"Aliyah ... " teriak Amar, suami Aliyah.
"Iya, sebentar," sahut Aliyah dari dapur. Ia sedang memasak sarapan untuk keluarga kecilnya.
"Aliyah, kemejaku yang warna biru mana? Cepat kemari! Lelet amat jadi orang," pekik Amar lagi dari dalam kamarnya.
Aliyah yang saat itu sedang menggoreng ayam pun segera mengecilkan api kompor agar tidak gosong. Dengan langkah panjang, Aliyah berjalan menuju kamarnya dan suaminya.
"Ada apa, Mas?" jawab Aliyah dengan nafas ngos-ngosan. Telapak tangannya menyeka keringat yang bercucuran karena sejak bangun subuh tadi ia belum sempat beristirahat.
"Ada apa? Dasar kuping budek. Mana kemeja biruku? Cepat cari!" sentak Amar ketus.
Aliyah pun gegas membuka lemari dan mencari pakaian yang dimaksud.
"Kenapa nggak pake kemeja yang sudah aku siapin aja sih, Mas? Daripada repot-repot cari kayak gini," ujar Aliyah sambil mencari kemeja biru yang dimaksud Amar.
"Tidak usah banyak protes. Lakukan saja apa yang aku suruh," ketus Amar. Aliyah hanya bisa menghela nafas panjang. Entah mengapa makin hari sikap suaminya makin ketus dan kasar padanya.
"Ibu ... ibu, kenapa seragam putih Nana nggak ibu setrika sih? Lecek gini," pekik Nana, anak pertama Aliyah dan Amar.
"Emang ibumu ini pemalas. Padahal seharian berada di rumah, tapi kerjaannya masih aja nggak ada yang becus. Entah apa yang dikerjakan ibumu ini. Pasti sibuk ngerumpi di rumah tetangga atau nggak tidur-tiduran melulu," sahut Amar memojokkan Aliyah.
"Astaghfirullah Mas, mana pernah aku ngerumpi di rumah tetangga apalagi tidur-tiduran. Boro-boro mau tidur, baru aja mau rebahan, ada aja tingkah Gaffi sama Amri," jawab Aliyah apa adanya. Gaffi dan Amri adalah anak kedua dan ketiga Aliyah dan Amar. Gaffi berusia 5 tahun, sedangkan Amri baru berusia 2 tahun.
Amar mendelik tak suka saat Aliyah justru menjawab kata-katanya.
"Kamu makin hari makin melawan ya! Udahlah, nggak usah bohong. Kalau kamu emang nggak ngerumpi sama tidur-tiduran aja, kenapa pekerjaan kamu nggak ada yang beres? Sok sibuk aja terus. Padahal cuma di rumah aja kerjanya. Mana penampilan makin hari makin kucel, kumel, dan dekil. Jadi perempuan kok nggak becus amat," omel Amar panjang lebar. Aliyah hanya bisa beristigfar dalam hati, meminta kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi sikap suaminya yang makin semena-mena padanya.
Baru saja Aliyah hendak membuka mulut menyahuti kata-kata Amar, tapi suara si sulung menginterupsinya.
"Bu, aku mau sekolah ini. Buruan setrikain sekarang," seru Nana sambil melemparkan seragam sekolahnya ke arah Aliyah yang lan reflek ditangkap Aliyah.
"Nana, kamu kan sudah besar. Sudah bisa setrika sendiri. Ibu masih sibuk. Mau buat sarapan," ucap Aliyah seraya memberikan seragam sekolah itu lagi pada Nana.
"Nggak mau. Nana nggak bisa. Kalo ibu nggak setrikain, Nana nggak mau sekolah," ketus Nana sambil melemparkan kembali bajunya kepada sang ibu. Lalu ia segera membalikkan badannya dan pergi dengan jalan dihentak-hentakkan.
"Nana, ibu masih banyak kerjaan ... "
"Setrika aja sebentar kenapa sih? Kalau setrikanya kena tangan Nana bagaimana, hah?"
"Tapi Mas, aku ... " Tiba-tiba kedua orang itu mencium bau gosong. "Astaghfirullah, aku hampir lupa. Aku sedang menggoreng ayam untuk Gaffi dan Amri," pekik Aliyah sambil berlari menuju dapur.
Aliyah hanya bisa menghela nafas kasar saat melihat ayam gorengnya sudah terlanjur gosong. Aliyah memijit pelipisnya yang sejak tadi merasa pening, tapi ia tahan-tahan.
"Kamu ini, goreng ayam saja tidak becus," omel Amar lagi. Ingin Aliyah menyanggahnya, tapi Aliyah telan keinginan itu. Ia justru memilih membuatkan kopi untuk sang suami.
"Bu, ayam goyeng Affi ana?" tanya Gaffi yang meski usianya sudah menginjak 5 tahun, tapi belum bisa berbicara dengan jelas.
"Sebentar ya, Nak. Ibu buat kopi ayah dulu," tukas Aliyah sambil menuangkan air panas ke dalam cangkir kopi.
"Ibu, baju Nana disetrika belum?" teriak Nana dari dalam kamar.
"Bu ... huaaa ... " tiba-tiba terdengar teriakan si bungsu Amri dari arah ruang tamu. Teriakan itu kini berubah menjadi raungan tangis yang membuat Aliyah khawatir terjadi sesuatu pada Amri. Aliyah pun segera meletakkan kopi untuk Amar dan berlari dengan tergesa untuk melihat apa yang terjadi pada si bungsu.
Aliyah syok saat melihat Amri sudah terduduk di lantai sambil menangis. Sepertinya ia baru saja terpeleset di lantai yang basah akibat ceceran susu yang ditumpahkan Amri sendiri.
"Astaghfirullah, Amri kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Aliyah khawatir. Ia pun langsung meraih Amri ke dalam gendongannya untuk menenangkannya.
"Bu, Bu, Bu, huaaa ... " tangis Amri makin menjadi.
"Astaga, kapan ini rumah ini bisa tenang sih? Kamu ini bisa becus jadi ibu nggak sih? Nenangin Amri aja nggak bisa. Berisik tau. Buat sakit kepala aja," sentak Amar dengan mata melotot.
"Ibuuu, baju aku kenapa belum disetrika juga sih?" omel Nana dengan wajah cemberut.
"Nana, ibu kan udah bilang, setrika sendiri dulu. Kamu bantu jaga adik kamu nggak mau, gimana ibu bisa setrika baju kamu? Buat sarapan aja, ibu belum selesai," tukas Aliyah terus berusaha menahan kekesalannya. Jikalau ia marah-marah pada Nana, bisa jadi suaminya akan makin marah-marah.
"Makanya, jadi ibu itu yang becus. Urus anak nggak becus, masak nggak becus, urus rumah nggak becus, jadi kamu bisanya apa, hah?" sentak Amar dengan wajah garangnya.
Byurrr ...
"Kamu mau buat lidah aku terbakar, hah? Sengaja kamu, hah?" sentak Amar lagi karena kopi yang ia minum ternyata masih sangat panas.
"Kopinya baru sempat dibuat, Mas, wajar masih panas."
"Jawab terus!" delik Amar kesal.
"Aku kan cuma bicara apa adanya, Mas."
"Ini mana sarapannya, Aliyah?"
"Bu, Affi hayu mamam," panggil Gaffi merasa sudah lapar.
"Sebentar Mas, aku belum selesai masak," jawab Aliyah seraya hendak mendudukkan Amri di kursi, tapi Amri tak mau. Ia terus menggelayut di leher Aliyah tanpa mau melepaskannya. "Sebentar ya, Gaffi. Adek masih mau minta gendong. Dek, main sama Abang Gaffi dulu, mau ya!"
"Ndak," seru Amri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mau kut mbu."
"Aaakh, ibu ini gimana sih? Dah ah, aku nggak mau sekolah," ketus Nana kesal karena Aliyah tak kunjung menyetrikakan bajunya. Lalu ia membalikkan badannya menjauh dari sang ibu.
"Nana, baju kamu kan nggak terlalu kusut itu, pakai lagi aja. Nggak perlu setiap mau dipakai mesti disetrika dulu," pekik Aliyah, tapi tak digubris anak pertamanya itu.
"Aliyah, kamu lagi ngapain sih lama banget! Aku bisa terlambat ke kantor ini!" teriak Amar sambil memainkan ponselnya di meja makan.
"Iya, Mas. Sebentar," sahut Aliyah sambil berjalan terburu ke dapur. "Mas, Amar nggak mau diturunkan. Mas gendong Amar sebentar ya, biar aku bisa lanjutin masaknya," ujar Aliyah berharap Amar mau menggendong Amar sejenak.
Bukannya mengulurkan tangannya untuk menyambut sang anak, Amar justru mendelik kesal.
"Kamu ini, udah tau aku sudah berpakaian rapi, kamu malah minta aku gendong Amar? Bisa-bisa pakaianku kusut, ngerti nggak sih!" sentak Amar tanpa perasaan.
Dada Aliyah berdenyut nyeri, bahkan suaminya lebih sayang bajunya daripada anaknya. Padahal apa salahnya menggendong anaknya sebentar, tapi suaminya justru lebih memilih memainkan ponselnya.
Inilah kisah Aliyah, seorang istri sekaligus seorang ibu yang terus berjuang untuk suami dan anak-anaknya, tapi sayang perjuangannya tak pernah dianggap.
...***...
...Welcome to the my new story....
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
Tidak sedikit wanita yang memilih bertahan dalam rumah tangganya meskipun terus disakiti. Entah apa yang menjadi pertimbangan mereka, bisa karena anak, keluarga, atau rasa cinta dan bakti yang begitu besar, yang pasti mereka terus berusaha bertahan sampai batas titik kesabaran mereka.
Terlihat bodoh memang, tapi apa bisa dikata, sebagai sesama manusia kita hanya bisa menghargai dan mendoakan agar pilihannya itu benar dan berhadiah keindahan di kemudian hari.
Begitu pula pilihan yang Aliyah ambil. Ia memilih bertahan meskipun terluka. Tetap berusaha menjadi yang terbaik meskipun tidak dihargai. Tetap berusaha sebaik mungkin, meskipun tak dianggap. Menelan pahit getir seorang diri hanya demi mendapatkan ridho illahi.
Setelah kepergian Amar, Aliyah terpekur seorang diri. Merenungi nasib rumah tangganya yang tak sehangat dulu lagi.
"Bu, Affi hayu mamam," panggil Gaffi yang sudah berdiri di samping Aliyah. Aliyah tersentak. Hampir saja ia lupa kalau Gaffi belum makan. Tadi ia terlalu fokus pada Amar dan Amri sampai lupa pada bocah 5 tahun itu yang sejak tadi berteriak ingin makan dengan ayam goreng.
"Astaghfirullah, maaf ya, Bang. Ibu lupa. Sebentar ya, ibu ambilkan nasi sama ayam gorengnya dulu. Abang Gaffi tunggu di sini, temenin adek Amri ya!" ucap Aliyah lembut.
Gaffi mengangguk kemudian duduk di samping Amri yang tampak makan ayam goreng saja tanpa nasi.
Tak butuh waktu lama, Aliyah pun kembali sambil membawa piring kecil berisi nasi dan ayam goreng untuk Gaffi.
"Ini, dihabisin ya! Jangan ngambur. Kasian nasinya, entar ngambek," seloroh Aliyah membuat mata Gaffi mengerjap bingung. Ia belum paham maksud dari ibunya itu. "Ya udah, makan dulu ya! Ibu mau beresin piring kotor ayah tadi sebentar."
Gaffi pun mengangguk kemudian ia mengambil ayam goreng miliknya dan menggigitnya dengan senyum puas.
"Bu, adek akal abil ayam Abang," teriak Gaffi. Padahal baru beberapa detik Aliyah meninggalkan kedua bocah itu, tapi keduanya tampak sudah ribut rebutan ayam goreng.
Aliyah pun buru-buru menghampiri Gaffi dan Amri. Gaffi tampak menangis karena ayam gorengnya diambil sang adik, sedangkan Amri justru tertawa melihat sang kakak menangis. Entah harus marah atau tertawa, sebab Aliyah justru merasa geli sendiri dengan tingkah keduanya.
Gaffi memang berusia 5 tahun, tapi tingkahnya tak jauh beda dengan sang adik, bahkan lebih cengeng.
"Adek, itu kan ayam Abang, balikin dong!" bujuk Aliyah.
Amri menggeleng cepat, "ndak. Ayam dedek," serunya menolak dan mengatakan kalau ayam itu adalah miliknya.
"Ayam adek kan ini, kalo yang itu ayam Abang. Balikin ya! Kasian Abang tuh, nangis," Aliyah terus berusaha membujuk Amri, tapi Amri terus menolak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Seandainya masih ada sisa ayam goreng lagi, Aliyah lebih memilih memberikannya pada Gaffi untuk menghindari keributan seperti ini. Tapi sayangnya, tidak ada ayam goreng yang tersisa. Tadi memang ada sepuluh potong ayam, tapi gosong 5, hingga hanya bersisa 5. Lalu Amar memakannya dua, sisa tiga untuk Nana, Gaffi, dan Amri.
"Abang jangan nangis ya! Ibu gorengin telur aja, mau?" Aliyah memcoba mengganti ayam dengan telur, berharap Gaffi bisa tenang.
Gaffi terdiam. Kemudian mengangguk. Meskipun cengeng dan belum bisa bicara dengan tegas, sebenarnya Gaffi anak yang bijak. Terkadang ia memilih mengalah saat adiknya justru mengambil apa miliknya. Tapi tak jarang juga mereka ribut sehingga menimbulkan kegaduhan dengan lengkingan tangis yang memekakkan telinga.
Aliyah tidak begitu memusingkan bila keduanya bertengkar, namanya juga anak-anak. Selagi masih wajar, Aliyah hanya perlu menengahi. Tapi hal ini tidak berlaku saat ada Amar di rumah. Amar seolah selalu terganggu saat anak-anaknya membuat kekacauan, berantakan rumah, apalagi menangis kencang. Yang ada bukannya menengahi, tapi malah memarahi. Bukan hanya anak-anak, tapi Aliyah pun jadi ikut terkena imbasnya.
Setelah menggoreng telur, Aliyah pun segera meletakkan telur dadar itu di atas nasi Gaffi.
"Gaffi makan di sana aja, ya!" ajak Aliyah agar Gaffi makan di tempat lain demi menghindari percekcokan antara dua bocah.
...***...
Sementara itu, Amar yang baru tiba di kantor memasang wajah masam. Ia kesal karena terpaksa memakai kaos kaki berbeda warna. Anak-anaknya memang gemar memainkan apa saja. Setelahnya lupa meletakkan dimana. Meskipun telah dilarang, tapi tetap saja bocah itu takkan berubah. Terutama Amri, benar-benar membuatnya kesal. Tapi Amar justru lebih marah pada Aliyah sebab baginya Aliyah tidak bisa mengurus rumah tangga dan anak-anaknya dengan baik. Baginya, tak ada satupun pekerjaan Aliyah yang beres.
"Heh, kenapa wajah loe ditekuk gitu? Nggak dapat jatah semalam?" goda salah satu rekan kerja Amar.
Amar mendelik tajam, "nggak usah ngaco deh loe."
"Lho, laki-laki kayak kita ini kan biasanya gitu, kalo nggak dapat jatah, mulai deh, mood anjlok. Rasanya mau nerkam orang aja," seloroh Budi.
"Nggak gitu juga. Cuma lagi bete. Di rumah nggak pernah ada ketenangan. Entah ulah anak-anak, entah kerjaan bini yang nggak ada becusnya, benar-benar bikin bete. Liat nih ... " Amar lantas mengangkat ujung celana bahannya sedikit ke atas, "punya bini nggak becus banget. Masa' nggak tau kaos kaki gua kemana sebelahnya. Sebenarnya kerjaannya apa sih? Cuma di rumah aja sok sibuk sampai nggak tahu anaknya mainin kaos kaki terus diletakkan dimana. Kalo ditanya, jawabnya nggak tau, nggak tau. Mana makin hari makin dekil, bikin sumpek aja," akunya tanpa rasa bersalah apalagi malu di hadapan rekan kerjanya.
Budi terbahak mendengarnya, "yah begitulah perempuan, Am, ngerasa udah laku jadi dia mulai malas urus diri sendiri. Alasannya karena nggak sempat lah, sibuk urus anak lah, hana hini, banyak banget," timpal Budi yang diangguki Amar.
"Nah, ternyata kita sepemikiran. Bete aja, pulang capek-capek eh malah disuguhi pemandangan yang luar biasa menjengkelkan. Dari penampilan yang berantakan, sampai rambut tuh nggak pernah rapi, beda sama sebelum nikah. Rumah juga nggak kalah berantakan. Kadang anak-anak belum pada mandi. Dah lah, stres gua setiap pulang ke rumah."
Budi makin tergelak mendengarnya, "gimana kalo sepulang kerja kita nongkrong? Tuh, ada anak baru, kita ajak juga. Rame-rame gitu, buang suntuk," tunjuknya pada seorang karyawan wanita yang baru saja bergabung di kantor mereka. "Daripada pulang bukannya tenang malah dibuat kesal, mending kita nongkrong dan senang-senang di cafe. Di ujung jalan sana kayaknya ada cafe baru buka. Lagi promo, mayan kan," ajak Budi.
Amar menterinya setuju. Ia pun mengangguk cepat tanpa pertimbangan. Setelahnya mereka pun mulai bekerja sampai jam makan siang tiba.
"Nafisa, gabung makan bareng yuk!" ajak Budi saat melihat karyawan baru bernama Nafisa itu lewat.
"Hai Mas, emang boleh?" ujar gadis bernama Nafisa itu seraya menoleh ke arah Amar.
"Nggak masalah, ya kan, Am?"
Amar mengangguk, mempersilahkan.
"Ayo, duduk aja! Makin rame makin asik!" ujar Amar membuat Nafisa dan dua rekannya tersenyum. Lalu mereka pun menarik kursi dan duduk. Nafisa tersenyum saat mendapatkan tempat duduk di samping Amar.
Mereka lantas memesan makan siang mereka sambil bercengkrama. Amar bahkan mengajak Nafisa berkenalan.
"Kalian entar sore mau ikut kita nongkrong nggak? Di cafe yang di ujung jalan itu. Baru buka, katanya ada promo. Lumayan kan, hemat budget sekalian senang-senang," ajak Budi.
Kedua rekan Budi dan Amar setuju, tinggal Nafisa yang masih terdiam.
"Gimana Sa, kamu mau?" tanya Amar.
Nafisa menatap wajah Amar yang tersenyum, kemudian mengangguk setuju.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
Senja telah berganti malam, tapi Amar belum juga menampakkan batang hidungnya di rumah. Sementara itu, Aliyah telah menunggu kepulangan Amar sejak sore tadi. Namun laki-laki yang ditunggu kepulangannya itu, tak jua muncul hingga langit telah menjelaga.
"Mas Amar kemana ya? Kok jam segini belum pulang juga?" gumam Aliyah khawatir.
Aliyah telah mencoba menghubungi Amar, tapi laki-laki itu tak kunjung mengangkat panggilannya. Istri mana yang tak khawatir, saat suami yang biasanya telah pulang bekerja sejak sore hari, bahkan hingga adzan isya berkumandang, belum juga menampakkan batang hidungnya.
"Bu, ayah ana?" tanya Gaffi yang heran karena ayahnya belum juga pulang.
"Em, mungkin macet, Sayang. Jadi belum sampai juga," jawab Aliyah.
Gaffi mengangguk-anggukkan kepalanya mesti tidak terlalu paham maksud sang ibu.
"Bu, syusyu. Bu, syusyu," panggil Amri sambil menarik-narik ujung daster Aliyah.
"Amri mau susu? Sebentar ya, ibu bikin kan," ucap Aliyah seraya mengusap puncak kepala Amri.
"Mbu, dong!" Amri mengulurkan tangannya minta gendong. Aliyah lantas mengulurkan tangannya untuk menyambut tangan si bungsu kemudian menggendongnya.
"Bu, Affi juga hayu susu," ujar Gaffi.
Aliyah menarik nafas panjang, "Abang Gaffi nanti aja ya minum susunya, soalnya susunya belum ibu beli."
Uang bulanan Aliyah telah menipis sehingga ia bingung mengaturnya. Antara membeli susu Gaffi atau untuk keperluan dapur.
Gaffi mencebikkan bibirnya. Kemudian wajah polos itu telah dialiri air mata. Sungguh Aliyah tidak tega melihatnya, tapi mau bagaimana lagi. Bila ia membeli susu Gaffi, maka beberapa hari ke depan bisa dipastikan ia tidak bisa membeli lauk pauk untuk mereka.
"Maaf ya, Sayang. Nanti kalo ibu sudah punya uang, ibu pasti beliin Abang Gaffi susu lagi," ujar Aliyah mencoba menenangkan Gaffi. Bocah lima tahun itu pun mengangguk. Aliyah hanya bisa tersenyum miris. Ia jadi berpikir, ia harus melakukan apa untuk mendapatkan uang tambahan.
Meminta uang tambahan dari Amar rasanya mustahil. Padahal pengeluaran makin besar, tapi Amar tak sedikitpun ingin menambahi uang belanjanya. Aliyah bingung. Ingin bekerja, rasanya tak mungkin sebab bagaimana dengan anak-anaknya?
Oke Nana sudah besar, bisa ia tinggalkan sendiri. Tapi bagaimana dengan Gaffi dan Amri? Gaffi yang sudah lima tahun saja tidak mau ditinggalkan bila ia bepergian, apalagi Amri. Aliyah bingung memikirkan jalan keluarnya. Kepalanya yang sejak tadi sakit, jadi bertambah sakit. Terlalu banyak yang ia pikirkan membuatnya kerap sakit kepala.
"Mbu, Syusyu," pekik Amri yang sudah menarik-narik baju Aliyah. Aliyah tersentak, hampi saja lupa kalau si bungsu belum ia buatkan susu.
"Iya, iya. Adek duduk dulu sebentar di sini, ya! Biar ibu bisa buat susunya."
"Ndak," teriak Amri yang tidak mau melepaskan pelukannya.
Aliyah hanya bisa menghela nafas panjang sambil melangkah menuju dapur untuk membuatkan susu Amri.
Sementara itu, di tempat lain, tampak Amar sedang berbincang ria dengan Nafisa. Kini mereka berdua sedang berada di dalam mobil. Tadi setelah menghabiskan sore mengobrol bersama sampai jam 7, Amar pun menawarkan diri untuk mengantarkan Nafisa pulang ke rumah.
"Mas Amar Fisa boleh nanya nggak?" tanya Nafisa yang duduk di samping kursi kemudi.
"Nanya apa sih, Sa? Kok kayak serius banget sih?" ujar Amar seraya terkekeh.
"Ck Mas Amar ih, nyebelin. Pake ketawa-ketawa segala," protes Nafisa yang sudah mencebikkan bibirnya.
"Abisnya kamu kok mukanya gitu. Emang mau nanya apa sih? Tanya aja, nggak perlu sungkan."
"Bener nih?"
"Iya."
"Mas, Mas Amar ... udah nikah apa belum?" tanya Nafisa hati-hati.
"Kenapa emangnya kalo udah nikah?"
"Yaaa, aku nggak mau aja kalau tiba-tiba istri kamu labrak aku karena jalan sama kamu. Terus teriaki aku pelakor, kan malu."
Lagi-lagi Amar terkekeh, "jujur ... sebenarnya Mas udah nikah."
"Hah! Jadi ... beneran Mas udah nikah? Nggak lagi ngeprank aku kan?"
"Serius. Mas udah nikah. Malah anak Mas udah 3," ujarnya jujur.
"Duh, gawat dong!"
"Kok gawat?" tanya Amar bingung.
"Kayak kata aku tadi, gimana kalau aku tiba-tiba ... "
"Itu nggak akan terjadi," potong Amar cepat.
"Lah, kok bisa?"
"Soalnya istri Mas itu nggak pernah keluar rumah kecuali ke warung sayur."
"Meskipun begitu, tetap aja nggak enak, Mas."
"Nggak enak kenapa? Mas baru sore ini nggak pulang cepat ke rumah. Kamu tahu alasannya?"
Nafisa menggeleng cepat, "emang apa alasannya?"
"Mas itu bosen, tau nggak di rumah. Istri Mas itu bisanya cuma dasteran. Mana setiap pulang ke rumah, rumah kadang amsih berantakan, anak-anak belum mandi, mau makan, masakannya itu-itu aja. Belum lagi, dia itu nggak kayak kamu yang wangi. Kalau nggak bau dapur, ya bau balsem. Enek banget. Mana muka makin hari makin kucel. Bener-bener deh, buat Mas bosen. Mas itu berharap setiap pulang ke rumah, rumah udah rapi, begitu juga anak-anak. Dia udah mandi, wangi, dan cantik. Kayak kamu gini nih. Tapi apa? Yang terjadi nggak sesuai ekspektasi. Untung aja tadi Budi kasi saran nongkrong bareng, jadi Mas bisa lah nyantai terus senang-senang. Apalagi ada kamu yang cantik gini, bikin hari Mas jadi lebih bergairah," ujarnya sambil tersenyum ke arah Nafisa.
Nafisa tersipu malu mendengar pujian Amar.
"Tapi Mas, menurut aku sih wajar. Namanya ibu-ibu. Apalagi anak 3 jadi istri Mas Mas mungkin kerepotan urus segalanya sendiri, makanya jadi nggak sempat urus diri."
"Alah, kerepotan apa. Kerjaan juga nggak ada. Apa sih susahnya jadi ibu rumah tangga. Nggak kayak kita yang mesti kuras otak seharian. Mereka mah hanya gitu-gitu aja, repot apanya. Kalau kamu yang jadi istri, kerja sambil urus rumah wajar kerepotan. Lah dia ... kerja nggak, cuma jaga anak dan rumah, sibuknya udah kayak ngelebihin wanita karir. Kamu aja yang kerja seharian masih bisa terlihat cantik dan wangi. Seharusnya dia yang seharian cuma di rumah lebih bisa dong," ujar Amar bersungut-sungut.
Begitulah para laki-laki kebanyakan, mereka pikir seorang ibu rumah tangga itu tidak sibuk. Santai-santai saja di rumah. Punya waktu luang yang banyak. Padahal sebaliknya, nyaris setiap waktu itu ada saja yang dikerjakan. Apalagi kalau memiliki bayi atau balita. Bahkan terkadang untuk isi perut sendiri saja susah bukan main. Baru saja makan, si bayi udah teriak ini itu. Baru saja masuk kamar mandi, udah ditangisi. Belum sempat sisiran, udah diteriaki lagi. Tidak semudah itu menjadi seorang ibu. Tapi Amar tidak pernah mau mengerti. Ia anggap pekerjaan menjadi seorang istri sekaligus seorang ibu itu mudah. Padahal tidak sama sekali, Ferguso. Bahkan untuk tidur lelap pun sulit.
Namun seorang ibu akan tetap melakukan segalanya dengan penuh keikhlasan. Mereka sadar marwahnya sebagai seorang istri sekaligus ibu membuatnya harus menerima segala konsekuensi dengan hati yang lapang.
Amar baru tiba di rumah hampir pukul 9 malam. Masuk ke dalam kamar, wajah Amar langsung masam.
"Pulang ke rumah, bukannya disambut dengan wangi menyegarkan, malah bau balsam," sungut Amar.
Aliyah yang tadi sudah tertidur pun tersentak, "Mas baru pulang?"
"Udah tau pake nanya," ketus Amar. Aliyah menghela nafas panjang.
"Mas mau makan sekarang atau ... "
"Tidak perlu. Aku sudah kenyang. Paling juga kamu masak sayur bening, ikan asin, tempe tahu lagi kan?" potong Amar seraya mendelik.
"Mas, bukannya aku nggak mau masakkin yang kamu mau. Bisa masak daging ayam dalam sekali seminggu pun syukur-syukur. Apa-apa sekarang udah naik, Mas. Sementara Mas kasih uang belanja aja udah berapa tahun ini segitu-gitu aja. 2 juta perbulan. Belum untuk susu, keperluan anak-anak, uang jajan dan ongkos gojek Nana, token listrik, gas, dan lain-lain. Ini aja susu Gaffi usah habis, sedangkan uang bulanan dari Mas udah benar-benar menipis, terus aku harus apa? Mas jangan hanya bisa salahin aku dong," ucap Aliyah pelan, namun penuh penekanan.
"Jadi kamu salahin aku begitu? Kamu aja yang nggak becus atur uang itu. Kalau kamu pintar, kamu bahkan bisa nyisihin untuk nabung. Atau jangan-jangan tanpa sepengetahuan aku, uangnya kamu pakai untuk senang-senang? Iya?" tuding Amar.
"Astaghfirullah, Mas, kok mikir sampai ke situ sih? Aku aja nggak pernah keluar rumah kecuali urusan sekolah Nana. Aku aja baru keluar kalau kamu ajakin. Tapi itu udah lama banget. Mas ingat kapan terakhir kali Mas ajak aku jalan? Mas ajak aku jalan saat aku masih hamil Amri. Itupun saat usianya baru berapa bulan, setelah itu? Nggak ada kan. Aku juga mikir, Mas, aku bukan perempuan yang suka keluar tanpa izin suami jadi Mas nggak bisa nuduh aku sembarangan."
"Kalau bukan, lantas kemana uang pemberianku itu? Atau kamu kirim uang itu ke orang tua kamu di kampung?"
"Asal Mas tahu, udah lama aku nggak pernah kirim orang tua aku uang. Aku sampai malu sendiri sama mereka. Meskipun mereka tidak minta, tapi sebagai anak aku kayak anak durhaka. Udah berapa kali lebaran nggak pernah pulang, eh nggak pernah kasi uang juga. Sudahlah Mas, aku bosan debat sama kamu yang nggak mau ngerti sedikitpun."
"Kau pikir aku nggak bosan apa, hah? Udah capek kerja, eh ngadepin sikap kamu yang makin hari makin memuakkan," sentak Amar.
Kesal dengan sikap Amar yang suka menuduhnya sembarangan, Aliyah pun langsung merebahkan tubuhnya dengan posisi menyamping. Ditariknya selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya hingga ke kepala. Dalam diam, air mata Aliyah menetes. Sampai kapan suaminya akan bersikap seperti itu?
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!