Pagi hari yang cerah di rumah Zaid.
"Hei Zaid, daripada kau hanya melihat ayah mencabuti kangkung, lebih baik kau bantu ayahmu ini," tegur ayah Zaid.
Zaid yang duduk di teras belakang memerhatikan ayahnya sambil menopang dagu dengan tangan kanannya hanya menghela napas. Ia kelihatan bosan.
Zaid kemudian bangkit dari kursi, seperti hendak pergi.
Melihat itu, ayah Zaid berseru, "Hei Zaid kau mau kemana?"
Zaid yang sudah menuruni anak tangga teras belakang rumah tidak menoleh sedikit pun. ia hanya berseru, "Ke hutan! Lebih baik aku ikut Paman berburu saja. Paman bilang hari ini mau berburu."
"Oh, baiklah kalau begitu. Hati-hati!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Zaid ditemani pamannya, Hassan pergi ke hutan. Di punggung Hassan terdapat busur dan tempat anak panah.
Keduanya mulai memasuki hutan ketika kucing abu-abu berbulu lebat itu secara tiba tiba muncul dari jauh lalu mengintai mereka. Kucing itu seolah-olah melakukan teleportasi.
Setelah lama mencari, Hassan dan zaid menemukan hewan buruan, rusa.
"Ssst, merunduk!" Hassan merunduk di semak-semak.
"Baik, Paman." Zaid ikut merunduk.
Hassan meraih busur di punggung dan mengambil satu anak panah, bersiap. Ia terus mengintai rusa itu lewat celah semak-semak. Dan ketika rusa itu lengah, Hassan perlahan bangkit berdiri sambil mementang busur, ia melepaskan anak panah dan...
"Tunggu! Kucing, jangan lari!"
Zaid tiba-tiba keluar dari semak-semak saat ia tanpa sengaja melihat kucing dari jauh, membuat rusa merasa terancam dan lari. Jleb, Panah itu meleset, tapi Zaid tidak menghiraukannya, ia terus mengejar kucing itu.
"Hei Zaid, apa yang kau lakukan? Astagaaa!" Hassan kesal.
Zaid yang sudah beberapa meter meninggalkan Hassan hanya berseru, "Maaf, nanti kita cari lagi!"
Hassan mengambil keputusan untuk mengejar Zaid.
"Hei kucing, tunggu!" Zaid terus mengejar kucing abu-abu itu.
"Zaid jangan masuk ke hutan lebih dalam, kembali!" Hassan berteriak di belakang.
Zaid semakin dekat dengan kucing itu, tetapi, dzing, kucing itu melakukan teleportasi, sekarang sedikit jauh di depan Zaid.
"Hei, apa? A-apa aku tak salah lihat?" Zaid heran dengan yang baru saja dilihatnya. Ia memutuskan berlari lebih kencang.
Sementara kucing itu, setiap Zaid hampir menangkapnya, ia melakukan teleportasi. Itu membuat Zaid semakin yakin kalau ia tidak salah lihat dan membuatnya semakin berambisi untuk menangkapnya. Ia tidak sadar sudah masuk ke hutan makin dalam. Ia juga tidak sadar bahwa beberapa meter di depannya terdapat jurang.
"Zaid kembali! Di depan sana ada jurang!" Seruan Hassan terdengar samar di belakang.
Entah apakah Zaid mendengarnya atau tidak, atau dia memang tidak peduli.
"Zaid, BERHENTII!!"
Zaid sudah mulai kelelahan, tetapi kucing itu seperti sengaja memperlambat larinya, keduanya semakin dekat dengan jurang. Zaid mencoba melakukan upaya terakhir, ia melompat, kedua tangannya bersiap menangkap kucing itu yang sudah melompat ke jurang. Kucing itu akan jatuh, tetapi, dzing, kucing itu menghilang.
Sementara itu, sraaak, Zaid sudah mendarat, perut dan dadanya bergesekan dengan tanah, membuatnya sedikit maju, kepala dan dadanya mengambang di antara kedua tebing, perut sampai kakinya tepat di pinggir tebing.
Zaid memandang ke dasar jurang yang tertutup kabut, seketika dadanya berdegup kencang. Fiuuhh hampir saja, batin Zaid.
"Zaid, kau tidak papa?" Hassan sudah menyusul.
Sambil terengah-engah Zaid menjawab, "Ya!", kemudian dengan kedua tangan ia mengangkat tubuhnya, mencoba bangkit. Namun, krak, ujung tebing retak dan Zaid pun jatuh ke jurang berkabut diiringi teriakkannya yang bergema.
"Zaid!"
Sementara itu, teriakan Zaid perlahan lenyap seakan ditelan bumi. Tubuhnya meluncur bebas ke bawah. Tidak terlihat lagi. Tertutup oleh kabut tebal.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Zaid terus meluncur hingga dasar jurang terlihat, untungnya ada aliran air di bawah sana. Ia menutup hidung dan mulutnya.
Bruss. Zaid sampai masuk ke dalam air cukup dalam karena jatuh dari ketinggian. Ia lalu berenang ke permukaan, rambut dan seluruh badannya basah kuyup. Sejenak ia menghirup udara lalu terengah-engah.
Zaid menengadah ke atas, "Pamaaan!"
Percuma saja, kalau pun pamannya ada di atas sana dan mendengar teriakkannya, pamannya tidak mungkin bisa menyelamatkannya.
Sesaat Zaid tampak menyesal. Kenapa ia mengejar kucing itu? Kenapa tidak fokus saja berburu? Kalau saja ia tidak terus mengejar kucing itu, pasti ia tidak akan jatuh ke jurang, ia pasti tidak akan berada di sini.
Zaid berteriak menyesal. Tetapi ini sudah terlambat. Ia sekarang berada di antara hidup dan mati. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan karena di kanan kirinya hanya ada dinding tebing. Walaupun sebenarnya ia bisa memanjat, memanjat tebing yang amat tinggi sungguh tidak mungkin. Apalagi dengan tenaganya yang sudah habis terkuras akibat mengejar kucing tadi.
Sekali lagi Zaid berteriak menyesal. Sesaat ia menyalahkan kucing itu, tetapi sesaat kemudian ia menyalahkan diri sendiri. Zaid tak tahu harus bagaimana, ia hanya berenang mengikuti arus sampai ia benar-benar kehabisan tenaga. Ia tenggelam.
Tetapi ternyata di bawah sana ada portal tersembunyi. Ketika Zaid tenggelam dan ia menghirup air lumayan banyak, secara tak sengaja ia masuk ke portal itu yang memindahkannya ke suatu tempat. Ke suatu planet yang sangat mirip dengan bumi. Dengan manusia-manusia yang mempunyai kekuatan sihir alami. Zaid, ia berpindah ke planet Imub. Yang berarti kekacauan akan segera terjadi di planet itu, entah kapan. yang jelas, saat kekacauan itu terjadi, orang-orang di sana membutuhkan bantuannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Gelap. Tidak ada yang terlihat.
Lalu tak lama setelah itu Zaid perlahan membuka matanya. Pandangannya masih buram, baru setelah beberapa saat ia dapat melihat dengan jelas. Di penglihatannya ia melihat anak perempuan berusia sekitar 6 atau 7 tahun. Rambutnya panjang bergelombang, dan sedikit pirang, kulitnya putih pucat. Mata hijaunya persis hanya satu jengkal dari mata Zaid. Namun yang unik adalah telinganya. Telinganya yang runcing.
"Kakak, dia sudah si-su-siu-silu.... Ah iya, Kakak, dia sudah siluman!" seru anak itu sambil meletakan tangan kirinya di sudut bibir. Punggung tangannya menghadap ke samping. Ia tak tahu sudah salah mengatakan kata 'siuman'.
"Oh, ya?"
Seruan itu berasal dari ruangan lain. Seruan remaja perempuan.
Zaid yang berbaring di ranjang kayu sederhana terpana dan sedikit kaget melihat telinga runcing anak itu---yang duduk di tepi ranjang, apakah ini mimpi? Atau aku ini sebenarnya sudah mati? Astaga, ya Tuhan! Bidadari kecil ini tampak sangat lucu dan menggemaskan, pikir Zaid.
"Hei, kenapa kau menatapku begitu?" anak perempuan itu heran.
"Eh, tidak! Bukan itu maksudku." Zaid salah tingkah. "Tapi..." Zaid mengangkat tangannya hendak menyentuh telinga runcing itu.
Tiba-tiba, anak itu menjabat tangan Zaid, dan berkata, "Oh, kau mau kenalan... Namaku Elena, kau?"
"E-e aku Zaid," jawabnya terbata. Ternyata aku belum mati, batinnya.
"'Zaid'? Haha, nama yang aneh!"
Zaid bangkit dari ranjang dan berseru, "Apa katamu?"
"'Nama yang aneh', apa kau tidak dengar?" kata Elena merasa tak bersalah.
Zaid bangkit lalu duduk dan menunjuk Elena. "Ka-kau, dasar! Agh." Tiba-tiba kepalanya pusing. Zaid memegangi kepalanya dengan salah satu tangan.
"Ka-kau tidak apa?" Elena merasa cemas. "Kakak cepat ke sini! Kenapa kau lama sekali?"
Terdengar seruan, "Ya, sebentar!" lalu diikuti suara langkah kaki masuk ke kamar.
"Astaga, kau tidak apa-apa?" Remaja perempuan itu langsung berlari menghampiri.
"Tidak, tidak, aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing," jelas Zaid.
"Sebaiknya kau istirahat saja dulu. Jangan terlalu banyak bergerak," kata remaja perempuan berambut panjang pirang itu.
Zaid menurut, ia kembali berbaring di ranjang lalu bertanya, "Sebenarnya, apa yang terjadi? Dan... Kenapa aku bisa berada di sini?
"Oh, Kakak Chiara menemukanmu hanyut di sungai saat mencuci pakaian, lalu ia membawamu ke sini," jelas Elena. "Sebaiknya kau istirahat saja. Kau tak perlu bergerak lagi untuk berkenalan dengan Kak Chiara, aku sudah memberitahumu namanya. Astaga, aku tak menyangka hanya dengan menggerakkan tangan kau bisa pusing, apalagi kalau kau dijadikan pembantu di sini, mungkin kau sudah pingsan, atau bahkan mati," Elena terus saja berbicara. Sekali lagi tanpa 'rasa bersalah'.
"Jaga ucapanmu, Elena," tegur Chiara. "Eee... Baiklah, apa kau sudah makan? Eee... Siapa namamu?"
"Zaid." Elena yang menjawab.
"Eee... Zaid apa kau mau makan? Kau pasti lapar." Tangan Chiara membawa semangkuk bubur.
Perlahan Zaid pun duduk lagi, seperti mengatakan 'Ya aku lapar'.
"Ini. Makanlah." Kedua tangan Chiara menyerahkan semangkuk bubur. Ia lalu menarik kursi kayu dan duduk memerhatikan Zaid makan. Juga Elena.
"Berapa usiamu?" Chiara bertanya memecah hening.
"Dua belas."
Setelah itu kembali hening beberapa saat sampai Zaid menghabiskan buburnya.
Zaid mengelap ujung bibir dengan lengan baju kirinya, dan baru menyadari sesuatu.
"Eh, pakaianku, kenapa aku mengenakan pakaian perempuan? Dan ke mana pakaianku?" Zaid heran dan sedikit terkejut.
"Oh, itu pakainku waktu kecil. Pakainmu sengaja diganti. Karena basah, aku jemur di luar."
Zaid sekali lagi terkejut. "Jadi, yang mengganti pakaianku..." Zaid menatap Chiara.
"Eee... Tidak, tidak, bukan aku yang melakukannya, tetapi ayahku," jawab Chiara ketika ia mengerti maksud Zaid.
"Yah, aku yang mengganti pakaianmu. Menjijikan. Aku tak mau melakukannya lagi untuk kedua kalinya." Orang itu memasuki kamar. Dia tinggi besar, janggut dan rambutnya tebal, Sebagian sudah memutih.
"Dia Paman Rhys, ayah Kak Chiara," jelas Elena. "Sekarang kau tak perlu berkenalan dengannya."
"Aku tak peduli." Zaid meletakkan mangkuk di meja di dekatnya. "Aku hanya ingin tahu, sebenarnya aku berada di mana? Aku ada di belahan bumi mana? Dan... Kau, Elena... Apa tadi kau bilang? Aku hanyut di sungai? Ah... Sepertinya aku mengingat sesuatu. Aku---"
"Apa tadi kau bilang? 'Bumi'?" tanya Chiara, setengah kaget, setengah tak percaya. Juga Elena dan Rhys---walaupun sebenarnya Rhys tampak hanya sedikit kaget jika dilihat dari raut wajahnya.
"Yah, bumi. Memangnya apa yang salah?"
"Astaga, Ayah... Ramalan itu... Apakah mungkin dia..." Chiara tampak semakin tidak percaya, ia menoleh menatap Zaid. Juga Rhys, ayahnya.
Rhys berjalan perlahan ke arah jendela, memandang keluar. "Ya... Ramalan itu... Tidak salah lagi. Dialah anak itu..." gumam Rhys.
"Ramalan?" Elena bertanya heran dan penasaran. "Ramalan apa?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Ramalan? Astaga... Jangan membuatku bingung," kata Zaid.
Rhys balik badan, berjalan menghampiri ranjang Zaid, lalu membungkuk. Mereka beradu pandang.
"Tetapi... Ada yang harus kutanyakan terlebih dahulu padamu, Nak." Rhys mulai bicara. "Kau bilang, kau mengingat sesuatu, sesuatu apa yang kau ingat?"
"Eee... Aku hanya ingat, aku jatuh ke jurang, lalu di dasar jurang terdapat aliran air sehingga aku selamat. Aku tak tahu harus ke mana, aku hanya berenang mengikuti arus sampai kehabisan tenaga dan aku perlahan tenggelam dan saat sadar aku sudah ada di sini dengan anak menyebalkan itu." Zaid melirik Elena.
Elena geram. Ia tak terima.
"Sudah jelas," kata Rhys. Ia menegakkan tubuhnya, tidak membungkuk lagi. Sesaat kemudian ia tampak berpikir.
"Sudah jelas? Maksud Ayah?" Chiara masih bingung, ia bertanya lewat ekspresi muka. Juga Elena, ia menatap Rhys penuh tanda tanya.
"Dia secara tak sengaja masuk ke portal di dasar jurang yang tertutup kabut di planet bumi. Yang memindahkannya kemari. Ke kota ini."
"Maksud Ayah, dia keluar dari portal yang ada di dasar sungai kota ini? Tapi bukankah tempat itu dijaga oleh belasan penyihir yang cukup hebat?"
"Ya, tapi bisa saja mereka lengah."
"Hmmm, mungkin saja sih." Chiara menekan pipi dengan telunjuk.
Rhys menghela napas, lantas berkata, "Tapi ada satu hal lagi yang perlu kita selidiki."
Rhys berjalan ke belakang Zaid dan secara tiba-tiba merobek bagian belakang baju Zaid.
Elena, Chiara, dan terlebih Zaid terkejut melihat bajunya (baju yang dipinjamkan Chiara), dirobek olehnya.
Rhys juga kaget, tetapi ia kaget karena melihat sesuatu di punggung Zaid. Ia berseru, "lambang Bunga es!"
Zaid, Elena, serta Chiara kaget. Elena yang duduk di tepi ranjang merangkak ke belakang punggung Zaid, penasaran. Chiara bangkit dari kursi, ia juga ingin melihatnya.
"Bunga es? Zaid ternyata kau terlahir dengan kekuatan es. Kau akan menjadi penyihir es," terang Chiara.
"Hah? Apa? Kekuatan?"
"Ya, mungkin kau adalah keturunan si Dewa Es Freezor yang kesekian."
Elena menempelkan telapak tangannya ke punggung Zaid. "Dingiiin..."
"Hei, jangan sentuh punggungku!" kata Zaid. "Hei hentiikaan!"
"Haha, Elena memang seperti itu. Selalu antusias terhadap sesuatu yang ia belum pernah lihat," jelas Chiara. "E, tapi omong-omong, apa kau tidak pernah menyadarinya, Zaid?"
"Tidak, aku tak pernah menyadarinya," jawab Zaid. "E, hei hentikan! Jauhkan pipimu dari punggungku!" Zaid baru menyadari Elena menempelkan pipinya di punggungnya.
Elena tak menghiraukan. Ia masih saja menempelkan pipinya.
Zaid tiba-tiba mengingat sesuatu, yang sesaat membuatnya tak acuh terhadap tingkah laku Elena terhadap punggungnya "Oh ya kucing itu! Aku baru ingat, aku jatuh ke jurang gara-gara kucing itu. Yaa... Itu karena aku mengejarnya juga sih. Tapi yang uniknya, kucing itu bisa berteleportasi."
Dzing, di saat yang hampir bersamaan kucing itu muncul.
"Nah, itu dia!" Zaid menunjuk kucing yang muncul di lantai dekat ranjang tempatnya duduk.
"Vin! Kau ke mana saja?" Elena turun dari ranjang---sedikit kesusahan karena dia masih pendek. "Jangan kabur-kaburan melulu... Kau tahu? Aku mencarimu ke seluruh kota sejak pagi." Elena mengelus-elus kucing abu-abu berbulu lebat itu, ia lalu duduk dengan kaki dilipat ke belakang lalu kucing itu diletakkan di atas pangkuannya sambil terus dielus. Kucing itu menggeram manja.
Astaga mungkin ini alasan kenapa dia menempelkan pipinya di punggungku, pikir Zaid, ternyata dia sering melakukannya pada kucing itu. Hmm... Memangnya aku dianggap apa? Kucing?
Elena---yang sekarang menempelkan pipinya ke punggung kucing yang diangkatnya, bangkit berdiri. Sambil membawa kucing dalam pelukannya, ia melangkahkan kakinya keluar kamar. "Kak Chiara, Paman Rhys, aku pamit pulang yaa... Sampai jumpaa..."
Mendengar namanya tak disebut, Zaid berkata, "Di sini ada 3 orang selain dirimu."
Elena mendengus, "Kau bukan pemilik rumah ini, untuk apa aku pamit padamu?"
"Heeeehh... Dasar menyebalkaan!" Zaid mengepalkan tinju, hendak turun dari ranjang dan mengejarnya.
Chiara tertawa kecil, "Sudahlah jangan hiraukan dia."
Zaid mencoba melenyapkan kekesalannya. Menarik lalu membuang napas. Kepalan tangannya melonggar.
"Aku ada perlu. Chiara, kau jaga anak itu," titah Rhys. Lalu ia keluar kamar.
"Ba-baik, Ayah." Chiara menyanggupi, lalu berkata pada Zaid, "Zaid, kau istirahatlah... Aku tinggal dulu, maaf, yaa..." Chiara meninggalkan Zaid sendirian di kamarnya.
"Kalau kau ada perlu, teriak saja namaku! Aku tidak akan perggi jauh dari rumah." Seruan Chiara terdengar di ruangan lain.
Hhhmmm... Dasar. Bilang pada ayahnya ia akan menjagaku, pikir Zaid, tapi aku ditinggal.
Zaid memutuskan untuk tidur, ia pun menarik selimut, lalu memejamkan mata.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!