuliah tahu lalu, dan sekarang bekerja di SE Corp."

"Sudah menikah?"

Airi menggeleng, "Belum."

Mama Nuri menghela nafas. Entah feelingnya sebagai ibu benar atau tidak, dia merasa jika Airi adalah gadis yang baik. Dia terlihat sangat tulus saat meminta maaf atas nama adiknya. Selain itu, Airi juga sangat cantik, tak kalah dari Raya. Latar belakang pendidikannya juga bagus, terbukti dari tempat dia bekerja. Dia tahu SE Corp, itu adalah perusahaan besar, dan hanya orang kompeten saja yang bisa masuk kesana.

"Apa benar kau mau melakukan apapun asal kasus ini tak dilanjutkan?" Mama Nuri menoleh kearah Airi.

"Iya Tante."

"Menikahlah dengan putraku."

Deg

Airi yang awalnya menunduk sekatika mengangkat wajahnya.

"Jadilah mata untuk White. Rawat dia sepenuh hati. Jika kau bersedia, aku akan meminta pengacara untuk segera menyelesaikan kasus ini. Kau tahukan, kadang uang bisa melakukan segalanya. Akan aku pastikan adikmu tidak dipenjara."

"Saya bersedia Tante," Airi tak mau berfikir dua kali. Baginya, yang penting Abian tidak dipenjara. Selain itu, jika juga bisa menebus kesalahan Abian dengan menjadi mata untuk White.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!