NovelToon NovelToon

Cahaya Cinta Nafia

Bagian 1

Ramadhan adalah bulannya seluruh umat nabi Muhammad. Bulan penuh berkah nan ampunan, bulan yang begitu di tunggu tunggu kedatangannya di antara 12bulan.

1bulan Ramdhan melatih kita umat muslim untuk menjadi manusia yang lebih taat kepada Allah SWT, sabar dan ikhlas menerima segala ujiannya.

Juga mengajari kita untuk menjadi manusia yang lebih bersyukur dengan nikmat Allah yang tiada habisnya dimakan waktu.

Ramadhan adalah saatnya kita berkumpul dengan keluarga, menjalankan ibadah puasa bersama, sampai dengan menyambutnya kedatangan bulan Syawal yang Fitri.

Namun bagaimana jadinya jika sudah hampir di akhir Ramadan, seseorang masih berpisah jauh dengan keluarganya, apalagi di negeri orang yang mayoritasnya bukan beragama Islam.

Korea Selatan, negri yang saat ini saya tinggali. Dimana pada tiga bulan yang lalu, kepala bagian kedokteran di rumah sakit tempat saya bekerja telah menugaskan saya bersama dengan dua orang teman saya untuk berdinas di salah satu rumah sakit umum yang ada di kota Seoul, Korea Selatan.

Ini adalah sedikit kisah saya saat masih kecil sampai saya bisa menjadi seorang dokter yang sukses sekarang ini. Sekaligus kisah perjalanan hidup saya saat berada di negri ginseng ini.

...****************...

Menjadi seorang dokter adalah impian saya sejak kecil. Cita cita seorang anak kecil yang ingin mengabdikan dirinya untuk keselamatan umat. Jika di lihat dari keadaan ekonomi orang tua saya saat itu, sangat lah tidak mungkin jika saya bisa sekolah tinggi kedokteran seperti yang saya impian dan saya cita citakan. Namun, apalah yang tidak mungkin bagi Allah. Saya bisa menjadi seorang dokter di umur saya yang ke 25 tahun dengan gelar sebagai dokter ahli bedah spesialis organ dalam. Dengan proses yang sangat indah, melalui jalan yang telah Allah tentukan.

Aliatun Nafi'ah, nama lengkap saya. Terlahir dari keluarga yang sederhana, ayah saya seorang buruh tani yang mengelola kebun orang lain bukan milik sendiri. Kerena kami hanya memiliki sebidang tanah tempat kami tinggal. Ibu saya juga bekerja sebagai buruh cuci, berkeliling mendatangi setiap rumah tetangga yang membutuhkan tenaganya.

Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik pertama saya adalah seorang perempuan yang kini telah menjadi seorang guru agama, setelah menyelesaikan studi kuliah beasiswanya di Al Azhar Kairo.

Sedangkan adik saya yang kedua adalah seorang lelaki yang kini masih duduk di bangku SMK swasta pertanian.

Meskipun kami terlahir dari keluarga yang sederhana Alhamdulillah kami tidak kekurangan pendidikan sedikitpun sejak kecil sampai sekarang.

Semua berawal dari tekad ayah saya yang ingin sekali anak-anaknya menjadi generasi penghafal Alquran, karena ayah dulu pernah gagal menyelesaikan hafalannya di pesantren dan berlanjut bekerja sebagai tulang punggung keluarga, sampai ayah menikah dengan ibu dan memiliki keluarga kecil sendiri.

Namun karena kesungguhannya, dengan perlahan ayah mampu menyelesaikan hafalannya yang sekarang masih terjaga 30 juz, Alhamdulillah.

Setelah tamat sekolah dasar, pendidikan saya berlanjut ke pesantren. Sebuah pesantren tahfidzul Quran adalah tujuan utama kedua orang tua saya.

Awalnya saya tidak mau, saya marah, saya kecewa dan saya sangat merasa kesal dengan keputusan orang tua saya.

"Aku kan ingin jadi dokter, kenapa ke pesantren".

Pesantren itu bukan tujuan saya, saya ingin sekolah di SMP negri seperti teman saya yang lainnya. Karena Kami memiliki cita cita dan impian yang sama untuk menjadi seorang dokter, jika akhirnya saya ke pesantren bagaimana mungkin saya bisa menggapai cita cita saya seperti mereka.

"Fia tidak ingin seperti Abah yang pernah ke pesantren, tapi akhirnya tidak memiliki masa depan. Dan berakhir hanya sebagai buruh tani. Fia nggak mau bah".

Fia kecil adalah orang yang sangat egois, bahkan memandang remeh pekerjaan orang tua nya.

"Abah tidak pernah menginginkan anak anak Abah bernasib sama seperti Abah saat ini.

Abah tau, Abah bukan orang kaya yang hebat.

Punya uang yang banyak, rumah yang bagus, harta yang melimpah, kedudukan yang tinggi, seperti para pengusaha sukses saat ini.

Tapi Abah punya mimpi yang indah untuk anak anak Abah, meskipun saat ini Abah belum mampu untuk mewujudkannya".

"Abah ingin anak Abah lebih dulu memikirkan akhirat yang sudah pasti, dari pada dunia yang hanya sementara. Abah ngerti kalau Fia punya cita cita dan impian yang tinggi untuk menjadi seorang dokter. Walaupun Abah hanya orang kecil dan biaya untuk menjadi seorang dokter membutuhkan biaya yang yang sangat besar, Abah akan berusaha untuk mewujudkan impian dan cita-cita anak anak Abah. Abah janji nak. Tapi Abah mohon, dahulukan Allah dari segalanya, belajarlah Al-Qur'an. Abah yakin Allah pasti akan memudahkan segala jalannya. percaya sama Abah nak".

Air mata saya mengalir deras saat itu, saya begitu menyesal setelah berkata demikian dengan Abah saya.

Saya pergi dari hadapan orang tua saya kau menenangkan diri saya di dalam kamar.

Saya menangis sejadi jadinya, meskipun saat itu saya masih berusia sangat muda, tapi saya begitu paham dengan segala ucapan kedua orang tua saya.

Mereka benar, akhirat itu lebih utama dari pada dunia. Dahulukan Allah dari segalanya.

Lalu bagaimana pleining hidup saya ke depannya. Apa saya harus mengorbankan cita cita dan impian saya demi mendahulukan Allah?

Waktu demi waktu terus berjalan tahun demi tahun terus berganti. Semua mengalir bagai arus deras air sungai. Saya menerima keputusan mereka untuk mondok di pesantren. Saya bagai sampan di atas air sungai tersebut yang terus berjalan mengikuti alirannya.

Semua saya biarkan mengalir begitu saja, saya ikuti semua keinginan mereka.

Saya berpikir untuk lebih dewasa, apalagi saya adalah anak pertama sebagai panutan untuk adik-adik saya.

Saya tidak banyak menuntut karena saya tahu kedua orang tua saya bukanlah konglomerat yang hidup dengan bergelimang harta.

"Bismillah Ya Allah, aku pasrahkan diriku hanya kepada Mu. Aku memohon bimbingan Mu ya Allah".

Saya belajar dengan semestinya, belajar Alquran menghafalnya dan insya Allah menjaganya hingga akhir hayat saya.

Mensyukuri segala nikmat Nya. Karena belajar Alquran lebih banyak pahit dari pada manisnya.

Yang membuat saya ragu saat itu adalah keyakinan pada diri saya sendiri.

Apa mungkin, orang sepeti saya yang hanya memiliki kepintaran di bawah rata-rata, mampu untuk menghafal Alquran apalagi sampai menyelesaikannya 30 juz.

Dengan tebalnya Alquran melebihi novel bumi cinta Habiburrahman dan bahasa juga tulisan yang bukan bahasa sehari-hari saya gunakan.

Tapi nyatanya, "Kun Fayakun". Jika Allah sudah berkehendak, jadi maka jadilah.

Alhamdulillah, wa syukurillah, saya bisa menyelesaikan hafalan saya dalam waktu 5 tahun.

Di situ saya yakin, bahwa Allah akan memudah kan segala jalannya. Meskipun banyak rintangan yang harus saya hadapi selama belajar Alquran.

Alquran bukan hanya untuk orang yang pintarnya di atas rata-rata. Bahkan banyak orang yang pintar, namun belum tentu bisa menghafal Alquran.

Al-Qur'an tidak pernah memilih atau memandang dari sudut kemampuan seseorang, tapi Alquran memilih mereka yang benar-benar ikhlas memperjuangkannya untuk terus berada di jalan yang telah Alquran sendiri ditentukan melalui perkataan Allah ta'ala.

...****************...

Bagian 2

Al-Qur'an adalah anugrah terbesar dari Allah SWT untuk umat nabi Muhammad Saw. Dan hanya umat nabi Muhammad yang Allah izinkan bisa menghafal kitab sucinya.

Air mata kebahagiaan mengalir di pipi kedua orang tua ku, ketika mendengar kabar dari pesantren bahwa aku telah menyelesaikan hafalan Qur'an nya 30 juz. Alhamdulillah.

Setelah penantian panjang mereka yang penuh dengan perjuangan dan doa, akhirnya keinginan mereka terwujud.

"Jika engkau ingin menyenangkan Allah maka senang kan lah hati saudaramu".

"Ya Allah aku telah menyenangkan hati kedua orang tua ku. Aku merelakan cita ku pupus tak tergapai demi keinginan kedua orang tua ku, aku ikhlas dengan semua takdir yang telah Engkau tentukan untuk ku.

Ya Allah jika lah masih ada kesempatan untuk ku menggapai cita-cita ku kembali, aku mohon pada Mu ya Allah, mampu kan lah aku untuk bisa mewujudkannya". Aamiin.

Doa yang selalu aku selipkan di setiap sholat wajib juga waktu sepertiga malam ku.

Masya Allah, tanpa terasa lima tahun telah berlalu dengan begitu cepatnya.

Memasuki usia ku yang ke 17 tahun. Usia remaja yang menjelang dewasa, usia dengan jati diri yang sebenarnya. Angka yang sangat spesial bagi para remaja. Begitu juga dengan diri ku sendiri.

Jika saat ini aku berada di sekolah menengah, mungkin tinggal selangkah lagi aku bisa kuliah di fakultas kedokteran, sepeti apa yang pernah ku cita-cita kan.

Tapi semua sudah menjadi ketentuan Allah.

Akan ada waktunya nanti Allah sendiri yang memudah kan segalanya.

Selesai dengan hafalan ku 30 juz, bukan berarti selesai pula tanggung jawabku atas nya. Ini adalah langkah awal untuk ku mempelajarinya, menyampaikannya dan insyallah mengamalkannya.

Seperti dalam hadist Rasulullah yang berbunyi. "Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya".

Itu adalah panutan hidupku saat ini.

Sampai pada umurku yang ke 19 tahun, aku sama sekali belum memikirkan apa kelanjutan tujuan hidupku untuk kedepannya.

Menjalani takdir ku yang sekarang, masih di pesantren dengan tujuan mengabdi serta melancarkan hafalan sampai mutqin luar kepala, insya Allah.

Menjadi seorang dokter? Aku tidak ingin lagi berangan angan tinggi dengan sesuatu yang belum tentu Allah takdir kan untukku.

"Masih ingin menjadi dokter?"

Aku hanya terdiam dan tersenyum saat di hadapkan dengan pertanyaan seperti itu oleh ibuku.

"Nggak tau Bu. Saat ini Fia belum ada pleining apapun untuk hidup Fia kedepannya. Fia hanya menjalani apa yang sudah ada. Tidak ingin bermimpi terlalu tinggi lagi".

Tangan lembut ibu menggapai punggung ku lalu mengusapnya dengan perlahan.

"Maafin ibu sama Abah ya, karena mengikuti keinginan Abah sama ibu, kamu Samapi harus kehilangan impian dan cita-cita mu nduk".

"Jangan di pikirin Bu, Fia sudah bahagia dengan hidup Fia yang sekarang. Jauh lebih bahagia lagi kalau lihat senyuman ibu dan Abah untuk Fia".

Kebahagiaan ku adalah senyuman kedua orang tua ku. Mereka tidak pernah salah dalam menentukan pilihannya untuk ku, selagi itu masih hal yang baik dan berhubungan dengan agama Allah.

Keadaan telah merubah segalanya, sejak aku masuk pesantren.

Rezeki Abah dan ibu mengambil lancar bagai derasnya aliran air, Alhamdulillah.

Perlahan dengan perlahan Abah sudah bisa membeli tanah dan memiliki kebun sendiri sebanyak 2 hektar lahan sawah.

Ibu juga begitu, sampai sekarang sudah memiliki usaha laundry sendiri dan ibu sebagai pemiliknya bukan lagi pekerja nya.

Sedikit demi sedikit mereka mengumpulkan uang untuk biaya kuliah di bidang kedokteran.

Mungkin perrtanyaan itu diajukan karena mereka merasa bahwa uang yang mereka kumpulkan sudah cukup untuk membiayai kuliahku.

"Kalau kamu masih minat untuk menjadi dokter, bilang sama ibu ya, insya Allah ibu sanggup biayai nya".

Tanpa menjawab, aku hanya mengangguk dengan senyuman kecil di bibirku.

Jika melihat keadaan ekonomi mereka sekarang jauh lebih baik dari beberapa tahun yang lalu. Bahkan biaya untuk kuliah kedokteran pun mereka mampu untuk menebusnya.

Tapi kenapa keraguan datang kepada diriku sendiri, bukan karena biaya ataupun restu dari keduanya.

Aku ini seorang Hafizah yang menghabiskan masa belajarnya full di pesantren tahfidzul Quran, tanpa adanya campur kian dengan pelajaran formal. Apa ada orang yang seperti ku langsung diterima di perguruan tinggi tanpa adanya ijazah SMA? Pertanyaan yang membuatku maju mundur untuk kembali mewujudkan cita-cita kecilku. Namun di balik itu, ada satu nasihat Abah yang selalu kuingat sampai sekarang.

"Fia, Alquran itu sudah menyatu dengan dirimu. Kemana kamu melangkah, maka dia juga akan ikut denganmu, begitu juga sebaliknya. Jangan pernah takut dengan keadaan hidupmu ataupun masa depanmu nanti, karena Allah sendiri yang akan menjaga dan menjamin kehidupanmu".

Ya, aku masih sangat mengingatnya.

Jangan pernah takut kehilangan sesuatu yang belum tentu bisa memberi manfaat untuk hidupmu, tapi takutlah jika harus kehilangan sesuatu yang sudah pasti jelas memberi manfaat di kehidupanmu, yaitu Al

quranul Karim.

...****************...

Di pesantren........

"Fia....Fia..."

Tampak seseorang dari kejauhan sedang berlari menghampiriku dengan membawa beberapa kertas di tangan kanannya.

Dia adalah Ulya. Biasa aku memanggilnya dengan sebutan Lya. Dia adalah sahabatku di pesantren, satu angkatan dan satu alumni yang kini mengajar di tempat yang sama dengan Fia, atau diriku sendiri.

"Ada apa Lya? Sampai tergesa gesa gitu larinya".

Tanya aku yang saat itu sedang menyimak hafalan mereka.

"Ana dapat brosur ini dari umi, kata beliau suruh tunjukin sama anti".

Aku pun mengambil brosur nya dari tangan Ulya.

Brosur itu berisi tentang penerimaan mahasiswa atau mahasiswi baru fakultas kedokteran dengan beasiswa full bagi hafiz atau Hafizah 30 juz melalui tes hafalan.

"Masih ingin jadi dokter kan?"

Aku hanya menatap wajah Ulya tanpa berkata apapun.

"Nanti aja ya, biar pikirin lagi".

"Jangan kelamaan mikirnya, soalnya itu kan pendaftarannya terbatas. Ada waktu 3 hari lagi, kalau memang Anti masih berminat bisa diurus secepatnya oleh umi".

Aku hanya menghela nafas lega.

"Insya Allah Lya".

Aku menjawabnya dengan senyuman.

Ya Allah apakah ini adalah jawaban dari doa doa ku selama ini? Beasiswa full tanpa biaya apapun, hanya dengan tes hafalan saja aku sudah bisa kuliah di fakultas kedokteran.

Masya Allah sungguh indah cara Mu ya Allah dalam memberikan yang terbaik untuk hamba Mu.

Jalan sudah terbuka di depan mata, tapi kenapa aku merasa ragu untuk menerimanya.

Ada apa ini ya Allah? Bukan kah ini adalah permintaan ku sendiri? Tapi kenapa aku ragu?

Aku menghela nafas panjang sembari menenangkan pikiran ku sendiri.

Bangga dan bahagia dengan kabar ini, ternyata seseorang yang selalu mendahulukan Allah dengan Alquran akan lebih mulia dari apapun.

Sekarang aku paham dengan alasan Abah selama ini yang memintaku untuk lebih mendahulukan belajar Alquran dari pada belajar ilmu yang lainnya.

"Al-Qur'an adalah gudangnya segala ilmu. Jika ingin faham dengan ilmu yang lainnya, maka belajarlah dan fahami lah Al-Qur'an terlebih dulu". kata Abah sebelum aku melangkah ke pesantren.

Aku pergi menenangkan pikiran ku dengan menghadap kepada Dzat yang maha segalanya.

Aku meminta ketenangan hati dari sang pemilik hati manusia.

"Ya Allah, jika memang ini adalah jalan yang terbaik yang telah Engkau tentukan untuk ku, berikanlah aku kekuatan dan keyakinan untuk menerimanya juga menjalankannya ya Rabb".

Aamiin.

Sore itu, umi kembali memanggilku untuk menghadap pada beliau di rumah beliau yang tak jauh dari pesantren.

Aku sudah punya firasat bahwa ini berkenaan dengan brosur yang semalam dia bawa untuk ku.

Dan ternyata firasatku saat itu benar adanya, beliau memberikan nasihatnya kepadaku seperti ibuku sendiri.

"Nak Fia, umi tahu mungkin pilihan ini cukup berat untuk diri kamu, tapi apa salahnya kalau dicoba dulu. Jalan sudah terbuka, jika dilihat dari umur kamu itu masih muda dan masih banyak waktu untuk kembali belajar. Menurut umi kamu sudah pantas untuk mendapatkannya".

Aku masih diam tanpa berkata apapun dengan wajahku yang menunduk.

"Kata orang tua nak Fia, nak Fia sangat ingin menjadi dokter. Cita-cita dan impian nak Fia dari kecil. Dan umi lihat sepertinya nak Fia punya potensi besar untuk menjadi seorang dokter".

Mendengar ucapan umi yang kedua aku langsung mengangkat wajahku.

"Apa umi meridhoi jika Fia keluar dari pesantren ini untuk kuliah jurusan kedokteran. Lalu bagaimana dengan tanggung jawab Fia sebagai seorang guru?

Apa pantas jika Fia meninggalkan tanggung jawab Fia begitu saja untuk kepentingan diri Fia sendiri? Apa yang harus Fia jawab jika nanti Allah mempertanyakannya pada Fia?"

"Mengejar cita-cita itu bukan berarti lari dari tanggung jawab. Insya Allah umi meridhoi setiap langkah nak Fia, selama itu masih di jalan kebaikan dan tidak melanggar syariat Allah ta'ala. Jangan pikirkan tanggung jawab, selama anak Fia masih di bawah umi, tanggung jawab mengajar itu tidak sepenuhnya dipikul nak Fia sendiri. Masih ada umi di sini dan umi akan menggantikan nak Fia bersama dengan Ulya".

Mendengar ucapan dari umi, setidaknya aku bisa bernafas lega. Tapi kenapa masih ada keraguan dalam hatiku untuk kembali melangkah. Bukannya ini adalah permintaanku sendiri di setiap doaku.

Ya Allah kuatkan lah hamba......

"Tapi dunia luar itu kan keras umi, Fia takut terlena dan lalai dengannya. Sedangkan Fia sendiri mempunyai tanggung jawab yang besar dengan hafalan Fia dihadapan Allah.

Bagaimana jika Fia terlalu fokus dengan urusan baru Fia dan merupakan hafalan Fia?"

"Nah itu dia, tanggung jawab. Jiika nak Fia selalu ingat dengan tanggung jawab nak Fia di hadapan Allah ta'ala, insyaallah umi yakin nak Fia tidak akan berani keluar dari jalur nak Fia sendiri sebagai seorang Hafizah. Allah akan jaga anak Fia sampai kapanpun jika nak Fia masih mendengarkan alarm yang selalu mengingatkan nak Fia, melalui hafalan Qur'an nak Fia".

Jawaban umi begitu membuat diriku semakin kuat dengan pendirian ku. Keraguan itu seakan hilang dan membuatku tidak takut lagi untuk melangkah menggapai cita-citaku yang tertunda.

Terima kasih ya Allah, aku semakin yakin jika ini adalah takdir yang telah Engkau siapkan untukku.

"Bismillah, dengan nama Allah, aku akan memulai semuanya.

Ya Allah tolong jaga dan bantu Fia untuk segala urusan yang ada di dunia ini. Aamiin".

...****************...

Itu adalah sekilas ingatanku tentang masa kecil sampai aku menyelesaikan hafalan quranku 30 juz dan berlanjut studi kedokteran sampai ke luar negeri (Jerman).

sebelum aku pergi meninggalkan kota ini dan kembali lagi ke Indonesia, aku ingin mengingat kembali saat awal perjalananku bekerja di rumah sakit Seoul Korea Selatan, di mana saat itu aku dipertemukan oleh seorang pemuda yang ingin memperkerjakan ku sebagai seorang dokter pribadi keluarganya.

Bagian 3

Memasuki musim semi di kota Seoul, semua terlihat begitu indah, dahan yang tadinya kering tanpa daun kini terlihat segar dengan daun baru yang berwarna-warni.

Udaranya sejuk, mentari terbit dengan cahayanya yang indah.

Suasana kotanya juga ramah, sangat mudah di temui para pejalan kaki di kota ini.

Ya, penduduk Korea memang ramah lingkungan.

Mereka lebih senang berjalan kaki apalagi di musim semi sepeti ini. Indah sekali.

Korea Selatan, siapa yang tidak mengenal negara satu ini.

Negara yang dijuluki sebagai negeri ginseng juga drama dan k-popnya yang mendunia.

Memiliki penduduk yang berwajah tampan dan indah, dengan kulit putih dan mata yang kecil, serta tinggi badan yang menjulang.

Sangat perfeck walaupun tidak semuanya asli DNA.

Negara ini banyak di minati oleh para kalangan muda karena drama nya yang romantis dan musik k pop nya yang mendunia.

Dan itu yang membuat minat banyak orang untuk berlibur di negara ini dengan banyak spot romantis di dalam nya.

Namun pada nyatanya, ada sisi buruk dari kehidupan di negara ini sendiri.

Kehidupan asli mereka tidak lah semuanya semanis dan seromantis dramanya.

Tercatat banyak sekali penduduk negara ini yang mengakhiri hidup mereka dengan bunuh diri.

Depresi karena beratnya tekanan kerja adalah salah satu penyebabnya.

Angka kelahiran di negara ini cukup sedikit di banding dengan angka kematian, keadaan itu sendiri membuat negara ini menjadi kekurangan penduduk atau minimum.

Maka berlakulah wamil atau wajib militer yang telah di tetapkan oleh pemerintahnya kepada para pemuda Korea Selatan yang usia mereka sudah di atas 25 tahun.

Ya, sudah satu Minggu aku bekerja di rumah sakit swasta milik seorang direktur ternama yang ada di kota ini.

Banyak sekali perbedaan saat aku mulai bekerja di sini.

Terutama perbedaan agama dengan para dokter ataupun perawat dan pekerja lainnya yang ada di rumah sakit ini.

Negara ini memang minim dengan penduduk muslimnya, bahkan hanya ada 0,1 persen dari jumlah penduduknya yang beragama muslim dan bermukim disini.

Kebanyakan mereka bukan lah warga asli, melainkan para transmigran yang berasal dari Asia Selatan.

Masya Allah, minim sekali ya, semoga selanjutnya akan banyak warganya yang mendapat hidayah nya Allah. Aamiin.

Hanya ada 3 dokter muslim yang ada di rumah sakit itu, dan itu adalah aku bersama dengan kedua teman ku. Dokter Mila juga dokter Angga.

Memang cukup sulit untuk ku berbaur dengan mereka yang tak seiman dengan ku.

Apalagi saat itu hanya aku dokter muslim yang berhijab.

Sepertinya, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi ku. Semoga Allah selalu melimpahkan kasih sayangnya kepada kami. Aamiin.

Menyesuaikan diri tinggal di negara yang mempunyai empat musim seperti Korea Selatan tidaklah mudah bagiku, baru satu hari tiba di kota Seoul saja aku sudah mengalami demam tinggi, flu dan batuk ketika memasuki akhir musim dingin.

Namun ini bukanlah yang pertama kali nya aku tinggal di luar negri.

Sebelumnya aku juga pernah tinggal di Jerman untuk menyelesaikan studi dokter bedah.

Jadi aku sudah ada pengalaman untuk tinggal di negri orang dengan suasana yang sangat berbeda dengan negri sendiri.

Siang itu adalah jam istirahatnya para pekerja rumah sakit, termasuk pula para dokternya.

Aku makan siang bersama dengan rekan dekatku yaitu dokter Mila, kami makan siang di kantin yang ada di rumah sakit itu dengan makanan yang telah kami bawa sendiri dari apartemen.

Sebagai seorang muslim, berhati hati dan menjaga makan di tempat yang kebanyakan non Muslim adalah hal yang sangat penting, meskipun di kantin itu tersedia makanan halal .

Aku sudah membiasakan hidup seperti ini sejak masih tinggal di Jerman.

Selaku membawa bekal makanan sendiri kemanapun aku pergi dengan olahan makanan yang aku buat sendiri.

Sampai aku benar benar menemukan restoran halal dengan para chef nya yang muslim.

Memasuki jam istirahat, seorang CEO muda yang tak lain adalah putra dari sang pemilik rumah sakit sedang berjalan menyusuri bagian rumah sakit bersama dengan satu asisten nya.

Langkahnya terlihat cepat, sang asisten juga memperhatikan ke sekelilingnya saat berjalan. Sedangkan laki laki yang seorang CEO itu berjalan dengan lagaknya seorang bos besar.

Wajah keduanya sama sama tampan, layaknya aktor drama ternama Korea yang lebih menonjol pada sang bos.

"Apa anda serius akan mengundang dokter itu ke rumah anda malam ini juga tuan?"

Pertanyaan itu tidak di jawab olehnya. Ia malah tiba tiba menghentikan langkahnya saat berada di hadapan kantin.

Kaca mata hitam yang menutupi kedua matanya seketika ia buka saat tatapannya tertuju pada seseorang.

Sang asisten pun mengikuti arah tatapan atasannya.

Dan dia tau siapa seseorang yang ada di sana.

"Dokter Fia". kata asisten nya yang tanpa sengaja berucap.

Laki laki yang memiliki nama lengkap Kim Kenny William itu pun menatap wajah asistennya.

"Apa dokter itu yang akan kau undang ke rumah mu nanti malam?"

"Iya".

"Aku ingin kau menemuinya dan beritahu padanya jika aku menunggunya di rumah ku nanti malam. Dokter yang memakai penutup di kepalanya itu".

"Tapi dia adalah dokter bedah. Bukan ahli psikologi. Apa kau tidak salah jika mengundangnya tuan. Bagaimana jika dia nanti melakukan pembedahan di rumah mu ?"

"Tuan Kenny, lebih baik kita cari dokter yang lain saja, aku akan mencarikan ahli psikologi yang handal untukmu".

"Coba kau pikirkan baik baik".

"Tidak perlu! Jika kau masih menginginkan pekerjaan mu, maka lakukanlah apa yang kukatakan. Jika tidak, biar aku yang melakukannya sendiri".

Kata tn Kenny dengan tegas sembari melangkahkan kaki kanannya.

Namun dengan sigap lelaki yang menjadi asisten nya itu pun mencegah langkahnya, karena ia tidak ingin kehilangan pekerjaan nya yang sekarang.

"Eits... tunggu dulu tuan Kenny. Tidak perlu terburu buru, biar aku saja yang melakukannya karena ini adalah tugas pribadi ku".

Wajah tampannya itu menguraikan senyuman tipis kepada asistennya.

Karena tidak ingin di kenali oleh banyak orang, tuan Kenny pun kembali memakai kaca mata hitamnya lalu duduk di salah satu bangku dan membelakangi mereka.

"Selamat siang dokter".

Saat itu aku dan Mila sedang asyik memakan hidangan makan siang kami. Kami saling bertatap wajah ketika mendengar seseorang yang menyapa kami dengan tiba tiba.

"Siang pak".

Lelaki itu tersenyum kepada kami berdua.

Pakaiannya sangat rapi, layaknya sebagai asisten pribadi dengan jas hitam juga kemeja putihnya.

"Maaf saya mengganggu waktunya sebentar. Busa kah saya bicara dengan dokter Fia".

Mila menyenggol bahuku saat mendengar namaku di sebut oleh orang itu.

"Iya, saya sendiri". kata ku yang menunjukkan diri ku sendiri.

"Em... dokter Fia, seseorang mengundang anda untuk datang kerumahnya nanti malam".

Perasaan aku masih satu Minggu berada di sini dan aku belum mengenal betul orang orang di sini kecuali rekan kerja ku.

Apakah yang di maksud oleh orang ini adalah salah satu dari mereka.

"Seseorang? Siapa?"

"Namanya tuan Kenny". jawab orang itu.

Tuan Kenny? sepertinya pekerja di rumah sakit ini tidak ada yang bernama Kenny, apalagi di panggil dengan sebutan tuan.

Aku rasa orang ini salah ngomong.

"Maaf pak sepertinya anda salah orang".

"Saya tidak pernah mengenal orang yang tadi anda sebutkan namanya".

"Tapi tuan Kenny mengenal anda dan dia meminta anda untuk menemuinya nanti malam".

Aneh tapi nyata, sepertinya itu adalah ungkapan yang pas untuk orang ini.

Aku bingung, sejak kapan ya aku bertemu dengan tuan Kenny yang dia maksud.

Lalu apa maksudnya sampai dia mengundang ku untuk datang di rumahnya nanti malam?

Apa dia adalah salah satu pasien ku?

"Apa anda bisa memberi tahu saya siapa dia sebenarnya?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!