"Woi, woi, woi."
Craaattt.... Cuuurrrr...
"Aaaaaaa......"
Teriakan Satya memekik menggema di jalanan sepi tatkala jalanan yang sudah beraspal itu baru saja dilewati oleh sekelompok pemuda yang sebagian masih remaja tanggung dengan beberapa motor yang mereka kendarai, sebagian ada yang membawa motornya sendiri dan sebagian lagi ada yang berboncengan.
Tanpa rasa kasihan dan tidak memikirkan resiko yang akan terjadi, sekelompok geng motor itupun melukai setiap orang yang terlihat oleh mereka ketika melewati sebuah jalan yang biasa mereka lewati dengan parang atau pun dengan sebuah celurit.
Darah kental mengalir bewarna merah pekat cerah keluar dari luka sayatan yang cukup dalam yang diterima Satya di bagian dahi, dada, juga lengan kanannya.
Seketika ia mandi darah diiringi oleh suara kepedihan yang direalisasikan lewat jeritannya yang tidak begitu panjang, bahkan dia tidak sempat meminta tolong karena tubuhnya langsung ambruk saat mendapat serangan mendadak itu.
Warga sekitar bukan tidak mendengar jeritan Satya serta suara dari motor para geng motor itu, hanya mereka tidak berani menjadi korban berikutnya.
Mereka takut rumah mereka ditandai dan dalam waktu dekat diserang oleh mereka setelah pernah kejadian di rumah pak Parno Si Kepala Dusun yang lama sehingga menewaskannya.
Upaya memberantas para geng motor dengan melaporkan ke pihak kepolisian sudah dilakukan dan sebagian anggota geng sudah pernah ditangkap sebanyak tujuh anggota.
Tetapi tidak lama kemudian, belum ada waktu satu bulan muncul lagi kelompok geng motor dengan orang yang berbeda, seakan mereka memang mempunyai jaringannya sendiri dan terus menambah anggota baru.
Di rumah, Nina yang sedari tadi menunggu anaknya pulang dari Mesjid yang tak seberapa jauh dari depan gang tak kunjung pulang, biasanya sehabis isya atau paling lama jam setengah sembilan dia sudah sampai di rumah.
Namun sudah pukul sembilan malam lewat Satya belum juga kembali.
"Ya Allah. Duuh, kemana anak itu. Kok belum pulang juga, sih?" Ucap Nina resah yang sedari tadi sudah menunggu Satya di depan rumah.
Sebenarnya hati Nina sudah tidak tenang, apalagi saat mendengar rumor tentang geng motor yang sering lewat di jalanan beraspal depan gang. Nina yang menjadi warga baru pun merasa was-was sendiri dan manut saja dengan apa yang disarankan para tetangganya untuk tidak keluar depan gang setelah lewat Isya, namun Satya sendiri yang suka ngotot mau sholat lima waktu di mesjid. Padahal di dalam gang ada mushollah, namun dia selalu beralasan bahwa di mushollah sudah ramai, dan di mesjid yang tempatnya lebih besar malah sepi, dia hanya ingin menghidupkan mesjid dengan menambah jamaah walau hanya dirinya sendiri.
Karena niat mulia anaknya, Nina tak tega untuk melarangnya, hatinya terenyuh, dia mengizinkan Satya pergi dan hanya bisa mendoakan saja dari rumah.
"Apa adakenduri lagi ya, makanya pulangnya jadi lama?" Batin Nina mencoba berpikir positif.
"Kamu toh, Le. Suka banget kemana-mana ga bawa handphone. Jadi Ibu susah sendiri kalau mau hubungi kamu," omel Nina seakan ada Satya di dekatnya.
Malam kian larut, sudah setengah sebelas malam Satya belum juga pulang ke rumah. Hal itu membuat Nina mau tidak mau harus keluar menjemput anaknya.
Akhirnya setelah mengunci pintu rumahnya, Nina langsung bergerak menuju depan gang.
"Mau ke mana, Kak Nina?" Sapa Wati salah satu tetangganya yang sedang duduk di teras rumahnya bersama sang suami.
"Mau cari Satya, Belum pulang juga jam segini," jawab Nina yang tidak dapat menyembunyikan keresahan juga ketakutan di wajahnya.
"Memangnya Satya tadinya kemana, Kak?"
"Izinnya ke mesjid sedari waktu maghrib tadi, tapi sampai sekarang belum pulang juga dia. Saya lanjut dulu ya?"
Nina langsung pergi meninggalkan depan rumah Wati, tak ada waktu baginya untuk mengobrol. Yang dipikirkannya saat ini hanya ingin bertemu Satya secepatnya.
"Anak itu kemana, coba? Sama tetangga sini juga akrabnya sama orang satu gang, tuh anak bakalan habis ku omelin kalau sempat bertandang di rumah orang sampai jam segini ga ngerti pulang," gerutu Nina.
Sebagai warga baru yang baru dua bulan menetap, belum banyak masyarakat yang dikenalnya, baik Nina maupun Satya. Tapi Nina berfikir karena Satya sering ke mesjid di luar gang mungkin saja dia sudah mempunyai teman orang sekitar mesjid itu.
Semakin jalan keluar gang suasana semakin sepi, terlihat sudah tugu masuk gang mereka yang terbuat dari sembilan batang bambu yang ukurannya sudah disesuaikan, tiga untuk pondasi kiri, tiga untuk pondasi kanan, dan tiganya lagi di bagian tengah atas yang bertuliskan nama gang tempat tinggalnya.
Hingga akhirnya Nina sudah benar-benar sampai di depan gang, suasana terlihat sunyi, seperti kota mati. Hanya terlihat lampu luar setiap rumah dan lampu jalan menjadi penerang baginya.
"Kok mencekam banget ya, ga biasanya daerah semi kota seperti ini, seharusnya di luar gang jauh lebih ramai daripada di dalam gang. Ini kenapa malah terbalik?" Gumam Nina yang terus melangkahkan kakinya menuju mesjid.
Saat ini sambil berjalan Nina berharap ada orang tidur di masjid dan mengetahui di mana keberadaan Satya.
Suana horor begitu meresap di setiap penglihatan Nina, begitu sunyi sehingga membuat bulu kuduknya merinding.
Tempat yang menjadi horor bukan karena makhluk halus, tapi karena sekelompok manusia yang meresahkan manusia lainnya.
Jika ada kendaraan yang lewat pun, mereka mengendarai dengan kecepatan tinggi seolah seperti di jalan Tol sangking sepinya.
Kini Nina sudah hampir mendekati depan mesjid dan tinggal menyebrang jalan saja untuk benar-benar sampai di mesjid.
Nina mengelus kedua bahunya dengan menyilangkan tangannya di depan dada karena dingin juga rasa merinding yang menyelimuti tubuhnya, tiba-tiba matanya melihat sesuatu.
Seseorang tergelatak di tengah jalan dengan posisi seperti janin dalam kandungan.
Dada Nina berdesir, jantungnya mendegup tak karuan. Dia mempercepat langkahnya untuk memastikan siapa yang tergeletak di sana.
"Aaaaaaaa, Satyaaa, Satyaaa. Ya Allah, Allah, tolong anakku. Satyaaaa," jerit Nina begitu histeris, tubuhnya gemetar, tangisnya pecah seketika saat mengetahui bahwa orang yang dilihatnya adalah Satya, anak yang sedari tadi dicemaskannya.
Walau bermandikan darah, walau bau anyir memenuhi rongga hidungnya, Nina masih dapat mengenali anaknya, dipeluk jasad Satya yang telah meninggal karena kehabisan darah, tidak dihiraukannya bau anyir yang begitu menyengat. Dipeluknya Satya seerat mungkin, membuat darah yang masih basah menempel pada pakaian Nina dan juga sebagian menempel di wajah juga telapak tangannya.
"Ya Allah, Nak. Kok kamu tinggali Ibu, Le. Ibu sama siapa sekarang kalau kamu pergi. Tolooooong, toloooooong, tolong anakku, toloooong."
Nina menjerit berulang kali, sehingga seseorang membuka pintu rumahnya yang tempatnya tepat di depan Satya terbunuh.
"Ya Allah, Bu. Anaknya kenapa?" Ucap seorang bapak-bapak dengan wajah keheranan.
"Tolong anak saya, Pak. Ini anak saya kecelakaan."
"Masuk, Bu. Masuk." Ucap Sang Pemilik rumah yang syok.
Namanya Pak Didi, dengan segera dia membantu Nina mengangkat tubuh Satya ke teras rumahnya.
"Sebentar ya, Bu. Saya siapkan alas dulu buat anak Ibu, soalnya dia berdarah-darah."
Nina mengangguk perlahan, dia masih menangisi kepergian putra semata wayangnya yang mengenaskan.
Tidak lama, Pak Didi dan istrinya keluar kembali. Pak Didi langsung mengangkat tubuh Satya sedangkan istrinya menuntun Nina masuk ke rumahnya.
"Satya, anakkuuuu huuu," Tangisan menyayat hati terus terdengar dari mulut Nina, istri Pak Didi tetap setia membantu menenangkan Nina walaupun dia juga ikut menangis karena tak tega melihat Nina apalagi Satya.
"Sabar, Bu. Yang kuat. Besok kita antar anak Ibu ke rumah ya," ucap Murni, istri Pak Didi.
Salah satu pintu terbuka, tampak seseorang terkejut melihat ada mayat bersimbah darah tergeletak di dalam rumah. Dia adalah Susi, anak dari Si Pemilik rumah yang baru keluar dari kamar.
"Iii itu, si siapa, Bu?" Tanya Susi tergagap ngeri.
"Anak Ibu ini. Habis kena begal."
"Apa suara jeritan yang sempat Susi dengar tadi Bu?"
"Ibu ga tau, Sus. Karena sepi Ibu suka tidur cepat karena sudah melakukan banyak aktivitas di siang hari."
Susi berjalan dan duduk di samping Ibunya.
"Emang kamu dengar apa, Nak?" Kini Pak Didi yang bertanya sembari membersihkan darah pada jasad Satya.
"Suara teriakan waktu geng motor lewat, Pak. Namun sesaat aja. Susi ga berani lihat, takut."
"Kalau mereka lewat Bapak dengar, tapi rasanya seperti mimpi, sadar ga sadar karena Bapak sudah tidur, Bapak terbangun karena mendengar Ibu ini minta tolong."
"Apa para geng motor itu tidak pernah diberikan efek jera, Pak?" Nina bertanya sembari terisak-isak, masih ingin menangis namun banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan pada Si Pemilik Rumah.
"Sudah, Bu. Mereka terkenal banyak. Ibarat kata mati satu tumbuh seribu. Sudah ada beberapa yang tertangkap bakalan muncul lagi." Jelas Pak Didi.
"Benar, Bu. Warga sekitar juga tidak berani mengambil tindakan sendiri, trauma dengan mendiang keluarga Pak Parno yang kami yakini itu pasti ulah para anggota geng motor itu karena tahu teman-temannya dilaporkan, karena Pak Parno yang menyeret mereka ke kantor polisi bersama beberapa warga," sambung Murni.
"Memangnya apa yang terjadi pada keluarga itu, mereka diapakan?"
"Seram, Bu. Keluarganya dibantai, mayatnya di letakkan di halaman rumah, terus setelah itu mereka bakar rumahnya."
"Kenapa polisi tidak mengusut tuntas kasus ini? Ini sudah termasuk kejahatan besar dengan anggota mereka yang banyak."
"Kami takut, Bu. Semakin dilapor semakin diteror," jawab Pak Didi, kini dia selesai membersih luka pada Satya, hingga jelas lah bagaimana luka itu menganga lebar.
Susi yang melihat hal itu meringis ngeri, merasa luka itu ada padanya.
"Bu, anaknya kita tutup saja, ya?" Usul Pak Didi.
"Saya mau dibawa pulang saja, Pak."
"Kami ga berani, Bu. Takut geng motor lewat lagi, kami sudah biasa menampung para korban sampai pagi, para geng motor itu biasanya kalau sudah lewat pasti lebih dari sekali."
"Kenapa tidak diadakan patroli saja oleh para polisi, Pak."
"Sudah pernah, namun karena tidak ada lagi warga yang melapor lama-lama polisi tidak melakukan patroli lagi. Dan geng motor itupun kembali."
Nina terdiam, dia tidak habis pikir, semengerikan itu para anggota geng motor sehingga membuat warga takut.
"Biasa mereka lewat kapan saja, Pak. Dan biasanya di jam berapa?"
"Tidak tentu dan tidak pasti, Bu. Kalau mereka sudah lewat, mereka tidak kasih ampun orang yang lewat selain mereka. Ini mending anak Ibu begitu di serang dibiarkan, dulu sampai pernah ada yang diseret ke aspal sampai jenazah tidak terbentuk lagi."
"Mereka kejam, mereka hanyalah pengecut yang beraninya keroyokan. Kemana orang tua mereka, kenapa tidak diawasi anaknya kemana dan pergaulannya, tidak ada kata mending juga Pak kalau sudah kehilangan nyawa," ucap Nina emosi. Kini dia sudah tidak menangis lagi tapi tetap saja hatinya bersedih.
Di tempat lain, sekumpulan pemuda terlihat konvoi di jalanan dengan beberapa jenis senjata tajam dengan berbagai ukuran.
Mereka tampak bersenang-senang seolah jalanan hanyalah milik mereka. Apalagi banyak masyarakat yang takut pada mereka.
Hingga mereka berhenti di suatu tempat seperti bangunan yang luas, cukup menampung banyak orang.
"Pulang lah kalian sebelum pagi. Pastikan orang-orang tidak mengetahui kalian adalah bagian dari anggota kita, lakukan aktivitas seperti biasa. Yang masih sekolah ya sekolah, yang bekerja silahkan bekerja. Sampai jumpa di malam-malam berikutnya," ucap seorang laki-laki yang biasa dipanggil ketua oleh para anggota geng motor.
"Siap ketua, ingat. Kode klakson yang harus dibunyikan sehingga saat kalian mengendarai motor sendirian anggota yang lain tau kalau itu adalah kita. Jadi jangan sampai menyakiti." sambungnya lagi.
Para orang-orang yang disebut sosok ketua sebagai anggota segera menyimpang senjata tajam mereka lalu pulang ke rumah masing-masing.
Hanya tinggal beberapa orang saja yang selalu menemani ketua.
"Bagaimana konvoi kalian di jam delapan malam?" Tanya ketua.
"Ya gitulah, Boy. Aman-aman aja, sudah sepi. Orang-orang selalu memberi jalan pada kita, bukan?"
Empat orang yang tertinggal di markas tertawa kekeh, merasa hebat dan tidak terkalahkan. Keempat orang inilah yang mengatur para anak-anak remaja untuk berbuat kejam di jalanan.
"Kami tadi sempat menyerang seseorang di desa Bambusa, sepertinya dia warga baru yang tak tahu peraturan. Para cecunguk itu langsung ku suruh serang sebagai tanda kesetiaan mereka pada kita."
"Ya, Bagus itu. Sebaiknya kita pulang sekarang. Aku ga mau diomelin orang tua. Bising, kalau bukan karena warisanku banyak aku malas pulang," ucap Boy ketua geng motor.
Akhirnya markas sepi, markas yang tidak diketahui banyak orang kalau bangunan itu dipakai untuk sarang penjahat.
Pagi menjelang, orang-orang sudah memadati rumah Pak Didi untuk melihat Satya saat akan di tandu untuk dibawa ke rumah Nina.
Nina kembali menangis, masih belum percaya jika Satya kini sudah berbeda alam dengannya.
Sampai di rumah, Nina langsung di sambut Wati yang subuh hari sudah mendengar pengumuman mengenai Satya.
Wati memeluk Nina erat dan mereka menangis bersama membuat suasana semakin berduka.
Teman-teman sekolah Satya juga sudah datang dan menangis melihat temannya yang dianggap alim itu meninggal dengan tragis, begitu juga para aktivis mesjid depan gang, mereka turut hadir untuk mendoakan Satya.
Hingga akhirnya Satya selesai dimakamkan, dan hanya tertinggal Nina sendiri yang masih menemani Satya di depan kuburnya yang masih basah dan harum bunga-bunga.
"Satya, Ibu sekarang sendiri. Ibu ga tau bisa kuat tanpamu atau tidak. Maafkan Ibu terlambat menyelamatkanmu, Nak,"
Dipegang pusara yang ada tulisan nama Satya, Nina kembali terisak. Semua memori bersama Satya seolah datang kembali membuat hatinya makin perih dan dadanya semakin sesak.
Hingga ketika Nina sudah tenang, ia segera bangkit dan meninggalkan makam, dengan wajah yang begitu sembab.
Wanita yang masih tiga puluh tahunan itupun berjalan dengan tatapan nanar, sesekali matanya mengembun dan berakhir dengan jatuhnya air mata.
"Aku pindah ke desa ini hanya ingin melanjutkan hidup bersama anakku Satya, membahagiakannya hingga ia dewasa. Setelah Ayahnya ketahuan punya istri selain aku yang entah kapan dinikahinya, bahkan anaknya dari istrinya selain aku itu sudah dua yang satu lebih tua dan yang satu sebaya Satya, entah siapa yang menjadi istri kedua aku tak tahu. Niat pindah untuk menenangkan hati, kenapa malah harus kehilangan kamu, Nak?" Batin Nina menyimpan kesedihan hidupnya sambil terus berjalan hingga sampai ke rumah.
Hari terus berganti, hingga sudah seminggu setelah kepergian Satya Nina sudah tidak terlalu sedih lagi.
Namun belakangan warga satu gang sering memergoki Nina berada di depan tugu kala malam dan sering pulang saat menjelang pagi.
Warga merasa Nina sudah stress karena kehilangan Satya, sehingga warga memakluminya dan membiarkannya saja selagi tidak mengganggu dan meresahkan.
Kala siang Nina melakukan aktivitasnya seperti biasa sebagai seorang penjahit.
Walaupun dianggap stress, Nina masih normal jika di ajak bicara dan ramah. Bahkan dia memiliki beberapa tempahan jahitan.
Kini sudah hampir dua bulan Nina selalu saja keluar malam dan duduk-duduk sendirian di depan tugu gang semenjak kematian Satya.
"Kasihan ya Si Nina, semenjak kematian anaknya dia jadi sering di depan gang, apa yang ditunggu coba?" Ucap salah satu ibu-ibu yang sedang belanja di warung sambil memilih-milih sayuran.
"Iya, kan? padahal dia cantik, ga nampak kalau sudah punya anaknya. Padahal umurnya setara kita-kita, kan? Sepertinya sebelum tinggal di sini dia orang kaya yang rajin perawatan."
"Aku takut dengan kebiasaannya kayak gitu buat dia jadi ga sehat, mana bagus setiap hari begadang."
"Jangan salah, Bu. Biasanya orang-orang yang kena gangguan jiwa fisiknya kuat-kuat."
"Husstt, kalian ini. Wong aku lihat Nina masih waras kok. Diajak ngomong masih nyambung," ucap pemilik warung.
"Itu makanya, dia ga gila. Cuma stress aja kehilangan anak."
Sementara itu, di Markas geng motor yang bernama Deadman sudah banyak para remaja tanggung hingga yang dewasa berkumpul.
Deadman berencana akan konvoi melewati desa Bambusa lagi seperti biasa, melihat-lihat apakah ada orang yang berani menantang mereka atau tidak, jika ada mereka akan menyerang dan menghabisinya seakan nyawa sudah tidak ada harganya lagi.
Dan berniat jika ada pengendara atau pejalan lain yang lewat juga akan turut mereka basmi sebagai bagian dari senang-senang mereka.
Begitulah jika hati sudah tidak berfungsi, cenderung merusak dan meresahkan. Merasa hebat namun sebenarnya hanyalah pengecut karena beraninya keroyokan.
"Oke, semuanya. Jam seperti biasa, ya. Biasanya orang-orang masih lewat sebelum jam sembilan. Bersenang-senanglah di jalan, jika ada pengendara lain sikat, ambil motornya untuk masuk kita. Dan aku akan di sini karena harus bersenang-senang dengan para wanita, hahaha," perintah Boy kepada puluhan anak buahnya.
Dari puluhan anggota, hanya sebagian saja yang ikut turun konvoi, sebagian berpesta minuman juga narkotika lengkap dengan wanita.
Mereka yang turun ke jalan mengambil senjata kebanggaan mereka yang selalu ditakuti masyarakat. Mulai dari parang yang panjang, hingga celurit yang berukuran besar.
"Go go go," teriak pemimpin konvoi.
Deru suara motor terdengar riuh menjauhi markas, dengan urakan dan merasa hebat mereka mengemudikan motor dengan ugal-ugalan.
"Ngebut guys, wooooh. Angkat senjata kalian." Teriak Sang Pemimpin konvoi.
"Sepi, sepi, kita hebat. Kita hebat," teriak mereka yang merasa bangga karena tak ada seorang pun yang lewat selain mereka.
Warga Desa Bambusa khususnya yang rumahnya di pinggir jalan sangat risih mendengar teriakan itu, tapi mereka tidak berani keluar karena tidak ingin diserang.
Ngeng.... Ngeng..... Ngeng....
Bruuuuuummmm....
Dengan kecepatan tinggi mereka saling beriringan menguasai jalanan.
Hingga akhirnya para pemotor bagian depan banyak yang tiba-tiba terjatuh.
"Aaaaaaa, aaaaa, tolooooong."
Brak.... Brak.... Brak...
Tidak ada satupun pengendara yang tidak terjatuh di kawasan sepi yang samping kiri kanannya hanya pepohonan serta semak belukar saja. Tidak ada rumah, letaknya hampir satu kilo meter dari pemukiman Desa Bambusa.
"Tolong, sakiiit."
"Adooooh. Aku ga mau mati."
Ramai teriakan mereka terdengar, sebagian diantaranya sudah tewas dengan usus terburai, ada pula yang kepalanya hampir terpenggal, dan juga ada yang tubuhnya terbelah jadi dua.
Mereka semua tersangkut kawat berduri yang dipalang di tengah jalan dengan tiang pondasi masing-masing berada di sebrang jalan. Persis seperti jemuran di tengah jalan.
Sepasang mata melihat kejadian itu dibalik sebuah pohon. Ia menyeringaikan sebuah senyuman seakan puas melihat kematian dan teriakan kesakitan para remaja itu.
Merasa beberapa anggota semakin tak berdaya, orang itu keluar dari persembunyiannya, mengambil sebuah parang panjang yang tergeletak lalu menghabiskan mereka satu persatu yang masih hidup.
Parang itu kemudian dipegangkan kepada salah satu korban yang sudah tewas untuk menghilangkan jejaknya.
Jemuran kawat berduri dilepas, kini orang itu memeriksa handphone mereka masing-masing dan mengambil salah satu handphone yang tak bersandi atau berpola.
Kemudian dia segera pergi meninggalkan mayat-mayat para geng motor.
Keesokan harinya, warga desa Bambusa tentu saja menjadi heboh atas banyaknya mayat di tengah jalan, belasan orang tewas mengenaskan, benda tajam berserakan diantara mereka, satu yang tak terlihat. Kawat berduri serta tiangnya.
Banyak warga dari desa lain yang ikut meramaikan melihat pemandangan tak biasa. Polisi dan tim medis pun turut hadir untuk mengevakuasi korban.
"Mereka ini para geng motor itukan? Alhamdulillah, mampus kalian. Tanpa susah-susah ngebasmi, kalian mati sendiri." Umpat salah satu warga.
Nina dan Wati juga orang-orang satu gang ikut melihat.
"Ya ampun, masih muda-muda sekali mereka. Kok maulah ikut-ikut geng motor. Matinya mengenaskan lagi. Kasihan," ucap Wati yang hatinya miris melihat para mayat yang kebanyakan remaja laki-laki tanggung.
"Ga perlu dikasihani, mereka berani berbuat berani bertanggung jawab. Mereka tidak akan seperti itu kalau tidak meresahkan," jawab Nina datar, tatapannya tajam pada mayat-mayat yang satu persatu mulai dimasukkan ke kantong jenazah.
Para polisi masih menyelidiki apa yang terjadi, dan apakah ada pelaku utama. Karena bagi mereka, pembunuhan tidak dibenarkan walau pada penjahat sekalipun.
Warga yang ditanyai polisi mempunyai jawaban yang hampir sama semua. Mereka tidak tahu menahu tentang kasus itu.
"Jadi Bu Nina ga tau juga, ya?" Tanya seorang polisi yang mengintrogasinya.
"Enggak, Pak. Aku kan tinggalnya di dalam gang. Sedangkan ini saja jauh dari permukiman tapi aku senang mereka mati seperti itu, anakku mati juga karena mereka," jawab Nina yang malah tersulut emosi.
"Sudah, Kak. Sudah, jangan diingat-ingat lagi. Kasihan Satya nanti," ucap Wati menenangkan.
Polisi memaklumi, dan kembali bertanya pada yang lain.
"Apakah orang-orang ini semua sudah keseluruhan anggota para geng motor itu ya? Kalau memang semua kita bisa meramaikan desa lagi. Apalagi waktu malam," seru seorang warga.
"Ga tau, tapi bukannya mereka banyak. Pasti belum ini. Aku yakin. Kita lihat aja sebulan ini. Kalau tidak terdengar geng motor lewat lagi, berarti benar. Desa kita sudah aman."
"Iya juga, ya. Ga bisa senang dulu kalau begini."
Kabar kematian anggota Deadman yang konvoi sudah terdengar oleh Boy Si Ketua geng. Dia kaget dan bingung, kenapa bisa terjadi.
"Aku juga ga tau Boy, tadi aku ke sana dan warga yang diwawancarai pun pada bingung, otomatis itu pasti bukan perbuatan mereka."
"Terus perbuatan siapa kalau bukan orang-orang sekitar yang dendam dengan kelompok kita? Pasti salah satu dari mereka." Geram Boy dengan menendang meja di depannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!