Kring ... Kring ... Kring
Suara alarm begitu nyaring memenuhi kamar yang bernuansa ungu muda ini.
Dibalik selimut tebal tampak seorang gadis yang masih bergelung, tampaknya ia terganggu dengan suara alarm yang kencang itu, tapi rasa kantuk masih membuatnya enggan untuk bangun.
Tak lama kemudian masuklah seorang wanita paruh baya, yang masih terlihat cukup cantik diusianya yang tak lagi muda.
Ia menatap ke arah tempat tidur dan alarm yang masih berteriak kencang meminta untuk dimatikan.
Ia berjalan perlahan ke arah tempat tidur, meraih alarm dan mematikannya.
"Intan ... Intan ... Bangun sayang ini sudah pagi".
Ucap wanita paruh baya itu yang tak lain adalah Ibu Intan.
Ia berusaha membangunkan putri sulungnya itu yang terlihat tak bergeming sama sekali, ketika alarm berbunyi begitu nyaring dari tadi.
Sedangkan, gadis yang dibangunkan hanya menggeliat dibalik selimut tebalnya, seperti tidak ingin tidurnya diganggu sama sekali.
"Intan, ini hari pertama Orientasi sekolah kamu loh. Ayah kan juga lagi dinas ke luar kota, kamu nanti telat sayang".
Ibu Intan, masih berusaha untuk membangunkan putrinya itu. Kini tangannya juga berusaha mengguncang pelan tubuh Intan.
Mendengar ucapan ibunya, Intan seperti teringat akan hal penting yang dilupakannya. Padahal karna hal tersebut juga lah semalam ia tak dapat tidur dan malah kesingan hari ini.
Sebelumnya Intan, baru bisa tertidur setelah menunaikam sholat shubuh.
Ia pun, langsung bangun dengan mata terbelalak kaget. Ia menatap ibunya sekilas, dan melirik jam diatas nakas. Alangkah terkejutnya dia, ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi.
Memang bagi sebagian orang jam segitu masih terlalu pagi untuk terburu-buru. Tapi, kenyataanya adalah orientasi disekolah barunya ini diadakan jam 06.30 pagi dan perjalanan dari rumah ke sekolahnya perlu waktu sekitar 30 menit. Jika, ia tak bergegas maka ia akan terlambat.
Intan segera berlari ke kamar mandi, meninggalkan ibunya yang menatapnya bingung sambil menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
Walaupun Intan adalah anak sulung, tapi sifanya yang manja tak dapat dihilangkan.
Ia membereskan kamar putrinya dan menyiapkan seragam untuk dikenakan Intan, setelah itu ia kembali berjalan ke arah dapur untuk melanjutkan aktivitas memasak yang sempat tertunda.
.
.
15 menit kemudian, Intan sudah keluar dari kamar mandi dan bergegas bersiap. Ia melihat seragam yang sudah disiapkan oleh ibunya, ia tersenyum kecut.
"Makasih Bunda, maaf juga Intan masih saja merepotkan" Gumam Intan pelan.
Ia merasa selalu saja masih merepotkan orang tuanya. Sebenarnya ia juga ingin mandiri, tapi ketika melihat orang tuanya sikap manjanya seperti tak ingin menghilang. Ia sendiri juga bingung dengan kenyataan itu.
Setelah siap menggunakan seragam merah-putihnya dengan rambut dikepang dua sebagai ketentuan penampilan yang harus ia dan murid lain lakukan selama masa orientasi sekolah ini.
Intan segera turun menuju dapur dengan tergesa-gesa mencari bundanya.
Disana bundanya sudah menyiapkan sarapan pagi dan dimeja makan juga sudah duduk seorang anak lelaki usia 10 tahun sedang menikmati sarapannya.
"Dasar pemalas, masih aja kesiangan. Uda gedhe tapi kelakuan kayak bocah" Sindir Dika adik dari Intan. Ia, menatap kakak perempuannya sinis.
"Apa'an sih bocah ngikut aja" balas Intan tak kalah sinis. Kemudian, mereka saling melemparkan tatapan permusuhan.
"Sudah-sudah, kalian ini ya gak pernah akur kalau barengan. Tapi, kalau gak ada salah satu pasti nyariin".
Lerai Ibu agar perdebatan kedua anaknya ini bisa berakhir. Tiap hari kalau ketemu mereka tak pernah akur, tapi ibu juga tau kalau sebenarnya mereka saling menyayangi. Terbukti jika salah satu dari mereka tidak ada atau sakit, maka anaknya itu akan mencari dan saling mencemaskan.
"Bunda, Intan langsung berangkat aja ya. Gak keburu, takut telat".
Kata Intan, ia berjalan mendekat ke arah ibunya, menyalami tangannya dan mencium pipinya sekilas untuk berpamitan.
"Gak makan dulu sayang? Hari ini kamu pasti bakal capek" kata ibunya mengingatkan.
"Tapi gak keburu Bunda. Nanti aja waktu istirahat, Intan pasti bakal makan kok" ucap Intan dan mulai berlari keluar rumah dan melambaikan tangan ke arah ibunya.
"Assalamu'alaikum ... Intan berangkat" teriak Intan yang sudah hendak keluar dari rumah.
"Wa'alaikum salam, hati-hati".
Ibu yang melihat kepergian putrinya tanpa sarapan, sedikit mencemaskan putrinya itu. Apalagi ia tahu, putrinya itu ada sakit maag. Ia hanya berharap, semoga putrinya tak apa-apa.
"Dasar pemalas, ya gitu bangun kesiangan terus gak sempet makan terus sakit, ngerepotin aja" Gumam Dika melihat kepergian kakanya.
Ibu yang mendengar itu hanya tersenyum, ia tahu maksud dari kata-kata putra bungusnya itu tak lain karna ia mencemaskan kakaknya.
"Uda, kamu juga cepat habiskan sarapannya, nanti kamu juga terlambat" Ucap ibu lembut yang diangguki oleh Dika.
-----------------
Intan berlari keluar dari kompleks rumahnya dengan tergesa-gesa. Ia takut ketinggalan bus yang akan mengantarkannya ke sekolah.
Ia, melirik jam dipergelangan tangannya sudah hampir jam 6, ia sangat terkejut dan mempercepat larinya.
Jarak antar rumah ke halte bus depan komplekya hanya perlu waktu 10 menit jika berjalan santai, tapi kini bukan saatnya untuk berjalan santai.
Apalagi, dia melihat bus yang akan mengangkutnya akan segera melaju, ia segera bergegas dan berteriak untuk menghentikan busnya. Untung saja, pak sopir masih berbaik hati untuk menunggunya.
Karna hari ini adalah hari senin, di bus sudah penuh dan Intan tak kebagian tempat duduk. Ia pun harus rela berdiri disepanjang perjalanan. Ia merasa hari ini sangat sial.
.
.
Kurang lebih 30 menit perjalanan. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 06.30 , Intan sangat panik. Ia, sudah terlambat.
Setelah turun dari Bus, ia segera berlari menuju sekolahnya. Dan lagi-lagi ia harus berlari, jarak halte bus dengan sekolahnya kurang lebih sama dengan jarak rumahnya ke halte.
Intan berlari sekuat tenaganya. Ia melihat gerbang sudah ditutup, wajar memang karna ia sudah telat 5 menit.
Sesampainya di gerbang ia berteriak ke arah pak satpam yang menjaga untuk membukakan gerbang untuknya.
"Pak Satpam, bisa minta tolong untuk membukakan gerbangnya?" pinta Intan memelas memandang pria paruh baya yang terlihat sedikit menyeramkan itu.
"Maaf Nak, tidak bisa. Kamu sudah telat 5 menit. Peraturan di sekolah ini, jika pintu gerbang sudah ditutup maka tidak boleh masuk" Ucap pak satpam tegas.
Intan syok, mendengarnya. Bagaimana ia bisa gak masuk di hari pertamanya, ia panik bukan main.
"Ayolah pak, satu kali ini saja yaa. Ini hari pertama saya masuk sekolah loh pak. Masa saya tidak boleh masuk?" ucap Intan memelas dengan mata berkaca-kaca, ia sudah hampir menangis.
"Maaf Nak, tidak bisa. Sekali tidak bisa maka tidak bisa. Tidak ada toleransi" ucap tegas pak satpam dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.
Mendengar itu, Intan sudah merasa sangat lemas. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Masa di hari Pertama gak masuk, ia memandang sekolah barunya itu dengan perasaan sedih. Ia pun menunduk lesu.
.
.
.
Bersambung..
Intan, hendak melangkah pergi meninggalkan sekolahnya itu. Tiba-tiba dari balik pagar ia mendengar suara lelaki yang bertanya pada pak satpam.
"Ada apa ini Pak?" tanya lelaki itu. Intan, tak dapat melihat wajah lelaki itu karna posisinya membelakangi Intan, tapi melihat dari seragam putih biru yang digunakan lelaki itu, ia tahu dia pasti kakak kelasnya.
"Ini loh Mas ada siswi baru, telat 5 menit dan maksa buat masuk" lapor pak satpam itu.
Mendengar itu, Intan ingin mencoba peruntungannya kembali dengan memohon untuk masuk ke sekolah dibantu kakak kelas itu.
"Kak, saya salah ... Maaf saya terlambat ... Tapi, saya janji ini akan jadi kali pertama dan terakhir. Kedepannya saya tidak akan terlambat lagi, izinkan hari ini saja saya untuk masuk ... Ini hari pertama saya Kak" ucap Intan memelas, ia masih menunduk, ia takut untuk mendengar jawaban dari kakak kelasnya itu. Ia terlalu takut untuk ditolak atau dimarahi lagi.
Lama Intan terdiam, tapi ia belum mendengar jawaban dari kakak kelasnya itu. Ia bingung, tapi ia juga tak berani untuk berucap dan mendongakkan kepalanya.
Krieettt ...
Tiba-tiba gerbang tinggi sekolah itu terbuka disusul suara berat kakak kelasnya itu.
"Baik, masuklah. Hari ini aku memberikan mu keringanan tapi tidak untuk kedepannya" ucap laki-laki itu tegas.
Intan pun mengangguk senang dan bergegas masuk, sebelum kakak kelasnya itu berubah pikiran.
"Makasih kak, makasih ... Saya janji, pokoknya ini yang terakhir saya telat" ucap Intan yakin, sembari mengangkat jarinya membentuk huruf V bersamaan dengan itu untuk pertama kalinya ia melihat dengan jelas wajah kakak kelasnya itu.
Seorang laki-laki tinggi dengan rambut hitam yang terpotong rapi. Tidak terlalu tampan memang, tapi wajahnya terlihat manis dan tidak membosankan untuk dipandang. Ia memandang wajah kakak kelasnya itu cukup lama, mata mereka pun bertemu.
Deg ... Deg ... Deg
Samar-samar, tiba-tiba jantung Intan berdegup lebih kencang, ia juga merasa gugup saat bertatapan dengan kakak kelasnya itu.
Kenapa dengan jantungku?
"Mas, apa gak apa-apa membiarkannya masuk, ini kan melanggar peraturan?" tanya pak satpam mengingatkan. Ucapan pak satpam itu, sekaligus membangunkan lamunan Intan.
"Tidak apa-apa Pak, saya yang akan tanggung jawab kali ini. Hanya untuk kali ini saja kok" Ucapnya sembari tersenyum ramah, senyum yang sangat manis dimata Intan.
"Saya janji ini yang terakhir kok Pak" kata Intan menyela, ia menatap pak satpam dan kakak kelasnya itu dengan yakin bergantian.
Akhirnya, pak satpam pun membiarkan Intan lolos untuk kali ini.
"Makasih kak, saya janji gak akan ngulangin ini lagi. kalau begitu saya permisi dulu" ucap Intan setelah tersenyum tulus kepada kakak kelas yang telah menolongnya itu. Ia teringat bahwa ia sudah terlambat dan harus bergegas untuk masuk ke kelasnya.
Saat ia berbalik dan hendak berlari pergi, tiba-tiba tas ranselnya ditarik dari belakang sampai ia tak dapat bergerak.
Intan pun menoleh untuk melihat siapa yang menghentikannya dan kakak kelas yang telah membantunya itu kini tengah memegang tas ranselnya.
"Eh, kenapa kak? Saya kan buru-buru mau masuk kelas?" tanya Intan bingung.
"Kamu mau kemana? Kan saya belom kasih hukuman buat kamu yang terlambat" ucap kakak kelasnya itu dengan senyum misterius.
Intan sudah merasa aneh dengan senyum itu. Perasaan lega dan bahagia beberapa saat lalu, membanyangkan dia diampuni dan bisa masuk kelas dengan lancar walaupun sedikit terlambat, menguap begitu saja. Ia menghembuskan nafasnya kasar. sepertinya hari sial itu masih berlanjut, gerutunya dalam hati.
"Ikut saya" ucap kakak kelas itu, sembari berjalan di depan Intan yang masih terlihat bingung.
Tapi, ia tetap mengikuti lelaki didepannya itu dengan perasan dongkol sekaligus penasaran, kira-kira hukuman apa yg menantinya setelah ini.
Intan mengikuti langkah laki-laki itu terus, sampai dilapangan utama yang sangat luas dan besar. Disana, tengah ada beberapa kakak kelas yang menyiapkan upacara pembukaan untuk masa orientasi. Intan menatap kagum bangunan didepannya saat ini. Tempat ini akan menjadi tempat ia melalui masa-masa remaja awalnya. Intan tersenyum sekilas, melupakan situasinya saat ini yang tengah menunggu keputusan untuk dihukum.
"Lari, kelilingi lapangan ini 5 kali" ucap kakak kelasnya itu menatap Intan yang sepertinya sedang fokus memandangi sekitarnya dan berkat perkataannya itu Intan langsung sadar seketika. Ia kaget bukan kepalang.
"Lari ... Keliling lapangan ini maksudnya?" tanya Intan ragu-ragu. Ia ingin memastikan apa yang didengarnya barusan bukanlah sebuah lelucon. Walaupun 5 kali, melihat lapangan sebesar dan seluas itu membuat Intan merasa ngeri sendiri.
"Iya ... Atau kamu ingin berlari mengitari sekolah saja?" tanya kakak kelas itu menatap Intan.
"Hmm, apa gak terlalu banyak kak? Hmm, Lapangan ini sangat besar, 5 kali itu ... Aku gak yakin sanggup kak" ucap Intan pelan, ia takut kata-katanya akan semakin membuatnya menderita.
"Hmm ... Sepertinya kamu benar" ucap kakak kelasnya menggantung. Intan sudah menatapnya penuh harap.
"10 kali ... Kamu lari 10 kali atau mau saya tambah lagi?" ucap kakak itu akhirnya. Mendengar itu, Intan seperti dihempas jatuh, ia sudah salah. Padahal ia tau, peraturan yang tak tertulis sewaktu masa orientasi adalah jangan membantah kakak senior. Jika, tidak ya begini lah nasibnya saat ini.
Intan, tak berani membantah ataupun menawar lagi, jika tidak bisa jadi hukumannya akan ditambah lagi.
Setelah meletakkan tasnya, ia pun mulai lari mengelilingi lapangan.
"Kamu masukin anak itu, walaupun terlambat?" tanya heran seorang gadis yang berjalan mendekat ke arah Bagas. Mendengar suara yang sama sekali tak asing ditelinganya itu Bagas pun menoleh, pandangannya bertemu dengan seorang gadis cantik dengan lesung pipit dikedua pipinya yang membuat gadis itu tampak manis.
"Iya ... Cuman sekali ini saja dan aku juga gak biarin dia lolos dengan mudah. Aku kasih dia hukuman buat lari lapangan" ucap Bagas lembut sambil menatap gadis itu. Mendengar jawaban Bagas, gadis itu hanya mengangguk.
Kemudian, mereka berdua menatap Intan yang tengah berlari.
.
.
Intan yang sudah berlari 5 putaran pun, sudah mulai kelelahan. Nafasnya sudah tak beraturan. Kakinya seperti mati rasa. Keringat juga sudah membasahi seragamnya, tapi masih kurang 5 putaran lagi.
Ia menatap Bagas dengan seorang gadis disebelahnya. Gadis itu juga mengenakan seragam putih biru yang ia yakini juga kakak kelasnya.
Bagas, sama sekali tak bergeming melihat kondisinya saat ini dan itu tandanya ia harus bergegas untuk menyelesaikan hukumannya itu.
"Kamu kasih hukuman dia berapa putaran? Uda 5 putaran tapi dia gak berhenti" tanya Feby bingung.
"10 putaran ... Aku tadi kasih 5 tapi dia ngebantah, yaudah aku tambah 5 lagi" ucap Bagas santai tanpa merasa bersalah. Mendengar jawaban itu, Feby hanya bisa menggelengkan kepala.
"Mending suruh berhenti deh. Lihat larinya makin pelan, wajahnya juga uda merah padam kayak gitu. Lapangan sebentar lagi juga mau digunakan untuk upacara dan dia kan juga perlu ikut upacara. Dia masih harus berdiri lama loh nanti" ucap Feby mengingatkan. Mendengar perkataan Feby, Bagas pun tersadar dan akhirnya ia mengangguk menyetujui saran Feby. Ia tersenyum lembut ke arah Feby.
"Makasih sarannya" ucap Bagas lembut dengan senyuman manisnya.
Kemudian, Bagas melambai ke arah Intan, memintanya untuk mendekat ke arahnya.
Melihat lambaian tangan Bagas, Intan merasa heran. Apakah ia melalukan kesalah lagi? Apakah ia akan dihukum lagi? Ia masih berlari 7 putaran. Ia mendekat ke arah Bagas dengan takut-takut.
"Ada apa kak? Saya belum menyelesaikan hukuman saya ... Jangan tambah lagi dong kak" ucap Intan memelas sambil menunduk takut..
Melihat Itu, Bagas menahan tawa. Ia tak tahu jika adik kelasnya ini akan ketakutan akan ditambah hukumannya, ia menoleh pada Feby yang juga sedang menahan tawa, hingga melihatkan lesung pipitnya.
"Berhenti berlari, aku akan mengantarkanmu ke kelas" ucap Bagas pada akhirnya.
Mendengar itu Intan seperti mendapatkan angin segar, ia mendongak menatap kakak kelasnya itu. Senyum senang, ia berikan.
"Makasih kak" Ucap Intan bahagia. Kemudian bergegas mengambil tasnya.
"Aku pergi antarkan dia ke kelas dulu. Kamu siap-siap lagi saja" Ucap Bagas lembut pada Feby, yang dijawab Feby dengan senyuman manis.
"Ayo aku antarkan kamu ke kelas" ucap Bagas saat melihat Intan hendak pergi.
"Oh baiklah, makasih" ucap Intan bahagia dan ia pun berjalan dibelakang Bagas, mengikutinya dari belakang dan menatap punggungnya.
.
.
.
Bersambung...
Semua mata sedang menatap Intan saat ini.
Ia sudah tiba di kelasnya, kelas 7D kelas paling ujung dekat dengan taman belakang.
Intan sekilas menatap ke arah teman-teman barunya yang menatapnya heran sekaligus pandangan tak suka juga oleh kakak kelas yang menghandle kelasnya.
Intan ketakutan, kenyataan bahwa ia adalah gadis yang pemalu dan pendiam untuk orang yang baru ia kenalnya membuatnya ketakutan saat ini. Pada saat semua mata menatapnya, ia sama sekali tak menyukai hal itu. Intan pun meremas kedua tangannya dan menunduk.
"Ky, Nis ... Nitip nih satu lagi, ketinggalan tadi" ucap Bagas ke arah dua temannya yang menghandle kelas itu.
"Kamu kok bolehin dia masuk? Dia kan telat" seru Nisa heran dan menatap Intan sinis.
"Sudahlah, Kali ini aja. Aku juga uda ngasih dia hukuman, jadi biarkan dia masuk" ucap Bagas, menjelaskan.
"Tapi ..." ucap Nisa belum terima yang perkataanya langsung dipotong oleh Rizky.
"Sudah-sudah ... Dia sudah dihukum, jadi biarkan dia masuk. Liahtlah dia sepertinya ketakutan dan kelelahan" ucap Rizky mengambil keputusan, jika tidak akan panjang dan tidak akan selesai urusan ini.
Mendengar itu, Intan sekilas menatap kakak kelasnya itu. Lelaki yang bernama Rizky itu berperawakan tinggi, sangat tinggi malah. Sepertinya tinggi Rizky diatas normal anak seusianya. Suaranya juga sangat berat, sebelum Intan melihat seragam putih biru yang digunakan kakak kelas itu, ia mengira bahwa ia guru.
Sedangkan gadis disebelahnya yang bernama Nisa, adalah gadis dengan kulit tubuh yang sedikit coklat, tapi dia terlihat cukup manis, walaupun tatapannya kini seperti ingin meleburkan Intan, saat itu juga.
"Kamu masuk dulu. Duduk dibangku yang masih kosong" ucap Rizky, menunjuk salah satu tempat duduk yang masih kosong disamping seorang gadis yang agak cabi tapi cukup manis dan yang paling penting, ia terlihat baik dan ramah.
"Baik kak, maaf merepotkan dan terima kasih" ucap Intan pelan sambil menatap sekilas ke arah tiga kakak kelasnya itu. Kemudian, ia berjalan ke arah bangku yang ditunjuk Rizky tadi.
Ia tersenyum pada gadis yang dudum disana kemudian ia duduk disebelahnya.
"Hai, kamu gak apa-apa?" sapa gadis itu sambil menatap Intan yang kelihatan lelah dan sedikit pucat.
"Hai juga ... Iya aku gak apa-apa kok, cuman sedikit lelah habis dihukum lari muter lapangan" ucap Intan ramah.
Obrolan mereka terhenti, ketika Nisa memanggil Intan untuk maju dan memperkenalkan dirinya.
"Kamu yang baru masuk, coba ke depan dan perkenalkan dirimu, hanya kamu disini yang belum memperkenalkan diri" seru Nisa sembari menatap Intan tajam.
Intan, cukup terkejut dengan perkataan itu. Ia menelan salivanya dengan susah payah, kemudian ia bangkit dan berjalan perlahan ke depan kelas. Intan begitu gugup, tanganya juga sudah terasa dingin.
"Hallo semua ... Nama saya Intan, saya dari SD Harapan. Hmm, saya berharap kita semua bisa jadi teman baik kedepannya" ucap Intan perlahan karna gugup dan diakhiri dengan senyum manis.
"Ada pertanyaan?" tanya Rizky ke arah adik-adik kelasnya.
"Minta nomor ponselnya dong" seru salah satu anak laki-laki di kelas itu. Intan, melihat sekilas teman barunya itu, ia seorang lelaki tinggi putih dan tampan.
Mendengar permintaan temannya itu yang juga menjadi pengalaman pertama buat Intan. Membuat Intan bingung harus menjawab apa.
"Kamu ditanya tuh, jawab dong" ucap Nisa sinis.
"Hmm, Iya boleh ... Tapi nanti saja, aku lupa sama nomorku" kata Intan akhirnya, Ia, berkata jujur bahwa ia masih belum mengingat nomor ponselnya. Karena, ia baru saja ganti ponsel baru sebagai hadiah dari ayahnya karna sudah berhasil masuk ke tahapan sekolah yang lebih tinggi.
Tapi, ntah ada yang salah apa dari jawabannya hingga membuat teman-teman sekelasnya bersorak keras.
Intan, menatap mereka dengan bingung dan takut, mereka teman baru yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Kamu boleh duduk" ucap Rizky ramah.
"Baik kak, makasih" ucap Intan pelan sambil menundukkan kepalannya. Sebelum ia melangkah kembali ke bangkunya ia juga menunduk sekilas pada Nisa, yang masih saja memasang tampang mengerikannya.
Setelah duduk dibangkunya, ia menghembuskan nafas berat, ia merasa hari ini kesialan terus saja mendatanginya. Ada saja masalah dalam hari ini.
"Kamu hebat" seru Ifa, tiba-tiba. Intan menoleh dan menatap teman sebangkunya itu dengan bingung.
"Maksudnya apa?" tanya Intan pada bingung.
"Kamu gak sadar sama perbuatanmu tadi?" tanya Ifa gemas melihat wajah bingung teman barunya itu.
"Aku gak tahu yang kamu maksudkan dan aku juga gak tahu tadi temen-temen juga nyorakin apa'an" Ucap Intan mengeluarkan kebingungannya.
Ifa, berusaha mencari kesungguhan di mata teman barunya itu. Apakah ia benar-benar tidak tahu atau berpura-pura dan yang ditemukan Ifa, hanya keseriusan bahwa Intan benar-benar kebingungan. Ia tak menyangka, teman sebangkunya sangat polos.
"Gini ketika kamu jawab kayak gitu ke Amir tadi, seakan-akan kamu nolak dan jual mahal pada Amir. Itu bentuk halus untuk menolak dan kamu tahu, semenjak hari ini, Amir sudah dinobatkan jadi lelaki paling tampan yang ada di kelas kita. Banyak dari teman-teman kita ini uda suka sama dia. Mangkannya waktu kamu bilang gitu, mereka jadi agak lebay" kata Ifa, menjelaskan.
Mendengar jawaban Ifa, Intan sedikit syok. Dia gak menyangka, kejujurannya malah disalah artikan seperti itu.
"Tapi aku beneran gak inget nomor ponsel aku, itu nomor baru" ucap Intan membela diri.
"Ya udah, mau gimana lagi. Kita lihat aja kedepannya nanti" kata Ifa, sambil tersenyum samar. Ia juga belum tau apa yang akan dialami teman barunya itu.
"Ngomong-ngomong, kenalin aku Ifa. Kita belom kenalan loh, aku dari SD Bugenvil" ucap Ifa seraya mengulurkan tangannya.
"Intan" jawab Intan, menerima uluran tangan Ifa dan tersenyum hangat.
Obrolan mereka terhenti ketika suara Rizky menggelegar di kelas.
"Ok, semua bawa topi dan keluar, upacara pembukaan akan segera dimulai" ucapnya.
Mendengar itu, Intan menghembuskan nafas berat. Ia masih merasa kakinya kebas akibat hukumannya tadi. Terlebih, kini kepalanya juga sedikit pusing dan perih diperutnya, ia yakin maagnya tengah kambuh saat ini.
"Kamu gak apa-apa? Wajah kamu makin pucat Tan" seru Ifa khawatir.
"Hmm ... Aku gak apa-apa kok, nanti kalau memang gak kuat, aku pasti bilang" ucap Intan menenangkan Ifa yang tampak mengkhawatirkannya, ia tersenyum samar.
Semua murid baru segera keluar dari kelas dan menyerbu lapangan luas sekolah itu dan kakak-kakak senior yang setia mendampingi ikut terjun membantu mengatur barisan.
Setelah barisan terbentuk, para guru keluar dari kantor dan ikut berjajar rapi didepan para murid, mereka saling menghadap.
Semua petugas upacara, juga sudah siap mengambil posisinya masing-masing dan upacara pun mulai berjalan.
Intan dan Ifa berdiri sejajar dibarisan paling belakang.
Intan merasakan keringat yang makin membanjiri wajahnya. Tangannya sudah dingin dan pundaknya semakin berat. Terlebih ia juga harus menahan perih di perutnya. Kakinya yang masih kebas, harus berjuang untuk menopang tubuhnya. Walaupun Intan tak tergolong gemuk, tetapi saat kondisi seperti ini ia pun merasa tak kuat jika harus menopang dirinya sendiri.
Sampai ketika bendera sudah dinaikkan, Intan merasa ia sudah tak sanggup lagi untuk berdiri. Ia menoleh ke arah Ifa, ingin memberitahu untuk membantunya menepi. Tapi, ia sudah tak memiliki tenaga.
"Ifa ... Tolong ..."
Brukkk ....
Tubuh Intan oleng dan jatuh begitu saja ke arah Ifa.
Ifa yang sebelumnya sudah menoleh karna panggilan Intan, kini berusaha menahan beban tubuh Intan, dan akhirnya ia jatuh terduduk dan menahan kepala Intan.
Ia melihat, wajah Intan sudah sangat pucat dengan keringat yang memenuhi wajahnya.
"Intan ... Intan ... Bangun"
Teriak Ifa khwarir, teman-teman sekelasnya pun menoleh ke arah mereka dan ikut khawatir.
"Ada apa ini?" tanya Rizky yang sudah berjongkok di samping Ifa.
"Gak tau kak, tiba-tiba aja Intan pingsan begini" seru Ifa panik, sambil menepuk-nepuk pipi Intan pelan, berusaha membangunkannya.
"Kita bawa aja ke UKS" ucap Rizky akhirnya. Kemudian, ia dengan sigap menggendong tubuh Intan dan membawanya ke UKS.
Kejadian itu cukup menarik dilihat oleh siswa disana.
Dari barisannya Bagas juga melihat kejadian itu, ia tak dapat melihat jelas, siapa gadis yang pingsan tersebut. Tapi ia tahu itu dari kelas Intan tadi.
Ia hanya memandang Rizky yang menggendong seorang siswi dan diikuti oleh siswi lain.
.
.
.
Bersambung..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!