NovelToon NovelToon

Menjadi Pengantin Dokter Lumpuh

Bab 1. Perjodohan

Seorang lelaki muda tengah duduk di atas kursi roda, sembari menatap langit cerah di atasnya. Dia sedang berada di balkon kamar, ditemani oleh semilir angin. Andri Ismoyo adalah nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya.

Sudah dua bulan Andri bergantung pada kursi roda agar bisa berpindah tempat. Kondisinya ini membuat mental lelaki itu jatuh. Dia mendadak berubah menjadi lebih temperamen.

Lamunan Andri berhenti ketika mendengar ketukan pintu. Tak lama kemudian, seorang asisten rumah tangga masuk ke kamar dengan membawa makanan di atas nampan.

"Permisi, Mas Andri. Ini makan siangnya." Sumi tersenyum sekilas, kemudian memindahkan semua makanan ke atas meja yang ada di dekat balkon.

Andri tidak menjawab. Bahkan lelaki itu tetap cuek dan terus menatap langit luas di atasnya. Sumi menelan ludah kasar kemudian berpamitan.

Setelah terdengar pintu tertutup, Andri baru balik kanan. Dia langsung memutar rodanya menggunakan tuas yang tersedia. Lelaki itu berhenti tepat di depan meja dan langsung menatap nanar makanan yang terhidang di atasnya.

"Mereka pasti sedang makan bersama di bawah." Andri tersenyum getir ketika mengingat kedua orang tuanya yang pasti sedang menikmati makan siang bersama di meja makan.

Sebenarnya Andri berulang kali diminta untuk makan bersama. Namun, dia selalu menolaknya. Sekarang Andri lebih suka menyendiri dan menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamarnya.

Lelaki itu tiba-tiba berteriak frustrasi. Dia menyapu semua makanan yang ada di atas meja menggunakan lengannya. Andri terus berteriak untuk meluapkan kekesalannya akan takdir Tuhan yang dia anggap tidak adil.

Di sisi lain, seorang perempuan berusia 25 tahun sedang bersantai di depan televisi sambil menikmati salad buah buatan sang ibu. Dia adalah Yuan Siwi, salah satu perawat senior yang bekerja di Rumah Sakit Sumber Waras.

"Nduk, bisa bicara sebentar?" Siswoyo berjalan pelan ke arah sang putri yang masih sibuk memasukkan potongan buah ke dalam mulut.

"Ada apa, Pak? Kelihatannya serius sekali?" Yuan bergegas meletakkan mangkok ke atas meja.

Yuan mengusap bibirnya menggunakan tisu, lalu memutar tubuh sehingga kini berhadapan dengan sang ayah. Siswoyo menggenggam jemari lembut putri keduanya itu.

Yuan yang awalnya tersenyum, kini mulai mengulum kembali senyumannya. Dia paham betul kalau sang ayah akan mengucapkan sesuatu yang sangat serius. Yuan pun kembali bertanya mengenai apa yang hendak Siswoyo sampaikan.

Lelaki berumur 60 tahun itu tampak menghela napas panjang. Dia mendekatkan tubuh kepada anak gadisnya itu, lalu mengusap puncak kepala Yuan penuh cinta.

"Yuan, selama ini Bapak 'kan nggak pernah meminta hal aneh-aneh sama kamu ...." Ucapan Siswoyo menggantung di udara dan tatapannya menerawang ke langit-langit rumah.

Perasaan Yuan kali ini benar-benar tidak enak. Dia merasa ada hal buruk yang sepertinya akan disampaikan oleh sang ayah. Yuan menelan ludah kasar dan berusaha menarik ujung bibirnya ke atas meski terasa kaku.

"Memangnya ada apa, Pak?"

"Bapak terikat janji dengan sahabat karibku. Kamu tahu Pak Ismoyo, 'kan?"

Yuan langsung mengangguk cepat. Bagaimana dia tidak mengenal nama itu? Dia merupakan pemilik rumah sakit tempat dirinya sekarang bekerja.

"Memangnya ada apa dengan beliau, Pak?"

"Kamu akan menikah dengan salah satu putra beliau! Kamu tidak bisa menolak, karena ini merupakan salah satu perjanjian yang terucap di masa lalu." Siswoyo berusaha menyampaikan semuanya setenang mungkin.

Lain halnya dengan Siswoyo yang tampak tenang, kini hati Yuan sangat terguncang. Dia langsung terdiam karena tidak bisa berkata-kata lagi. Perempuan itu mulai mengumpulkan keberanian untuk mempertanyakan mengenai perjodohan tersebut.

"Kenapa harus aku, Pak? Bukannya ada Mbak Nesha? Bukankah seharusnya anak pertama yang menikah lebih dulu? Kenapa malah aku yang dinikahkan untuk memenuhi perjodohan itu?" Suara Yuan sedikit bergetar ketika mengucapkan semua pertanyaan tersebut

Siswoyo pun mengusap wajah secara kasar. Dia tahu betul sifat putri keduanya itu. Yuan merupakan gadis penurut jika dibandingkan dengan Nesha, putri pertamanya yang egois. Namun, dalam keadaan tertentu Yuan akan langsung berubah menjadi pemberontak seperti sekarang.

"Mbakmu sudah punya pacar, Yuan. Nggak mungkin Bapak ...." Ucapan Siswoyo berhenti karena Yuan kembali melayangkan protes.

"Aku juga punya pacar, loh, Pak! Kenapa harus aku?" protes Yuan.

Mata Yuan mulai berkaca-kaca. Dadanya terasa begitu sesak karena merasa sang ayah sudah bersikap tidak adil kepadanya. Sejak kecil, Yuan merasa harus menjadi pihak yang mengalah.

Kedua orang tuanya selalu memprioritaskan Nesha daripada Yuan. Meski pada akhirnya apa yang menjadi kebutuhan atau keinginannya juga dipenuhi, tetap saja hal itu membuat Yuan kesal. Dia merasa selalu dinomorduakan.

"Hah, giliran yang enak-enak Mbak Nesha yang didahulukan! Giliran nggak enaknya, aku yang suruh nanggung! Bapak sama ibu memang nggak pernah bersikap adil sama Yuan!" Yuan beranjak dari kursi kemudian meraih kunci motor yang tergeletak di atas meja.

"Yuan, kamu mau ke mana?" tanya Siswoyo setengah berteriak.

"Bapak nggak usah pedulikan Yuan!"

Perempuan itu terus berjalan cepat ke arah pintu. Dia membuka pintu, lalu membantingnya kasar. Yuan langsung menyalakan motor dan mengendarainya menuju rumah Burhan.

Air mata tidak mau berhenti mengalir membasahi pipi Yuan. Dia terus menangis sepanjang perjalanan menuju rumah Burhan. Setelah berkendara hampir 30 menit, akhirnya dia sampai di rumah sang kekasih.

Rumah berdesain mini malis itu tampak lengang. Namun, mobil Burhan terparkir rapi di halaman, menandakan sang pemilik sedang ada di rumah. Posisi pintu utama pun tidak terkunci, sehingga Yuan tidak perlu bersusah payah menekan bel.

"Mas Burhan," panggil Yuan untuk memastikan bahwa sang kekasih benar-benar ada di rumah.

Yuan terus melangkah masuk karena tidak mendapatkan jawaban dari Burhan. Mata perempuan itu kini tertuju pada pintu kamar atas yang sedikit terbuka. Dia yakin kalau sang kekasih pasti ada di sana.

Ruangan itu merupakan ruang kerja Burhan ketika sedang tidak berada di klinik hewan. Yuan pun perlahan menaiki anak tangga. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu kamar.

Yuan meraih tuas pintu, lalu mendorongnya perlahan. Ketika pintu terbuka lebar, alangkah terkejutnya dia karena mendapati Burhan sedang bercumbu dengan seorang perempuan.

"Burhan!" teriak Yuan sehingga perempuan yang ada di depan sang kekasih menoleh.

Yuan kembali terkejut, saat mengetahui bahwa perempuan itu merupakan orang yang dia kenal. Dia adalah Riana, Manajer Personalia Rumah Sakit Sumber Waras.

"Aduh, kita ketahuan, Sayang!" seru Riana tanpa rasa malu sedikit pun.

Perempuan itu turun dari pangkuan Burhan, kemudian mendekati Yuan. Dia melipat lengan di depan dada seraya tersenyum miring.

"Bagaimana kejutannya? Menarik bukan?"

"Aku tidak butuh bicara dengan Anda, Bu Riana! Oh ya, rapikan dulu penampilan Anda!" Yuan menatap pakaian dalam Riana yang terlihat kacau karena kemeja yang berantakan.

Yuan berjalan melewati Riana dan sengaja menabrakkan bahunya dengan lengan perempuan itu. Dia berhenti tepat di depan Burhan. Yuan menatap tajam sang kekasih dengan rahang mengeras. 

Yuan mengangkat tangan, lalu mendaratkannya ke atas pipi Burhan. Wajah lelaki itu sampai berpaling karena kerasnya pukulan yang diberikan oleh sang kekasih.

"Dasar brengsek! Aku mencurahkan seluruh perasaanku kepadamu! Tapi apa ini?"

Burhan tersenyum miring kemudian mengusap pipinya yang terasa panas. Dia perlahan menatap Yuan sambil menggerakkan tangan, berusaha membelai rambut panjang sang kekasih.

"Jangan pernah menyentuhku dengan tangan kotormu itu! Aku jijik!" Yuan menepis kasar lengan Burhan.

"Aku benar-benar merasa beruntung karena belum pernah disentuh sembarangan oleh tanganmu itu!" Yuan tersenyum miring sembari melipat lengan di depan dada.

"Dan aku juga merasa beruntung karena bisa merasakan surga duniawi berkat Riana."

Burhan menatap Riana, dan perempuan itu pun langsung menghampiri Burhan. Yuan tersenyum miring melihat kelakuan pasangan kekasih tersebut. Bukannya marah atau sedih, justru perempuan itu tertawa terbahak-bahak.

"Memang sudah sepantasnya sampah itu berjodoh dengan tong sampah. Sepertinya aku memang harus menjauh agar tidak terjangkit bakteri yang menempel pada kalian!" Yuan tersenyum miring kemudian balik kanan.

Perempuan itu langsung keluar dari ruang kerja Burhan. Dia menuruni anak tangga sambil menahan air mata. Meski terlihat tegar, sebenarnya hati Yuan sangat rapuh.

Perempuan itu berhenti ketika sudah berada di dekat motor. Dia berjongkok dan menenggelamkan wajah ke dalam telapak tangan. Tangisnya pecah seketika.

Isak tangis pun keluar dari bibir Yuan. Dia menumpahkan semua kesedihannya detik itu juga sambil memeluk dirinya sendiri. Kesedihan Yuan bertambah ketika menerima panggilan dari seseorang.

Bab 2. Kalut

Dada Yuan terasa begitu sesak setelah mengetahui kenyataan pahit itu. Di hadapan Burhan dan Riana, dia tidak mau menangis agar tidak dipandang lemah oleh pasangan laknat itu. Akan tetapi, hati dan perasaannya tidak bisa dibohongi. Perempuan itu menangis tersedu-sedu ketika sudah ada di halaman rumah Burhan.

Hampir 15 menit Yuan menangis meratapi nasib asmaranya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia mengeluarkan benda pipih itu dari tas, lalu mengerutkan dahi karena yang menghubunginya adalah nomor asing.

"Halo, kami dari Rumah Sakit Medika Utama. Bisa ke rumah sakit sebentar, Mbak? Pak Siswoyo mengalami serangan jantung dan membutuhkan persetujuan untuk operasi, karena ibu Anda sekarang sedang dalam kondisi kalut sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan baik."

Dunia Yuan seakan berhenti berputar. Kakinya sudah tidak mampu lagi menopang bobot tubuhnya yang tidak seberapa berat itu. Panggilan pada telepon kembali membuat perempuan itu tersadar.

"Halo, Mbak."

"Sa-saya akan segera ke sana."

Yuan mengumpulkan kekuatannya yang tersisa. Gadis itu beranjak dari atas rerumputan, kemudian mulai naik ke atas motor. Yuan menghapus air mata dan mulai melajukan kuda besinya menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Yuan langsung menemui dokter yang menangani sang ayah. Dokter muda bernama Seno itu menjelaskan bahwa Siswoyo harus segera melakukan operasi karena pembuluh arteri koroner sang ayah mengalami penyumbatan.

"Sudah tidak bisa dengan tindakan Angioplasti atau pemasangan ring, Mbak," jelas Dokter Seno.

Yuan menelan ludah kasar. Dia tidak memiliki biaya lebih untuk operasi tersebut. Tabungan perempuan itu tidaklah seberapa karena setiap harinya dia gunakan menanggung biaya hidup kedua orang tuanya.

Siswoyo memang memiliki riwayat serangan jantung, sehingga harus kontrol berulang kali untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Jadi, untuk kontrol saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Belum lagi hutang kedua orang tuanya yang menumpuk karena sang kakak meminta untuk dikuliahkan ke jenjang yang lebih tinggi. Memikirkan semua itu membuat kepala Yuan berdenyut.

"Kira-kira berapa biaya yang dibutuhkan untuk melakukan operasi tersebut, Dok?"

"Berkisar 60 jutaan sampai ratusan juta. Tergantung kondisi penyumbatan yang dialami pasien,” jelas Seno.

Yuan kembali menelan ludah kasar. Dia memijat pelipisnya yang berdenyut luar biasa. Perempuan itu akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut dan menghubungi sang kakak.

"Halo, Mbak Nesha. Yuan bisa minta tolong?"

"Apa?" tanya Nesha dengan suara ketus dan tidak nyaman didengar.

"Bisa pinjami Yuan uang buat operasi bapak?"

"Operasi apa?”

Tidak ada nada kekhawatiran yang keluar dari bibir Nesha ketika Yuan mengabari bahwa sang ayah harus menjalani operasi. Hal itu membuat Yuan mengerutkan dahi seraya mengusap dada untuk membesarkan hatinya.

“Operasi bypass jantung, Mbak. Ngomong-ngomong, kok Mbak Nesha nggak ada rasa terkejutnya sama sekali, ya? Apa Mbak Nesha sudah tidak peduli lagi sama bapak?”

“Hei, Yuan! Kamu itu nggak mikir, ya? Aku di sini kuliah butuh uang banyak! Terlebih lagi sebentar lagi pacarku mau datang melamar! Untuk resepsi pernikahan, kami berencana menggunakan uang pribadi supaya tidak merepotkan orang tua! Ya sudahlah, usahakan sendiri! Toh bapak udah tua, buang-buang duit juga kalau harus melakukan operasi! Ikhlasin aja! Sudah lama juga 'kan bapak bolak-balik kena serangan jantung?"

Rentetan kalimat yang keluar dari bibir Nesha tentu saja membuat darah Yuan seakan mendidih. Kini rahangnya mengeras dan jemarinya mengepal kuat di samping badan. Dia menarik napas panjang kemudian mengembuskannya kasar.

"Bisa, ya, Mbak Nesha ngomong begitu? Harusnya Mbak Nesha malu! Ibu jualan di kantin rumah sakit hampir 24 jam sehari, hutang sana-sini buat kuliahin Mbak! Buat turuti kemauan Mbak Nesha! Bahkan aku juga rela bantu bayar semuanya sampai buat diri sendiri aja aku mikir!" balas Yuan agar sang kakak sadar.

Dada Yuan terasa begitu sesak. Air matanya mengalir sangat deras dan isak tangis tidak dapat lagi dia tahan. Yuan mengeluarkan semua ganjalan di hati yang selama ini dipendam.

"Oh, jadi kamu hitung-hitungan bantu orang tua?"

"Aku nggak hitung-hitungan, Mbak! Cuma mau kasih tau aja kalau Mbak Nesha itu nggak tahu diri! Perjuangan bapak sama ibu itu luar biasa buat kuliahin Mbak Nesha! Giliran mereka susah, Mbak bersikap seolah tidak memiliki tanggung jawab apa pun kepada mereka!” Yuan mengucapkan semua kalimat itu penuh amarah.

“Mulai hari ini, jangan pernah hubungi ibu untuk minta uang lagi sama beliau! Urus saja sendiri diri Mbak Nesha!" Yuan mematikan sambungan telepon.

Perempuan itu juga memblokir nomor sang kakak. Mulai detik ini, dia tidak akan lagi membantu biaya kuliah Nesha. Toh, apa yang dilakukannya ternyata sia-sia.

Yuan terus mengalah demi kepentingan dan kebahagiaan orang lain. Namun, dia hanya mendapatkan kekecewaan dan lagi-lagi harus menanggung semuanya sendirian. Gadis itu bersandar pada dinding dingin rumah sakit sambil memeluk tubuhnya untuk menguatkan diri sendiri.

Di kediaman keluarga Ismoyo, Anton yang mendapatkan kabar mengenai kondisi sang sahabat langsung khawatir. Dia mengajak Drini untuk menjenguk Siswoyo. Drini pun menyetujui niat baik sang suami.

"Andri," sapa Drini ketika melihat sang anak keluar dari kamar.

Setelah sekian lama mengurung diri, akhirnya lelaki itu mau keluar dari kamarnya. Sebuah senyum merekah pun kini terukir di bibir Drini. Dia langsung menghampiri sang putra dan duduk bersimpuh di hadapannya.

"Bapak sama Ibu mau tengok Pakde Sis, kamu mau ikut?" tanya Drini.

"Yuk, ikut, Ndri. Sambil refresing lihat lagi dunia luar. Kamu kan sudah lama nggak muter-muter Kota Surabaya sejak jadi KOAS di Aceh?" Anton ikut mendekati sang putra dan berdiri tepat di belakang sang istri.

"Kalian mau menjadikanku bahan untuk diolok-olok?" terka Andri dengan wajah datar.

Drini menoleh ke arah sang suami, sehingga kini tatapan mereka beradu. Perempuan itu menggeleng dan direspons dengan anggukan kepala oleh Anton. Mereka berdua paham betul bagaimana terpukulnya Andri karena sekarang harus hidup di atas kursi roda seumur hidup.

"Ah, ya, sudah. Kamu di rumah saja kalau begitu. Biar Ibu sama Bapak saja yang berangkat." Drini tersenyum tipis kemudian mengusap lembut punggung tangan Andri.

Mereka berdua akhirnya meninggalkan Andri yang masih mematung di depan kamarnya. Rasa bersalah kini memenuhi dada lelaki itu. Dia sadar kalau ucapan yang keluar barusan pasti melukai perasaan kedua orang tuanya.

Namun, rasanya Andri sulit sekali mengendalikan emosinya. Dia kini memukul pegangan kursi rodanya sambil berteriak frustrasi. Sumi yang mendengar teriakan sang majikan langsung berlari menghampiri Andri.

"Ada apa, Mas Andri?"

"Bukan urusanmu!" Andri kembali masuk ke kamarnya.

Sementara itu, Anton dan Drini yang sudah sampai rumah sakit langsung menemui Yuan. Drini memeluk Yuan dan Winarni. Setelah dua perempuan itu tenang, Anton mulai membuka pembicaraan.

"Begini Mbak Win, saya berniat memindahkan Mas Sis ke rumah sakitku saja. Kalian nggak usah khawatir masalah biaya. Aku akan mengurus semuanya dan menghubungi bagian administrasi untuk membebaskan Mas Sis dari biaya operasi dan perawatan."

“Makasih banget bantuannya, Ton. Keluarga kami sangat berhutang budi sama kamu!” Winarni mengusap air mata, kemudian tersenyum tipis kepada Anton dan Drini.

"Nggak dipotong gajiku saja, Pak? Rasanya saya kurang nyaman jika harus menerima bantuan sebesar ini." Yuan menatap Anton penuh ketegasan.

Anton membuang tatapannya ke arah lorong rumah sakit. Dia mengusap dagu dan sebuah ide muncul di kepalanya. Lelaki itu kembali teringat tentang perjodohan yang pernah dia buat bersama Siswoyo beberapa tahun lalu.

Meski terdengar tidak adil di zaman modern ini, Anton hendak mewujudkan perjodohan itu untuk menyambung ikatan pertemanan yang lebih kuat dengan Siswoyo. Dia pun perlahan mengungkapkan apa yang sekarang ada di benaknya.

"Kalau begitu, bisa Bapak minta tolong?" tanya Anton sambil menatap serius perempuan ayu di depannya itu.

"Kamu sudah dengar belum mengenai perjodohan yang telah aku dan bapakmu sepakati beberapa tahun lalu?"

Yuan menelan ludah kasar seraya mengangguk. Dia tahu betul arah pembicaraan Anton. Benar saja, pemilik rumah sakit tempat dia bekerja itu memintanya untuk menikah dengan salah satu putranya. Yuan terdiam sejenak untuk berpikir.

"Tapi, Bapak tidak akan memaksamu. Meski kamu menolak perjodohan ini, aku akan tetap membiayai seluruh operasi Mas Sis."

Hati Yuan pun tersentuh akan kebaikan Anton, sehingga perempuan tersebut langsung mengangguk. Ya, Yuan menyetujui perjodohan itu. Dia ingin memberikan bakti terakhirnya kepada orang tua sebelum akhirnya baktinya harus berpindah kepada calon suami yang tak lain adalah putra Anton.

"Syukurlah, Bapak senang mendapatkan jawaban ini!" Anton tersenyum lebar seraya mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Tapi, calon suamimu memiliki kekurangan. Apa tidak akan menjadi masalah bagimu?"

Bab 3. Ranjang Dingin

"Apa pun keadaan putra Pak Anton, saya akan menerimanya dengan ikhlas. Saya bersedia menerima setiap kekurangan dan kelebihan beliau,” ucap Yuan tegas tanpa keraguan sedikit pun.

Hati Anton dan Drini lega luar biasa ketika mendengar keikhlasan Yuan. Mereka berdua yakin Yuan adalah calon menantu yang baik. Anton menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.

Lelaki itu menatap intens manik mata Yuan. Drini memegang bahu sang calon menantu penuh harap. Dia berharap setelah mengetahui kondisi Andri, Yuan tidak berubah pikiran.

"Kamu akan Bapak nikahkan dengan putra keduaku. Namanya Andri, seorang mantan dokter."

Yuan mengerutkan dahi ketika mendengar kata mantan tersemat di depan dokter. Seakan bisa membaca pikiran Yuan, Andri mulai menjelaskan kondisi Andri secara perlahan.

"Ya, Andri terpaksa harus meninggalkan profesinya sebagai dokter karena mengalami kelumpuhan. Dia terjangkit virus polio karena diduga sudah mengonsumsi makanan atau minuman yang sudah terpapar virus tersebut dalam jangka waktu yang lama." Anton menatap langit-langit putih rumah sakit.

"Dia sengaja menerima penempatan di Aceh karena ingin hidup mandiri. Selama ini dia merasa bahwa kami terlalu memanjakannya. Sebenarnya dia adalah pria yang baik dan bertanggungjawab. Sayangnya, nasib buruk menimpanya sekarang. Jadi, akhir-akhir ini temperamennya menjadi begitu buruk."

Yuan terdiam. Dia tidak sanggup lagi berkata-kata. Hatinya kini mengalami dilema karena harus kembali menerima kenyataan pahit ini.

"Jika memang kamu mau menolak perjodohan ini, masih belum terlambat, kok, Nduk." Drini dengan besar hati menerima segala keputusan Yuan yang mungkin saja akan berubah.

Drini menyadari bahwa menikah dengan Andri tidak akan berakhir baik. Terlebih, putra keduanya itu sekarang memiliki temperamen yang sangat buruk. Drini tidak mau memaksa Yuan untuk melanjutkan pernikahan ini.

Yuan kembali berpikir keras. Dia terus mengingat kebaikan yang diberikan oleh keluarga Ismoyo kepadanya. Ibunya diberi kesempatan untuk berjualan di kantin rumah sakit, mereka membiayai kuliahnya, serta pekerjaan yang sangat layak sudah diberikan kepada Yuan.

Mungkin ini memang sudah saatnya Yuan membalas semua kebaikan keluarga tersebut. Yuan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. Dia terus membisikkan kalimat bahwa dirinya ikhlas menerima semua takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya.

"Nggak masalah, Pak. Saya akan menjalankan tugas sebagai istri Mas Andri dengan ikhlas. Saya akan merawat beliau dengan sabar."

Mata Drini mulai berkaca-kaca dan tak lama berselang tangisnya pecah. Dia tidak menyangka calon menantunya ini adalah gadis yang begitu tulus. Yuan ikhlas menerima kondisi sang suami yang sebenarnya jauh dari kata layak untuk menjadi seorang pemimpin keluarga.

Drini memeluk tubuh Yuan sambil menangis sesenggukan. Dia mengusap rambut panjang Yuan dan terus mengusap kata syukur dan terima kasih. Melihat calon besannya menangis, membuat Winarni ikut menangis juga.

Setelah mengurus semua administrasi, mereka pun memindahkan Siswoyo ke rumah sakit milik Anton. Operasi dilakukan hari itu juga di Rumah Sakit Sumber Waras dengan dokter terbaik yang mereka miliki.

"Kamu yakin, Nduk?" tanya Winarni kepada Yuan di sela-sela waktu menunggu operasi selesai.

"Iya, Bu. Anggap saja ini bakti terakhir Yuan sebagai anak bapak sama Ibu. Maaf, ya, Bu? Kalau selama ini Yuan belum bisa jadi putri yang baik."

"Sssttt, kamu itu ngomong apa, to, Nduk. Justru kami bangga memiliki putri seperti kamu. Maafkan Ibu belum bisa ngasih yang terbaik untukmu selama ini. Ibu masih terus merepotkanmu dengan masalah keuangan dan hutang-hutang itu." Winarni tertunduk lesu menatap sandal jepitnya yang sudah usang.

"Bu, aku ikhlas. Semuanya tidak sebanding dengan perjuangan Ibu dalam merawatku selama ini." Yuan memegang jemari sang ibu, sehingga Winarni mengangkat wajah dan menatap mata putri keduanya itu.

Dua perempuan tersebut saling berpelukan. Mereka menguatkan satu sama lain. Winarni berharap putrinya bisa mendapatkan kebahagiaan setelah ini.

Operasi berjalan lancar setelah melalui proses selama 5 jam. Yuan hari itu resmi mengundurkan diri karena diminta oleh Anton. Tugasnya akan berganti sepenuhnya menjadi istri Andri.

Yuan harus merawat Andri 24 jam penuh selama satu minggu. Menemani lelaki itu saat kondisi paling buruk di dalam hidupnya. Yuan sudah bertekad untuk mengabdikan sisa umurnya merawat suaminya itu.

...****************...

"Yuan!" panggil Drini ketika melihat calon menantunya itu melamun.

"Kamu mau pilih baju yang mana?"

Yuan pun menoleh ke arah calon mertuanya itu sambil tersenyum lembut. Drini menunjukkan katalog yang berisi beberapa gaun pengantin kepada Yuan. Perempuan itu langsung mengambil alih katalog dan mulai mengamati satu per satu model gaun yang ada di sana.

Yuan memilih gaun yang sangat sederhana sesuai dengan kepribadiannya. Selebihnya, persiapan yang lain diurus oleh Drini. Mereka langsung mengadakan pesta sederhana di kediaman Anton ketika kondisi Siswoyo sudah membaik. Hanya ada sanak saudara dan kerabat dekat yang datang.

Semua berlangsung begitu sederhana dan cepat. Tidak ada kesan spesial di mata Yuan. Hari itu juga merupakan pertama kali dirinya melihat Andri.

"Tampan," ucap Yuan dalam hati.

Entah mengapa jantung Yuan berdegup begitu kencang ketika melihat Andri untuk pertama kali. Dia langsung jatuh hati kepada lelaki tampan itu. Meski Andri bersikap sangat dingin, tetapi Yuan bisa merasakan ada aura kebaikan di dalam diri lelaki tersebut.

Setelah acara pernikahan selesai, Yuan langsung masuk ke kamar pengantinnya. Dia terpukau saat melihat hiasan yang ada di kamar itu. Aroma bunga mawar putih semerbak memenuhi kamar yang awalnya adalah milik Andri.

Bahkan di atas ranjang, terdapat buket bunga serta taburan bunga mawar merah yang melambangkan cinta dan keromantisan. Yuan duduk di atas ranjang sambil mengusap lembut seprai yang menyelimuti ranjang.

"Cantiknya," ucap Yuan sambil tersenyum lebar.

Ketika sedang mengagumi keindahan kamar pengantinnya, tiba-tiba pintu kamar dibanting kasar. Sontak Yuan menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka lebar. Andri sudah ada di ambang pintu sambil menatapnya tajam.

"Jangan harap kamu bisa hidup tenang di rumah ini! Aku tahu maksudmu mau menikahi pria lumpuh sepertiku!" Andri memutar roda secara manual, kemudian mendekati Yuan.

Tatapan dingin lelaki itu justru membuat jantung Yuan berdetak semakin cepat. Dia beranjak dari ranjang dan berdiri tepat di hadapan Andri. Dia menautkan kedua jemarinya seraya menatap takut sang suami yang tampak marah.

"Ma-maaf, Mas. Tapi ... aku tidak paham dengan apa yang Mas Andri katakan."

"Halah! Kamu nggak usah pura-pura! Kamu mau menikah denganku karena hanya menginginkan harta warisanku kelak, bukan?"

Tuduhan Andri membuat hati Yuan sekaan diremas. Dadanya terasa begitu sesak. Air mata pun mulai berdesakan hendak keluar membasahi pipi.

Namun, Yuan sebisa mungkin menahan kesedihannya agar tidak meluap. Sakit itu pasti, tetapi Yuan ingin membela diri dan menunjukkan bahwa dirinya ikhlas menikahi Andri demi baktinya kepada kedua orang tua. Bukan semata-mata karena harta yang dimiliki oleh keluarga Ismoyo.

"Mas mau istirahat sekarang? Ayo, Yuan bantu." Yuan berusaha mengabaikan ucapan menyakitkan Andri barusan.

Yuan mulai memegang lengan Andri, tetapi lelaki itu langsung menepisnya kasar. Perempuan itu hampir saja terjatuh jika saja dia tidak berpegangan pada meja yang ada di samping tempat tidur.

"Jangan pernah menyentuhku! Aku juga tidak akan menyentuhmu sedikit pun! Jika aku melakukannya, mungkin aku sudah kehilangan akal! Aku jijik dengan perempuan ular sepertimu!" Andri mendekatkan kursi rodanya menuju ranjang.

Lelaki itu pun berusaha berpindah dari kursi roda ke atas ranjang. Setelah berhasil, Andri menyandarkan punggung pada dasbor ranjang dan menatap tajam ke arah Yuan. Dia tersenyum miring kemudian mengeluarkan sebuah kalimat yang kembali membuat Yuan terluka.

"Aku akan membuatmu menyesal karena sudah memilih untuk menyetujui perjodohan ini! Aku akan membuat ranjang ini tetap dingin sampai aku mati!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!