Tepat jam 10 malam seorang wanita cantik berdiri di dekat jendela ruang tamu sambil menatap ke arah luar dengan perasaan yang gelisah. Sesekali ia menatap ke arah jam yang tertempel di dinding ruang tamu. Ia menghela nafas berulang kali sambil bergumam-bergumam kecil.
"Kenapa Mas Wahyu belum pulang juga ya?" Wanita itu masih setia di dekat jendela dengan perasaan cemas luar biasa.
Hingga satu jam berlalu, akhirnya yang dia tunggu datang juga. Wahyu--suaminya--pulang kerja menggunakan motor matic yang di beli 2 tahun yang lalu, tepatnya satu minggu sebelum mereka menikah. Rumah tangganya dulu sangat hangat dan juga harmonis, meski ia menikah tanpa restu dari orang tuanya. Tapi, belakangan ini rumah tangganya terasa dingin, dan sikap Wahyu berubah kepadanya sejak kehadiran ibu mertua di rumahnya.
Zahra adalah nama wanita itu dan usianya 33 tahun. Ia mempunyai fisik yang sangat cantik, kulit putih, rambut panjang hitam berkilau, kedua mata teduh dan bibir yang sangat manis jika tersenyum. Visual Zahra sangat mirip seperti artis China yang bernama Dilraba Dilmurat.
"Mas, kok baru pulang?" tanya Zahra ketika suaminya baru memasuki rumah.
"Lembur!" jawab Wahyu singkat padat dan jelas, terdengar sangat ketus dan dingin, bahkan suaminya itu sama sekali tidak menoleh pada Zahra yang berdiri tidak jauh darinya.
Zahra tersenyum miris mendengar alasan suaminya yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Padahal sore tadi ia menghubungi teman kantor suaminya, dan teman suaminya itu mengatakan tidak ada lemburan selama sebulan ini, lalu ke mana suaminya pergi hingga setiap hari pulang selarut ini?
Rasa curiga dan berbagai pikiran buruk mulai bermunculan di kepalanya, namun Zahra berusaha berfikir positif.
Wanita cantik itu melangkah gontai menuju kamar sembari menahan rasa sesak di dalam dada.
"Sudah makan?" tanya Zahra ketika sampai di dalam kamar. Ia melihat suaminya sedang melepaskan semua pakaian dan berjalan menuju kamar mandi.
"Sudah!"
"Mau aku buatkan kopi, Mas?"
"Tidak perlu! Aku lelah, habis mandi langsung mau tidur!" jawab Wahyu sebelum menutup pintu kamar mandi.
Zahra menatap nanar pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat, kemudian ia berjalan menuju tempat tidur yang berukuran tidak terlalu besar namun cukup untuk dua orang. Lalu mengambil pakaian kotor suaminya, tapi gerakannya terhenti ketika mencium aroma parfum yang sangat asing di indra penciumannya.
Dengan jantung yang berdegup kencang, Zahra mendekatkan hidungnya ke arah kemeja suaminya yang berwarna putih itu. Tidak salah lagi, aroma parfum wanita itu berasal dari sana. Untuk memastikan lebih lanjut, wanita itu segera memeriksa kemeja tersebut.
"Tega kamu Mas!!" Zahra seperti di sambar petir di malam hari saat melihat cap bibir berwarna merah di kemeja suaminya di bagian kerah. Ternyata dugaannya selama ini benar, suaminya telah berselingkuh dengan wanita lain, pantas saja hubungan mereka tidak hanya dingin, tapi juga terasa hambar saat di atas ranjang.
Zahra segera menyimpan kemeja tersebut ke dalam lemari, ketika mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Dan ia segera mengusap air matanya dengan cepat, memasang wajah biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ada apa? Kenapa kamu diam di sana? Tidak tidur?" tanya Wahyu yang kini sudah duduk di atas tempat tidur. "Oh ya, aku sudah mentransfer uang ke rekeningmu," lanjutnya seraya merebahkan diri di atas tempat tidur yang sempit itu.
Zahra menjawab dengan anggukan saja, lalu berjalan ke arah tempat tidur dan merebahkan diri di sana.
Wahyu hanyalah seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan ternama yang ada di Ibu Kota Jakarta. Gajinya 6 juta perbulan, dan itu pun di serahkan separuhnya saja kepada Zahra, dan sisanya di pegang oleh Wahyu sendiri.
Zahra menatap langit-langit kamarnya, dengan perasaan yang hancur, sakit dan juga patah hati, tidak menyangka jika suaminya yang dulu sangat mencintainya telah mendua. Karena melihat Wahyu yang sangat mencintainya, Zahra kala itu sampai kabur dari rumah demi mempertahankan hubungannya, dan ia menikah dengan Wahyu tanpa persetujuan orang tuanya. Zahra kini baru merasakan penyesalan.
Benar kata orang, jika menikah tanpa restu orang tua hubungan pernikahan itu tidak akan harmonis.
Lelah dengan pikirannya yang kalut, akhirnya Zahra memejamkan kedua mata, terlelap dalam mimpinya, akan tapi baru lima menit memejamkan kedua mata, ia kembali terbangung ketika mendengar suaminya sedang mengobrol melalui sambungan telepon.
Dalam diam wanita itu meneteskan air mata sangat deras, saat mendengar percakapan suami yang sepertinya dengan wanita lain.
"Iya, bye ... muach ..." Wahyu segera menutup panggilan teleponnya dan segera meletakkan ponselnya di atas nakas seraya melirik istrinya yang tidur membelakanginya. Melihat nafas Zahra yang teratur, ia yakin kalau istrinya itu sudah terlelap, dan tidak mendengar pembicaraannya.
*
*
Pagi hari telah tiba, seperti biasa Zahra bangun tepat jam 5 pagi untuk membereskan rumah dan juga memasak. Rumah sederhana itu masih mengontrak, suaminya dari kalangan yang kurang mampu, tapi Zahra dulu tidak memusingkannya yang terpenting dia hidup bahagia bersama suaminya, tapi setelah mengetahui sebuah fakta jika suaminya telah selingkuh, Zahra merasa sangat menyesal.
"Buatkan aku bubur kacang hijau!" titah ibu mertua secara tiba-tiba dan mengejutkan Zahra yang sedang melamun di dekat kompor.
Zahra menoleh dan menganggukkan kepala, dia segera membuatkan permintaan ibu mertuanya tanpa membantah.
Tidak berselang lama Wahyu bergabung di meja makan bersama ibunya.
"Wahyu, Ibu minta uang buat beli baju baru dong." Ismi merayu putranya yang duduk di sebelahnya.
"Minta sama Zahra, aku sudah memberikan uang kepadanya," jawab Wahyu pada ibunya.
"Dengar itu Zahra! Jadi aku minta uang 1 juta buat beli bajiu baru." Ketus Ismi sambil menatap tidak suka kepada Zahra. Dia sebenarnya juga tidak menyukai Zahra, karena ia mengira jika Zahra adalah wanita gelandangan yang di persunting oleh putranya.
Zahra menelan ludahnya dengan pahit, dia menatap suaminya dengan tatapan nanar.
"Mas, bukannya aku tidak mau ngasih, tapi kebutuhan bulan ini sangat banyak. Uang yang kamu berikan mana cukup kalau di minta Ibu satu juta." Zahra berkata kepada suaminya, berharap kalau suaminya itu mengerti dan membelanya, akan tetapi dugaannya itu salah, Wahyu malah semakin menyudutkanya.
"Pintar-pintar kamu mengatur keuangan!" Wahyu menatap tajam istrinya.
"Dasar wanita tidak berguna! Bisanya cuma minta sama suami!" timpal ibu mertua tanpa sadar diri.
Zahra mengepalkan kedua tangannya dengan erat, sudah cukup kesabarannya selama ini karena selalu di tindas ibu mertua yang kejam, belum lagi suaminya sudah ketahuan mendua.
Zahra selesai memasak, dia meletakkan menu sarapan di atas meja makan.
"Mana buburku?" tanya Ismi kasar.
"Belum matang," jawab Zahra.
"Dasar nggak berguna!" umpat Ismi tapi dengan nada pelan, dan Zahra masih bisa mendengarnya.
Zahra berusaha keras meredam emosinya agar tidak meluap.
****
Jangan lupa Like, komentar, kasih setangkai bunga, dan subscribe novel ini agar tidak ketinggalan updatenya.
"Cinta lo itu cinta buta! Kayaknya otak lo juga udah pindah ke dengkul!" Jeesany emosi ketika mendengar curhatan Zahra. Pada siang itu Zahra meneleponnya dan mengajaknya bertemu di sebuah Kafe.
Kedua wanita cantik itu saat ini sedang berada di sebuah Kafe ternama pusat Kota.
"Laki lo juga nggak punya otak! Kurang apa coba, punya bini cantik, bening, lembut dan pengertian! Sumpah ya, gue nggak habis pikir sama si Wahyu!" Jeesany masih saja nyerocos, tidak memberikan kesempatan bicara kepada Zahra.
"Karena aku miskin. Mungkin itu penyebabnya. San, kamu mau bantuin aku nggak? Nyelidiki Mas Wahyu. Please, aku mohon banget ... kalau bisa masalah ini jangan sampai terdengar oleh kedua orang tuaku." Mohon Zahra kepada sepupunya itu.
"Ck! Ogah!" jawab Jeesany dengan cepat.
"San, please." Mohon Zahra.
"Sorry, Ra, bukannya gue nggak mau bantu, tapi gue nggak mau ikut campur masalah rumah tangga lo terlebih dahulu, gue sarankan lebih baik selidiki sendiri suami brengsek lo itu! Biar otak lo sadar kalau pria yang selama ini lo perjuangkan itu ternyata lebih menjijikkan dari seekor belatung nangka!" ucap Jeesany memberikan saran kepada sepupunya.
"Gue balik ya." Lanjut Jeesany seraya beranjak dan segera pergi dari sana, meninggalkan Zahra yang termenung sendirian.
*
*
Di sisi lain, Wahyu saat ini sedang berada di kantin perusahaan dengan selingkuhannya yang tak lain adalah atasannya sendiri.
"Jadi, bagaimana? Kapan aku di kenalkan dengan ibu kamu?" tanya Vania yang sedang tergila-gila kepada bawahannya sendiri. Vania adalah janda muda tanpa anak yang mempunyai karier cemerlang di perusahaan ternama itu. General Manager adalah jabatannya, secara finansial dia tidak kekurangan apa pun karena gajinya mencapai puluhan juta.
"Sabar, kamu tahu sendiri kalau semua ini tidak akan mudah karena aku sudah mempunyai istri, tolong sabar sedikit." Wahyu membujuk Vania dengan lembut agar kekasih gelapnya itu tidak merajuk.
Sudah hampir dua bulan, dia menjalani hubungan gelap itu di belakang istrinya, tapi sepertinya Wahyu semakin nekat untuk menunjukkan perselingkuhannya kepada Zahra.
"Iya deh." Vania memanyunkan bibirnya seperti curut yang sedang mengendus makanannya. Wanita itu sungguh tidak tahu diri, padahal sudah tahu kalau Wahyu mempunyai istri. Tapi, mau bagaimana lagi kalau sudah cinta ... emh ... mungkin tepatnya terobsesi pada Wahyu yang mempunyai fisik yang bagus dan wajah yang tampan. Di tambah goyangan pria itu membuat Vania tidak bisa move-on dari keperkasaan Wahyu yang sudah membuatnya mabuk kepayang.
Dasar sinting!
Zahra pulang ke rumahnya menggunakan ojek online. Hari ini pikirannya sangat kalut. Wajahnya yang selalu terlihat ceria dan cantik kini terlihat sedih dan murung.
Dengan langkah gontai, ia memasuki rumahnya. Betapa terkejutnya dirinya saat melihat ruang tamu berantakan. Sedangkan ibu mertuanya malah asyik makan kuaci sambil menonton sinetron ikan terbang. Kulit kuaci di buang dengan asal, tepatnya ke atas lantai di tambah lagi ada beberapa piring berjejer di atas meja, sepertinya ibunya habis makan enak.
"Maaf, Bu. Tolong, kulit kuacinya bisa di buang ke tempatnya." Zahra menegur ibu mertuanya dengan halus, dia sudah lelah dan bosan dengan situasi seperti ini. Hampir setiap hari ibu mertuanya selalu saja membuat ulah, dan membuatnya selalu sibuk membereskan rumah.
SRING!
Ibu mertua melayangkan tatapan tajam, setajam silet!
"Apa kamu bilang?!" bentak wanita iblis itu sambil melotot tajam ke arah Zahra.
"Punya dua tangan itu di gunakan buat beberes! Biar Wahyu nggak sia-sia menikahi kamu!" lanjutnya mengamuk.
"Cukup, Bu! Aku ini istri Mas Wahyu bukan pembantunya!" Zahra berkata dengan kasar, sambil menatap tajam mertuanya, dia sekarang mempunyai keberanian tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu tunduk dan patuh kepada suami dan ibu mertuanya.
"Heh! Sadar diri! Dasar miskin! Sebentar lagi kamu itu bakalan di tendang sama Wahyu karena putraku yang tampan itu punya wanita lain yang lebih kaya, cantik dan pintar, tidak seperti kamu MISKIN!" bentak Ismi sambil menuding Zahra dengan penuh emosi.
"Ops! Aku keceplosan, ha ha ha." Ismi tertawa seperti orang kesurupan ketika melihat Zahra terkejut dan menangis.
Zahra membekap mulutnya dengan salah satu tanganya, ketika mendengar sebuah fakta yang baru saja dia ketahui dari ibu mertuanya.
Tubuhnya mendadak lunglai, kedua kakinya seolah tidak mampu menopang tubuhnya, akan tetapi Zahra sebisa mungkin tetap bertahan dan terlihat kuat. Bumi yang di pijak seolah akan runtuh.
Sakit hati, kecewa, hancur, sedih dan emosi bercampur menjadi satu di dalam dada Zahra.
"Apa salahku, Tuhan?" Zahra bertanya-tanya di dalam hati. Dia tidak menyangka jika suaminya yang selama ini terlihat mencintainya ternyata menghianatinya.
"Tega kamu, Mas!" ucap Zahra dengan lirih, air matanya terus menetes membahasi pipinya.
Ismi memutar kedua matanya dengan malas seraya menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Dasar bodoh!" umpat Ismi pergi dari sana menuju kamarnya.
Melihat baju barunya yang baru dia beli sepertinya lebih seru dari pada harus melihat Zahra yang sedang menangis.
*
*
Malam hari telah menyapa. Zahra sedang menyiapkan makan malam. Wajah gadis itu terlihat sembab karena seharian menangis.
Tidak berselang lama, Wahyu pulang sambil membawa sebuket bunga mawar merah untuk istrinya.
"Sayang, kamu sedang apa?" tanya Wahyu memeluk istrinya dari belakang.
Zahra diam tidak menjawab, hatinya sangat sakit saat mengingat penghianatan suaminya.
"Masak!" jawab Zahra seraya melepaskan kedua tangan suaminya yang melingkar di perutnya.
"Kenapa ketus, pasti kamu marah ya karena beberapa hari ini aku tidak memperhatikanmu, maafkan aku ya." Wahyu terdengar sangat menyesal, lalu memberikan sebuket bunga mawar merah kepada Zahra.
"TARAA! Ini hadiah spesial untuk istri tercinta."
"Apa yang sedang kamu rencanakan, Mas?" tanya Zahra di dalam hati. Kedua matanya berkaca-kaca dan dadanya terasa sangat sesak, hingga membuatnya sulit bernafas. Rasanya dia ingin mati.
"Kamu nggak suka sama hadiahnya?" tanya Wahyu karena istrinya tidak kunjung merima hadiahnya. Tangannya masih menggantung di udara, sambil memegang buket bunga yang ia serahkan kepada istrinya.
"Aku akan mengikuti permainanmu!" batin Zahra, karena ia yakin kalau suaminya sedang merencanakan sesuatu kepadanya. Kemudian ia menerima buket bunga itu sambil memasang wajah manis dan ceria.
"Terima kasih," ucap Zahra manis.
Wahyu tersenyum penuh arti lalu mengecup kening istrinya dengan mesra.
"Kalau begitu, aku akan membersihkan diri dulu." Wahyu segera berjalan menuju kamar. Sedangkan Zahra langsung meletakkan buket bunga itu di dekat kompor, lalu ia mengambil tisu untuk mengelap keningnya yang baru saja di cium oleh suaminya.
"Menjijikkan!" Zahra bergumam kesal. Kemudian ia segera melanjutkan acara memasaknya. Ia berharap di berikan kekuatan dalam menghadapi prahara rumah tangganya ini.
Zahra menghela nafas berulang kali, berharap jika rasa sesak di dalam hatinya berkurang.
****
Kesal ya? Samak ... wk wk wk wk
Like dan dukungan lainnya jangan lupa ya.
"Mas, uang yang kamu berikan sisa 1 juta. Nggak cukup buat satu bulan." Zahra berkata suami dan mertuanya berada di meja makan. Zahra melirik ibu mertuanya yang terlihat memakai baju baru.
"Boros banget sih kamu!" Wahyu menatap tajam istrinya, seraya mengeraskan rahangnya.
"Kok aku yang di salahin? Semestinya aku yang nyalahin kamu! Kenapa hanya memberiku uang 3 juta per-bulan, belum lagi tadi pagi Ibu meminta uang 1 juta, dan sisanya buat bayar kontrakan, listrik, air, beras, dan keperluan dapur lainnya. Apalagi semua bahan pokok pada naik, 3 juta mana cukup!" Zahra berkata dengan nada kesal, seraya mengambil satu centong nasi lalu meletakkan di atas piringnya.
"Heh! Di mana-mana yang namanya istri itu harus pintar atur keuangan! Nggak kayak kamu, di beri berapa pun sama suami pasti langsung habis!" sahut Ismi sambil mengambil makan malamnya dengan kasar.
"Aku nggak akan protes kepada Mas Wahyu kalau Ibu tahu diri!" jawab Zahra dengan tajam.
"Hah! Lihat kelakuan istri kamu!" Ismi mengadu kepada putranya dengan nada sedih. Padahal Wahyu sendiri sudah mendengar ucapan istrinya.
"Jangan keterlaluan, Ra!" bentak Wahyu menatap tajam istrinya.
"Apanya yang keterlaluan? Aku ngomong apa adanya, ada yang salah?" Zahra menjawab dengan santai, tapi dalam hatinya sangat kesal, dan emosi luar biasa.
"Wanita yang duduk di samping kamu itu adalah ibu aku yang sudah melahirkan dan membesarkan aku! kamu harus hormat dan sopan kepadanya! Ini sama aja kamu menginjak-injak harga diri aku!" sentak Wahyu tidak terima, dan membela ibu kesayangannya.
Ismi tersenyum miring sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Senang karena putranya terus membelanya.
"Pantaskah aku hormat kepada wanita yang setiap hari memaki dan memperlakukan menantunya seperti pembantu? Semut saja kalau di injak akan menggigit, apa lagi aku, Mas! Aku manusia biasa yang mempunyai batas kesabaran!" balas Zahra dengan nada tinggi, kedua matanya melotot tajam pada suaminya, nafasnya menderu-deru bertanda jika saat ini dia sangat emosi.
Prang!
Wahyu melemparkan sendok yang ia pegang ke atas meja dengan kasar, dia beranjak dari duduknya seraua menatap tajam istrinya yang sekarang menjadi pemberontak.
"Sudah, Wahyu! Berikan saja uang kepada istrimu lagi, biar dia diam dan nggak berisik lag!" Ismi melerai pertengkaran di meja makan itu.
"Nggak perlu, berikan saja uang itu kepada Ibu, dan biar ibu yang mengatur keuangan dan keperluan dapur lainnya!" Zahra beranjak dari duduknya, kembali ke dalam kamar, dia sudah tidak nafsu makan lagi.
*
*
"Udah ibu bilang berapa kali sama kamu, ceraikan Zahra! Dia itu nggak berguna, menang cantik doang tapi kere!" kesal Ismi pada putranya ketika Zahra sudah tidak terlihat.
Wahyu menghela nafas kasar, lalu berjalan menyusul Zahra ke kamar tanpa mendengarkan ucapan ibunya.
"Ra, bisa bicara sebentar?" Wahyu bersuara ketika berada di dalam kamar sembari menutup pintu, lalu menatap istrinya yang duduk di tepian tempat tidur sambil menangis.
"Bicara saja!" ketusnya tanpa menoleh pada suaminya yang sudah menorehkan luka di hatinya.
Wahyu mendudukkan diri di samping istrinya tapi dengan jarak yang cukup jauh.
"Bisa nggak kamu itu kalau membicarakan masalah keuangan jangan di hadapan ibu." Wahyu menatap wajah cantik istrinya dari samping. Wajah cantik yang selama ini membuatnya jatuh cinta kepada Zahra.
"Kenapa malu?" Zahra menoleh menatap dingin pada suaminya.
PLASS!
Hati Wahyu mencelos seolah di cambuk ketika melihat tatapan dingin itu. Tidak pernah sekalipun Zahra menatapnya seperti itu. Sebenarnya apa yang terjadi kepada istrinya? Wahyu bertanya-tanya di dalam hati.
"Kenapa kamu berubah seperti ini, Ra?" Wahyu bertanya, menatap istrinya dengan lekat. Zahra adalah istri yang selalu menurut sama suami, dan tidak pernah sekalipun istrinya membantah perkataannya, lalu ini apa?
Istrinya telah berubah!
"Berubah? Apanya yang berubah?" Zahra seolah tidak mengerti dengan pertanyaan suaminya. Ia tertawa miris sambil menatap suaminya, tidak terasa air matanya mengalir tanpa di minta.
Dia bahkan bisa tertawa di atas kesedihannya. Sungguh miris bukan? Dan tidak menyangka jika rumah tangganya akan seperti ini.
"Sekarang aku yang tanya sama kamu. Salah aku apa, Mas? Aku kurang cantik? Kurang sexy? Kurang baik? Atau kurang apa? Katakan?" tanya Zahra dengan lirih.
"Kamu tidak mempunyai kekurangan apa pun, kamu wanita sempurna, Ra," jawab Wahyu jujur, karena Zahra memang sangat cantik dan baik, tapi hanya saja dia kurang bersyukur mempunyai istri sempurna seperti Zahra.
"Bohong! Semua yang keluar dari mulut kamu itu hanya kebohongan!!" sentak Zahra penuh emosi, menatap tajam suaminya.
"Maksud kamu apa?!" Wahyu menjadi terpancing emosi.
"Kamu masih mencintaiku?" tanya Zahra lagi tanpa menjawab pertanyaan suaminya. Wahyu menganggukkan kepala pelan penuh keraguan sebagai jawaban atas pertanyaan istrinya.
"Lalu kenapa kamu berselingkuh?" Zahra menatap tajam suaminya.
DEG!
Jantung Wahyu berdetak sangat cepat, bagaimana bisa istrinya tahu tentang perselingkuhannya.
"Ha ha ha, sepertinya kamu sudah mengantuk, makanya ucapanmu itu ngelantur. Sebaiknya kamu cepat tidur." Wahyu dengan cepat mengalihkan pembicaraan karena dia mulai gelisah.
"Ibu kamu sendiri yang bilang kalau kamu selingkuh. Nggak nyangka ya selama ini kalian bekerja sama nikam aku dari belakang!" desis Zahra, menahan rasa sesak di dalam dada.
"Ibu pasti bohong." Wahyu berusaha menyangkalnya, dan menyakinkan Zahra agar tetap tetang dan tidak percaya dengan ucapan Ismi.
"Benarkah ibu kamu bohong? Lalu setelah aku menunjukkan sebuah bukti apakah kamu masih bisa mengelak!" Zahra beranjak dari duduknya, menuju lemari lalu mengambil kemeja suaminya yang dia simpan di sana, kemudian ia melemparkan kemeja itu ke arah suaminya.
"Ra, ini hanya sebuah kemeja!" Wahyu geram pada istrinya.
"Iya kemeja yang tercium aroma parfum wanita dan juga terdapat noda lipstik di sana!" Zahra menyilangkan kedua tangannya di dada sambil menatap suaminya dengan tajam.
Wahyu berdecap kesal, dia sudah tidak bisa berpura-pura lagi, mungkin sudah waktunya Zahra mengetahui semua ini.
"Iya, aku berselingkuh dengan atasanku. Karena aku sudah capek hidup miskin, di tambah lagi mempunyai istri yang tidak becus apa-apa!" jawab Wahyu, pada akhirnya mengakui kesalahannya.
Pengakuan Wahyu sangat menyakitkan untuk Zahra.
Zahra meneteskan air matanya, "aku korbankan semuanya kepadamu, bahkan aku rela meninggalkan keluargaku demi bisa menikah dan hidup bersamamu, tapi kamu malah menghianatiku? Aku nggak terima, Mas!!!" teriak Zahra sangat keras, hingga tetangganya sangat terkejut dan segera menempelkan telinganya di dinding, menguping pertengkaran mereka.
"Lantas apa maumu?"
"Bercerai! Ceraikan aku!" balas Zahra menantang suaminya.
Wahyu tergelak mendengarnya, "yakin mau bercerai? Kamu mau jadi gembel lagi di jalanan?" ejek Wahyu pada istrinya.
Ya, Wahyu tidak kenal betul tentang asal usul istrinya, yang ia tahu Zahra adalah seorang pengamen jalanan, karena pertama kali bertemu dengan istrinya dulu, Zahra sedang mengamen di lampu merah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!