NovelToon NovelToon

Sang Pemilik Hati

Bab 1

Khatimah Aisyah yang sering di sapa Imah itu merupakan wanita yang sangat cantik di kampung Bojong. Kecantikannya selalu menjadi buah bibir bagi para ibu-ibu dan kaum adam. Sebab tidak sedikit dari mereka yang berdatangan ingin menjadikan Imah sebagai pendamping hidup atau menantu. Tapi sayang Imah selalu menolaknya dengan berbagai macam alasan yang kedua orang tuanya pun sampai tidak habis pikir.

"Alasan apa lagi yang mau kamu berikan untuk menolak Fahri besok?." Ucap Ibu Muslimah geram. Mengusap wajahnya berulang kali saat sudah duduk di tepi ranjang milik Imah.

Sudah ada ratusan pria yang telah di tolak oleh Imah. Saat usia Imah mulai beranjak 20 tahun sampai usia Imah sekarang 36 tahun. Entah sudah berapa banyak hati yang tersakiti oleh penolakan Imah. Karena tidak sedikit dari mereka yang tertantang untuk mendapatkan kembang desa itu. Ada juga yang memang benar-benar menginginkan Imah menjadi istrinya.

Imah selalu terdiam setiap kali disudutkan dengan pertanyaan yang selalu dilontarkan oleh Ibunya.

"Fahri bukan pria biasa. Bukan hanya karena tampan, mobil mewah, atau pekerjaan yang sangat menjanjikan. Tapi Fahri juga pantang menyerah untuk menjadikan mu istrinya." Tutur Ibu Muslimah dengan lemah lembut. Sudah terhitung ini ketujuh kalinya Fahri akan meminta Imah untuk menjadi istrinya.

"Ibu mohon buka sedikit hati mu dan beri kesempatan pada Fahri untuk bisa mengobrol dengan mu." Lanjut Ibu Muslimah lirih.

"Aku tidak janji, tapi aku akan mengusahakan." Akhirnya Imah buka suara terkait besok pertemuan dirinya dan pria yang bernama Fahri.

Sebagai seorang ibu tentunya ibu Muslimah menginginkan jodoh yang terbaik untuk anak perempuannya. Jodoh yang langgang dan membawa putrinya pada jalan kebaikan serta kebahagiaan.

Apalagi di sini, Fahri sendiri tidak langsung meminta Imah untuk menikah. Hanya untuk saling mengenal lebih dekat saja dulu, kalau nantinya memang ada kecocokan dan bisa untuk melangkah ke tahap yang lebih serius, kenapa tidak. Itu yang diharapkan mereka.

Keesokan paginya...

Ibu Muslimah dan Abi Rosidi serta kedua orang tua dari Fahri meninggalkan Fahri dan Imah di ruang tengah yang cukup besar dan nyaman.

Imah sendiri terlahir dari keluarga berada dan cukup terpandang di kampung Bojong.

"Aku bersyukur, akhirnya memiliki kesempatan untuk bicara berdua dengan mu. Tidak langsung menyuruh ku pulang saat kamu menolak ku." Fahri mengembangkan senyum yang membuat ketampanannya berkali lipat. Tapi itu tidak membuat hati Imah bergetar atau tergerak untuk menyukai Fahri walau seujung kuku pun.

"Iya, Fahri. Aku juga sangat bersyukur, kamu tidak pantang menyerah untuk tetap bisa menyambung tali silaturahmi keluarga kita." Imah bicara lebih santai, tidak kaku saat beberapa kali bertemu dengan Fahri atau pun pria yang lainya.

"Iya tapi sayang kamu masih bersikeras untuk menolak, bahkan hari ini juga kamu menolak ku lagi." Senyum itu terus mengembang, sebenarnya untuk mencairkan suasana yang cukup menegangkan.

"Tapi kalau boleh aku tahu, alasan apa yang sebenarnya kamu miliki untuk tetap menolak ku?." Tanya Fahri tegas, kali ini memasang wajah serius. Sebab memang ingin tahu alasan kuat apa yang dimiliki oleh Imah.

"Aku memiliki sebuah janji di masa lalu. Janji untuk menunggu kedatangannya, meminta ku pada Ibu dan Abi secara baik dan benar sehingga kami bisa menjadi sepasang suami istri." Tutur Imah sendu namun berusaha untuk tegar. Sedetik menundukkan wajahnya lalu mengangkatnya kembali dan manatap wajah lawan bicaranya.

Fahri masih ingin mendengarkan kelanjutan dari perkataan Imah, makanya dia hanya menatap wajah cantik yang yang begitu teduh dengan balutan pakaian muslim.

"Dan sampai detik ini, aku masih menunggunya. Atas kemauan ku sendiri, aku masih mau menunggunya." Lanjut Imah lirih.

Walau pun dadanya Fahri seperti ikut terhimpit dinding tembok yang begitu sempit, hingga dirinya kurang mendapatkan pasokan oksigen. Fahri tetap memperlihatkan senyum manis.

"Aku begitu salut pada mu, masih memegang janji dengan begitu teguh untuk pria lain. Padahal pria yang berdatangan pada mu juga banyak bukan?, salah satunya aku."

"Aku tidak ingin dia kecewa karena aku telah ingkar janji padanya. Lebih aku, aku menunggunya sampai aku tahu kenapa dia tidak datang menemui ku?." Tenggorokannya terasa kering setelah mengatakan hal itu.

Tidak bisa dipungkiri sebagai seseorang yang sudah lama menunggu kedatangan pria itu namun juga tidak kunjung datang. Sakit dan kecewa cukup mendominasi perasaannya selama lima tahun pertama penantiannya yang sia-sia. Tapi sekarang dia sudah bisa berdamai dengan keadaannya untuk tetap memegang teguh janji itu.

"Kamu sudah memikirkan banyak kemungkinan yang bisa terjadi kenapa pria itu belum datang memenuhi janjinya pada mu?." Tanya Fahri hati-hati.

Pastinya Imah sudah memikirkan itu semua, namun itu hanya dugaannya saja karena sampai detik ini pun tidak ada satu bukti yang datang padanya.

"Walau sekali saja dia datang pada ku, meski dalam keadaan sudah hidup bahagia bersama wanita lain. Aku tidak akan marah atau menyalahkannya. Sudah cukup bagi ku dengan melihatnya bahagia dan aku cukup lega dengan janji yang sudah aku tunaikan." Sudut hati Fahri sangat terusik dengan setiap kalimat yang keluar dari bibir Imah.

Tanpa sadar dirinya yang menetaskan air mata. Tersentuh dengan kebesaran hati dan ketulusan yang dimiliki seorang Imah. Begitu besar dan dalam pula arti sebuah janji bagi seorang wanita shalihah seperti Imah.

Pertemuan mereka berakhir dengan adanya suara adzan yang terdengar mulai saling bersahutan dari masjid satu dengan masjid yang lainya.

Imah begitu merasa sangat lega setelah membagi apa yang selama ini disimpannya dalam hati. Namun tetap dia kembali harus menolak Fahri demi pria yang sedang dinantinya.

"Semoga Allah masih mau memberikan kesempatan pada kita untuk bertemu walau hanya sebentar."

Di saat-saat sedang sendiri ini lah, Imah bisa menumpahkan air mata. Menangis memohon kebesaran kuasa Allah untuk bisa segara mempertemukan dirinya dengan Salim. Pria dari masa lalu yang masih terbawa sampai sekarang dalam setiap doanya.

Bukan perkara mudah untuk tetap menepati sebuah janji yang sudah lama terucap. Apalagi ini urusan hati dan masa depan, tapi sejauh ini Imah sudah berkompromi dengan nasib dan jalan hidupnya.

Imah tidak mempedulikan predikat yang sekarang tersemat melekat dengan dirinya yaitu sebutan sebagai perawan tua.

Untuk sekarang ini di kampung Bojong yang belum menikah dengan usia di atas 30 tahun adalah dirinya, hanya Imah seorang. Setiap pria yang datang pun usianya mungkin di bawah dirinya atau minimal sama.

.

.

.

"Kamu harus bangun demi janji mu pada Imah. Wanita baik hati itu sudah lama menunggu kedatangan mu. Imah sudah banyak menderita karena menunggu dan menepati janjinya pada mu. Kamu harus sadar dan segara membawa Imah menjadi pengantin mu." Tutur Fahri begitu lirih, bagaikan puisi indah yang mampu di dengar oleh yang berbaring di tempat tidur dengan banyak peralatan medis.

"Pria mana pun tidak akan ada yang bisa membahagiakan Iman selain kamu, Salim."

Bab 2

Pagi-pagi sekali Fahri sudah berangkat ke Jakarta. Melanjutkan kembali aktivitasnya sebagai pemimpin perusahaan alat kesehatan. Yang memasok perlengkapan hampir seluruh rumah sakit yang ada di Indonesia.

Fahri mencoba memahami apa yang sangat dikhawatirkan oleh Paman dan Bibinya. Sehingga mereka meminta kepada kedua orang tuanya untuk membujuk dirinya supaya mau menjadikan Imah sebagai istrinya. Padahal dirinya sendiri sudah memiliki kisah cinta yang sudah lama terajut. Namun itu juga karena dirinya tidak kunjung berani mengutarakan isi hatinya pada Imah.

Sekitar pukul 11 siang, Fahri sudah sampai di perusahan yang diberi nama Health Company. Sudah berdiri hampir 18 tahun, membangun serta merintisnya dari bawah. Bermodalkan keteguhan, keuletan, rasa percaya diri yang tinggi terhadap kemampuan dan kepintaran dalam membaca peluang usaha yang ada.

"Selamat siang, Pak Fahri." Alva yang menjadi sekertaris Fahri membawakan beberapa dokumen yang harus segera ditandatangi.

"Selamat siang, Alva." Fahri meminta dokumen itu lalu meminta Alva untuk duduk menunggunya.

"Rapat untuk sore ini sudah siap belum ya, Alva?. Nanti minta Johan untuk hadir juga." Fahri mengambil ballpoint lalu membubuhkan tanda tangan di sana.

"Baik, Pak Fahri. Saya akan sampaikan pada Pak Johan. Sekarang Pak Johan sedang rapat dengan bagian marketing."

"Baiklah, sekarang kamu boleh keluar." Fahri menyerahkan dokumen lagi pada Alva.

"Baik, Pak Fahri. Terima kasih banyak."

"Iya, Alva. Sama-sama." Alva segera keluar dan kembali melanjutkan pekerjanya di ruangan yang ada tepat di depan ruangan Fahri.

Fahri juga langsung membuka berkas yang masih menumpuk di meja kerjanya. Memeriksa setiap laporan yang sudah dibuat oleh masing-masing divisi.

Fahri mengangkat wajah saat mempersilakan bagian HRD masuk ke ruangannya.

"Silakan duduk, Pak Wahyu."

"Terima kasih banyak, Pak Fahri."

Pak Wahyu duduk di depan Fahri, menyodorkan amplop berwarna coklat berukuran besar.

"Ada CV yang masuk dua bulan yang lalu, hanya saja mungkin ke selip diantara dokumen saya. Saya juga sudah mengirimkan email nya pada Fahri. Menurut saya orang ini bisa mengisi kekosongan pada bagian finance, sebagai Manager Keuangan."

Fahri membuka amplop coklat yang berisi CV seorang pelamar yang diyakini HRD nya bisa mengisi jabatan tersebut.

"Khatimah Aisyah." Gumamnya lirih sambil melihat nama dan foto yang tertera di sana.

Wanita yang kemarin pagi sudah menolak pinangannya, sampai sebanyak tujuh kali.

Fahri membaca CV nya dengan sangat teliti, sampai Fahri menemukan jika Imah belum memiliki pengalaman kerja sama sekali.

"Apa Pak Waktu yakin, posisi Manager Keuangan bisa dipegang oleh orang ini?. Sementara dari CV nya mengatakan kalau orang ini tidak memilki pengalaman sama sekali untuk posisi apa pun. Dengan kata lain, orang ini belum pernah bekerja sama sekali di perusahan mana pun." Tanya Fahri begitu serius. Dia tidak ingin salah dalam memiliki karyawan untuk perusahaannya. Meski dirinya mengenal Imah dengan baik.

"Saya yakin, Pak Fahri. Jika melihat dari hasil ilustrasi keuangan yang sudah dibuatnya." Fahri mencari apa yang disebutkan oleh pihak HRD.

Fahri melihat beberapa bagan keuangan yang sangat baik di susun oleh Imah. Memang tidak salah jika posisi itu ingin diberikan Pak Wahyu pada Imah.

"Itu hanya pendapat saya, semuanya kembali pada Pak Fahri yang memegang penuh keputusan." Pak Wahyu diam, melihat Fahri yang membaca ulang CV sambil membuat email yang dikirim oleh Imah.

Semenara itu di kampung Bojong, di sebuah rumah yang cukup besar namun tidak bertingkat. Baru saja Imah menerima telepon jika dirinya mendapatkan kesempatan ke Jakarta untuk interview dan melakukan beberapa tes untuk posisi yang diajukannya.

"Abi kurang setuju kalau kamu ke sana hanya sendiri. Lain cerita kalau kamu sudah menikah."

"Apa hubungannya, Abi?. Ini kan lamaran kerja yang beberapa bulan lalu. Baru mendapat kesempatan sekarang."

"Kamu saja untuk menghindari gunjingan para tetangga yang suka bergosip, lebih memilih bekerja di Jakarta. Kenapa kamu tidak menerima pinangan Fahri atau langsung menikah?." Ibu Muslimah ikut menimpali yang baru saja datang dari warung.

"Lupakan ke Jakarta dan tetap tinggal di sini!." Putus Abi.

"Sekali saja kamu berpikir tentang kami sebagai orang tua mu." Ibu Muslimah

ikut duduk di sebelah Abi. Kemudian melanjutkan lagi perkataanya dengan begitu serius. Disertai dengan mata yang sudah mengembun. "Kami sudah tua, umur tidak ada yang tahu. Kami ingin merasakan memilliki mantu, menimang cucu, selagi kami masih kuat dan diberi kesehatan."

"Ibu...Abi..."

Imah mendekati keduanya, duduk dibawah, diantara kaki Ibu Muslimah dan Abi Rosidi.

"Sekali saja kamu mengabulkan permintaan kami yang sederhana ini." Ibu Muslimah mengelus kepala Imah yang tertutup hijab. "Ibu dan Abi tahu memang sangat penting untuk memenuhi sebuah janji, tapi ini sudah 11 tahun kamu menunggunya."

Imah menundukkan kepalanya semakin dalam, dia sangat dilema jika harus memilih seperti ini antara permintaan kedua orang tuanya atau tetap memegang teguh janjinya.

"Kami selalu mengikuti kemauan mu dan tidak pernah sekali pun kami menolaknya. Jadi kali ini saja penuhi dan turuti permintaan kami." Pungkas Abi sambil mengusap kepala Imah, lalu bangkit dan berjalan menuju kamar. Namun sebelum menutup pintu, Abi berbalik badan dan menatap putri semata wayangnya yang menatap padanya juga.

"Fahri pria yang sangat baik dan bertanggung jawab. Tidak mungkin kami menjerumuskan mu dalam pernikahan ini." Lalu Abi menutup rapat pintu kamarnya.

.

.

.

Pagi-pagi buta Imah berangkat ke Jakarta diantar oleh Mang Safari dan Bibi Tati, adik dari Abi Rosidi. Setelah sebelumnya dia melakukan kesepakatan bersama Abi Rosidi dan Ibu Muslimah.

"Neng Imah tahu enggak, kalau Fahri masih ada saudara dengan Salim?." Tanya Bibi Tati membuka obrolan. Mang Safari fokus dengan jalanan dan cukup lancar.

"Tahu, aku sudah tahu dari awal. Tapi Fahri tidak tahu kalau Salim yang mengucap janji bersama ku." Jawab Imah menengok pada Bibi Tati.

"Apa menurut Neng Imah, Fahri tahu tentang kabar Salim?."

"Enggak tahu juga, aku belum pernah menanyakannya. Mungkin nanti kalau sudah ada waktu."

"Ngomong-ngomong masalah interview. Dari mana Neng Imah tahu?." Kini giliran Mang Safari yang buka suara.

"Dari lowongan pekerjaan, Mang. Aku iseng-iseng cari tahu dan iseng juga mengirimkan email dan lamaran. Ini saja dua bulan baru di panggil." Jawab Imah menatap lurus ke depan.

"Oh iya...iya."

Saking begitu asyik mengobrol, tidak terasa mobil yang membawa Imah sudah berhenti tepat di sebuah gedung mewah yang menjulang tinggi.

"Benar di sini alamatnya." Setelah Imah memastikan kembali alamatnya.

"Kamu temani Neng Imah, aku mau parkir mobil dulu." Pinta Mang Safari pada Bibi Tati.

"Iya, Neng Imah Ayo!."

Imah dan Bibi Tati keluar dari mobil dan berdiri di depan gedung tersebut.

Bab 3

Imah sudah berada di salah satu ruangan gedung tersebut untuk melakukan interview dan tes. Bibi Tati menunggunya dengan setia di luar ruangan bersama Mang Safari.

Hampir satu jam lebih Imah berada di dalam ruangan itu. Sampai akhirnya Imah mendapatkan hasil yang sangat begitu menyenangkan. Dirinya dinyatakan di terima di perusahan dengan menduduki jabatan sebagai Manager Keuangan. Dan mulai bekerja Senin besok, itu artinya dia hanya memiliki waktu tiga hari saja untuk pindah ke Jakarta dan mencari tempat tinggal di sini.

Imah tidak membuang waktu, dia harus segera pulang dan merundingkan semua ini dengan Ibu dan Abi.

Sedangkan Pak Wahyu segera ke dalam ruang kerja Fahri, melaporkan apa yang telah disepakati pihak perusahan dan Imah selaku karyawan perusahan.

"Senin depan Ibu Imah sudah mulai bekerja di perusahaan, tadinya Ibu Imah meminta waktu lagi karena mungkin Ibu Imah kesusahan untuk mencari tempat tinggal di sini. Tapi akhirnya Ibu Imah menyanggupinya juga."

"Iya kalau untuk orang daerah mungkin agak sulit untuk menemukan tempat yang bagus di sini. Apa Pak Wahyu sudah merekomendasikan tempat yang bagus yang dekat dengan kantor ini?."

"Sudah, Pak Fahri. Mungkin Ibu Imah akan merundingkannya bersama kedua orang tuanya dulu. Itu yang disampaikannya."

Fahri hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Sebab Imah akan selalu melibatkan kedua orang tuanya untuk urusan apa pun.

Fahri kembali melanjutkan pekerjaan setelah Pak Wahyu pamit undur diri dari ruangannya.

Setelah melewati beberapa jam perjalanan, mobil yang dikendarai oleh Mang Safari sudah sampai di kampung Bojong saat pukul 18.20. Mereka bertiga mencari mushola untuk menunaikan sholat Maghrib. Kemudian mereka melanjutkan lagi perjalanannya yang tinggal sebentar, menuju rumah Imah.

"Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumsalam..."

"Kenapa sendiri?, Bibi Tati dan Mang Safari nya mana?." Tanya Abi sambil menerima uluran tangan Imah untuk cium tangan.

"Kata Mang Safari besok pagi ke sini lagi. Tadi sudah di tunggu Mang Jajang di rumah." Imah meletakkan tas di atas kursi sebelah Ibu lalu menyalami tangan Ibunya.

"Oh paling urusan ronda, Abi." Sahut Ibu.

Abi hanya mengangguk saja lalu melepaskan kaca mata baca dan meletakkannya lagi dalam tempatnya.

"Bagaimana urusan mu di sana?."

"Iya Ibu, ini juga yang ingin aku bicarakan dengan Ibu dan Abi. Aku ingin mendiskusikannya dengan kalian."

Imah mulai menceritakan pengalaman pertama menginjakkan kakinya di ibu kota dan pulang membawa hasil yang sangat diinginkannya. Di terima bekerja di perusahan besar.

Bekerja sambil menunggu kedatangan pria itu, rencana awalnya. Tapi sekarang mungkin lebih bekerja untuk menghindari gunjingan orang-orang di kampung Bojong demi Ibu dan Abi.

"Jadi kamu harus mencari tempat di Jakarta dan tinggal di sana sendiri?." Abi yang pertama buka suara setelah Imah mengatakan semuanya.

"Iya, Abi."

"Ibu enggak setuju!." Sanggah Ibu Muslimah begitu cepat.

"Jujur saja, Abi juga kurang setuju. Kamu pergi dari rumah dan tinggal sendiri di Jakarta." Abi lebih halus dalam menyampaikan ketidaksetujuannya. Dibanding Ibu yang lebih ekspresif.

"Jadi baiknya bagaimana Ibu, Abi?. Imah mohon jalan keluarnya." Imah menatap kedua orang tuanya yang ternyata sama-sama tidak setuju.

Abi menarik nafas lalu membuangnya perlahan, menatap lembut putri semata wayang yang sangat disayanginya.

"Abi akan mengizinkan kamu pergi ke kota dan tinggal sana, asalkan ada orang yang menjaga kamu. Dan orang yang menjaga kamu, harus lah suami mu sendiri, bukan orang lain. Dan tentunya juga kamu kerja harus seizin suami kamu." Tutur Abi mengemukakan pendapatnya.

Imah mengangguk paham, kini tatapannya berpindah pada Ibunya.

"Yang seperti Abi bilang. Dan yang cocok untuk menjaga mu sekaligus menjadi suami mu hanya Fahri."

Imah hanya menatap lekat wajah Ibu dan memandangi keriputan yang tetap saja membuat Ibunya sangat cantik.

.

.

.

"Bagaimana para saksi, sah?."

"Sah".

Hanya dalam satu kali tarikan nafas, Fahri berhasil memperistri Imah.

Ucap syukur penuh haru dan khidmat terucap dari keluarga besar kedua belah pihak. Mungkin terlebih bagi seorang ibu yang bernama Ibu Muslimah. Penantian yang sangat panjang untuk dapat menyaksikan putri semata wayangnya menikah. Lepas dari predikat perawan tua yang selalu terdengar nyaring di kedua telinganya.

Pernikahan pun berjalan sangat khidmat dan lancar. Tidak ada pesta besar-besaran hanya sebagai bentuk rasa syukur keluarga Ibu Muslimah dan Abi Rosidi, mengajak warga untuk hadir dan berkumpul di rumahnya serta ikut mendoakan Imah dan Fahri dalam mengarungi rumah tangga kedepannya.

"Jika dengan jalan ini, aku bisa menuju dan menemukan mu, maka bantu aku dengan doa supaya Allah permudah dan lancarkan urusan kita." Imah membatin, menatap Fahri yang kini berstatus suaminya. Berusaha kembali berdamai dengan status baru yang disandangnya. Meski tidak akan pernah mudah, tapi dia sangat berharap akan bisa melewati semua proses ini.

"Pernikahan ini, mungkin sangat aku harapkan dari dulu. Tapi saat aku tahu ada pria lain di dalam hati mu dan wanita baik yang selalu ada di samping ku, maka sungguh aku tidak berharap banyak pada pernikahan ini. Aku akan mengikuti sampai dimana pernikahan kita akan bertahan. Aku akan mempertahan mu jika kamu sendiri mau bertahan di dalam pernikahan ini, tapi kalau tidak, aku akan melepas mu." Batin Fahri, menatap wajah wanita yang saat ini sudah sah menjadi istrinya.

Para tetangga sudah pulang, kedua orang tua dan saudara dari pihak Fahri pun sudah pulang. Meninggalkan Fahri di rumah Ibu dan Abi.

Imah sudah mengganti pakaian dengan pakaian muslim dan hijab rumahan. Dirinya sedang duduk di tepi ranjang, menunggu Fahri keluar dari kamar mandi.

"Airnya dingin sekali, membuat tubuh ku terasa lebih segar." Fahri sudah berpakaian lengkap saat keluar dari kamar mandi.

"Iya, di sini airnya dingin. Ibu meminta kita makan bersama. Tapi sebelum itu ada yang ingin aku sampaikan."

"Apa?. bicara lah!." Fahri duduk di tepi ranjang, berhadapan dengan Imah.

"Aku mendapatkan pekerjaan di Jakarta, Senin besok sudah harus masuk bekerja. Apa boleh aku bekerja?."

"Boleh, kamu boleh bekerja atas kan kamu tahu prioritas kamu dimana?."

Imah cukup lega mendengar Fahri yang tidak membatasi ruang geraknya sebagai istri. Tapi dia juga sangat tahu batasannya.

"Tapi aku belum mendapatkan tempat tinggal di sana. Jadi apa bisa kita ke Jakarta nya besok untuk menari tempat tinggal?."

Fahri menatap intens wajah Imah, kemudian dia tersenyum manis.

"Baik, besok pagi kita akan langsung ke Jakarta tapi sebelum itu kita harus menemui kedua orang tua ku untuk berpamitan. Apa kamu mau?."

"Tentu saja aku mau, sekarang mereka sudah menjadi kedua orang tua ku."

"Alhamdulillah."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!