“Selamat Nyonya Scarlet, Anda mendapatkan sepasang bayi kembar, satu lelaki dan satu perempuan.” Seorang dokter membawa dua bayi masuk ke sebuah bangsal persalinan.
Briptu Scarlet menatap dokter dengan senyum terbit di sudut bibirnya. Baginya suatu kebahagiaan mendapat dua anak sekaligus.
“Scarlet, kau hebat memberiku sepasang anak kembar. Aku akan menamakan anak ini Jorell Watson. Kau beri nama putri kita.”
Detektif Carl menggendong bayi perempuannya lalu mendekatkan pada Briptu Scarlet yang sedang memeluk bayi lelaki.
“Joice, Ibu memberimu nama Joice. Semoga kelak kau bisa tumbuh bersama Jorell dengan sehat.”
Briptu Scarlet mencium Jorell lalu beralih mencium kening Joice.
“Nyonya, Tuan, permisi. Dua bayi itu harus masuk ke ruang observasi dulu.” Perawat datang, kemudian mengambil dua bayi kembar tersebut, untuk dirawat dan dibersihkan.
Dengan berat hati, Nyonya Scarlet dan Detektif Carl menyerahkan putra dan putri mereka.
“Kau beristirahatlah sekarang. Kau pasti lelah sekali.” Detektif Carl menyelimuti istrinya itu kemudian mengecup keningnya.
***
Di ruangan bayi, dari luar ada sepasang manik mata yang menatap intens ke ruangan tersebut. Seorang pria mengulas senyum seringai, ketika perawat keluar dari ruangan itu.
“Jadi di sana bayinya Carl.”
Pria itu Detektif Darcy. Sudah lama dia mengawasi kehamilan Briptu Scarlet. Dia juga tahu jika kehamilannya kembar sepasang.
Tentu, dia juga sudah lama sekali mempersiapkan skenario ini. Skenario balas dendam atas perbuatan Detektif Carl sebelumnya yang membuat kantornya ditutup total dan izinnya dicabut selama lima tahun.
Detektif Darcy tidak datang sendirian ke sana. Dia datang dengan membawa seorang bayi lelaki, tepatnya seorang mayat bayi. Bayi meninggal yang dia dapatkan dari seseorang.
“Aku harus berhasil kali ini.” Pria itu kemudian mematikan CCTV yang ada di sekitar ruangan bayi.
Darcy sudah hafal bentuk rumah sakit tersebut, juga letak kamera CCTV berada. Dia sudah memantau semuanya.
Tepat di saat ruangan itu sepi dan sama sekali tak ada perawat yang bertugas di sana, Darcy masuk setelah mematikan CCTV selama satu menit.
“Jorell ... nama yang bagus. Apakah itu Carl yang memberimu nama?” Darcy langsung menuju ke tempat Jorell berada.
Bahkan ia mengulas senyum lebar di ujung bibirnya, menyapa bayi mungil itu, juga menyentuh pipinya.
“Sekarang, kau akan ikut bersamaku.” Lagi, Darcy mengulas senyum seringai.
Dengan cepat, ia mengambil Jorell lalu menukarnya dengan mayat bayi yang di bawanya.
“Kau pasti akan senang ikut bersamaku.” Darcy segera pergi dari sana sebelum ada perawat lain yang masuk. Tak lupa, dia menyalakan kembali kamera cctv di ruangan bayi tersebut juga kamera cctv di sekitar ruangan bayi.
Ia menghilang dalam hitungan detik, membawa Jorell.
Dari dalam ruang bayi terdengar suara bayi menangis melengking setelahnya, mengundang dan memanggil perawat yang ada di ruang perawat untuk datang.
“Kenapa bayi ini menangis? Joice, tadi dia baik-baik saja setelah dibersihkan.” Seorang perawat masuk ke ruang bayi dan langsung menuju ke sumber suara tangisan bayi melengking tersebut.
“Apa mungkin dia haus?” Perawat mengangakat Joice dari box bayi lalu menggendongnya.
Letak box Joice dan Jorell bersebelahan. Perawat pun melihat box bayi Jorell. Bayi itu diam saja. Entah tidur atau masih belum bangun.
Tangisan melengking Joice membangunkan bayi lainnya yang ada di ruangan tersebut, tapi anehnya tangisan itu tidak membuat Jorell bangun. Hal itu membuat perawat curiga.
“Bayi Jorell, apa kau tidak mendengar suara berisik saudari kembarmu? Lihat, bayi-bayi lain di sini pada bangun.”
Bayi lain yang terbangun di ruangan itu pun beberapa dari mereka mulai menangis, mengundang perawat lain untuk masuk. Karena satu perawat tak bisa menangani bayi lebih dari dua.
Karena masih terlelap tidur, perawat itu mengangkat Jorell. Namun ia terkejut sekali sekaligus syok setelah mengangkatnya. Untuk memastikannya, ia menaruh kembali Jorell ke box bayi.
“Semoga saja dugaanku tidak benar.” Perawat itu segera memeriksa kondisi bayi yang tubuhnya terasa dingin sekali dengan wajah pucatnya.
Ia memeriksa napas juga denyut nadi bayi Jorell yang ternyata sudah tak ada.
“Astaga! Bayi ini sudah meninggal. Padahal beberapa saat yang lalu kondisinya sehat dan bagus sekali, tak ada masalah. Tapi kenapa tiba-tiba meninggal?”
Perawat lain datang untuk memeriksa dan membantu. Mereka tak bisa melakukan pertolongan untuk bayi Jorell, karena sudah terlambat.
Sedangkan bayi Joice terus menangis dan tak bisa didiamkan.
***
“Nyonya, bayi Anda menangis. Mungkin waktunya menyusu.” Perawat masuk kembali ke ruangan tempat Nyonya Scarlet dirawat.
Para perawat yang ada di sana tak bisa menenangkan Joice, sehingga terpaksa membawanya pada ibu si bayi.
“Bawa sini, suster. Aku akan memberinya minum,” ujar Nyonya Scarlet.
Perawat mendekat dan menyerahkan Joice pada ibunya.
“Di mana Jorell? Apa dia tidak menangis dan haus?” tanya Detektif Carl yang masih ada di sana pada perawat.
“Bayi Jorell tidak menangis. Dia masih tidur.” Perawat berusaha menjelaskan dengan tenang. Dia kemudian mendekat pada Detektif Carl dan bicara lirih, supaya tidak terdengar oleh ibu bayi. “Tuan, ada hal penting terkait bayi Jorell yang ingin aku sampaikan pada Anda. Tolong, ikut bersamaku sebentar.”
Deg! Detektif Carl nampak panik seketika mendengar ucapan perawat. pasti ada satu hal serius yang ingin dibicarakan dengan dirinya sampai membawanya keluar begini.
Detektif Carl sudah bangkit dari tempat duduknya. Ia kemudian menatap wanitanya sebelum pergi.
“Scarlet, aku keluar sebentar. Aku hanya membeli makanan dan akan segera kembali.” Sengaja dia berbohong begitu untuk menjaga perasaan istrinya Jika benar ada sesuatu yang terjadi pada putra mereka.
Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Detektif Carl berhambur keluar mengikuti perawat tadi yang kemudian masuk ke ruangan bayi.
Detektif Carl bersama perawat tadi kemudian langsung menuju ke box bayi Jorell.
“Tuan ... kami segenap petugas medis rumah sakit ini mengucapkan belasungkawa yang teramat mendalam. Putra Anda meninggal.” Perawat tadi menjelaskan.
“Apa?!” Detektif Carl tersentak kaget. Dia pikir ada masalah kesehatan atau sejenisnya pada putranya, ternyata bukan hanya itu masalahnya, masalahnya lebih berat daripada sakit.
Pria itu nampak gemetar. Detik itu juga, dia langsung mengangkat Jorell dari box bayi dan memeluknya erat. Bahkan air matanya pun berderai.
“Jorell, putraku. Belum ada sehari kau lahir, tapi kenapa kau meninggal?” Tapi tatapan Detektif Carl tertuju pada perawat di sampingnya yang tertunduk, penuh tuntutan.
“Bagaimana ini bisa terjadi? Tadi dia baik-baik saja?” Detektif Carl menuntut penjelasan.
“Kondisi bayi baru lahir memang rentan, Tuan. pa saja bisa terjadi meskipun kondisi sebelumnya bagus. Kami juga sudah berusaha semaksimal mungkin. Maafkan kami.” Perawat ikut menyesal atas kepergian Jorell yang mendadak.
Detektif Carl membuang napas panjang sembari menagkup wajahnya dengan kasar. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan pada istrinya nanti mengenai Jorell.
***
Halo akak semua, dukung ya kisah baruku. Jangan lupa like, dan koment.
“Scarlet, kau yakin akan ikut ke pemakaman? Kau tunggu saja di mobil,” ujar Detektif Carl, berhenti di depan pintu mobil.
Briptu Scarlet mengangguk dan turun dari mobil. Hari ini mereka berdua akan menghadiri acara pemakaman putra mereka, Jorell Watson.
Scarlet tentu saja sangat Terpukul dengan kematian putranya, putra yang baru dilahirkannya beberapa jam yang lalu, namun akhirnya meninggal. Bahkan ia hanya memeluknya sekali dan belum sempat menyusuinya.
“Carl, apa menurutmu ini adalah kesalahanku, sehingga Jorell meninggal?” tegas Scarlet lagi, dengan mata yang mengembun.
“Tidak. Jangan katakan itu. Kau sama sekali tidak salah. Mungkin memang sudah takdir, umurnya segitu.”
Carl meraih tangan Scarlet, lalu menggenggamnya erat. Mereka berdua mengenakan baju serba putih berjalan masuk ke pemakaman.
Di depan mereka terdapat makam putra mereka.
“Jorell, maafkan Ibu yang tak bisa menjagamu, Sayang. Aku tak ingin berpisah darimu. Tapi entah kenapa, Ibu merasa kau masih hidup. Ibu harap bisa bertemu denganmu lagi.”
Scarlet menaburkan bunga dari keranjang bunga yang di bawanya saat itu ke makam Jorell. Tangannya gemetar dan setelahnya kristal bening meleleh dari sudut matanya.
“Jorell, kau masih hidup, kan? Kau tidak bisa meninggalkan Ibu sendiri!” Tiba-tiba saja Scarlet histeris.
Tubuhnya berguncang hebat. Bahkan dia berniat membongkar makam itu kembali.
“Scarlet! Hentikan itu! Hentikan!” Carl langsung menghampiri Scarlet. Ia mendekapnya erat.
“Carl, Jorell masih hidup, aku harus membawanya pulang kembali.”
Scarlet begitu terpukul dan masih belum bisa menerima kematian putranya.
“Scarlet, Jorell sudah meninggal. Kau harus merelakan kepergiannya,” ujar Carl menyadarkan dan menegaskan kembali.
“Tidak. Tidak! Putraku masih hidup!” teriaknya dalam pikirannya, antara harapan dan kenyataan pahit ini.
Hingga membuatnya tak sanggup menyangga beban hidup ini.
“Scarlet!” Scarlet ambruk, tak sadarkan diri.
Carl segera menangkap tubuhnya dan membawanya kembali masuk ke mobil.
“Harusnya aku tak menurutimu membawamu kemari, kau masih belum siap. Harusnya aku tahu itu.” Dengan raut sedih, Carl membelai rambut Scarlet yang masih pingsan dalam pangkuannya.
***
Dua minggu berlalu. Nampak Scarlet masih belum bisa menerima kematian Jorell.
“Aku percaya Jorell masih hidup. Aku akan kembali ke rumah sakit sekarang. Mungkin saja ada orang yang menukar bayiku.” Scarlet berpikir demikian.
Bahkan orang lain pun yang melihatnya akan berpikiran jika wanita itu mulai gila. Karena tak bisa menerima kenyataan.
“Ini tak bisa dibiarkan. Aku harus mencari cara. Aku mau Scarlet kembali seperti biasanya.” Carl ada di balik pintu ruangan, namun ia hanya melihat saja. Sekadar mengontrol keadaan istrinya.
“Aku harus cepat mengambil tindakan sebelum keadaan Scarlet semakin bertambah parah.” Carl yang saat itu mengintip dari balik pintu yang dia buka sedikit, menutup kembali pintu itu.
Dia lantas memanggil pelayan yang ada di rumah dan meminta mereka untuk segera mengemasi semua barang-barang di rumah.
Hari itu juga, dia memutuskan untuk meninggalkan Swiss, demi kebaikan Scarlet.
***
“Carl, kita mau ke mana?” tanya Scarlet setelah duduk di pesawat.
“Ke Italia. Kita bertiga akan pindah ke sana. Aku juga akan mengurus mutasi kerjamu ke sana nanti.”
Carl memutuskan untuk pindah ke Italia dan menetap di sana. Selain untuk berobat, juga untuk membuat Scarlet jauh dari kenangan Jorell. Mungkin cara inilah satu-satunya yang bisa membuat mereka bertiga melanjutkan hidup dengan tenang.
“Joice Sayang, sebentar lagi kita akan tiba di rumah baru kita.”
Carl menatap sepasang biji mata bulat putrinya yang barusan terbangun dan tersenyum menatapnya.
***
Kabar mengenai kepindahan Detektif Carl menyebar dengan cepat. Banyak klien banyak yang menyayangkan hal tersebut. Karena kantor itu sekarang tutup.
“Sayang sekali, padahal aku akan menyerahkan kasusku kemari.” Seorang pria sampai di depan kantor Detektif Carl.
Di sana ada tulisan 'kantor ditutup dan pindah' padahal saat ini di sana, kantor itu sedang ramai-ramainya.
***
“Betsy, kemari sebentar!” teriak seorang lelaki di sebuah rumah.
Pria itu sedang duduk di sofa panjang di ruang tamu. Entah kenapa pria itu nampak senang sekali. Terlihat guratan senyum membekas di wajahnya.
“Carl, akhirnya kau pergi juga dari sini tanpa perlu aku mengusirmu! Lihat, Jorellmu ada bersamaku. Dia mirip sekali denganmu! Menyebalkan sekali!”
Pria itu memang Darcy. Dia duduk dengan memangku Jorell. Dia menatapnya tajam. Memang terlihat, Jorell adalah kopian Detektif Carl seratus persen.
Dari alisnya yang tebal, biji matanya yang bulat, bentuk hidungnya, sampai bagian bibirnya semua mirip sekali dengan Detektif Carl.
Terdengar suara tangis. Jorell menangis, entah kenapa bayi mungil dan lucu itu menangis.
“Kau bisa diam tidak? Jika tidak bisa diam, aku akan memberimu pelajaran!”
Darcy kembali menatap tajam bayi mungil di pangkuannya yang ternyata tidak bisa berhenti menangis.
“Anak sialan kau! Diam! Berisik!” Darcy bukannya menenangkan Jorell, ia malah mencubit pipi Jorell hingga kemerahan dan membuat bayi itu semakin menjadi, tangisnya.
“Darcy! Apa yang kau lakukan pada Jorell?” Seorang wanita datang menghampiri dan mengambil bayi tersebut dari pangkuan Darcy.
Wanita itu menggendong Jorell dengan perut buncitnya, kemudian memeriksa kenapa Jorell menangis.
“Popoknya basah, Darcy. Makanya dia menangis. Ambilkan popok kering biar aku yang ganti.”
“Kau ambil saja sendiri, Betsy.”
Betsy adalah istrinya Darcy. Seorang pengacara yang kini sedang hamil enam bulan. Dia memberikan izin pada Darcy untuk mengasuh dan merawat Jorell sebagai anak kandung mereka sendiri. Bahkan Jorell sudah resmi terdaftar pada akta keluarga mereka sebagai anak kandung. Mudah saja melakukan itu bagi Darcy.
“Kau tahu aku sedikit kesulitan dalam bergerak dengan kondisi perutku yang sudah sebesar ini.” Betsy memberikan penjelasan.
Terpaksa, Darcy akhirnya mengambilkan popok kering dan memberikannya pada Betsy.
“Lihat, dia sudah berhenti menangis sekarang.” Jorell bahkan tersenyum menatap Betsy sekarang.
“Aku tidak mengerti cara mengurus bayi, kau saja yang mengurusnya.”
“Kau juga harus belajar mengurus bayi, sebentar lagi bayi kita akan lahir. Kau sendiri yang memungutnya karena kasihan,” tutur Betsy.
Darcy mengaku pada istrinya itu jika dia menemukan bayi dibuang di rumah kosong yang ditinggalkan begitu saja dan tidak diketahui siapa orang tuanya.
Karena merasa iba dengan nasib bayi yang tidak berdosa itu maka dia pun memberikan izin untuk mengasuhnya.
“Aku lapar, apakah sarapan pagi sudah siap?” tanya Darcy.
“Aku sudah menyiapkan sarapan pagi untukmu.”
Mendengar jawaban istrinya itu, Darcy pun segera berlalu pergi ke ruang makan seorang diri.
Betsy hanya menatap kosong lorong rumah saja. Darcy menghilang dari pandangannya dengan cepat. Ia kemudian beralih menatap Jorell dalam gendongannya.
“Kenapa pipimu merah? Apakah ayah mencubitmu?” Betsy melihat bekas cubitan merah di pipi Jorell. “Apa yang Darcy lakukan? Kenapa dia tega sekali mencubit Jorell?” Betsy menatap iba Jorell, lalu pergi ke kamar untuk mengambil krim memar.
Tujuh tahun kemudian....
“Aroon, tangkap bolanya.” Jorell sedang bermain lempar bola berasama adiknya.
Mereka berdua hanya selisih satu tahun saja. Saat ini Jorell sudah duduk di bangku setingkat Sekolah Dasar, sedangkan Aroon duduk di bangku sekolah sekelas Taman Kanak-Kanak.
Akh! Aroon berdesis lirih saat dia gagal menangkap bola yang dilempar oleh Jorell.
Bola itu mengenai pipi Aroon yang putih, hingga membuat warna pipi itu berubah.
“Apa kau tak apa?” Jorell langsung menghampiri adiknya.
Dia merasa bersalah meskipun itu bukan salahnya. Salah Aroon yang tak bisa menangkap lemparan bolanya. Tapi Jorell menyayangi adiknya, dia sangat khawatir pada kondisinya.
“Duduklah dulu, aku akan ambil salep untukmu.”
Aroon mengangguk dan duduk menunggu Jorell yang sudah masuk ke rumah.
“Aroon!” Bukan Jorell yang memanggil, namun Darcy.
Pria itu keluar dan berhenti di teras saat melihat Aroon duduk sendiri sembari memegang pipi kiri.
“Aroon, ada apa denganmu? Kenapa pipimu itu?” tanya Darcy ketika mendekat dan melihat ruam merah di pipi putranya.
Aroon menurunkan tangannya sehingga ruam merah di pipinya itu terlihat.
“Ayah, ini tak apa. Aku terluka saat main tangkap bola dengan kakak.” Aroon menjelaskan tanpa nada menyalahkan.
Tapi berbeda dengan yang ditangkap oleh Darcy. Cerita dari putra kandungnya sendiri itu lebih terdengar mirip sebagai aduan baginya.
“Apakah ini ulah Jorell?” tegas Darcy. Seketika dia naik pitam melihatnya.
Melihat anaknya dilukai oleh Jorell, kloning Detektif Carl yang merupakan rivalnya, yang sangat dibencinya.
Aroon diam. Dia malah gemetar melihat ayahnya bicara dengan nada tinggi begitu.
Diamnya Aroon sudah menunjukkan jawabannya sendiri jika Jorell memang sengaja melukai Aroon.
“Jorell, sini kau!” sentak Darcy, ketika melihat Jorell kembali dengan membawa salep di tangan.
“Ya, Ayah.”
“Lihat ini! Apa yang kau lakukan pada Adikmu?”
Darcy menarik baju Jorell dengan kasar lalu menunjuk pipi Aroon yang merah.
“Ayah, jangan salah paham. Kami berdua bermain dan aku sama sekali tidak bermaksud melukai Adik.” Jorell menjelaskan permasalahan yang sebenarnya.
Dia bahkan menunjukkan salep yang diambilnya untuk dia oles pada pipi Aroon.
Namun Darcy tak bisa mendengarkan dan tak mau menerima penjelasan Jorell, meskipun melihat salep itu.
“Bagaimana bisa kau bersikap keras seperti itu pada Adikmu yang masih kecil begini? Kau tahu itu sakit sekali untuk anak kecil seusia Aroon. Jika suatu terjadi pada Adikmu maka kau yang harus bertanggung jawab! Ingat itu!” Darcy kembali menyentak.
Bahkan tangannya pun kini terayun di udara setelah ia melepaskan cengkeraman baju Jorell. Tangan besar itu kemudian mendarat dengan keras di pipi kecil Jorell.
Hiss! Jorell berdesis karena merasakan pipinya panas juga berdenyut nyeri. Bahkan sudut bibirnya sampai bengkak akibat tamparan Darcy yang tak tanggung-tanggung.
“Aroon, ayo masuk. Biar Ayah obati lukamu.” Darcy menarik Aroon ke sisinya.
Sebelum pergi dia beralih menatap Jorell dengan tajam. “Kemarikan salepnya!” Ia mengambil salep dari tangan Jorell dengan kasar.
“Kakak ...” Aroon menatap kakaknya. Sungguh ia tak menyangka ayahnya akan membuat kakaknya meraskan rasa sakit di pipinya.
“Aroon, sudah masuk. Jangan pedulikan kakakmu!”
Darcy sampai menyeret Aroon masuk ke rumah. Karena anak itu nampak berat meninggalkan Jorell.
Jorell duduk di teras rumah menyandarkan punggungnya ke salah satu pilar yang ada di sana. Tamparan keras dari Darcy tak hanya meninggalkan jejak di sana, tapi juga jejak di hati Jorell.
Jejak yang lebih tepatnya seperti luka hantaman. Bukan pertama kali ini ayahnya memukul dirinya, banyak dan dia sampai tak bisa menghitungnya, berapa kekerasan yang sudah dilakukan Darcy padanya.
Beberapa waktu yang lalu, Jorell juga kena marah oleh Darcy hanya karena Aroon jatuh saat bermain sendiri di dekatnya. Dia sedang mengerjakan tugas dari sekolah sepulang sekolah. Jadi tidak terlalu memperhatikan Aroon yang sedang bermain.
Seperti tadi, Darcy memarahinya habis-habisan. menyalahkannya juga memberinya hukuman.
“*Adikmu ini masih kecil. Sudah merupakan tanggung jawabmu menjaga Adikmu. Kenapa kau sampai teledor dan membuat adikmu terluka begini? Untung saja jari tangannya hanya tergores oleh pisau. Bagaimana jika jari tangannya sampai putus sungguhan. Jika aku tak melihatnya, mungkin jari tangan Aroon sudah putus!”
“Maaf, Ayah aku benar-benar teledor. aku berjanji hal seperti ini tak akan terulang kembali.”
“Sudah berapa ratus kali kau berjanji padaku? Tapi lihat, tetap saja Adikmu terluka di bagian lutut saat dia jatuh dan menimpa kaca!”
“Maaf, Ayah!”
“Maaf saja tidak cukup! Kau juga harus merasakan sakit yang sama dengan Adikmu*.”
Bayangan saat Darcy menendang dadanya kembali terngiang dalam pikirannya. Bahkan jejak kaki itu membekas di dada Jorell, berwarna ungu kebiruan dan belum sembuh sampai sekarang.
“Ayah ... kenapa kau selalu menyalahkan diriku?” Jorell menahan rasa sesak di dadanya yang sangat menghimpit hingga dia susah bernapas dan berulang kali menarik napas panjang, untuk mengurangi beban di dadanya.
***
“Jorell mana, kenapa dia tidak ikut makan malam bersama kita?” tanya Betsy, melihat yang ada di meja makan hanya dirinya, Darcy dan Aroon.
“Entahlah, mungkin dia sudah makan duluan,” jawab Darcy acuh. Dia sama sekali tak peduli pada Jorell. Sudah makan atau belum, dia benar-benar tidak peduli. Bukankah tujuan awalnya mengasuh Jorell hanya untuk menyiksanya saja?
Betsy berdiri dari tempat duduknya. Dia lalu menuju ke kamar Jorell.
Terdengar suara gagang pintu tertarik dan pintu terbuka setelahnya.
“Jorell, apa kau sudah makan malam?” Betsy masuk dan menghampiri Jorell yang duduk di lantai dengan tertunduk.
Jorell tak merespon dan hanya menatap sepasang manik mata bulat ibunya. Ada rasa takut tergambar di mata Jorell.
“Ada apa denganmu?” Betsy berjongkok hingga membuatnya melihat pipi Jorell yang bengkak.
Sungguh, dia terkejut sekali melihat pipi Jorell bengkak parah.
“Siapa yang melakukan ini padamu?” tanya Betsy.
Jorell hanya diam tak berani menjawab. Tak mungkin juga dia memberitahukan ibunya itu jika yang memukulnya adalah ayahnya sendiri.
“Apakah ayahmu yang melakukannya?” Jorell menggelengkan kepala meresponnya.
“Lalu siapa yang melakukannya? Apa ada seseorang di kelasmu yang melakukannya?” Lagi, Jorell menggelengkan kepala.
“Katakan.” Betsy mendesak.
“Aku tertimpa kayu balok di belakang rumah, Bu.” Jorell terpaksa berbohong dan mengarang cerita.
Mungkin jika dia menceritakan yang sebenarnya pun, ibunya itu tak akan percaya padanya, dan malah akan membela ayahnya. Jadi tak ada gunanya dia berkata jujur.
Yang penting saat ini ibunya itu mempercayai dirinya, itu saja sudah lebih dari cukup.
“Lain kali hati-hati, jika main. jangan sampai melukai dirimu sendiri. Duduklah, Ibu akan mengobati lukamu.”
Hanya ibunya yang selama ini bisa meredakan sakit di hatinya karena perlakuan ayahnya.
“Betsy! Apa yang kau lakukan? Hentikan itu!” Tiba-tiba saja Darcy masuk ke kamar Jorell.
***
Halo kka semua. Maaf slow update. Karena sedang cari pembaca. Syarat pengajuan skr harus banyk pembaca atau tidak dapat apa²
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!