Wangi desinfektan begitu menyengat di indra penciuman siapa pun, ruangan yang mendominasi dengan warna putih tambah membuat suasana semakin menyedihkan selain mencekam.
Wanita berkacamata bulat itu yang baru saja merayakan ulang tahunnya ke-22 tahun beberapa hari yang lalu tubuhnya sudah bergetar hebat, air matanya terus saja keluar tak henti-hentinya dari kedua kelopak matanya, mata bening itu sudah tampak memerah. Andaikan dia sedang berdiri mungkin saat ini juga dia akan terkulai lemas jatuh di lantai yang dingin itu.
Suara mesin monitor detak jantung menambah suasana kamar itu semakin mencekam, sesaat wanita berkacamata itu yang masih berlinang air mata menatapi seorang wanita yang masih tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang dengan seluruh tubuhnya dipenuhi oleh alat bantu agar tetap bertahan hidup, wanita yang berbaring itu adalah kakak angkat wanita berkacamata itu yang bernama Poppy Navaeh, usia 27 tahun.
Deandra Athasa, wanita yang masih menangis mengeluarkan rasa sesak yang begitu menghimpit dadanya, kedua netranya terpejam sesaat dan kembali mengingat kejadian tiga bulan lalu. Sepulang dia bekerja dengan mengendarai mobilnya sendiri pada malam hari, tak sengaja menabrak mobil yang berlawanan arah karena rem mobilnya tiba-tiba blong dan tidak bisa mengendalikannya, dia tidak tahu jika kondisi rem mobilnya tiba-tiba tak bisa berfungsi, padahal saat di pagi hari rem mobilnya masih bisa digunakan dengan baik, ketika dia mengendarainya sendiri ke kantor.
Naasnya mobil yang dia tabrak, adalah mobil yang dikendarai oleh kakak iparnya, Aidan Trustin beserta kakak angkatnya, Poppy yang sedang hamil empat bulan.
Dunia seakan runtuh bagi Deandra saat itu juga, dia yang hanya mengalami cedera ringan, dan hal itu berbeda dengan keadaan kakak angkat berserta suaminya. Kakak angkatnya harus kehilangan calon anak yang dikandungnya, dan sekarang sudah hampir tiga bulan masih koma, sedangkan Aidan suaminya mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya akibat kerusakan di bagian tulang belakangnya.
Deandra yang sejak umur tiga tahun diadopsi oleh keluarga Ernest, benar-benar murka dengan Deandra terutama Daisy mama angkatnya, semenjak musibah menimpa anak kandungnya yang bernama Poppy Navaeh. Begitu pula dengan mertua Poppy amat murka dengan Deandra, apalagi cucu yang dinanti selama lima tahun, sekarang tak ada lagi diperut Poppy.
“DASAR ANAK SIALAN! PEMBUNUH!” teriak Mama Daisy saat itu.
Tamparan bertubi-tubi dia terima juga dari mama mertua Poppy. “KAMU TELAH MENCELAKAKAN DAN MEMBUNUH MENANTUKU SERTA CALON CUCUKU, PENERUS KELUARGA RICARDO!” maki Mama Amber dengan tatapan berapi-api.
Sesak! hatinya benar-benar sesak, Deandra juga sudah tak kuasa lagi untuk menghadapi kedua keluarga tersebut, karena memang dia yang salah, tapi satu pertanyaan yang belum bisa terpecahkan, kenapa rem mobilnya bisa tiba-tiba tak berfungsi? Lalu kenapa bukan dia saja yang terluka parah?
Sekarang Deandra harus menerima kenyataan yang terbaru, dia diberikan dua pilihan oleh kakak iparnya Aidan Trustin yang saat ini berusia 35 tahun. Memilih dipenjara untuk menembus kesalahannya, atau menikah dengannya yang kini sudah dalam keadaan lumpuh. Sungguh ini pilihan yang sangat sulit, apalagi dia baru saja menjalin hubungan dengan teman sekantornya bernama Arik.
Wanita muda itu masih memejamkan kedua netranya, sekujur tubuhnya mulai terasa sakit, saat kata- kata ijab kabul mulai terdengar dan ...
SAH
SAH
Kalimat sah sudah keluar dari mulut Pak Penghulu dan saksi. Aidan Trustin menajamkan mata elangnya ke arah wanita muda itu, yang dia sudah kenal lama sebagai adik iparnya, sekarang sudah sah dia nikahi menjadi istri keduanya.
“Aku menikahinya bukan karena aku mencintaimu Deandra, tapi kamu harus menebus kesalahan telah mencelakakan kami, hingga istriku mengalami koma dan aku kehilangan calon anak yang sudah lama aku nanti! Aku tak akan biarkan hidupmu bahagia!” batin Aidan.
Deandra tak sanggup membuka kedua matanya, namun dia harus segera membukanya. Di saat matanya terbuka terlihatlah mata elang pria tampan itu, seakan-akan tatapannya ingin menguliti dirinya secara perlahan-lahan. Wanita itu mengusap kedua matanya di balik kacamata bulatnya dengan jemari lentiknya.
Tak ada ucapan selamat dari siapa pun di acara pernikahan yang amat sederhana, yang ada hanyalah tatapan tajam dan mengejek yang Deandra terima.
“Ya Allah jika memang ini yang harus aku jalani, mohon kuatkanlah aku untuk menghadapinya,” batin Deandra.
Deandra masih berusaha untuk menghentikan air matanya, dan mencoba mengikhlaskan kenyataan yang terbaru ini. Menikah bukan karena saling mencintai, namun ini hukuman buat dirinya, padahal impian Deandra menikah karena saling mencintai dan menjadi satu-satunya, bukan menjadi yang kedua. Kini mimpi itu tidak akan pernah terwujud.
Mama Amber dan Mama Daisy yang turut menyaksikan pernikahan kedua Aidan dengan menatap sinis ke arah Deandra, terlihat sekali dari sorot mata kedua wanita paruh baya itu tidak menyukai Deandra, apalagi Mama Amber yang harus menerima Deandra sebagai menantu keduanya, dengan hati yang terpaksa.
“Jangan pikir aku menyukai kamu menjadi menantuku Deandra, justru ini kesempatan aku untuk membalas atas apa yang terjadi kepada menantu kesayanganku!” geram batin Mama Amber.
Akad nikah telah selesai, penghulu, wali nikah beserta dua keluarga tersebut meninggalkan ruangan ICU, tinggallah Deandra dan Aidan.
Pria yang duduk di kursi roda model terkini, menatap sendu ke wajah istrinya yang cantik itu. “Poppy, maaf aku telah menikahi adik angkatmu, bukan karena aku mencintainya, tapi aku ingin menghukum adikmu atas kejadian yang menimpa kita, jika kamu sudah bangun dari koma, dan sudah sehat kembali, aku berjanji akan menceraikannya,” batin Aidan.
Pria berparas tampan itu mengusap lembut jemari istri pertamanya, lalu mengecupnya. Tak lama kemudian dia menoleh ke samping dan menatap tajam ke arah Deandra.
“Aku menikahimu, bukan karena aku mencintaimu Dea, tapi aku minta tanggung jawabmu yang telah membuatku lumpuh, istriku sudah tiga bulan terbaring koma dan aku kehilangan calon anakku! Ingat cintaku hanyalah untuk kakakmu ... Poppy!” sentak Aidan.
Aidan memang selalu dingin dan irit bicara pada wanita mana pun, kecuali pada istrinya. Aidan pun terkenal sebagai sosok pemimpin yang bertemperamental tinggi, dan amat disegani dan ditakuti oleh para karyawannya. Sejak Aidan berpacaran hingga menikah dengan Poppy, hubungan antara adik ipar dan kakak ipar juga tidak terlalu akrab, karena Aidan benar-benar menjaga perasaan Poppy, menyapa Deandra juga hanya sekedarnya saja, dan mereka juga jarang bertemu.
Deandra yang awalnya menundukkan kepalanya, pelan namun pasti diangkatnya wajahnya dan memberanikan menatap wajah tampan Aidan yang mampu menghipnotis para wanita yang memandangnya.
“Aku sadar diri dengan pernikahan ini, aku tidak mengharapkan untuk dicintai oleh Kak Aidan. Aku tahu pernikahan ini untuk menembus kesalahan besar ku,” jawab Deandra sembari menahan rasa sesak yang mulai kembali membuncah di dalam dadanya.
“Bagus dan ingat selalu hal itu!” jawab Aidan dengan tegasnya. Setelah itu pria itu keluar dengan mengarahkan kursi roda yang dia gunakan.
Aidan sendiri juga mentalnya down dan hancur semenjak Dokter memvonis dirinya lumpuh akibat kecelakaan mobil itu, hatinya juga kacau dan amat membenci dirinya sendiri yang tidak gagah perkasa seperti dulu lagi, walau Dokter juga sudah memberitahukan jika kemungkinan 50% dia bisa kembali berjalan normal, namun entah kapan itu akan terjadi. Karena selama dua bulan ini semenjak tidak dirawat di rumah sakit, pria itu lebih banyak mengurung diri dikamar, dan marah-marah sendiri, terkadang sesekali menjenguk istrinya di rumah sakit. Rasa kepercayaan diri Aidan mulai turun atau bisa dikatakan rasa percaya dirinya hilang.
Mama Daisy yang sudah berada di luar ruang ICU, masih menatap ke dalam melalui kaca yang belum ditutupi oleh kain gorden itu. “Harusnya yang ada di atas ranjang itu adalah kamu Deandra, bukan anakku Poppy! Benar-benar sialan harusnya rem mobil itu membuat kamu menghilang dari dunia ini, percuma bayar montir mahal-mahal!” geram batin Mama Daisy.
Jadi yang membuat rem mobil tidak berfungsi itu Mama Daisy kah? Kenapa? Deandra salah apa?
bersambung ...
Halo Kakak Reader's semuanya bertemu lagi di karya terbaru Mommy Ghina, mohon dukungannya ya selalu mengikuti kisah Deandra dan Aidan, kalau bisa jangan tabung bab ya 😊. Please jangan kasih rate ⭐⭐⭐⭐⭐1 s/d 4 ya, lebih baik lewatkan saja jika mau kasih rate 1 s/d 4.
Dukung terus ya agar kisah ini bisa bertahan sampai tamat di Noveltoo. Terima kasih sebelumnya 🙏🏻🙏🏻
Lope-lope sekebon 🍊🍊🍊🌹🌹🌹🌹🌻🌻🌻🌻
Deandra Athasa, usia 22 tahun, staf keuangan PT. Nusantara Nationaly
Aidan Trustin, usia 35 tahun, pemilik dan CEO Perusahaan Zen Zero.
Poppy Navaeh, usia 27 tahun, Manager Operasional PT. Nusantara Nationalty.
Ernest, papa angkat Deandra menatap miris dari balik kaca ruang ICU. Hatinya amat sedih dengan keadaan kedua anaknya, yang satu masih dalam keadaan koma, sedangkan yang satu lagi baru saja dinikahi oleh kakak iparnya. Sebenarnya dilema buat Papa Ernest dengan pernikahan Deandra dengan Aidan. Keluarga besannya minta pertanggung jawaban dari Deandra, jika tidak maka saham yang mereka khususnya investasi dari Aidan di perusahaan milik Papa Ernest akan dicabut semuanya, alhasil perusahaannya pasti akan goyah dan bangkrut.
Di penjara! Papa Ernest tidak menginginkan Deandra menghabiskan hidupnya di hotel prodeo, sedangkan Mama Daisy justru sangat mengharapkan anak yang diadopsi oleh suaminya, yang amat sangat disayangi oleh Papa Ernest hidup di balik jeruji besi, kalau bisa untuk selamanya.
“Maafkan aku, yang tak bisa menjaga anakmu. Tapi aku terpaksa dia menikah dengan anak menantuku, daripada dia membekam di penjara,” batin Papa Ernest.
Deandra dengan langkah kaki tergontai keluar dari ruang ICU dengan pandangan yang tertunduk, rasanya tidak sanggup menatap siapa pun.
“Dea.” Papa Ernest memanggilnya dengan suara terdengar parau. Deandra mengangkat wajahnya dengan kedua netranya yang sembab, lalu dia menatap pria yang amat menyayanginya sejak kecil bagaikan anak kandung. “Maafkan aku, Pah,” jawab Deandra begitu lirih, hampir tak terdengar.
Pria paruh baya itu memeluk tubuh mungil anak angkatnya. “Terima kasih kamu mau bertanggung jawab, dan semoga kamu bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada,” kata Papa Ernest. Wanita muda itu hanya bisa mengangguk pelan dalam pelukan papa angkatnya.
“Ck ... masih saja sayang dengan anak yang tidak jelas itu!” sinis batin Mama Daisy.
“Cukup Pah, tidak perlu Papa masih bersikap seperti itu! Ingat dia telah mencelakakan anak kita, dasar anak tidak jelas asal usulnya!” murka Mama Daisy, kesal melihat peragai suaminya.
Papa Ernest mengurai pelukannya, dan mendesah panjang setelah mendapat teguran dari istrinya. “Kopermu sudah berada di mobil mereka Nak, sudah waktunya kamu ikut dengan Aidan,” lanjut kata Papa Ernest, sambil menunjukkan salah satu pelayan keluarga Ricardo yang masih menunggu Deandra.
Deandra mengusap kedua matanya yang masih basah, lalu menganggukkan kepalanya, kemudian melangkahkan kakinya menghampiri pria yang menunggunya. “Ingatlah Deandra, kamu menikah dengan suami anakku bukan untuk menjadi NYONYA BESAR di sana!” kata nyelekit yang terucap dari mulut Mama Daisy.
“Ya,” jawaban yang sangat singkat dari Deandra. “Aku, pamit Pah ... Mah.” Kedua pasangan suami istri itu menatap dingin wanita itu hingga tak tampak lagi keberadaannya di lorong rumah sakit.
...----------------...
Deandra tidak satu mobil dengan suaminya, dia menumpangi mobil yang berbeda. Siang menjelang sore ini dia dibawa ke kediaman Ricardo, tempat di mana Aidan tinggal saat ini semenjak kecelakaan, dia kembali tinggal ke mansion utama. Dulu Deandra pernah beberapa kali berkunjung karena ada acara keluarga, dan dia turut hadir. Mansion utama milik keluarga Ricardo jelas lebih mewah dan besar dari pada mansion milik Papa Ernest.
“Dea, welcome to the jungle!” batin Deandra memelas.
Mobil yang membawa dirinya sudah memasuki gerbang menjulang tinggi berwarna hitam, jantungnya mulai berdetak sangat cepat, kedua tangannya pun mulai mengeluarkan keringat, penyakit cemasnya mulai timbul kembali.
Salah satu maid mansion membukakan pintu mobil untuknya, beberapa koper miliknya juga sudah dikeluarkan dari bagasi mobil, Deandra pun bergegas memegang gagang tas kopernya, ada rasa tidak enak jika tasnya di lbawa oleh maid, dia harus tahu diri dengan posisinya di mansion.
Aidan sudah berada di ruang utama, rupanya pria itu sudah tiba duluan dengan kedua orang tuanya beserta adik perempuannya, Elena yang usianya seumuran dengan Poppy.
“Bawa dia ke kamar yang sudah saya pilih,” perintah Aidan pada kepala pelayan.
“Baik Tuan Muda,” jawab patuh Pak Benny, sang kepala pelayan.
Aidan membuang mukanya dari tatapan Deandra, dan meminta perawat laki-laki yang berada di belakangnya membawa dirinya ke kamarnya yang ada di lantai dua.
Elena yang kebetulan berada di ruang utama, menghampiri Deandra dengan sedikit mengukir senyum tipisnya di wajah cantiknya. “Selamat datang di mansion kami, semoga kamu betah tinggal di sini,” kata Elena begitu ramahnya, berbeda jauh dengan kakaknya yang dingin.
“Terima kasih, Kak Elena,” jawab Deandra tulus, karena memang Elena selalu bersikap baik dengannya selama ini.
“Hush, jangan panggil aku kakak lagi, sekarang justru aku yang harus memanggilmu Kak, karena sudah menikah dengan kakak ku,” balas wanita berambut hitam itu.
Deandra tersenyum getir, lalu menggelengkan kepalanya. “Kak Elena sudah tahu kenapa aku menikah dengan Kak Aidan, kan?”
Elena kembali tersenyum tipis dan mengusap lengan wanita itu. “Ke kamarlah, dan beristirahatlah dulu,” pinta Elena begitu lembutnya, untuk saat ini dia tidak mau mengungkit atas musibah yang dihadapi oleh kakaknya sendiri.
“Terima kasih, kalau begitu aku ke kamar dulu,” jawab Deandra, Elena hanya menganggukkan kepalanya.
Wanita yang berambut coklat itu mengikuti langkah kaki sang kepala pelayan, menuju bagian belakang mansion, melewati dapur kering lalu bertemu dengan pintu belakang, terlihat paviliun tempat beristirahat para maid yang bekerja di mansion Ricardo.
Miris! Ternyata kamar dia berada di paviliun bergabung dengan para maid, padahal dia juga menantu keluarga Ricardo. Pak Benny membuka salah satu kamar yang ada di lantai dua. “Ini kamar kamu, selamat beristirahat,” kata Pak Benny, sembari mendorong koper milik Deandra ke dalam kamar.
Deandra berusaha tersenyum. “Terima kasih Pak,” jawabnya. Sepeninggalnya Pak Benny, wanita itu masuk ke dalam kamar, lalu memindai kamar yang berukuran 4 x 6 meter, kamar yang sangat jauh berbeda dengan kamar yang dia tempati di mansion Ernest. Hanya ada lemari pakaian dua pintu, lalu ranjang ukuran 100 x 200 cm, namun hati Deandra tetap bersyukur.
Baru saja Deandra ingin merapikan bajunya tak lama pintu kamarnya ada yang mengetuk.
“Kamu pelayan baru di sinikan?” tanya seorang wanita yang berseragam maid, wajahnya terlihat judes saat Deandra membukakan pintu. “Ini seragam kamu, kata Nyonya Besar kamu pelayan baru di sini!” wanita itu memberikan pakaian berwarna hitam putih itu.
Belum juga Deandra menjawab, ternyata sudah dijawab oleh wanita yang dibilang masih muda juga tidak, dibilang sudah tua tidak juga, mungkin usianya sekitar 35 tahun. Wanita itu menyibakkan rambutnya, agak angkuh kelihatannya. “Cepetan ganti baju dan segera menuju dapur, banyak pekerjaan yang harus dikerjakan!” tukasnya terdengar kasar. Maid yang datang ke kamar Deandra tersebut, sebenarnya tahu jika Deandra adalah adik ipar tuan mudanya, namun nyonya besarnya memberitahukan ke seluruh maid di mansionnya, jika Deandra sekarang maid baru, statusnya sama dengan maid yang lain.
“Baik Mbak, saya ganti baju dulu,” kata Deandra, tanpa tersenyum dan maid itu pun meninggalkan Deandra.
“Harus terima nasib Dea, kamu masih untung dijadikan pelayan di sini, ketimbang kamu berada di penjara selama belasan tahun. Paling tidak kamu harus bertahan sampai Kak Poppy bangun dari komanya, dan semuanya akan berakhir,” batin Deandra, berusaha menenangi dirinya sendiri.
Setelah selesai mengganti baju, wanita muda itu bergegas ke dapur basah, ternyata Mama Amber telah banyak memberikan pesan pada salah satu maid untuk memberikan banyak pekerjaannya kepada menantu yang tak dianggapnya itu. Seperti sekarang, wanita berkacamata itu tak henti-hentinya mengerjakan ini itu sampai jam tujuh malam.
...----------------...
Ruang makan
PRAANG!
PRAANG!
Semua piring yang disuguhi oleh Deandra untuk Aidan terpelanting ke lantai, hingga isinya berhamburan dan sudah tentu piring keramik itu sudah tak berbentuk lagi.
“Siapa yang menyuruhmu menuangkan makanan di piringku ini!” sentak Aidan, kembali lagi mata elangnya menyalak pada Deandra yang sudah terlihat tubuhnya bergetar ketakutan.
Mama Amber hatinya sedang bertepuk tangan melihat Deandra kena bentakan anaknya.
“M-maaf aku tidak tahu Kak Aidan, a-aku hanya disuruh untuk menyajikannya,” jawab Deandra masih gemetaran.
“Lancang sekali kamu panggil aku KAK, panggil aku Tuan Muda, sama seperti dengan maid yang lainnya!” bentak Aidan.
Deandra berusaha menguasai dirinya. Dirinya yang dulu kuat tidak mudah lemah, namun sekarang akibat kelalaiannya berkendara, mampu menjungkir balik mental dirinya sendiri, dirinya kini rapuh dan tak ada satu pun yang menemani kerapuhannya.
“Cepat bersihkan, dan kalian semua jangan ada yang membantunya!” perintah Aidan dengan suara meningginya, para maid yang ada di ruang makan hanya bisa diam mendengar perintah tuan mudanya.
Wanita muda itu mulai menurunkan tubuhnya untuk berjongkok, lalu memunguti satu-persatu pecahan piring itu dengan kedua tangan kosongnya, Aidan melihatnya dengan tatapan penuh kemenangan.
“Jangan berharap kamu bisa hidup tenang dan bahagia di sini, Deandra!” batin Aidan.
Mama Amber kembali melanjutkan makan malamnya, dan membiarkan putranya suka hati mengerjai istri mudanya, semakin bersorak gembiralah hati Mama Amber melihat sikap Aidan. Papa Ricardo dan Elena tidak terlihat berada di ruang makan, karena mereka berdua makan malam di luar dengan rekan bisnis perusahaannya.
bersambung ...
Kakak Readers jangan lupa tinggalkan like, komentarnya yaaaa
Hati dan tubuh mulai terasa lelah, jam sembilan malam wanita muda itu baru saja menyendok makan malamnya dengan sisa lauk bekas pemilik mansion, sedangkan maid yang lain sudah sedari tadi menikmati makan malamnya dengan lauk baru, tidak seperti dirinya karena ada larangan dari Aidan.
“Jangan ada air mata, Dea. Kamu harus menerimanya, ini memang kesalahan kamu dan ini hukumanmu!” batin Deandra berusaha menguatkan dirinya.
“Gak pa-pa makan seadanya, yang penting masih bisa makan,” gumam Deandra seorang diri, wanita muda itu duduk di lantai marmer yang begitu dingin di salah satu sudut dapur basah, dan mulai menyantap makan malamnya. Bukankah bersedih hati itu butuh energi!
Di saat Deandra menyantap makan malamnya, tiba-tiba saja ada piring kecil berisikan ayam goreng yang terulur dari tangan seseorang. Deandra pun mendongakkan wajahnya. “Makanlah ayam ini, kamu hanya makan dengan kuah sayur sop saja,” ucap wanita paruh baya itu, yang sering dipanggil Bu Nani.
Deandra meletakkan piringnya ke lantai, lalu menerima piring kecil tersebut. “Terima kasih Bu Nani,” jawab Deandra.
“Sama-sama, silahkan lanjutkan makannya,” balas Bu Nani, wanita paruh baya itu meninggalkan Deandra, dan kembali merapikan meja dapur, sedangkan Deandra kembali makan.
Tak lama kemudian Pak Benny ke dapur basah. “Bu Nani lihat Dea?” tanya pria paruh baya itu, tanpa melihat jika Dea sedang duduk di lantai menikmati makan malamnya.
“Itu,” tunjuk Bu Nani ke arah Deandra yang masih duduk di lantai.
“Bapak, cari saya?” tanya Deandra, masih duduk dilantai dan dia mendongakkan kepalanya.
“Segera habiskan makannya, setelah itu ikut saya menemui Tuan Muda,” pinta Pak Benny, terlihat terburu-buru.
Deandra mendesah, nafsu makannya tiba-tiba hilang, mau tidak mau dia beringsut dari lantai dan membuang sisa makanannya ke tong sampah dan segera mencuci piring bekas makannya.
“Antar saya untuk menemui Tuan Muda,” pinta Deandra.
Pak Benny memutar balik badannya dan berjalan duluan di depan Deandra, agar wanita muda itu bisa mengikutinya dari belakang. Pak Benny mengantar Deandra ke lantai dua, tepatnya ke ruang kerja milik Aidan.
Sesampainya di depan pintu ruang kerja, Pak Benny mengetuk pintu, dan terdengar suara sahutan pria di dalamnya.
“Sudah ada Deandra di sini, Tuan Muda,” kata Pak Benny.
“Suruh masuk, dan tinggalkan kami berdua,” pinta Aidan terdengar dingin.
“Baik Tuan Muda,” jawab patuh Pak Benny, pria itu menyuruh Deandra masuk kemudian menutup pintu ruang kerja Tuan Mudanya.
Deandra melangkahkan kakinya dengan hati-hati saat masuk ruang kerja pria itu, matanya tak berani membalas tatapan Aidan, dia hanya menatap rak-rak yang dipenuhi oleh buku-buku tebal. Aidan yang berada dibalik meja kerjanya, mengontrol kursi rodanya dengan remotenya lalu memutar meja kerja dan menempatkan kursi rodanya dekat sofa yang ada di ruang kerjanya.
Deandra masih berdiri di dekat pintu, sekitar lima langkah jaraknya, dia tak berani untuk lebih maju lagi. Aidan pun tidak meminta wanita itu lebih mendekat lagi, mungkin cukup dengan jarak yang jauh itu.
Aidan menatap tajam wanita yang sangat berbeda dengan Poppy istrinya, ya jelas berbeda mereka tak sedarah hanya saudara angkat. Jika Poppy memiliki wajah yang amat cantik, kulit kuning langsat, tubuh tinggi dan amat sexy, sangat jauh dengan Deandra, sejak dulu sudah menggunakan kacamata bulat dan besar, tinggi badan hanya 160 cm, tubuhnya jauh dari kata sexy karena Deandra pakaiannya selalu sederhana, tidak se fashionable seperti Poppy, tapi ada kelebihan pada diri Deandra kulitnya sangat putih, rambut panjangnya berwarna coklat, dan ikal di bagian bawahnya. Dan banyak yang tidak menyadari jika Deandra melepas kacamata bulatnya, maka wajah yang sesungguhnya akan terlihat sangat cantik.
“Kamu tahu kenapa aku memanggil kamu ke sini?” tanya Aidan, seperti biasa suaranya terdengar dingin, tidak ramah.
Deandra memberanikan diri menatap pria yang baru saja menikahinya sebagai istri kedua. “Jika aku tahu, aku tidak akan di sini!” balas Deandra begitu datar dan terkesan dingin.
Pria tampan itu tersenyum miring mendengarnya. Kertas yang ada di atas pangkuannya di lemparnya ke atas meja sofa. “Baca!” perintah Aidan dengan kasarnya.
Terpaksa wanita itu melangkah maju untuk mendekati meja tersebut, lalu mengambilnya dan membacanya dengan seksama.
“Apa ini maksudnya?” batin Deandra ketika dia memulai membacanya.
Kedua netra Deandra masih membaca dua lembar kertas tersebut. “Pernikahan antara dirinya dengan Aidan tidak boleh diketahui oleh siapapun, menjadi rahasia keluarga! Tugas selama tinggal di mansion adalah mengerjakan semua pekerjaan seperti pelayan dari pagi hingga malam tanpa di gaji. Tidak boleh membantah kepada pemilik mansion. Wajib mematuhi peraturan yang ada di mansion. Tidak boleh menuntut berharap mendapatkan nafkah batin dan lahir dari Aidan Trustin. Dan jangan pernah mengakui diri sebagai istri dari Aidan Trustin!” batin Deandra.
Aidan masih menunggu reaksi dari Deandra atas surat yang dia berikannya. Deandra menarik napasnya pelan-pelan, inti dari surat yang dia baca, dia bagaikan tahanan namun tidak berada di balik jeruji tapi di balik mansion yang mewah, tidak ada kebebasan untuk dia sendiri, apalagi dia adalah karyawan yang bekerja di perusahaan Papa Ernest.
“Kamu sudah pahamkan dengan isi surat itu?” tanya Aidan. Kertas yang dipegang oleh Deandra dipegangnya dengan erat. “Tuan ingin mengurungku sepertinya,” kata Deandra.
“Begitulah, kamu memang tahananku! Pantaskan!” jawab Aidan dengan tatapan sinisnya.
Deandra meletakkan kembali kertas tersebut ke atas meja, lalu kembali melangkah mundur kakinya ke tempat semula dia berdiri. “Sebaiknya tadi siang aku tidak menuruti untuk dinikahi oleh Tuan, dan aku seharusnya memilih menyerahkan diri saja ke pihak berwajib dan menerima hukuman,” balas Deandra, kali ini dia berusaha menguatkan dirinya, setelah tadi saat makan malam pria itu sempat memarahinya di depan pelayan yang lain.
Aidan menaikkan salah satu alisnya. “Oh jadi kamu telah menyesal memilih menikah denganku! Paling tidak di sini kamu bisa tidur dengan nyaman di kamar sendiri, ketimbang di penjara satu kamar bisa 20 orang atau lebih,” ejek Aidan.
“Mungkin itu lebih baik buatku, jadi sebaiknya kita batalkan pernikahan kita, atau mungkin malam ini Tuan Muda bisa langsung jatuhkan talak tiga padaku, dan aku akan menyerahkan diri ke kantor polisi, dari pada aku tinggal di sini tapi dikurung seperti tahanan, bukankah sama saja!” balas Deandra, memberanikan diri untuk berkata.
Sungguh jawaban Deandra, membuat Aidan meradang. “Tidak semudah itu kamu meminta aku menceraikanmu, sedangkan aku belum melihatmu sengsara seperti aku yang kini lumpuh dan kakakmu yang kini berjuang antara hidup dan matinya, belum lagi calon anakku yang telah tiada!” kata Aidan, hatinya penuh dengan dendam.
Jika sudah menyinggung hal tersebut, kembali lagi hati Deandra terpojokkan. Wanita itu menundukkan wajahnya, dan menatap lantai marmer itu, wajar jika pria itu dendam dengannya, siapa yang mau menjadi lumpuh, dan terbaring koma selama beberapa bulan.
“Kecelakaan itu benar-benar tidak disengaja, kenapa semua orang tidak percaya jika rem mobilku blong, tidak ada faktor kesengajaan. Aku juga tidak tahu jika mobil yang aku tabrak adalah milik Ka —Tuan muda bersama Kakak Poppy, aku juga tidak menginginkan melihat Tuan Muda menjadi lumpuh, dan Kak Poppy koma hingga keguguran. Aku juga tidak mau, dan ini bukan kehendakku Tuan, jika boleh memilih kenapa bukan aku saja yang lumpuh atau koma!” balas Deandra menahan rasa sesaknya kembali.
“Itu karena kamu yang ceroboh mengendarai mobil, tidak becus, malah menyalahkan mobil rem blong!” sahut Aidan penuh emosi, dan mendakwa wanita itu.
“Oke kalau aku yang salah, sekarang aku tidak mau memperpanjang masalah ini. Sebaiknya aku memang harus menyerahkan diri, agar masalah ini selesai dan Tuan akan puas. Dan tolong nanti jatuhkan talak tiga padaku!” jawab Deandra datar, wanita itu memutar balik badannya dan kembali melangkahkan kakinya menuju pintu.
“Berani kamu keluar dari ruangan ini, dan menyerahkan diri ke kantor polisi. Maka detik ini juga aku akan menarik semua saham yang aku investasi di perusahaan Papa Ernest! Aku tidak peduli, sudah bisa dipastikan perusahaan Papa akan kembali hancur!” ancam Aidan, suaranya benar-benar meninggi.
Tubuh Deandra mendadak menjadi tegang mendengarnya, dan dia baru teringat Papa Ernest pernah bilang padanya kenapa dia harus mau dinikahi oleh Aidan, salah satunya saham milik Aidan. Tangan kanan Deandra mengusap dada kirinya yang amat terasa menyesakkan, rasanya ingin meledak.
“Bagaimana ... kamu yakin sekarang minta bercerai dan menyerahkan diri sekarang ke kantor polisi?”
Deandra masih membeku dalam berdirinya, sedangkan Aidan sudah mengarahkan kursi rodanya agar lebih dekat dengan Deandra.
“Kalau begitu bebaskan aku untuk tetap bekerja di kantor papaku, aku juga butuh uang untuk hidupku. Bukankan Tuan tidak akan memberikan nafkah batin untukku. Jika Tuan tidak bisa memenuhi permintaanku, aku akan tetap menyerahkan diri ke polisi dan biarlah perusahaan papa hancur,” kata Deandra pelan namun tegas, tapi sebenarnya dia tidak ingin perusahaan papa angkatnya bangkrut.
Aidan selama ini juga sudah tahu jika adik iparnya semenjak lulus kuliah sudah bekerja di perusahaan Papa Ernest, sama seperti istrinya Poppy, namun yang berbeda Deandra hanya karyawan biasa sedangkan Poppy memiliki kedudukan tinggi di perusahaan Papa Ernest sebagai direktur operasional.
Kini kembali Aidan yang berpikir sendiri, untuk memutuskan permintaan Deandra, antara mengizinkan atau tidak mengizinkannya.
“Tidak semudah itu kamu meminta cerai padaku, Deandra!”
Bersambung ...
Kakak readers jangan lupa tinggalkan jejaknya, like, komen, kembang, kopinya ya. Makasih sebelumnya.
Lope Lope sekebon 🙏🏻🙏🏻
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!