NovelToon NovelToon

Cinta Untuk Adita

Cinta Untuk Adita 1

Gubrak!

Aku membuka pintu kamar mami dengan kasar. Ada pemandangan yang menjijikkan hingga aku ingin membunuh dua manusia yang ada di hadapanku. Dua manusia tanpa busana yang sedang bergumul dengan wajah berkeringat penuh kelelahan.

Mataku memanas melihat mami dan suamiku bercinta layaknya suami istri. Dimana akal sehat mereka? Apakah mereka sudah sama-sama gila?

Oh tuhan!

Mereka terkejut bukan kepalang, serta merta mami menutup tubuhnya dengan selimut yang ada di atas ranjang. Sementara Mas Dani, suamiku spontan langsung mencari pakaiannya dan segera memakainya.

" Adita.. ini tidak seperti yang kamu lihat." Ia berusaha menjangkau ku. Aku yang terlanjur jijik padanya mencoba mundur agar ia tak bisa menyentuhku.

" Jangan sentuh aku!" Teriakku keras. Aku mengangkat kedua tanganku, agar ia berhenti mendekat.

" Jadi ini kelakuan kalian? Bertingkah layaknya binatang? Tega kamu mas!" Bentak ku pada pria yang sudah setahun ini menjadi suamiku.

Aku menatap mami, namun ia hanya menunduk. Tangannya menutup wajahnya. Malukah ia padaku?

Aku berjalan mendekat kearah ibu kandung ku itu.

" Mami.." suaraku bergetar. " Tega sekali mami berkhianat. Aku putri mu, mi. Putri yang lahir dari rahimmu dua puluh tiga tahun yang lalu."

Mama masih diam, namun ia berkali-kali mengusap wajahnya. Menyesalkah ia sekarang? Atau itu hanya air mata buaya.

" Sejak kapan, mi?" Aku melemah. Air mataku tumpah. Jika berbicara dengan mami aku tidak bisa sekeras itu, seperti tadi aku berbicara dengan mas Dani.

" Sejak kapan semua ini terjadi?" Ulangku lagi.

" Ma-maafkan mami, sayang." Ucap mami terbata-bata.

" Maaf? Maaf untuk apa? Untuk kejadian ini?" Tanyaku pelan. Bahkan tenagaku sudah habis terkuras meski aku tidak melakukan apa pun.

" Mami janji tidak akan melakukan ini lagi pada suami mu, mami janji akan... Mami janji, Adita.." mam mulai tersedu-sedu.

" Tolong jangan bilang papi, atau..."

" Atau apa?" Aku memotong perkataan mami.

" Atau... Rumah tangga mami akan hancur." Ucap mami pelan.

Aku tertawa bersama deraian air mata yang meluncur dengan bebas. Mulutku tertawa, tapi hatiku menangis.

Bisa-bisanya mami memikirkan rumah tangganya.

" Bukan hanya rumah tangga mama saja yang hancur, tapi... Rumah tanggaku pun akan hancur. Hancur mi!"

" Adita, kita bisa selesaikan ini dengan baik. Ini hanya kekhilafan antara aku dan mami." Mas Dani berusaha membela diri.

Aku menatap mas Dani tajam. Bisa-bisanya ia bilang ini hanya khilaf.

Oh Tuhan! Ini gila.

" Khilaf katamu, mas? Khilaf tapi memabukkan?" Sindirku tajam.

" Sudah berapa kali kalian melakukan ini? Sekali? Dua kali? Atau sudah berkali-kali? Kurang apa aku, mas? Apa goyangan ku tak seenak punya mamiku? Atau aku kurang menarik di matamu?"

" Adita!" Mami membentak ku. Sekian puluh tahun menjadi putrinya, ini kali pertama aku di bentak oleh mami.

Sakit! Ada luka yang tidak berdarah.

" Mami bentak Adita? Demi lelaki sampah ini? Kita bertemu akan bertemu dimeja hijau mas." Aku berjalan keluar dari kamar mami. Meninggalkan dua sejoli yang sedang di mabuk cinta.

Aku melajukan mobil dengan pelan. Bagaimana pun rasa sakit dan kecewa yang mendera, aku harus tetap waras. Jangan sampai aku yang menjadi celaka.

Sasaran utamaku saat ini adalah pergi ke kantor papi. Bagaimana pun juga papi harus tahu kejadian menjijikkan ini.

Aku memasuki pelataran parkir kantor papi. Cukup lama aku berdiam didalam mobil. Berusaha menghapus sisa air mata penghianatan mas Dani dan mami. Aku memberi taburan bedak di wajahku, agar penampilanku tak buruk. Aku mengatur napas agar jauh lebih tenang. Setelah merasa baik, aku melangkah masuk kedalam kantor papi.

Aku langsung menemui papi setelah mendapat izin dari sekretaris papi.

Tok..tok..tok..

Aku mengetuk pintu ruangan papi.

" Masuk." Terdengar suara perintah dari dalam. Dan itu suara papi.

Aku membuka pintu, papi terkejut melihat aku ada di balik pintu.

" Adita? Tumben. Masuk sayang." Papi tersenyum ramah padaku.

Aku memeluk papi. Rasanya dadaku terasa sesak mengingat kejadian di kamar mami.

" Duduk." Papi menepuk kursi kosong di sebelahnya.

Tanpa ku ku minta, papi memesankan segelas teh manis hangat untukku. Selalu begitu. Papi lebih percaya jika segelas teh akan memberi rasa nyaman dari pada sebuah es jeruk atau pun kopi.

" Dani sakit?" Tanya papi.

Aku menggeleng lemah.

Papi menghela napas berat. Beliau meletakkan kaca mata ya di atas meja.

" Sudah beberapa bulan ini Dani berubah." Ucap papi

" Maksud papi?" Tanyaku pura-pura bodoh.

" Karyawan papi bilang, Dani sering absen. Alasannya selalu tidak enak badan. Apa benar?" Papi menatapku, menunggu jawaban dari mulutku.

Lagi-lagi aku menggeleng. Aku tidak punya kekuatan untuk bercerita apa pun pada papi. Lidahku terasa kelu. Aku tidak tega untuk menyakiti papi.

" Tolong bilang sama Dani, meski papi pemilik perusahaan ini, namun dia tidak bisa bersikap semena-mena. Kantor ini punya aturan." Ucap papa lagi.

" Oh iya, tumben kamu datang kekantor papi. Ada apa?" Tanya papi keheranan.

Wajar jika papi heran melihat aku mengunjungi beliau kesini. Semenjak menikah dengan mas Dani, aku memilih resign dari kantor papi dan memberikan wewenang pada mas Dani untuk mengambil posisiku. Ku pikir, mas Dani domba ternyata ia tak lebih dari seekor serigala.

" Minum dulu Dit." Papi menyenggol lenganku. " Malah melamun." Ucap papi pagi.

Aku meminum teh manis hangat itu dengan sekali teguk.

Dan kini gelas di hadapanku sudah kosong.

" Haus?" Tanya papi menyindirku.

Aku hanya tersenyum kalut. Ku pandangi wajah papi, wajah yang bersih sebersih hatinya. Papi yang lembut, romantis sama mami, perhatian, selalu memenuhi kebutuhan dan keinginan mami, bahkan aku tidak pernah mendengar suara tinggi papi membentak mami. Lalu dimana kurangnya papi hingga mami tega berselingkuh? Dengan suamiku lagi.

" Pi?" Panggilku pelan.

" Hm."

" Papi pernah berselingkuh?"

Papi terbatuk-batuk mendengar pertanyaan ku.

" Dani selingkuh?" Tanya papi cepat.

Aku diam bahkan mataku memerah menahan kesakitan ini sendirian.

" Adita ingin bercerai pi." Ucapku lemah.

" Hah! Cerai? Memangnya benaran Dani selingkuh?" Wajah papi mengeras seperti menahan emosi.

" Iya pi." Ucapku terisak. Jika tidak dengan papi, mau kemana lagi aku berpulang untuk mengadu.

" Dengan siapa?"

Aku bingung harus menjawab apa. Haruskah aku jujur? Mulutku seperti terkunci aku tidak sanggup membuka fakta sesungguhnya pada papi.

Papi mengambil ponselnya, " papi harus telpon Dani sekarang."

" Jangan pi!" Aku mengambil ponsel dari tangan papi.

" Kenapa?"

" Jangan sekarang, pi."

" Lalu? Tunggu dia dan selingkuhannya hamil? Ucap papi meledak-ledak.

Dadaku seperti di hantam godam besar.

Tidak bisa ku bayangkan jika mami sampai hamil anak mas Dani.

" Apa kamu sudah memergoki Dani bersama perempuan lain?" Selidik papi.

Aku kembali mengangguk.

" Apa kamu mengenalinya?" Selidik papi.

" Ya, aku mengenalnya pi. Bahkan beliau adalah..." Tangisku pecah.

Papi memelukku, mencoba menenangkan ku.

" Bilang sama papi siapa wanita itu!" Ucap papi mulai emosi.

" Dia..."

Sanggupkah Adita menguak perselingkuhan mami dan suaminya?

Cinta Untuk Adita 2

" Apa kamu sudah memergoki Dani bersama perempuan lain?" Selidik papi.

Aku kembali mengangguk.

" Apa kamu mengenalinya?" Selidik papi.

" Ya, aku mengenalnya pi. Bahkan beliau adalah..." Tangisku pecah.

Papi memelukku, mencoba menenangkan ku.

" Bilang sama papi siapa wanita itu!" Ucap papi mulai emosi.

" Dia..."

" Dia siapa?" Suara papi mulai meninggi.

Hati orang tua mana yang tidak sakit jika mendengar putri kesayangannya di khianati oleh menantu yang sudah di percaya untuk menjadi pelindung putrinya setelah beliau tidak ada di dunia ini.

" Jangan takut, Adita. Papi janji akan membantumu dalam segala hal. Bila perlu papi sendiri yang akan menemui Dani."

" Papi janji akan baik-baik saja kan setelah tahu wanita itu?"

Papi mengangguk,

" Pi, mas Dani berselingkuh dengan mami." Ucapku melemah. Tanganku mengangsurkan sebuah ponsel milikku pada papi.

Sebelum menggerebek mami dan mas Dani, aku sempat memasang ponsel ku di tripod, tak lupa video ku nyalakan

Aku tidak ingin mereka mengelak dan balik menyerangku karena aku tidak punya bukti yang cukup kuat.

Wajah papi berubah pias, tangannya gemetar memegang ponselku.

Satu persatu air mata jatuh di wajah tuanya.

" Astaghfirullah... Allahuakbar.." hanya kata itu yang keluar dari mulut papi.

Beliau tampak syok.

Di luar dugaanku, papi menangis tersedu-sedu. Terpukulkah papi dengan penghianatan mami?

" Ke- kenapa harus mami? Kenapa harus mami, Dit?" Ucap papi parau.

Kami menangis sesenggukan berdua.

" Dit, papi kurang apa?"

" Papi sempurna. Papi adalah terbaik."

Aku mencoba memberi semangat pada papi meski sebenarnya hatiku pin sedang porak poranda.

" Papi tidak tahu harus bagaimana Dit. Papi tidak tahu harus marah sama mami. Papi begitu menyayangi mami, Dit." Ucap papi lagi.

" Pi, Dita tidak memaksa papi untuk melakukan hal yang sama seperti Dita. Semu keputusan ada di tangan papi. Jika papi sangat menyayangi mami dan tidak bisa hidup tanpa mami, tetaplah berdiri disamping mami sebagai suami mami. Namun.. Dita akan tetap mengajukan perceraian. Dita tidak bisa hidup dibayang-bayangi oleh masa lalu mas Dani yang pernah tidur bersama wanita lain. Apa lagi wanita itu mami. Dan Dita harap papi tidak sakit hati jika nantinya setelah ini hubungan Dita dan mami akan renggang dan tidak seharmonis dulu. Dita belum bisa memaafkan mereka, pi." Ucapku panjang lebar.

Papi mengusap rambutku, " bagaimana pun terlukanya kamu, jangan sampai kamu melakukan hal bodoh. Apalagi sampai bunuh diri."

Aku tertegun mendengar ucapan papi.

Sejauh itu papi memikirkan nasibku.

" Cuma kamu teman papi sekarang." Ucap papi sambil menggenggam tanganku.

Aku pamit pulang pada papi. Badan dan pikiranku terasa lelah, sepertinya aku butuh istirahat.

Jalanan ibu kota semakin padat dan macet karena banyak pekerja yang mulai pulang kerumahnya masing-masing.

Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit akhirnya aku sampai di depan rumah. Ada mbok Ni yang menyambut ku dengan senyum ramah.

" Non Dita mau mandi atau makan dulu biar mbok siapin." Tawarnya padaku.

" Aku mau mandi dulu mbok, oh iya apa ada Tuan sudah pulang?" Tanyaku penuh selidik.

" Belum non." Jawab mbok Ni sambil menutup pintu.

Aku masuk kedalam kamar, merebahkan tubuhku di atas ranjang.

Pikiranku melayang pada kejadian tadi di rumah mami. Bayangan mas Dani dan mami sedang bercumbu berputar-putar memenuhi kepalaku.

Aku menatap foto pernikahan ku dengan mas Dani yang terpampang rapi di dinding. Foto pernikahan bak raja dan ratu yang ku agung-agungkan akan bertahan hingga maut nyatanya hanya seumur jagung. Bahkan cumbuan mas Dani tadi malam masih terasa hangat kurasa.

" Apa yang menyebabkan kamu berubah mas?" Ucapku lirih.

*

Dua tahun yang lalu, aku mengenalnya tidak sengaja di sebuah tempat wisata. Saat itu aku sedang sendiri dan baru saja patah hati karena pacarku ternyata bermain api di belakangku. Aku galau sehingga mencoba menenangkan diri pergi kesebuah pantai. Ternyata mas Dani pun baru saja putus dengan kekasihnya karena kekasihnya harus pergi melanjutkan sekolahnya keluar negeri.

Saat berkenalan dengan mas Dani, entah mengapa aku begitu terkesan dengan pandangan pertama. Hingga perkenalan kami tak berhenti sampai di situ, ia meminta nomor ponselku, dan akhirnya iami sering bertemu. Tidak butuh waktu lama untuk kami saling mengenal, hingga suatu hari mas Dani datang kerumah membawa serta kedua orang tuanya. Ya. Mas Dani ingin melamarku.

Hati wanita mana yang tidak meleleh menerima keseriusan dari lelaki pujaannya.

Aku kembali mengingat momen-momen manis itu. Tidak ada yang janggal antara mami dan mas Dani, mereka terlihat bak anak dan mertua. Lalu kapan tepatnya mas Dani mulai bermain api?

Argggggh. Aku meremas rambutku. Merasa bodoh karena terpedaya oleh mas Dani dan mami.

Papi, apa yang sedang papi lakukan sekarang? Apa papi sudah bertemu dengan mami?

Aku mengusap sudut mataku yang berair lagi. Jika mengingat papi, aku terlalu mellow. Seharusnya papi dan mami mulai menikmati masa tua dengan bahagia, bukan dengan seperti ini.

Aku menarik selimut, menutup tubuhku yang mulai kedinginan. Biasanya ada mas Dani yang memelukku, memberi kehangatan padaku. Apakah aku bisa hidup tanpa mas Dani? Dimana dia sekarang? Apa dia sedang bersama mami? Api-api kecemburuan kembali membara.

" Tidak... Aku tidak boleh cemburu pada lelaki penghianat itu. Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh memaafkan lelaki itu lagi. Tidak.. tidak akan pernah. Ayolah Adita...bangkit! Lelaki seperti Dani tidak pantas untuk mendapatkan mu lagi. Dani hanya lelaki sampah!" Ratapku sendiri.

Lalu jika Dani sampah? Apa mami sampah juga? Bahkan aku sendiri tidak berani memaki mami, karena bagiku mami adalah ibu peri. Ia selalu lembut padaku.

" Mami.. kenapa mami tega membuat luka di hatiku?" Aku menangis sesenggukan mengenang mami.

Bagaimana pun mami adalah orang yang spesial bagiku.

Apa aku bisa hidup tanpa mami?

Karena terlalu lelah, akhirnya mataku mulai mengantuk. Aku terlelap bersama ribuan luka yang di ciptakan oleh mami dan suamiku sendiri.

*

Tring.. tring..tring..

Nyanyian alarm di ponselku berbunyi. Ini tandanya sudah pukul lima. Waktunya menemui Tuhanku, mengadu padanya tentang semua keresahan ku.

Ku basuh wajahku dengan air wudhu. Seberat apa pun masalahmu, tetaplah kembali pada Tuhan, dan tetaplah salat. Karena salat akan memperkuat iman mu sehingga iblis tidak bisa menghasutmu untuk mencari jalan pintas dalam menyelesaikan semua permasalahan yang sedang kuhadapi.

Tenang! Itu yang kurasa setelah mengadu pada Tuhan ku. Biasanya setelah salat aku akan bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi mas Dani. Untuk urusan perut, aku memegang kendali dirumah ini. Mbok Ni hanya membantuku membereskan rumah dan menyetrika pakaian. Tapi hari ini... Kegiatan itu tidak akan pernah terulang kembali. Tidak akan.

Aku duduk termangu didepan televisi. Ku biarkan televisi itu menyala. Biasanya setiap pagi mas Dani akan duduk didepan televisi menonton berita sambil menunggu sarapan selesai ku masak. Kami akan makan berdua di depan televisi sambil menonton berita. Mas Dani jarang mau makan dei meja makan. Aneh! Tapi aku suka dengan kebiasaan mas Dani. Dan aku tidak pernah melarang semua hal yang di sukai oleh mas Dani. Dan itulah yang selalu mami pesankan untukku.

" Adita, setelah menikah dan punya suami , jangan terlalu mengekang suami ini itu, jangan pernah melarang suami mu untuk melakukan hal yang ia sukai. Dan satu lagi, buat suami mu nyaman dalam urusan perut dan kasurnya." Pesan mami selalu terngiang-ngiang di telingaku.

Bahkan aku tidak pernah menolak berhubungan intim ketika mas Dani menginginkannya. Aku siap kapan pun mas Dani mau.

Kurang bahagia apa lagi kamu, mas?

Cinta Untuk Adita 3

" Adita, setelah menikah dan punya suami , jangan terlalu mengekang suami ini itu, jangan pernah melarang suami mu untuk melakukan hal yang ia sukai. Dan satu lagi, buat suami mu nyaman dalam urusan perut dan kasurnya." Pesan mami selalu terngiang-ngiang di telingaku.

Bahkan aku tidak pernah menolak berhubungan intim ketika mas Dani menginginkannya. Aku siap kapan pun mas Dani mau.

Kurang bahagia apa lagi kamu, mas?

Suara ponsel berbunyi menyadarkan aku dari lamunan. Nama papi terpampang di layar ponselku.

" Assalamu'alaikum, pi."

Terdengar suara parau papi di ujung sana.

" Iya pi, nanti Adita datang ke rumah papi. Sekarang Adita mau siap-siap dulu ya, pi."

" Waalaikumsalam, pi."

Aku bergegas bersiap untuk pergi kerumah papi.

Mendengar suara papi sepertinya beliau sedang tidak sehat.

" Ya Allah...berilah kesehatan selalu pada papi." Doaku dalam hati.

Aku mulai merias wajah. Menutupi mataku yang bengkak dan wajahku yang sembab dengan makeup. Aku tidak mau papi tahu kesedihan ku.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah papi. Sepi seperti tanpa penghuni. Hanya ada mobil sport papi yang terparkir dengan rapi, Itu artinya mami sedang tidak dirumah.

Aku membuka pintu yang tidak terkunci, tampak papi yang sedang termenung di ruang keluarga.

" Papi..." Aku menyentuh bahu papi.

Papi terkejut, belia tidak sadar jika aku sudah datang.

" Papi melamun?"

Papi hanya menggelengkan kepalanya, lalu beliau membuang pandangannya kesamping. Tangan keriput papi mengusap wajahnya.

" Papi jangan sedih." Ucapku serak.

Bagaimana aku bisa menguatkan papi, sementara aku sendiri juga sedang hancur.

Tak berapa lama terdengar langkah kaki memasuki rumah ini.

" Papi mengundang siapa?"

Belum sempat papi menjawab pertanyaan ku, aku melihat dua sosok yang ku kenal berjalan ke arah kami. Sosok yang dulu ku kagumi dan ku sayangi, mami dan mas Dani.

" Kamu boleh duduk, Dit." Papa menyuruhku duduk disampingnya.

Mami dan mas Dani masih berdiri, hingga papi mempersilahkan mereka duduk.

" Silahkan duduk." Ucap papi dengan suara bergetar.

Mami dan mas Dani duduk berdampingan. Mereka bagai dua remaja yang sedang dimabuk asmara, tak terpisah bak lem dan prangko.

Aku muak melihat pasangan yang ada dihadapanku. Jika bukan karena papi, mungkin aku sudah melempar mereka berdua dengan vas bunga yang berada diatas meja.

" Mami... Kenapa harus dengan Dani? Dan kamu Dani, kenapa harus dengan mami? Kenapa kalian tega menyakiti hati kami?" Tanya papi dengan pelan.

Mereka berdua hanya menunduk, entah apa yang ada di pikiran mereka saat ini.

" Mi, kita tidak muda lagi, mungkin papi bisa memaafkan mami, kita bisa memulai kehidupan yang baru, papi akan anggap semua kesalahan mami adalah karena mami khilaf. Mami seperti ini mungkin juga karena salah papi yang kurang memperhatikan mami. Mami masih maukan menemani papi sampai kita bertemu ajal nanti?" Ucap papi sedih. Bahkan papi kini sudah menangis, hal yang tidak pernah ia tunjukkan selama ini. Tapi kini cinta pertama ku sedang mengemis cinta pada permaisurinya yang sudah berkhianat. Dari apa hati papi terbuat?

Jika bukan karena sayang pada papi, mungkin aku sudah melarang papi untuk mengemis cinta. Yang bisa kulakukan saat ini adalah diam, membiarkan papi mendapatkan permaisurinya kembali.

Meski aku yakin, jika mami kembali pada papi, hubungan ku dengan mami takkan sebaik dulu.

" Maaf mas, aku gak bisa melanjutkan pernikahan kita. Aku sudah tidak mencintaimu lagi."

Ucapan mami bagai petir di siang bolong.

Papi terdiam menatap mami, beliau seperti tidak percaya mendengar ucapan yang keluar dari mulut mami.

Ah. Mami memang sudah berubah, seumur hidupku, mami tidak pernah memanggil papi dengan sebutan mas. Mami juga tidak pernah menyebut dirinya dengan kata aku.

Oh Tuhan!

" Aku memilih bercerai dengan mu, mas. Secepatnya aku akan mengurus surat perceraian kita." Ucap mami lagi.

" Apa yang membuat mami mencintai Dani? Apakah ia jago di ranjang? Ia jago memuaskan nafsu mami?"

Aku terkejut mendengar ucapan papi yang mulai ngelantur. Aku malu, jika urusan ranjang mulai di bahas secara terbuka.

" Cukup mas!" Suara mami naik satu oktaf lebih tinggi.

" Lalu apa yang mami dapat dari lelaki seperti Dani jika bukan urusan ranjang? Apa Dani punya harta seperti papi? Apa Dani bisa membuat mami keluar masuk salon? Jika bukan papi suaminya, tidak mungkin mami bosa secantik sekarang. Tidak mungkin mami masih awet muda, mulus seperti sekarang ini." Bentak papi.

Sepertinya kesabaran papi mulai habis.

Memang benar apa yang di bilang papi. Mami adalah wanita paruh baya yang terawat dengan baik. Kulitnya mulus dan kencang, bahkan sedikit keriput pun tidak ada di tubuh dan wajahnya. Itu semua karena papi berhasil menjadi seorang suami. Apa pun yang mami inginkan selalu di turuti oleh papi.

Papi berjalan kearah mereka berdua. Beliau mendekati mas Dani. Aku mulai ketar ketir, takut terjadi perkelahian antara mas Dani dan papi.

" Kenapa harus maminya Adita, Dani? Apakah bagimu Adita tidak menarik? Kalau benar Adita tidak menarik, mengapa kamu tidak mencari wanita di luar sana? Kalau kamu mau, kamu masih bisa mendapatkan perawan yang lebih menggoda di banding mami Adita." Ucap papi penuh penekanan.

Mas Dani hanya terdiam menundukkan kepalanya.

Tidak pernah terpikirkan olehku, jika aku akan berada didalam situasi seperti ini.

Munafik jika sekarang aku katakan bahwa cintaku sudah musnah. Aku masih mencintai pria penghianat itu, mas Dani adalah cinta pertamaku. Tapi ku pastikan, aku tidak akan kembali menjalin hubunganku dengan laki-laki yang pandai berkhianat, apalagi berkhianat dengan ibu kandungku sendiri.

" Dit, apa keputusanmu?" Tanya papi padaku.

" Aku akan tetap bercerai, pi." Jawabku mantap.

Mas Dani menatapku sendu, aku tidak mengerti arti tatapan mas Dani. Menyesalkah atau... Malah sebaliknya.

" Dit, " panggil mami pelan.

Aku menatap mami tajam.

" Dit..ma-maafin mami, dit. Mami mengerti perasaanmu, dit. Kamu pasti terluka dengan kejadian ini. Huuuhu..."

Mami menangis, namun tidak ada rasa iba di hatiku seperti dulu. Mami mendekatiku, ingin menyentuhku dan memelukku.

" Stop! Jangan mendekat!" Aku mundur beberapa langkah kebelakang, berusaha menjauh dari jangkauan mami.

" Dit.. mami sayang kamu, Dit." Ucap mami tersedu-sedu.

" Tidak.." aku menggelengkan kepalaku.

" Kalau mami sayang padaku, pasti mami tidak akan melakukan ini padaku. Kalau mami sayang padaku, mami pasti tidak akan menggores luka sedalam ini padaku. Mi, aku putrimu. Aku lahir dari rahim mu, mi. Sembilan bulan engkau mengandungku penuh cinta, puluhan tahun engkau menyayangiku tanpa syarat, lalu hanya karena lelaki ini... Semuanya hancur mi, hancur." Aku meluapkan kekesalanku kepada mami.

" Mi...sakit di sini, mi..." Teriakku sambil menepuk dada.

" Dit.." papi mengusap bahuku.

" Kita relakan mereka pergi dari kehidupan kita. Kita masih bisa bahagia meski tanpa mami. Saraswati hari ini kami bukan istriku lagi, dan hari ini aku ceraikan kamu."

" Silahkan pergi dari rumah ini." Usir papi.

Mas Dani bangun dari duduknya. Mas Dani menggandeng tangan mami dengan mesra. Mataku memanas memandang mereka. Ada api cemburu yang meletup-letup didalam dada.

Mas Dani... Kita pernah berjanji menua bersama, namun takdir Allah menggariskan kita hanya sampai disini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!