2020 - Kota Dolphin
"Kalian kami jodohkan.."
"Ini wasiat dari mendiang Kakek dan Nenek kalian,"
Ayah Chandra, Albert menyodorkan sebuah kotak usang pada Chandra. Kotak itu berisikan surat yang sudah lusuh.
...'Anak-anakku, sedikit menyesal karena kalian tidak bisa terikat dalam pernikahan. Tapi Ibu dan Bibi Diana berharap, kalian bisa meneruskan apa yang menjadi cita-cita kami. Nikahkan lah cucu kami..'...
Albert mulai panjang lebar menjelaskan.
"Papa dan Om Heka ini sudah berteman bahkan sejak masih dalam kandungan. Kakek kalian dulu teman seperjuangan, dan kebetulan Nenek kalian juga sama-sama mengandung,"
"Nenek kamu dulu diprediksi akan melahirkan bayi perempuan. Mereka sudah sangat senang karena akhirnya perjodohan yang mereka harapkan dengan sahabat nya akan terjadi. Namun ternyata lahirlah Papa.."
"Perjodohan yang mereka rencanakan hancur. Namun hal itu tidak menghancurkan hubungan antar dua keluarga itu.."
"Iya, buktinya Om dan Papamu berteman dengan baik sampai sekarang.." sahut Heka, Ayah Margareth.
Semuanya tertawa bahagia seolah perjodohan itu adalah hal yang remeh dan dapat dilakukan begitu saja.
Rosa, Ibu Chandra memegang tangan Margareth.
Chandra adalah laki-laki yang dingin dan jarang tersenyum. Tapi Rosa menyadari bahwa putranya itu sering tersenyum di sekitar Margareth.
Dia berpikir bahwa mereka berdua memang sudah ditakdirkan untuk bersama.
"Cepat tumbuh dewasa dan jadilah menantu tante.." ucapnya dengan senyum hangat diwajahnya.
Chandra mengerutkan keningnya. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang-orang dewasa di hadapan nya itu.
Kemudian menatap Margareth yang masih duduk tenang dengan senyum cerah di wajahnya.
'Dengan bocah ini? dan itu harus dia?' batin Chandra tak terima.
Dia tidak bisa. Dia telah menganggap Margareth seperti saudara perempuannya sendiri. Apalagi dia sendiri juga sudah memiliki kekasih.
"Chandra gak bisa, maaf.." ujarnya lalu beranjak dari duduknya dan hendak pergi begitu saja.
"Chanda! berhenti! mau kemana kamu!?" teriak Albert.
"Chandra!"
Dia tidak menghentikan langkahnya. Dia merasa kesal dengan tujuan sebenarnya dari pertemuan keluarga hari itu.
Hikss~
Dan suara isakan itu berhasil menghentikan langkahnya. Untuk pertama kalinya Margareth menangis, terlebih dihadapan orang lain.
"Apa Kak Chan membenciku?" ujar Margareth di sela isak tangisnya.
"Mengapa Kak Chan tidak ingin menikah denganku?"
"Astaga, tidak sayang. Kak Chan hanya lelah dan ingin istirahat," ujar Rosa mencoba menenangkan Margareth.
Albert merasa malu dengan keluarga sahabatnya, Heka. Dia memijat pangkal hidungnya, kemudian menghela napas panjang dan beranjak dari duduknya.
plak!
Di depan keluarga sahabatnya itu, dia menampar anak semata wayangnya.
"Papa tidak pernah mengajarkan mu bersikap tidak sopan seperti itu!" bentaknya.
Wajar saja kalau anak laki-laki 18 tahun itu tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia masih remaja, dan terlalu dini baginya untuk membicarakan pernikahan.
"Aku masih 18 tahun, Pa!"
"Setengah tahun lagi aku sudah lulus. Tapi pikiran Margaret. Dia masih 15 tahun, masih butuh 3 tahun lagi untuk dia menginjak usia dewasa!" tegas Chandra dengan alasan masuk akal yang dia buat.
Chandra mengalihkan pandangannya dan kini menatap Heka.
"Maaf kalau ucapan Chandra lancang, Om.." ucapnya pada Heka.
"Tapi ini terlalu dini bagi kami untuk membicarakan pernikahan," lanjutnya.
"Kami tidak menyuruh kalian untuk menikah saat ini juga. Kami juga tau kalo kalian masih muda. Tapi setidaknya kalian harus bertunangan untuk meresmikan hubungan kalian. Biar Kakek dan Nenekmu juga tenang di alam sana. Setiap malam mereka selalu menghampiri mimpi Papa!"
Albert langsung ambruk ke sofa setelah mengatakan itu semua.
"Sudahlah, Al. Beri dia sedikit waktu.." ucap Heka menenangkan sahabatnya.
Suasana menjadi hening dalam seketika. Para Ibu juga tidak bisa berbuat apapun. Rosa dan Vivian hanya bisa diam dan menunduk.
Sedangkan Margareth, dia juga tertunduk dalam duduknya. Gadis kecil itu, dia menyukai Chandra karena kelembutannya.
Dalam pikiran polosnya dia mengira Chandra menyayangi nya. Iya, benar Chandra menyayanginya. Tapi bukan dalam artian yang dia pikirkan. Dia hanya menyayangi Margareth sebagai Kakak. Bukan lebih dari itu seperti yang Margareth pikirkan.
"Baik. Kami akan bertunangan. Tapi setelah Margareth menginjak usia dewasa," tegas Chandra kemudian pergi dari tempat itu.
Mendengar hal itu tentu saja kedua keluarga sangatlah senang.
Tapi tidak bagi Margareth. Dia rasa Chandra mulai membencinya.
...****************...
Tiga hari kemudian setelah hari itu.
Margareth tidak sengaja bertemu dengan Chandra yang baru selesai latihan basket bersama teman-temannya.
"Kak Chan!" Margareth berteriak memanggilnya.
Namun bukan Chandra yang menoleh, melainkan teman-temannya. Dia sengaja tak menggubris Margareth. Dia meraih tasnya dan pergi.
"Dra, di cariin bocil tuh.." ujar teman-temannya.
"Biarin aja. Gue cabut dulu ya.." pamit Chandra pada teman-temannya.
Chandra menaiki motornya dan pergi. Margareth menggertak kan giginya geram, lalu berlari berlawanan arah untuk menghalang Chandra yang sudah melajukan motornya.
"Kak Chan! berhenti!"
Dia berlari sekuat tenaga. Meskipun dia sendiri sadar, dengan tubuhnya yang gemuk itu mustahil baginya untuk bisa menyusul Chandra dan menghentikannya. Namun dia tak menyerah.
"Berhenti!"
Dia berhasil menghadang, namun..
Sepertinya itu sedikit membahayakan dirinya sendiri. Pasalnya kecepatan motor Chandra semakin meningkat dan dengan mendadak Margareth menghadangnya.
Margareth memejamkan matanya. Apapun yang terjadi dia tidak akan menyingkir.
ckiitt~
Chandra menarik remnya dengan kuat dan berhenti tepat didepan Margareth. Jarak ban motornya dengan kaki Margareth hanya tinggal sejengkal. Jika dia benar-benar kehilangan akalnya dan tidak menghentikan motornya tepat waktu, mungkin gadis cilik itu sudah celaka.
"Apa kamu sudah gila!?" bentak Chandra.
Dia turun dari motornya dan mencengkeram bahu Margareth. Gadis yang hanya setinggi perutnya itu mendongak menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan pernah lagi memancing ku dengan air mata bodoh mu itu! aku tidak akan terpengaruh!" ujarnya sambil mengguncang tubuh Margareth.
"Aku tidak pernah menangis, dan Kakak bilang tidak apa sesekali untuk menangis.." lirih Margareth.
Tubuhnya masih gemetar. Sebenarnya dia juga takut, takut kalau Chandra benar-benar akan melukainya.
"Tidak, sekarang ku tarik lagi ucapan ku. Aku benci melihatmu menangis!" ucapnya ketus.
"Dan juga, seharusnya hari itu kau tidak perlu menangis. Kau tau apa yang telah ku dapatkan setelah kau menangis di hadapan semua orang?"
"Jangan pernah merengek lagi di hadapan mereka, atau aku akan benar-benar membunuh mu!"
"Selamanya aku tidak akan sudi dinikahkan dengan bocah sepertimu. Kalaupun hal itu sampai terjadi, kau tidak akan pernah bahagia, aku akan membuatmu sengsara dan menyesal telah menikah denganku. Aku akan menjamin hal itu!"
"Jangan pernah muncul lagi di hadapanku!"
Chandra menghempas tubuh Margareth. Entah kekuatan sebesar apa yang dia gunakan hingga membuat Margareth tersungkur dan sebuah luka tercipta di ibu jarinya.
broomm~
Tega hati Chandra meninggalkan Margareth begitu saja, melewati dirinya yang masih tersungkur dengan motornya. Margareth menatap sosok Chandra yang semakin menjauh dan menghilang.
"Jika motor bisa membuat ku lebih berani, aku akan mencoba berteman dengannya,"
"Aku akan belajar. Aku akan lebih hebat dari Kak Chan. Dan aku akan membalasnya. Kalau aku tidak bisa menginjak jempol kakinya dengan ban motorku, jangan sebut aku Margareth!"
"Tunggu sampai aku tumbuh besar dan bisa menginjak perseneling!" teriaknya.
Seminggu berlalu, kabar Keluarga Nugraha akan pindah ke New York pun terdengar di telinga Margareth.
Tapi dia tidak ingin pergi untuk melihatnya. Dia rasa itu keputusan yang tepat untuk tidak muncul di hadapannya.
Margareth berharap dia segera tumbuh menjadi gadis cantik yang diincar banyak lelaki. Agar dia bisa dengan mudah melupakan Chandra.
Dia mencubit perut buncitnya. "Babi gulung, ayo diet dan buat perubahan besar!"
6 bulan kemudian..
plak!
"Makanya Chandra tidak mau menikahi mu!"
"Siapa yang ingin menikah dengan gadis bodoh!?"
Sebuah tamparan mendarat di pipi Margareth. Bukan hanya satu tamparan, tapi dua.
Heka seperti orang kerasukan saat mendengar kabar putrinya yang tidak lolos tes masuk SMA yang telah dia atur untuknya.
Sudut bibir Margareth mengeluarkan darah. Bibirnya tidak sengaja tergigit saat tamparan keras itu mendarat di wajahnya.
Tapi itu bukan pertama kalinya dia mendapat tamparan. Sejak Chandra yang sempat menentang perjodohan, Heka mulai bersikap keras padanya.
Dia menyalahkan dirinya sendiri karena selama ini telah memanjakan putri semata wayangnya itu. Hingga dia tumbuh menjadi gadis yang ceroboh dan sering merepotkan orang disekitarnya.
Dia pikir Chandra menolak karena putrinya yang sering merepotkan nya. Karena itulah dia menolak perjodohan itu. Entah bagaimana bisa pebisnis itu memiliki pemikiran yang sesempit itu.
"Papa sudah biayai semua kebutuhan mu, tinggal kamu menuruti permintaan Papa aja apa susahnya!?"
"Papa sudah menyuruhmu untuk mempersiapkan ujian masuk ke SMA Angkasa, tapi apa hasilnya? apa kamu sengaja bermain-main?"
"Jawab Papa!" bentak Heka.
Margareth mendongakkan kepalanya dan menatap Ibunya, Vivian. Dia selalu diam saat Heka memarahi Margareth. Tidak pernah sekalipun dia membela putrinya ataupun menghentikan perbuatan suaminya.
"Kenapa Mama selalu diam saat Papa memukulku?"
Dia tidak menjawab Heka dan malah menarik Vivian untuk terlibat.
"Apa Mama tidak merasa sakit hati anak yang sudah susah payah Mama lahirkan di sakiti, meskipun itu suami Mama sendiri?"
Vivian yang sedari tadi menundukkan kepala kini mengangkat kepalanya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Lihat, hasil dari didikan mu itu! dia berani berkata seperti itu!" bentak Heka pada Vivian.
Margareth menyeringai. Kini dia tahu mengapa Ibunya selalu diam saat Margareth di marahi. Dia tidak ingin di salahkan. Dia tidak ingin keluarga nya hancur, dia lebih memilih suaminya. Margareth tidak bisa menyalahkannya jika itu demi keutuhan keluarga.
'Tapi bagaimana denganku?' batin Margareth.
'Tidak ada yang membelaku. Aku benci Kak Chan! dia marah padaku karena Ayahnya memarahi nya. Tapi apakah dia tau apa yang ku alami setelah dia memberontak saat itu?'
'Dia sangat egois! aku membencinya!'
Margareth yang tidak pernah menangis ketika dipukul, saat ini dia menangis. Bukan karena rasa sakit di pipi atau di bibirnya. Tapi rasa sakit di hatinya.
Masih dengan seragam sekolah nya dia berlari keluar rumah.
"Margareth! mau kemana kamu, berhenti!" teriak Heka.
Namun Margareth tak menghiraukan dan terus melajukan langkahnya. Dia sempat jatuh dan sebelah pantofel nya terlepas. Tetap saja hal itu tidak menghentikan niatnya untuk kabur.
Beberapa pengawal di belakang sana mengejarnya. Masih jauh untuk menuju gerbang utama dari mansion itu.
Dia melepas pantofel yang tinggal sebelah dia pakai karena sangat menghambat kecepatannya. Setelah akhirnya dia bisa lolos dari gerbang utama, dia berlari ke jalan raya. Namun..
brak~
Seorang pengendara motor berhasil menghindar dengan menabrakkan diri ke trotoar. Tapi sudah terlanjur dia menyerempet Margareth hingga tersungkur.
Dengan rasa tanggung jawab pengendara itu menghampiri Margareth.
"Dek, apa kamu baik-baik saja?"
Kepalanya terasa berat. Margareth tidak bisa membuka matanya. Tapi mengingat dia masih di dekat mansion dan penjaga masih mengejarnya, dia bangun dan membuka matanya.
"Tolong bawa aku pergi dari sini," ucapnya pada laki-laki yang menyerempetnya.
Laki-laki itupun bingung harus berbuat apa. Margareth menggenggam tangannya dan terus memohon.
Akhirnya dengan terpaksa laki-laki itu membawa Margareth pergi dengan motornya.
Gelap yang pertama kali dia lihat saat membuka mata. Hanya ada satu lampu kuning yang menyala.
Margareth sedang berbaring di atas matras saat ini. Dia mengedarkan pandangannya mencari sosok yang membawanya ke tempat itu.
"Hei adik kecil, apa kau sudah sadar?"
Di belakang sana, suara itu muncul dari belakang sana. Dengan menyangga kepalanya yang berat dia beranjak dari tidurnya dan menoleh kebelakang.
Dia menatap satu-persatu wajah-wajah orang asing itu.
'Apa aku diculik?' batinnya.
Bagaimana pemikiran itu bisa muncul di kepalanya kalau wajah-wajah mereka tidak seram. Tentu saja wajah anak-anak itu sangat seram dan sangar. Pakaiannya juga seperti preman.
"Sini, ayo makan bersama," ujar seorang perempuan.
Ada dua perempuan dan empat laki-laki. Margareth mengingat wajah dari salah satu laki-laki itu, orang yang menyerempetnya tadi.
"Apa kakimu baik-baik saja? apa kau bisa berjalan?" tanya laki-laki yang menyerempetnya.
Margareth hanya mengangguk, kemudian berjalan ke arah mereka. Empat kotak pizza dan sekantung soda kaleng sedang mereka kelilingi.
Margareth mengusap perutnya yang mulai keroncong. Jika diingat lagi, tadi pagi dia belum sempat sarapan. Makan siang juga terlewatkan.
"Pfft~ aku bisa mendengar suara perutmu dari sini. Duduklah dan makan sepuas mu.."
Margareth hanya menatap laki-laki yang baru saja berbicara itu.
"Aku Margareth.." ucap Margareth yang tentu saja membuat mereka semua bingung.
"Aku tidak bisa menerima makanan dari orang yang tidak di kenal. Jadi, mari kita berkenalan," lanjutnya.
Mereka semua saling menatap, lalu tertawa secara bersamaan.
"Kau lucu sekali. Baiklah. Aku Helmi," ujar laki-laki yang tadi menyerempetnya.
"Aku Farhan,"
"Dion,"
"Gladis,"
"Julian,"
"Sania,"
Satu persatu dari mereka mulai memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama. Margareth tersenyum puas kemudian mulai mengambil tempat dan duduk di samping Helmi.
Dia masih kurang nyaman dengan anak-anak yang lain selain Helmi. Entah mengapa, mungkin karena Helmi yang membawanya.
"Kalian yang lucu," gumamnya.
Tanpa sungkan lagi Margareth mulai mengambil potongan besar pizza dan melahapnya.
"Kalian terlihat seperti anak SMA. Apakah aku benar?" tanya Margareth setelah meneguk soda nya.
"Kau bicara sangat santai, apa kau tidak takut dengan kami?" sahut Julian.
Margareth melirik tindik di telinga kiri Julian, lalu segera menunduk saat Julian menatapnya.
"Aku, Gladis, Dion, dan Farhan bulan depan naik ke kelas 3," ujar Sania.
"Aku dan Helmi baru wisuda dari SMA kemarin," sahut Julian.
"Kau? aku baru sadar kalau baju yang kau pakai seragam SMP," tanya Gladis.
Margareth menatap seragamnya yang sudah lusuh itu. "Bulan depan masuk SMA," jawabnya singkat.
"Mau masuk SMA tapi masih cebol.." sahut Dion seraya membuka kaleng soda.
"Aku masih dalam proses pertumbuhan, aku masih bisa tumbuh lebih tinggi lagi.." gumam Margareth sambil memakan pizza nya seperti anak kecil.
"Lihat, cara makan mu aja masih kayak bocil.."
"Kau yang seperti orang tua.."
Mereka berdua mulai beradu mulut. Dengan sifat Dion yang suka bercanda itu dia pasti tidak punya maksud jahat padanya.
"Diam kau mulut boros!" ujar Sania sambil memasukkan pizza ke mulut Dion.
Margareth tertawa kecil. Dia mulai merasa nyaman dengan anak-anak itu. Percakapan mereka pun kini lebih mendalam.
Anak-anak yang berkumpul bersamanya disana, semuanya adalah anak broken home. Mereka semua dari keluarga yang kurang harmonis, keluarga yang usahanya bangkrut kemudian berpecah bela.
Gladis menceritakan tentang awal mereka bertemu satu sama lain dan akhirnya menjadi satu. Lalu membentuk Geng motornya dan juga mengikuti komunitas balapan liar.
Geng Shinee adalah nama dari Geng ini. Dan Geng ini di ketuai oleh Helmi.
Setelah Margareth mendengar cerita itu, dia menoleh ke sisi kanannya, dimana motor balap berjejeran. Dia baru menyadari keberadaan motor yang berjejer itu. Entah apa yang sedari tadi dia lihat hingga tidak memperhatikan benda besar itu.
Satu yang membuat Margareth masih penasaran. Helmi. Dari semua cerita yang dia dengar tadi, tidak ada satupun yang membahas tentang Helmi.
Diam-diam Margareth melirik Helmi. Namun sialnya Helmi menyadarinya, dia menatap balik Margareth sambil tersenyum tipis.
"Ehemm~" Margareth berdehem pelan, lalu memalingkan wajah.
"Apa aku bisa seperti kalian?" gumam Margareth.
"Tidak boleh!" ucap Helmi dan Dion bersamaan.
"Aku pernah bersumpah kalau aku harus bisa mengendarai motor untuk membalas dendam.." Margareth menggumam sambil menundukkan kepalanya.
"Hei bocah, kau masih sangat kecil.." ujar Dion.
"Ditambal lagi dengan tubuhmu yang seperti ikan buntal dan kakimu yang pendek itu. Bisa-bisa motornya yang menaiki mu, bukan kau yang menaikinya.." lanjut Dion dengan tawa puasnya.
Margareth menghentikan tangannya yang hendak memasukkan pizza ke mulutnya. Dia menatap Dion dengan tajam, begitupun juga dengan Dion.
Namun tiba-tiba tatapannya menjadi sayu, bibirnya mulai bergetar. Kemudian butiran bening mulai menuruni pipinya.
Margareth menangis.
"Hei bocah, aku hanya bercanda.."
Dion mulai panik, begitupun juga dengan anak-anak yang lain. Helmi mencoba menenangkannya, namun percuma karena tangisnya semakin keras.
"Hel, lebih baik anterin pulang aja tuh anak," pinta Sania pada Helmi.
"Nggak mau, aku mau sama kalian. Aku gak mau pulang!" tegas Margareth yang tiba-tiba langsung berhenti menangis.
"Ini udah jam 7 bocah, orang tua lu pasti nyariin. Kita bisa dalam masalah besar kalo mereka tau elu sama kita!" tegas Gladis.
"Tapi Papa pasti akan memukuli ku lagi kalau aku pulang,"
Semua orang terdiam. Mereka sempat menyalahkan Helmi saat dia membawa Margareth ke markas. Mereka kira Helmi telah mencelakainya, karena ada bekas luka di sudut bibir Margareth juga pipinya yang terlihat biru. Di tambah lagi bajunya yang acak-acakan juga tanpa mengenakan alas kaki.
Namun ternyata..
Kini mereka tahu alasannya. Gladis mengacak-acak rambut Margareth. Diikuti dengan Sania yang mengusap pelan pundaknya.
"Untuk saat ini kau harus pulang. Mulai sekarang kita adalah teman. Kau tidak ingin temanmu terkena masalah kan?" ujar Farhan.
"Kalau kau kesulitan, kau bisa datang ke markas kami," lanjutnya.
plak~
Julian memukul pundak Farhan dengan cukup keras. "Tumben banget lu bijak," ujarnya.
"Kita teman?" gumam Margareth.
"Berarti aku bisa naik motor seperti kalian?" lanjutnya dengan wajah berseri.
"Tidak!" jawab mereka berenam secara serempak.
...----------------...
Helmi mengantar Margareth pulang. Tapi tidak sampai depan gerbang mansion Hekamartha. Margareth tidak ingin identitas nya diketahui. Jadi dia bilang kalau rumahnya ada di dekat jalan saat dia terserempet motor Helmi.
Setelah Helmi pergi dan tak terlihat, Margareth berlari menuju jalan ke mansion nya. Hari itu dia lolos. Dua bulan itu orang tuanya pergi ke luar negeri.
Beberapa bulan telah berjalan, dia sudah masuk ke sekolah biasa yang dia inginkan. Hubungan nya dengan Geng Shinee juga menjadi semakin erat. Hingga izin untuk belajar motor pun dia dapatkan dari enam anak itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!