NovelToon NovelToon

Good Partner

Part 1 - Kota yang Damai

Versi buku cetak jauh lebih rapi dan memakai POV 3. Selain itu, terdapat banyak adegan tambahan tidak ada di aplikasi. Silakan order lewat chat aku langsung. Happy reading.

**********

Kota Magnolia merupakan salah satu kota kecil terdamai dan memiliki angka kriminal terendah di dunia. Setiap tahunnya, kota tersebut hampir tidak memiliki catatan kriminal, peristiwa kriminal yang terjadi pun hanya peristiwa pencopetan di jalan dan itu jarang sekali terjadi. Maka dari itu, pekerjaan polisi, detektif, dan semacamnya di kota tersebut jarang bekerja lembur.

Namaku Penny. Pekerjaanku adalah seorang detektif wanita yang bekerja di divisi kecelakaan lalu lintas. Selama ini sih pekerjaanku tidak begitu berat dan jarang banget lembur. Tidak seperti polisi dan detektif di kota lainnya yang setiap hari mengintai penjahat hingga tengah malam. Bahkan aku masih sempat makan bareng timku saat pulang kerja.

Karena hari sudah gelap sekarang, aku sedang merapikan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjaku bersiap-siap ingin meninggalkan kantor.

Saat pulang kerja, aku dan timku makan malam di sebuah restoran baru dibuka. Ternyata restoran baru itu memiliki bangunan gaya classic dan unik. Aku berdecak kagum ketika mengamati design interior dan exterior bangunan itu. Sebelum memasuki ke restoran tersebut, kami diberi sebuah kertas kecil yang berisi nomor undian oleh petugas di sana.

Saat kami sedang menikmati hidangan makanannya, tiba-tiba seorang MC yang memimpin acara pembukaan restoran menaikki panggung dan membacakan pengumuman pemenang undiannya. Aku dan rekan timku sudah pasrah tidak mengharapkan memenangkan undian tersebut. Pemenang undian akan mendapatkan sebuah powerbank. Powerbank adalah hadiah impianku selama ini karena powerbank di rumahku sudah rusak sejak sebulan yang lalu.

"Terima kasih kepada para hadirin yang telah hadir dalam acara pembukaan Peaceful Restaurant, sekarang saya akan mengumumkan pemenang undiannya," kata MC tersebut sambil menggenggam selembaran amplop lalu membukanya perlahan.

"Sudah pasrahlah. Kita juga tidak akan dapat hadiahnya. Kemungkinan peluang salah satu dari kita yang menang undian itu 0.00001 persen," kata Tania, salah satu rekan timku mendesah pasrah.

"Pemenang undiannya adalah pengunjung nomor ... 75. Selamat kepada pengunjung nomor 75. Apakah ada yang mendapatkan nomor 75? Jika tidak ada, maka hadiah akan hangus," kata MC.

Saat aku melihat kertasku dan ternyata nomorku adalah 75. Aku sampai terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Akhirnya impianku mendapatkan powerbank terwujud. Lalu, aku langsung bergegas menaiki panggung. Semua temanku ketika memandangiku sedang menuju panggung, tatapan mereka sangat iri terutama Tania.

Ketika aku sedang menerima hadiah, seorang pria tua berpakaian formal yang merupakan pemilik restoran memberikanku sebuah kupon.

"Selamat Anda pemenang undiannya. Saya sebagai pemilik restoran ini memberikan sebuah kupon makan secara gratis selama dua bulan di restoran ini," sorak pemilik restoran tersebut tersenyum padaku.

"Terima kasih Pak, saya akan menggunakan kupon ini dengan baik," jawabku dengan ramah.

Keesokan pagi, seperti biasa aku selalu dibangunkan oleh ibuku. Di benak pikiran ibu, aku bagaikan kebo yang suka tidur dan bermalasan.

"Penny, cepat bangun! Nanti telat masuk kerja. Ibu buatkan menu sarapan favoritmu lho," omel ibu sambil memukul lengan kiriku.

"Hoamm. Iya sebentar ibu, lima menit lagi ya aku bangun lalu sarapan," jawabku dengan muka bantal sambil menguap.

"Setiap hari selalu saja begini. Ini anak lama kelamaan jadi kebo beneran!" sindir ibu.

"Aku bukan kebo, Bu," sahutku bermalasan.

"Kalau kamu bersikap seperti ini terus, tidak ada seorang pria yang akan menyukaimu. Sebaiknya kamu mengubah sikap burukmu lalu berkencanlah dengan seorang pria dan menikah dengannya," lanjut ibu mulai menceramahiku.

Mendengar ocehan ibu yang cerewet, telingaku mulai memanas padahal ini masih pagi. Memang sih usiaku sudah hampir 30 tahun, tapi aku belum berkencan dengan siapa pun karena selama ini aku terlalu fokus bekerja.

"Anak ini memang sulit diatur! Makananmu ada di meja ya, sampai lima menit lagi kamu tidak bangun, ibu makan makananmu," ancam ibu tersenyum licik sambil meninggalkan kamarku.

Setelah mendengar ancaman ibu, aku langsung beranjak dari ranjang kemudian langsung menuju ruang makan tanpa merapikan penampilanku yang terlihat berantakan sekarang. Untunglah makananku masih utuh dan belum dimakan ibu.

"Kamu ini kalau diancam baru bangun ya, mau sampai kapan kamu begini terus!" omel ibu menatap menyeringai padaku sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Hehe maaf, Bu. Lain kali aku bakal rajin bangun pagi deh," sahutku tertawa terkekeh sambil menggarukkan kepalaku.

"Kalau misalnya sampai beneran terjadi sesuatu gimana? Seperti tiba-tiba ada kasus yang terjadi dan harus kamu selidiki secara darurat. Kamu harus berpikir lebih panjang, Penny," celoteh ibu.

"Tidak mungkin terjadi hal gituan, Bu. Aku sudah bekerja sebagai detektif selama lima tahun dan selama ini belum ada kasus yang berat. Lagi pula kota ini kan terlihat aman saja, Bu," lontarku sambil makan.

"Ya sudahlah ibu lelah berbicara denganmu seperti kebo terus. Cepat habiskan makanannya, habis itu langsung ke kantor. Ibu sangat heran baru kali ini bertemu wanita yang hidup berantakan gini. Semoga saja ada pria yang menyukaimu, walaupun kamu bermalasan terus," gerutu ibu menyindirku sambil menggelengkan kepalanya.

Usai menghabiskan sarapanku, aku kembali menuju kamarku dan menatap hadiah powerbank beserta kupon yang kudapatkan semalam. Aku masih tidak menyangka bahwa aku ini anak yang sangat beruntung dalam sehari langsung mendapatkan jackpot. Kalau mengingat kejadian semalam, ini kejadian langka dalam hidupku.

Tanpa berlama-lama di kamarku, aku bergegas mengambil tas kerjaku sambil merapikan rambutku di hadapan cermin, lalu melangkah keluar dari kamarku terburu-buru. Saat aku ingin memasuki mobilku, ada seorang wanita paruh baya menghampiriku sambil membawa sekantong plastik makanan.

"Selamat pagi, perkenalkan namaku Desy. Aku baru pindah ke sebelah rumahmu hari ini, ini hadiah dariku, semoga kita bisa menjalin hubungan dengan baik sebagai tetangga," sapa Desy tersenyum ramah sambil memberikan makanan tersebut untukku.

"Pagi juga, Tante. Semoga kita memiliki hubungan yang baik terus. Terima kasih atas makanannya. Perkenalkan saya Penny, senang berkenalan dengan Anda," sahutku sopan berjabat tangan dengannya sambil menerima pemberiannya.

"Kamu tidak perlu berbicara bahasa formal padaku. Kita berbincang santai saja seperti teman."

"Baiklah, Tante."

"Sepertinya kamu sedang terburu-buru ingin berangkat kerja. Baiklah kalau begitu tante tidak akan mengganggumu."

"Kalau begitu aku permisi berangkat kerja dulu ya, Tante," pamitku sopan.

"Hati-hati di jalan ya, Penny," pesan tante Desy padaku sambil melambaikan tangannya.

Setibanya di kantor, semua rekanku menatapku dengan iri saat melihat powerbank yang kubawa sekarang pada tanganku.

"Powerbanknya bagus ya," ucap Ray dengan iri.

"Katanya kemarin tidak akan dapat undiannya. Benar-benar kamu tidak bisa dipercaya, Penny," gerutu Tania memanyunkan bibirnya.

"Aduh kenapa kalian iri padaku sih! Semalam aku sedang beruntung saja. Lagi pula selama ini ketika aku mengikuti lomba undian juga tidak pernah menang sekali pun seperti kalian," ujarku menautkan kedua alisku sambil berkacak pinggang.

Saat kami sedang asyik berbincang, kepala detektif menghampiri kami sambil membawa sebuah berkas kasus.

"Kalian semua kumpul di ruang rapat sekarang!" titah Pak John dengan tegas.

Kami semua langsung menurutinya dan mengikutinya menuju ruang rapat.

Di ruang rapat, hanya ada kami berlima saja. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres sampai panggil kami ke ruang rapat. Suasana di ruang rapat makin tegang.

"Pagi ini sekitar pukul 06.30, ditemukan mayat wanita di pinggir sungai. Kalian harus segera pergi ke TKP untuk menyelidiki kasus tersebut!" titah Pak John yang tegas.

Semua orang bergeming termasuk aku. Apakah aku tidak salah mendengar? Bahkan tatapanku melihat mimik wajah Tania yang masih polos pasti juga sulit memercayai perkataan Pak John.

"Ditemukan mayat? Mungkin wanita itu hendak bunuh diri, bukan dibunuh." Tania membulatkan matanya dengan sempurna tidak memercayai perkataan Pak John barusan, berusaha berpikir positif karena selama ini tidak ada kasus pembunuhan di kota ini.

"Ada saksi mata yang menyaksikan kejadian tersebut. Besok kita harus mewawancarai saksi mata tersebut. Saksi tersebut mengatakan bahwa ini bukan bunuh diri, tapi pembunuhan," lanjut Pak John menambahkan penjelasannya pada kami.

Tubuhku sekarang seperti tidak berdaya. Ini baru pertama kali aku mendengar kasus pembunuhan terjadi pada kota ini. Keringat dingin mulai mengalir di seluruh leherku, mataku terbelalak masih tetap tidak memercayainya walaupun Pak John sudah menegaskannya.

"Ini tidak mungkin, biasanya di kota ini, kan tidak ada kasus pembunuhan. Mungkin orang itu salah sangka," bantahku dengan tidak percaya.

"Kalau kalian tidak percaya dengan perkataan saya, kalian bisa menyelidikinya sendiri di TKP sekarang," timpal Pak John santai.

Aku dan semua rekan timku bergegas berlari keluar dari kantor ini memasuki mobil van hitam berangkat menuju TKP.

Setibanya di TKP, tempat tersebut dipenuhi dengan kerumunan orang dan para reporter TV. Selain itu, seluruh area tersebut terdapat banyak bercak darah berceceran di tanah.

Saat aku dan rekan timku sedang mengecek kondisi fisik keseluruhan tubuh mayat itu, mataku terbelalak ternyata mayat tersebut terdapat goresan yang sangat panjang di bagian perutnya. Benar yang dikatakan Pak John saat di ruang rapat, kasus ini merupakan kasus pembunuhan.

Part 2 - Kasus Pembunuhan Pertama

Aku bersama rekan timku sangat yakin bahwa ini merupakan kasus pembunuhan jika dilihat dari bekas goresan yang terdapat di perut korban. Lalu, aku meminta bantuan salah satu anggota tim forensik untuk secepatnya mengautopsi mayat tersebut. Setelah kami menelusuri seluruh area TKP sampai penuh ketelitian, tidak ada satu pun barang bukti yang ditinggalkan oleh pembunuh. Pembunuhan ini terlihat sempurna dan sepertinya sudah direncanakan pelaku sejak awal.

"Jadinya sekarang kita harus gimana? Dari tadi tidak ada jejak yang ditinggalkan pelaku," keluh Nathan mendesah lesu.

"Yang pasti kita kembali ke kantor dulu dan menunggu hasil autopsi dari tim forensik. Kita akan menyelidikinya mulai dari sana dulu," lontarku sambil bertopang dagu.

Aku dan semua rekan timku memutuskan untuk kembali ke kantor sambil menunggu hasil autopsi yang dikirimkan tim forensik. Beberapa jam kemudian, akhirnya hasil autopsi dikirimkan melalui email. Dengan sigap aku membuka emailnya dan mengambil laptopku menuju ruang rapat bersama dengan yang lain untuk mengadakan rapat dengan Pak John.

"Korban bernama Alya berusia 30 tahun dengan tinggi 165 cm pada tanggal 12 Januari 2020 ditemukan telah meninggal di pinggir sungai dekat persimpangan minimarket Fantastic. Berdasarkan hasil autopsi, korban memiliki luka goresan yang sangat dalam dan ususnya merobek sehingga korban kehilangan banyak darah sebelum petugas medis membawanya menuju ke rumah sakit," ujarku menjelaskannya dengan rinci mengenai hasil autopsi.

"Tadi setelah kami mengecek di TKP, tidak ada barang yang mencurigakan seperti pisau ataupun benda lainnya yang tertinggal di sana setelah pihak kepolisian menyegel tempat tersebut," tambah Tania menautkan kedua alisnya.

"CCTV di sekitar TKP sepertinya telah rusak dan menurut persepsiku, pelaku dengan sengaja merusak CCTV itu terlebih dahulu sebelum melakukan pembunuhan," lontar Nathan melanjutkan penjelasannya.

"Saksi itu apakah besok kita bisa menginterogasinya?" tanya Pak John menatapku.

"Bisa, Pak. Besok setelah makan siang, aku akan menginterogasinya," jawabku langsung.

"Nathan, coba kamu cek CCTV di minimarket Fantastic. Siapa tahu pelaku itu terekam secara tidak sengaja pada CCTV minimarket tersebut," titah Pak John dengan tegas menatap Nathan.

"Baik, Pak, saya segera ke sana," patuh Nathan.

"Rapatnya cukup sampai di sini saja. Berhubung ini kasus pembunuhan maka kalian harus tetap berwaspada, mulai hari ini dan seterusnya kalian akan bekerja lembur," ucap Pak John keluar dari ruang rapat.

Usai melakukan rapat, Nathan bergegas menuju minimarket tersebut mengecek rekaman CCTVnya. Sedangkan aku, Tania, dan Ray menuju ke TKP lagi untuk mencari bukti yang akurat.

Di area TKP, kami bertiga menelusurinya lagi di setiap titik area tersebut tanpa terlewatkan. Memang pertama kali kita menghadapi masalah besar ini. Aku pun sebenarnya masih belum bisa menyesuaikan teknik penyelidikan kasus pembunuhan. Otak aku harus dipaksakan berpikir mencari cara supaya bisa mendapatkan bukti penting.

"Tania, tolong kamu cari di bagian sebelah sana!" pintaku kepada Tania tegas.

"Baiklah, Penny," sahut Tania bergegas menuju ke daerah yang kuperintahkan barusan.

Sorot mataku beralih pada Ray. "Apakah kamu sudah dapat benda yang mencurigakan, Ray?"

"Belum nih. Sepertinya pelaku lebih licik dari dugaan kita," jawab Ray pasrah.

Di tengah pencarian barang bukti, Nathan lari tergesa-gesa menghampiriku. Melihat mimik wajahnya terlihat stress, aku punya firasat ia membawakan kabar buruk mengenai hasil pencariannya.

"Bagaimana hasilnya? Apakah CCTV minimarket itu merekam pelakunya?" tanyaku yang penasaran.

"CCTVnya nyala tapi rekamannya sangat buruk dan buram jadi kita tidak bisa melihat pelaku dengan jelas," jawab Nathan dengan napas tersengal-sengal.

"Ya sudah, tidak masalah. Yang penting kamu sudah pergi memeriksanya. Ayo sekarang kita lanjut mencari barang bukti lagi!" Aku menepuk pundaknya mengajaknya membantuku mencari barang bukti.

Pada akhirnya kami mencari barang bukti tersebut sampai malam bahkan aku tidak menyadarinya karena terlalu fokus bekerja. Ketika aku sedang sibuk mencari, ponselku tiba-tiba berbunyi.

drrt...drrt...

Dengan sigap aku mengambil ponselku dari saku jaketku. Ternyata itu panggilan telepon dari ibu, lalu aku langsung mengangkatnya.

"Anak nakal, sudah jam berapa ini. Kenapa kamu tidak pulang ke rumah?" tanya ibu terdengar seperti sedang mengomeliku lewat telepon.

"Mulai hari ini aku kerja lembur terus, Bu. Tadi pagi aku dapat informasi bahwa terjadi kasus pembunuhan. Aku harus menyelidikinya terus jadi kemungkinan pulangnya bisa larut malam," jawabku lewat telepon.

"Apa? Kamu yang menyelidiki kasus itu? Itu sangat berbahaya. Kamu harus selalu waspada. Kasus pembunuhan itu tidak main-main." Suara ibu terdengar sangat panik.

"Iya, Bu. Ibu juga harus tetap berwaspada mulai sekarang. Sebaiknya ibu di rumah saja keamanannya lebih terjamin. Di luar sudah tidak aman sekarang. Kalau terjadi sesuatu, ibu harus segera menghubungiku."

"Iya tenang saja kamu tidak perlu mencemaskan ibu."

Setelah aku selesai menutup telepon dari ibu, Tania berteriak heboh hingga membuat semua rekan kerjaku terkejut dan menatap Tania.

"Akhirnya ketemu juga, Penny!" seru Tania dengan girang yang memperlihatkan sebuah ponsel terlihat usang.

"Ayo, kita kembali ke kantor!" ajak Nathan.

Setibanya di kantor, kami langsung membuka ponsel itu. Ponsel itu ternyata terdapat rekaman pembicaraan antara pelaku dengan korban. Jempol kananku menekan tombol putar memutar rekaman suara berdurasi singkat.

"Hentikan perbuatan Anda, lalu cepat serahkan diri ke kantor polisi." Terdengar suara bu Alya dalam rekaman.

"Tidak bisa. Suami Anda banyak berutang kepada saya. Dia harus melunaskan utangnya sekarang juga!!" bentak si pembunuh.

"Kumohon beri kami waktu seminggu lagi. Saat ini kami tidak punya uang untuk melunaskan utangnya." Suara Bu Alya mulai terdengar lemas membujuk si pembunuh.

Tiba-tiba dalam rekaman suara, terdengar suara orang yang sedang berkelahi dan suara pisau yang menusuk Bu Alya. Rekamannya berakhir sampai di situ saja. Aku dan semua rekan timku hanya bisa pasrah. Ternyata rekaman suara ini tidak cukup kuat untuk mengidentifikasi pelakunya.

"Apaan ini? Kenapa hanya sampai di situ saja. Bukti ini masih kurang jelas," keluh Ray menggarukkan kepalanya kesal.

"Aduh pusing! Kita tinggal tunggu besok saja keterangan dari saksi," jawabku yang sudah pasrah.

Keesokan harinya setelah makan siang, aku menginterogasi seorang saksi mata dari kasus pembunuhan ini. Saksi itu bernama Bastian yang terlihat sangat gugup saat memasuki ruang interogasi.

"Selamat siang, Pak Bastian. Perkenalkan saya detektif Penny. Saya yang akan menginterogasi Anda mengenai kasus ini," sambutku dengan ramah.

"Baiklah."

"Boleh tolong ceritakan bagaimana kejadian itu bisa terjadi?" tanyaku mulai berfokus pada penyelidikannya.

"Jadi begini, waktu itu saya sedang galau karena saya ditolak lamaran kerja. Maka dari itu, saya melampiaskan dengan berjalan di sekitar pinggiran sungai. Saat saya sedang berjalan, tiba-tiba saya mendengar ada seorang wanita dan pria yang sedang bertengkar," ucap Pak Bastian dengan suaranya mulai gemetar.

"Apakah hanya mereka berdua saja di sana? Atau adakah orang lain selain mereka berdua di sana?" tanyaku mulai penasaran.

"Waktu itu sudah terlalu gelap jadi tidak terlalu lihat dengan jelas. Karena saya penasaran, maka saya mendengar pembicaraan mereka dari jauh bersembunyi di suatu tempat sambil mengintip mengamati insidennya. Tiba-tiba wanita itu ditusuk menggunakan pisau yang berukuran sangat besar. Saat melihat itu, saya langsung ketakutan dan langsung kabur agar tidak ketahuan," ujar Pak Bastian yang gugup hingga keringat dingin terus mengalir pada wajahnya.

"Waktu itu pukul berapa Anda berjalan di pinggir sungai itu?"

"Kalau tidak salah sih jam satu malam." jawab Pak Bastian yang semakin gugup.

Sebenarnya aku masih meragukan kesaksian Bastian bisa disimpulkan samar-samar. Tapi, apa boleh buat pernyataan darinya juga bisa dijadikan bukti daripada aku tidak mendapatkan bukti apa pun. "Pertanyaan terakhir, waktu itu Anda melihat korban ditusuk pelaku berapa kali ya?"

"Saya lihat pelaku menusuk korban kalau saya tidak salah ingat sebanyak dua kali," jawab Pak Bastian terbata-bata.

Lagi-lagi jawaban meragukan. Aku hanya bisa mendesah pasrah mengakhiri perbincangan kami. "Baiklah sesi interogasinya sampai di sini dulu. Terima kasih Pak Bastian atas kerja samanya mengenai kasus ini. Anda sekarang boleh meninggalkan ruangan ini."

Setelah Pak Bastian meninggalkan ruangan, aku memanggil Nathan untuk berbicara secara pribadi. Jika dilihat Pak Bastian saat sesi interogasi, sikapnya sedikit aneh yang membuatku semakin meragukannya selain ingatannya yang samar-samar.

"Nathan, tolong kamu awasi Pak Bastian diam-diam," titahku kepada Nathan.

"Memangnya ada apa, Penny? Apakah dia melakukan sebuah kesalahan?" tanya Nathan dengan heran.

"Buat jaga-jaga saja. Soalnya tadi saat aku menginterogasinya, tatapan matanya itu seperti tidak ingin melihatku dan tangannya gemetar," jawabku dengan curiga.

"Mungkin dia gugup. Dia pasti trauma karena telah menyaksikan kejadian tak terduga itu," ucap Nathan yang tidak percaya.

"Yang pasti kamu mengawasi dia saja sekarang. Aku agak curiga dengan tingkah lakunya," lontarku mempertegasnya.

Malam harinya, saat aku masih di kantor, aku masih menunggu jawaban dari Nathan sambil membaca tumpukan berkas kasus di meja kerjaku. Memikirkan pernyataan dari saksi saja sudah membuatku mulai sakit kepala.

Drrt…drrt…

Suara getaran ponselku menandakan Nathan yang menghubungi sekarang. Jempol kananku langsung menggeser layar ponselku.

"Penny, aku sudah memantaunya dari tadi. Sepertinya dari tadi dia belum keluar rumah," ucap Nathan lewat telepon.

"Baikah sebentar lagi aku akan membantumu memantaunya. Aku pergi ke minimarket beli makanan dulu supaya bisa sambil ngemil," ucapku sambil menutup telepon bergegas mengambil kunci mobilku dan memakai jaketku sambil berlari keluar dari kantor memasuki mobilku.

Setibanya di minimarket, aku bergegas membeli beberapa makanan ringan untukku dan untuk Nathan. Saat aku sedang berlari terburu-buru menuju kasir, tiba-tiba aku menabrak seorang pemuda yang terlihat tampan memakai setelan jas formal. Perasaanku menjadi tidak enak telah menabrak pemuda itu sampai barangku dan barangnya berjatuhan hingga berserakan di lantai.

"Maafkan saya. Saya tidak sengaja menabrak Anda karena saya sedang terburu-buru. Biar saya yang mengambilkan barang-barang Anda," sesalku sambil mengambil semua barang milik pemuda itu.

"Tidak apa-apa. Anda tidak perlu repot mengambilkannya untuk saya.” Suara lembut pemuda itu sangat nyaman di telingaku membuatku semakin merasa sungkan.

"Tapi ini akibat kecerobohan saya sampai belepotan begini."

"Anda sangat ramah dan baik hati."

Mendengar ucapannya barusan, rasanya semakin nyaman terdengar di telingaku. Ini baru pertama kalinya aku mendapat pujian seperti itu dari pria asing yang baru kutemui sekarang. Kepalaku semakin terangkat bersemangat bertemu sepasang mata gagah yang membuat tubuhku sedikit kaku.

"Perkenalkan saya Jaksa Adrian Christopher," ucap Adrian sambil mengulurkan tangannya memberikan kartu namanya padaku.

"Saya Detektif Penny Patterson. Senang berkenalan dengan Anda," sahutku tersenyum hangat sambil berjabat tangan dan menerima kartu nama darinya.

Part 3 - Kind Hearted Prosecutor

Wajah Adrian yang tampak bersinar dan juga senyuman hangatnya yang terukir membuat jantungku terasa mulai berdebar di hadapannya. Apalagi memandangi penampilannya gagah di mataku membuat senyumanku mulai mengambang. Seumur hidupku, aku tidak pernah menabrak seseorang apalagi seorang pria berwajah tampan terutama berprofesi sebagai jaksa.

Bertemu dengan seorang jaksa secara tidak sengaja dalam suatu tempat tidak terduga seperti suatu kebetulan. Aku menjadi sangat penasaran tujuannya mengunjungi minimarket ini. Tiba-tiba rasa penasaranku sangat tinggi sekarang. Apakah mungkin ia tinggal di sekitar sini?

Namun aku tetap harus membantunya memungut barangnya masih berserakan. Aku kembali berjongkok mengambil barang-barangnya. Adrian mengetahui aksiku saat ini secara spontan mengulurkan tangan kanannya padaku.

"Saya tetap tidak tega mengamati seorang wanita yang repot mengambilkan barang saya seperti ini. Sini sebaiknya Anda berdiri saja," tawar Adrian tersenyum ramah berbicara lembut padaku.

Daripada aku membiarkan tangannya terus terulur seperti itu sampai pegal, lebih baik aku menurutinya menyentuh tangannya sambil perlahan memposisikan tubuhku berdiri sempurna.

Namun dirinya sekarang berjongkok membereskan semua barangnya yang berserakan termasuk barang belanjaanku. Aku semakin merasa tidak enak dan bersalah padanya sekarang karena telah merepotkannya, apalagi ini pertemuan pertama kami.

"Jaksa Adrian, biar saya saja mengambil sendiri," lirihku sedikit membungkuk.

"Tidak perlu. Ini sudah saya ambilkan semuanya untuk Anda," sahutnya beranjak sambil memberikan semua barangnya padaku.

"Terima kasih, Jaksa Adrian. Maafkan saya telah merepotkan Anda.” Rasanya tanganku semakin gemetar, padahal bukan berhadapan dengan penjahat, tapi entah kenapa hanya berhadapan dengan pria tampan saja berhasil menambah rasa gugup.

"Tidak masalah, Detektif Penny. Anda tidak perlu meminta maaf pada saya. Saya melakukannya dengan sepenuh hati saya membantu Anda.”

Memang jarang sekali aku bertemu dengan seseorang yang memiliki hati lembut seperti dirinya. Melihat sikapnya sangat ramah dan juga penampilannya seperti ini, aku yakin sekali ia sudah memiliki seorang kekasih atau sudah menikah. Tunggu sebentar! Untuk apa aku memedulikan kehidupan asmaranya sedangkan kita baru pertama kali berkenalan? Sadarlah pikiranku harus kembali serius!

"Omong-omong, Anda belanja makanannya banyak sekali. Apakah Anda mengintai seseorang di sekitar sini?" tanya Adrian mengamati barang belanjaanku berupa makanan ringan.

"Iya nih. Saya sedang mengintai seorang saksi mata dari kasus kami. Saksi itu terlihat mencurigakan saat saya menginterogasinya tadi jadi saya dan rekan saya mengintainya dari tadi," jawabku berlagak seperti detektif profesional di hadapannya. Sebenarnya aku tidak bermaksud sembarang membocorkan informasiku, tapi dilihat bahasa tubuhnya, ia bisa dipercayai bagiku.

"Kalau boleh tahu, kasus apa yang sedang Anda hadapi?"

"Kasus pembunuhan yang terjadi kemarin di pinggir sungai."

"Oh, kasus itu juga saya yang pegang, ini adalah suatu kebetulan. Di lain waktu, kalau mau minta bantuan bisa hubungi saya saja. Jadi kita bekerja sama untuk menangkap pembunuh tersebut, bagaimana?"

Sungguh kebetulan sangat pas. Adrian seperti sedang mengetahui isi hatiku yang saat ini sangat membutuhkan bantuan. Tentu saja, aku tidak mungkin menolak tawaran yang tidak akan kutolak. Dengan begini, akan mempermudahkan aku menyelesaikan kasus ini. Bukan karena kesempatanku bisa berdekatan dengannya supaya bisa menjadi kekasihnya.

Aku mengulurkan tangan kananku menampakkan senyuman percaya diri. "Baiklah, kalau begitu kita akan sering bertemu terus untuk ke depannya.“

Seketika tangan Adrian menyentuh tanganku, aku bisa merasakan kelembutan dan hangatnya tangan ini. Rasanya aku ingin memperpanjang waktu berjabat tangan. Namun, mengingat aku telah menyita banyak waktu dan Nathan pasti menungguku lama, terpaksa aku harus berpamitan dengan pemuda tampan ini. Terpaksa aku yang mengakhiri sesi sentuhan tangan, meski sebenarnya aku bingung kenapa Adrian masih menyentuh tanganku padahal sudah berlangsung sepuluh detik.

"Saya pergi duluan ya, kasihan rekan saya mengintai sendirian.”

"Tidak apa-apa. Silakan duluan saja."

Aku sudah bersiap-siap mengambil semua barang belanjaanku, lalu berlari menuju pintu keluar minimarket.

"Penny!" pekik Adrian dari kejauhan.

Aku tercengang mendengar namaku dipanggilnya dengan lantang dari kejauhan membuat langkah kakiku terhenti di depan pintu masuk. Baru pertama kali aku dipanggil seperti itu saat pertemuanku dengan orang yang baru kukenal. Aku membalikkan tubuh ke belakang menghadapnya mengukir senyuman terindahku padanya.

"Iya, Adrian?" sahutku.

"Lain kali kita berbicara santai saja, jangan terlalu formal karena kita kan partner kerja juga," sahut Adrian sambil berjalan santai menghampiriku berdiri di dekat pintu.

Hanya mendengar kalimat sederhana itu sudah bisa membuat jantungku berdebar. Namun, tetap saja aku harus bersikap profesional dan pastinya aku menyetujui usulannya itu daripada perbincangan kami terkesan seperti robot setiap hari.

"Baiklah, Adrian. Aku juga lebih nyaman berbicara santai padamu."

"Kalau begitu kamu sebaiknya bergegas menemani temanmu sekarang. Aku juga ingin pulang ke kediamanku," usulnya.

"Aku pergi dulu, Adrian," pamitku sopan bergegas meninggalkan minimarket.

Aku bergegas berlari dengan napas tersengal-sengal menuju tempat persembunyian Nathan. Sejenak aku mengamati sekelilingku dengan penuh waspada lalu memasuki mobil Nathan.

"Maafkan aku. Kamu pasti menungguku lama," desisku sambil menepuk betis kakiku.

"Tidak apa-apa kok. Lagi pula juga kamu sudah bawa makanannya," jawab Nathan tertawa terbahak-bahak.

Tiba-tiba ada seseorang yang muncul di depan rumah Pak Bastian. Orang tersebut sangat misterius yang mukanya ditutupi dengan masker sehingga aku tidak bisa melihat mukanya dengan jelas. Pak Bastian dan orang misterius itu saling berbicara dengan serius.

"Hei, Nathan! Coba kamu lihat deh! Itu ... siapa sih?" tanyaku sedikit gemetaran.

"Aduh dilihat dari sini tidak jelas! Ayo, kita mendekat ke sana! Jangan sampai ketahuan." ajak Nathan sambil membuka pintu mobil.

Semakin kami berjalan mendekati rumah Pak Bastian, semakin jelas kami bisa mendengar pembicaraan mereka. Bahkan dari menuruni mobil Nathan, aku sampai rela menahan napas beberapa kali supaya misi rahasia berjalan sempurna.

"Kerja yang bagus," kata orang misterius itu menepuk pundak Pak Bastian.

"Tapi apakah tindakan ini benar? Kalau misalnya saya ketahuan berbohong gimana?" tanya Pak Bastian dengan ragu.

"Tenang saja. Anda akan dilindungi secara ketat. Cukup lakukan perintahnya, tutup mulut, dan terima uangnya."

Aku dan Nathan sangat terkejut setelah mendengar perkataan Pak Bastian. Ternyata pernyataan Pak Bastian di kantor polisi adalah semuanya kebohongan. Ia sudah menipu dan membodohi semuanya.

ACHOOO!

Tiba-tiba Nathan bersin dengan suara keras di situasi mencekam begini. Dengan sigap kami berdua lari dan langsung meninggalkan tempat tersebut agar tidak tertangkap basah.

Pagi harinya, aku pulang ke rumah sebentar untuk mengambil barang-barangku sekalian untuk menyapa ibuku. Saat aku hendak meninggalkan rumah, tante Desy menghampiriku.

"Bukankah kamu tadi baru masuk rumah? Kenapa pergi lagi?" tanya Desy menatapku heran.

"Aku pulang cuma buat mengambil barangku yang penting dan menyapa ibu karena kemungkinan aku sudah jarang pulang ke rumah," jawabku dengan senyuman ramah.

"Oh, memangnya pekerjaan kamu apa sampai tidak bisa pulang?" tanya tante Desy.

"Aku bekerja sebagai detektif. Saat ini sedang mengerjakan kasus pembunuhan jadinya agak sibuk."

Mengingat waktu semakin siang, terpaksa aku mengakhiri perbincangan santai dengan tetangga baruku. "Aku permisi dulu, Tante."

Setibanya di kantor, aku masih terus mendengar rekaman ponsel Alya sambil melihat laporan autopsi mayat Alya. Pak Bastian mengatakan bahwa Alya ditusuk oleh pembunuh sebanyak dua kali, akan tetapi di laporan autopsi goresan dan bekas tusukan tersebut sebanyak empat kali. Berarti pernyataan Pak Bastian sepenuhnya bohong. Sayangnya suara rekaman terus tidak terdengar terlalu jelas dan rekaman CCTV di minimarket tidak terlihat jelas.

Akhirnya aku memutuskan untuk mencari rekaman CCTV di sekitar TKP sekali lagi. Memang benar yang dikatakan Nathan bahwa semua CCTV di sekitar sini sengaja dirusak oleh pelaku. Setelah mencari tahu hingga sore, aku pun akhirnya menyadari bahwa ada sebuah mobil yang selalu terparkir di minimarket tersebut. Lalu, aku langsung bergegas ke minimarket untuk meminta rekaman dasbor mobil miliknya.

Entah ini merupakan sebuah kebetulan lagi, tanpa sengaja aku bertemu dengan Adrian yang hendak ingin memasuki minimarket ini.

"Penny, sedang apa kamu di sini?" tanya Adrian berbasa-basi.

"Aku menemukan sebuah rekaman dasbor. Tapi entah itu terlihat jelas atau tidak, kita berdoa saja semoga jelas," jawabku dengan tersenyum lebar.

"Mari kita melihatnya bersama. Hmm enaknya di mana ya?" ajak Adrian sambik bertopang dagu.

"Bagaimana kalau di "Peaceful Restaurant"? Aku kebetulan mendapat kupon makan gratis di situ. Sekalian kita makan malam bersama," jawabku tertawa terkekeh.

"Boleh juga tuh. Ayo, kita kesana sekarang!" ajak Adrian antusias.

Sambil menikmati makan malam, aku dan Adrian menyaksikan rekaman tersebut. Rekaman itu merekam sang pelaku berjalan di depan minimarket sekitar pukul 8 malam. Sedangkan Pak Bastian mengatakan ia melihat aksi pembunuhan tersebut pukul 10 malam.

"Ada apa? Kenapa ekspresimu gitu?" tanya Adrian bingung melihatku.

"Ini aneh. Saksi menyatakan bahwa aksi pembunuhan tersebut terjadi sekitar pukul 10 malam. Rekaman ini merekam sang pelaku berjalan di sekitar minimarket pukul 8 malam," ucapku yang bingung.

"Lalu jarak dari minimarket menuju ke TKP hanya dua kilometer dan perjalanan menuju ke sana tidak membutuhkan waktu dua jam. Apakah mungkin?" ujar Adrian semakin curiga.

Saat Adrian mengatakan hal itu, muncullah orang misterius yang menghampiri sang pembunuh. Rekaman tersebut menunjukkan pukul 9 malam.

"Iya benar persepsimu. Ada pihak lain yang bekerja sama dengan pelaku. Tapi wajah mereka berdua tidak terlihat begitu jelas," jawabku yang lemas.

"Sebenarnya motif pembunuhan pelaku apa sih? Siapa orang yang berbicara dengan pelaku?" tanya Adrian sambil menggarukkan kepalanya.

"Tunggu sebentar! Waktu itu Pak Bastian bilang saat itu cuma ada Alya dan pelakunya. Pak Bastian mengatakan ciri-ciri pelaku itu tingginya sekitar 180 cm, sedangkan orang yang berbicara dengan pelaku itu tingginya sekitar 180 cm," lanjutku berpikir keras hingga dahiku berkerut.

"Berarti pelakunya pria ini. Pria yang selama kita anggap pelaku itu hanya kaki tangannya saja. Satu-satunya harapan kita adalah pernyataan yang jujur dari Pak Bastian, sayangnya ia bersekongkol dengan pelaku dan menyatakan kebohongan," ucap Adrian yang menunjuk pria itu.

"Aduh seandainya saksi itu jujur, jadi semuanya akan cepat terselesaikan dan situasi tidak akan semakin rumit!" keluhku sambil memijit pelipisku akibat kepalaku mulai terasa sakit.

drrt...drrt...

Di tengah perbincangan kami, ponselku berbunyi. Ternyata Pak Bastian yang meneleponku. Aku langsung mengangkat panggilan teleponnya.

"Detektif Penny? Bolehkah kita bertemu sekarang di kantor polisi? Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada Anda," ucap Pak Bastian lewat telepon.

"Baik Pak Bastian. Saya akan segera ke sana secepatnya, mohon ditunggu," ucapku yang terburu-buru ingin menutup panggilan teleponnya.

Tiba-tiba terdengar suara tusukan yang mengerikan.

"ARRGHH! Selamatkan saya, Detektif Penny. Saya telah ... ditikam oleh pelakunya," ucap Pak Bastian yang sangat lemas.

"Pak Bastian? Pak Bastian? Anda masih di sana?" tanyaku dengan rasa takut.

Sambungan telepon dengan Pak Bastian langsung terputus. Sepertinya pelaku mengambil ponsel milik Pak Bastian untuk melenyapkan bukti.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!