" Dokter anak saya kenapa dok?"
" Maaf bu kami harus menyampaikan hal buruk ini kepada ibu. Putra ibu terkena leukimia. Penyakit ini hanya akan bisa sembuh dengan donor sumsum tulang belakang dari ayah kandungnya atau saudara kandungnya. Untuk saat ini, dia harus rutin mengonsumsi obat agar bisa bertahan. Tapi alangkah baiknya jika transplantasi sumsum tulang belakang bisa dilakukan lebih cepat."
Perkataan dokter 6 bulan yang lalu itu membuat seorang wanita selalu merenung dan menangis sendirian di sepertiga malam dalam sujudnya. Mungkin ini adalah hukuman akan kesalahannya dimasa lalu. Namun, satu hal yang ia sesalkan. Mengapa bukan dirinya yang dihukum, mengapa harus putra nya yang menanggung semua kesalahan masa lalu kelamnya itu.
" Bunda."
Seorang pria kecil berjalan menghampirinya. Dan duduk di depan sajadahnya yang masih terbentang itu. Wajah imut nan menggemaskan bocah 5 tahun itu lah yang menjadi semangatnya.
" Apa bunda menangis lagi? Apa Tara menyusahkan bunda. Apa jika Tara tidak ada bunda akan berhenti menangis?"
" Ooh tidak sayang, jangan bicara begitu. Tara adalah hidup bunda. Tara harta bunda yang paling berharga. Jangan tinggalkan bunda ya nak. Bunda tidak menangis lagi oke. Bunda akan selalu tersenyum untuk Tara."
Taraka Abyaz adalah nama yang Kaluna berikan untuk putranya. Saat Tara lahir, mata putra nya itu memancarkan keindahan yang menelusup dalam hati Kaluna. Ya Taraka berarti mata yang indah dan Abyaz berarti takwa. Ia berharap Tara akan menjadi seorang pria yang bertakwa dalam hidupnya.
Kaluna membawa kembali Tara ke tempat tidur. Kaluna dan Tara tidur dalam satu kamar. Rumah kontrakan 2 petak itu hanya memiliki luas 6x4 meter. Bagian depan rumah tersebut oleh wanita 26 tahun itu digunakan sebagai tempat tidur. Bagian belakang ada dapur dan kamar mandi. Sungguh sangat sempit. Tapi tempat itu lah yang ia gunakan untuk tempat tinggal selama 6 tahun ini.
Tak berselang lama Tara kembali tidur. Ini adalah kesempatannya untuk kembali membereskan rumah. Mencuci, memasak, dan lain sebagainya.
Hari ini adalah jadwal Tara untuk kemoterapi. Maka dari itu Kaluna harus segera menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya pagi itu.
Wanita tersebut juga harus segera menuju ke rumah tetangganya. Ya, dia bekerja di sebuah tempat catering. Setiap habis subuh Kaluna harus sudah ada di sana untuk melakukan pekerjaannya.
Setidaknya itulah yang dikerjakan semenjak Tara di vonis terkena Leukimia, Kaluna berhenti bekerja sebagai SPG di sebuah mall terkemuka di kota yang sekarang ini dia tinggali. Ia harus selalu ada untuk Tara, beruntung tetangga kontrakannya memiliki usaha catering sehingga ia bisa ikut bekerja di sana. Terlebih jam kerjanya fleksibel dan dekat dengan rumah kontrakannya. Jadi ia tetap bisa mengawasi Tara sambil bekerja.
" Sayang, anak bunda. Bangun yuk. Ini udah jam 6 lho. Hari ini mau ke dokter kan?"
" Bund, apa rambutku bisa tumbuh lagi? Apa aku akan bisa sekolah seperti teman-teman?"
Dada Kaluna seketika sesak mendengar setiap apa yang terucap dari bibir sang putra. Ingin sekai ia menangis tapi sebisa mungkin ia tidka menjatuhkan air matanya. Kaluna sudah berjanji untuk tidak menangis dihadapan sang putra.
Jika bisa, Kaluna ingin menggantikan rasa sakit yang di derita Tara. Ia berharap, dia saja yang merasakan bagaimana efek kemoterapi yang membuat rambut anaknya itu rontok, mual muntah dna efek samping lainnya yang selama ini dirasakan sang putra.
" InsyaaAllaah bisa sayang. Nanti Tara bisa sekolah seperti teman-teman tetangga kita. Sekarang kita ke dokter dulu. Supaya Tara lekas sembuh."
Bocah 5 tahun itu mengangguk dan tersenyum. Namun senyumnya hilang setelah sang bunda menuju ke kamar mandi untuk mempersiapkan keperluan mandinya.
" Aku tidak mungkin sembuh sebelum aku bisa mendapatkan donor tulang belakang dari ayah ku bunda. Entah sampai kapan bunda akan bersusah payah seperti ini. Mengapa bunda tidak mencari dimana ayah ku berada? Apa sebenarnya yang terjadi diantara kalian?"
Rupanya Tara, sangat tahu persis kondisi dirinya. Ia tahu persis apa penyakit yang di derita nya. Hanya saja dia bersikap pura-pura tidak tahu di depan sang bunda.
Sebenarnya Tara merasa kasian melihat bunda nya itu pontang-panting mencari biaya untuk mereka hidup. Tapi mungkin dangan cara tersebut ia akan tahu siapa sebenarnya sang ayah.
Sampai saat ini Tara tidak tahu siapa ayah kandungnya. Setiap ia bertanya kepada sang bunda, bundanya hanya berkata bahwa apa yang terjadi dengan mereka bukanlah salah sang ayah melainkan salah bunda nya. Ayah Tara memiliki kehidupan sendiri yang tidak bisa mereka sentuh.
Dari hal tersebut bisa Tara simpulkan bahwa bisa jadi sang ayah tidak tahu keberadaan dirinya. Mungkin ayahnya tidak tahu bahwa bunda nya melahirkannya.
" Bagaimana aku bisa menemukan ayah ku. Sebelum di kota S ini bunda berasal dari kota J. Apakah ayah ku ada di sana? Yah, ku harap aku masih bisa bertemu sebelum nyawaku pergi meninggalkan ragaku."
Tes
Air mata Tara luruh juga. Namun ia segera menghapusnya agar sang bunda tidak tahu. Satu hal yang Tara harapkan, yakni bunda nya bisa hidup lebih baik, bunda nya hidup dengan memikirkan diri sendiri.
*
*
*
Rumah sakit daerah kota S. Tara sedang melakukan kemoterapi. Kali ini yang dijalani Tara adalah Radioterapi, terapi ini dilakukan dengan menembakkan sinar khusus ke area yang terkena leukemia limfoblastik untuk membunuh sel-sel kanker yang ada di jaringan tersebut.
Akan tetapi transplantasi sumsum tulang belakang nampaknya harus segera dilakukan mengingat kondisi tubuh Tara yang semakin tidak bagus. Kaluna menjadi kalut, akankah dia harus kembali ke rumah. Akankah dia harus menemui pria itu. Pria yang sebenarnya tidak bersalah.
" Ya Allaah, apa yang harus aku lakukan. Apakah aku egois. Apakah aku hanya mementingkan perasaanku saja. Tapi jika aku kembali akankah dia mau memberikan sumsum tulang belakangnya untuk Tara yang bahkan dia tidak pernah tahu keberadaannya."
Kaluna termangu, ia menatap sang putra yang masih terbaring lemah di brankar. Hal biasa yang terjadi setelah terapi. Beruntung kali ini Tara tidak merasa mual muntah. Namun terlihat wajah anak itu sangat pucat.
TBC
Karya anyar ya readers. Kira-kira ini bakalan melow apa gesrek ya? hahaha entah lah, kita lihat saja ya kedepannya seperti apa.
Mohon dukungannya ya untuk meninggalkan jejak setelah membaca. Like saja pun sudah lebih dari cukup untuk author. Di sini semakin sulit tanpa dukungan Anda semua para readers.
Tanpa dukungan Anda semua kami Author tidak akan bisa melanjutkan karya kami dengan baik.
Terimakasih, matur nuwun.
Sebuah pesta pertunangan siap akan digelar. Hanya tinggal 2 hari lagi dan semua orang sudah mendapatkan undangannya. Namun seorang pemuda tampan dengan tinggi 178 cm itu malah terlihat termenung. Tampak sebuah beban berat yang ia rasakan.
" Laaah, orang mau otw married kok malah asem bener sih mukanya kak."
Pria berusia 30 tahun itu sedikit terkejut saat seseorang menepuk punggungnya pelan.
" Ah Nat, sejak kapan kesini?"
" Tadi dari rumah sakit langsung ke sini. Oh iya Naisha sama bocil besok kesininya. Kenapa sih kak, kok kayaknya kusut gitu. Ada yang dipikirin?"
Meskipun usia Nataya lebih tua beberapa bulan dari Yasa, ia tetap memanggil kakak pada anak pamannya tersebut. Dokter muda yang kini sudah menjadi dokter spesialis bedah anak itu sedari tadi melihat keanehan dari diri sang kakak sepupu. Jika biasanya orang yang akan menikah akan terlihat rona kebahagiaan ini tidak terlihat sama sekali di wajah Yasa.
" Ada apa kak, coba beritahu. Kakak sepertinya sangat tertekan."
" Entah Nat, aku merasa seperti sedang berada di tepi jurang saat ini. Aku tidak tahu apakah keputusanku menikahi Ciara benar atau tidak. Aku merasa ada sesuatu yang salah dalam diriku tapi aku sama sekali tidak bisa menemukan apa itu."
Nataya mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Yasa. Tapi Nataya tetap berusaha mendengarkan setiap cerita Yasa tersebut. Ada satu hal yang membuat Nataya merasa sedikit aneh dengan raut wajah yang Yasa tampilkan.
" Apa ada sesuatu yang menganggu mu kak?"
" Entahlah Nat. Aku merasa ada sesuatu yang terlewat."
" Istikharah lah kak, minta petunjuk sama Yang Maha Kuasa. Meminta lah dengan sungguh-sungguh. "
Yasa mengangguk, upacara pertunangannya akan digelar besok dan sebulan kemudian ia akan menikah dengan Ciara, gadis yang beberapa bulan ini dekat dengannya. Tidak ada yang salah dengan Ciara, gadis tersebut adalah gadis yang baik. saat pertama kali melihat Ciara, Yasa sepeti sudah mengenalnya. Siapa sangka ternyata Ciara adalah mantan mahasiswa nya dulu.
Yasa dan Ciara bertemu saat mereka tengah berada di sebuah toko buku. Bukan untuk membeli buku sebenarnya tapi Yasa sedang membeli alat lukis. Pria itu gemar sekali melukis, sehingga beberapa waktu sekali ia akan datang untuk mencari kanvas.
Singkat cerita mereka berhubungan dengan baik karena Ciara mengatakan memiliki hobi yang sama dengan Yasa. Lambat laun Ciara mulai menaruh hati kepada Yasa. Awalnya Yasa tidak merasakan hal yang sama hingga Ciara meminta Yasa untuk menjadi kekasihnya.
Entah apa yang dipikirkan Yasa, pria itu menyanggupi keinginan Ciara. Yasa membawa Ciara kehadapan ayah dan ibu nya dan sang ayah meminta mereka untuk serius dalam berhubungan. Radi, ayah Yasa tidak ingin Yasa terlalu lama berpacaran. Pria paruh baya tersebut tentu khawatir pergaulan anak sekarang yang diluar batas, meski ia yakin putra nya tidak akan melakukan hal-hal seperti itu. Dan pada akhirnya terjadilah pertunangan ini yang akan digelar besok.
Sepulangnya Nataya, Yasa masuk ke kamar dan kembali termenung. Ia akhirnya menuju ke kamar mandi, mengambil wudhu lalu membentangkan sajadahnya. Berharap menemukan jawaban dari kegundahan hatinya selama ini.
" Ya Raab, apa sebenarnya yang terjadi pada diriku. Mengapa aku merasa rencana pertunangan dan pernikahan ini adalah sebuah kesalahan. Lalu apa yang terjadi sebenarnya dengan masa lalu ku. Aku sama sekali tidak mengingat akan hal itu. Apa yang sudah aku lewatkan. tolong beri aku jawaban. Tolong berikan hamba-Mu ini sebuah petunjuk. Amiin."
*
*
*
Di dalam sebuah bus terlihat ibu dan anak duduk bersebelahan. Sang ibu memangku kepala sang anak agar bisa tidur sedikit lebih nyaman meskipun juga tidak nyaman. Tapi ibu itu berusaha membuat sang putra lebih nyaman.
" Halo Kal, lo serius mau balik."
" Iya Bri, gue bakalan balik. Apa lo bisa bantu gue buat nyari tempat tinggal."
" Lo tenang aja, gue ada rumah kok di kota J. Nanti kalau udah mau sampai terminal lo kabarin gue ya. Gue jemput."
Kaluna, wanita itu menutup panggilannya terhadap sang teman. Ya, ia memutuskan membawa Tara kembali ke ibu kota. Bukan untuk menemui ayah biologis Taraka, tapi untuk menemui dokter yang direkomendasikan oleh dokter di rumah sakit sebelumnya di kota S. Dokter tersebut mengatakan untuk Kaluna berkonsultasi dengan dokter yang ada di kota J mengenai keadaan sang putra.
" Apakah aku akan pulang? Tidak sepertinya aku tidak akan pulang. Mereka pasti tidak akan menerimaku. Bukan salah mereka. Semua adalah salah ku.
" Apa yang kau sembunyikan Kal, mengapa kau begitu melindungi pria itu. Apa yang sebenarnya terjadi. Papa nggak habis pikir. Kamu tidak mau mengatakan siapa ayah dari bayimu itu. Terus kamu mau apa sekarang hah. Ya Allaah, apa ini karma ku. Sebaiknya kau interopeksi diri Kal. Setelah kamu siap, kembalilah ke rumah dan katakan siapa pria itu."
" Pa sudah, jangan begitu. Kaluna memang salah tapi sebagai orang tua seharusnya kita mengayomi nya pa. mari kita cari tahu dulu."
Kaluna memejamkan matanya saat mengingat betapa marahnya sang papa saat itu dan betapa pias nya wajah sang mama. Ya, semuanya adalah salah nya. Hanya karena sebuah taruhan dia melakukan hal yang tidak pantas.
Tapi semuanya kini bagai karma untuknya. Putra nya sakit, hatinya hancur mengetahui hal tersebut. Seakan ini adalah balasan Tuhan atas semua perbuatannya. Kaluna memilih pergi dan kukuh tidak mengatakan siapa pria yang telah membuatnya berbadan dua. Berkali-kali Kaluna menangis jika melihat wajah putranya. Anak sekecil itu harus menanggung sakit yang luar biasa.
Sekitar 9 jam perjalanan dari kota S ke kota J. Sekarang tentu jauh lebih cepat karena adanya jalan bebas hambatan. Kaluna menggendong Tara yang masih tertidur untuk kemudian turun dari bus saat sudah sampai di terminal. Wanita itu meminta tolong kepada kernet bus untuk menurunkan barang-barangnya yang ada di bagasi bus.
Kaluna menatap langit yang masih gelap itu. Mengambil nafasnya dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Matanya sesaat terpejam merasakan hawa kota kelahirannya yang sudah 6 tahun ia tinggalkan.
" Haaaah, akhirnya aku pulang. Selamat datang putra ku, ini adalah rumah bunda yang sebenarnya. Bunda harap kamu bisa lebih sehat dan lebih baik lagi berada di sini. Semoga ada harapan untuk sembuh meski tidak dengan mendapatkan donor sumsum tulang belakang dari ayah kandung mu."
Kaluna menaruh harapan besar di kota kelahirannya itu. Harapan untuk putranya untuk bisa sembuh dan mewujudkan keinginan sang putra untuk bisa bersekolah seperti anak-anak seusianya.
TBC
Seorang wanita berlari ke arah Kaluna, dengan cepat ia mencium kening Tara. Tak lupa ia juga memeluk sahabat yang sedari lama ia rindukan itu. Pekerjaannya yang sangat sibuk tidak bisa membuat nya bisa selalu mengunjungi sang sahabat.
" Asli gue seneng banget lo balik lagi Kal."
" Thanks Bri, lo memang sahabat terbaik gue."
" Kal, kok tara."
" Nanti gue ceritain Bri."
Brisia mengangguk, dari sorot mata Kaluna ia bisa menyimpulkan bahwa sahabatnya itu tengah memikul beban yang begitu berat. Wajah Kaluna tampak tirus, tubuhnya juga jauh lebih kurus dari terkahir kali ia lihat setahun yang lalu. Brisia sedikit menyesal sebenarnya karena tidak bisa sering mengunjungi Kaluna, Tugas yang diberikan daddy nya cukup banyak sehingga ia tidak bisa berkutik sedikit pun.
" Ini rumah mu Bri?"
" Iya Kal, maaf ya kalau kurang nyaman."
Kaluna menggelengkan kepalanya cepat. Rumah Brisia sungguh besar. 4 kali lipat bahkan lebih besar dari pada rumah kontrakan yang ia dan putranya tempati di kota S kemarin. Brisia bahkan sudah menyiapkan kamar untuk Tara. Kaluna meneteskan air matanya atas apa yang diberikan oleh sahabatnya itu.
Waktu menuju pagi masih sekitar 3 jam lagi. Kaluna membaringkan tubuh lemah Taraka di atas tempat tidur dan menyelimuti bocah tersebut. Ia mencium kening sang putra untuk sesaat dan berjalan keluar dari kamar. Tak lupa ia menutup pintu kamar dengan perlahan agar tidak membangunkan sang putra.
" Jadi Kal, apa yang terjadi sebenarnya dengan Tara. Kenapa ponakan gue kondisinya lemah begitu."
Meskipun Brisia seorang peneliti dan bukan seorang dokter, tapi Brisia bisa melihat degan jelas bahwa Taraka yang ia anggap sebagai ponakannya sendiri itu dalam kondisi yang tidak sehat dan lemah. Padahal terakhir ia berkunjung ke kota S, bocah itu masih sangat sehat dan ceria.
" Tara di vonis leukimia 6 bulan yang lalu. dan kondisinya semakin memburuk mulai dari awal bulan ini. Awal-awal semuanya masih bisa diatasi bahkan dokter mengatakan Tara bisa sembuh dengan pengobatan dan kemoterapi. Tapi sebulan ini sel kanker yang ada di tubuhnya malah bertambah."
Brisia menutup mulutnya sendiri dengan tangan. Air mata gadis itu tak kuasa lagi tertahan. Ia sungguh merasa sangat sedih dengan kondisi putra dari sahabatnya itu.
" Apa kata dokter, dan apa karena itu kamu kembali? Apa kamu akan menemui pria itru."
Kaluna menggeleng. Bukan menjawab tidak, tapi dia bingung dengan apa yang harus ia lakukan saat ini.
" Kal?"
" Entahlah Bri, aku sungguh tidak tahu. Tapi yang jelas aku besok harus ke RSMH. Dokter di rumah sakit sebelumnya meminta ku menemui Dokter Nataya. SP. BA katanya dia adalah satu-satu nya dokter spesialis bedah anak terbaik di negeri ini. Aku berharap dia bisa menolong Tara."
Brisia mengangguk mengerti. Brisia tentu tahu siapa Nataya, ponakan dari teman papa nya itu. Brisia juga pernah bertemu beberapa kali saat ada seminar ilmiah. Bahkan Nataya juga merupakan seorang pembicara di sana.
" Aku harap dokter itu bisa menyembuhkan Tara." Doa tulus dipanjatkan oleh Brisia untuk putra dari sahabatnya.
Di dalam kamar, Tara bangkit dari posisi tidurnya. Ia lalu turun dari ranjang dan megambil sesuatu dari tas nya. Satu set alat lukis beserta kanvas nya. Ia ingin melanjutkan lukisannya yang belum selesai. Lukisan seorang pria, tapi lukisan itu tak kunjung selesai. Tara tidak bisa menggambar wajah pria itu. Pria yang selalu muncul dalam mimpinya dang mengatakan bahwa dia adalah ayah nya.
" Apa aku kan bertemu dengan mu di sini ayah. Aku harap begitu. Sebelum aku bertemu dengan malaikat pencabut nyawa, aku harap bisa bertemu dengan mu lebih dulu. Dan aku berjanji akan pergi dengan tenang karena bunda tidak akan sendirian."
*
*
*
" Apakah sudah bangun? Wah anak bunda pintar sekali. Tapi kenapa tidak panggil bunda sayang. Memangnya bisa mandi sendiri?"
" Bisa bunda, kamar mandi Onty Bri kan ada air panas otomatisnya jadi Tara bisa memakainya dengan mudah."
Kaluna tersenyum, ia sangat senang melihat Tara yang begitu bersemangat. Bahkan Tara terlihat lebih sehat pagi itu. Tara memilih baju nya sendiri dan memakainya tanpa bantuan Kaluna.
" Apakah begini sudah benar bunda?"
Kaluna mengangguk, wanita itu pun menghampiri sang putra dan merapikan sedikit baju putranya. Tak lupa sebuah topi diambil dari dalam tas dan dipakaikan di kepala Tara.
Keduanya berjalan bersama ke luar kamar. Tampak Brisia sudah duduk di dapur menunggu ibu dan anak tersebut untuk sarapan bersama.
" Waaah keponakan onty ganteng sekali."
" Terimakasih onty, tapi Tara pasti tambah ganteng kalau punya rambut."
" Aishhh sama saja sayang. Kalau udah dasarnya ganteng mah mau ada rambut atau enggak pun tetep ganteng. Yukk sarapan, hari ini Tara mau ketemu om dokter baru kan. Dokter Nataya, asli dokternya baik lho."
Cerita mengenai dr. Nataya mengalir begitu saja dari Brisia. Kaluna sedikit heran mengapa Brisia sangat mengenal Nataya. Melihat keheranan di wajah Kaluna Brisia pun menjelaskan bahwa ia sering mengenal Nataya karena om nataya dan daddy nya berteman.
" Ayo sayang kita berangkat."
Ketiganya sudah berada di mobil dan siap untuk menuju ke rumah sakit. Kaluna tentu sudah dibuatkan janji oleh dokter yang ada di rumah sakit sebelumnya sehingga ia sudah mendapat antrian terlebih dahulu.
RSMH, rumah sakit besar itu membuat Tara kagum. Ada secercah harapan dalam hati bocah kecil itu untuk bisa sembuh agar bisa bertemu dengan sang ayah.
" Atas nama Taraka Abyaz. Silahkan masuk."
Kaluna dan Taraka masuk ke dalam ruangan yabg di depan pintunya bertuliskan dr. Nataya Giandra Lagford Sp. A. BA ( spesialis anak dan spesialis bedah anak).
" Hai ganteng, bagaimana kabarnya hmm? Senang bertemu dengan Taraka. Apa om dokter bisa memanggil Tara aja."
" Boleh om. Alhamdulillaah baik om."
Nataya tersenyum, ia melihat Taraka dan Kaluna bergantian. Nataya lalu meminta Tara untuk berbaring dan ia membaca rekam medis milik Tara.
" Berarti kita akan mulai kemo lanjutannya ya bu."
" Iya dokter. Oh iya dokter, apakah benar Tara harus mendapatkan donor sumsum tulang belakang untuk bisa sembuh total?"
Nataya tersenyum lagi, ia menjelaskan mengenai segala hal mengenai penyakit Tara secara menyeluruh. Ia juga mengatakan akan memastikan terlebih dulu sejauh mana sel kanker yang ada dalam tubuh Tara menyebar.
" Bu, apakah tidak keberatan jika Tara di rawat untuk beberapa hari di sini. Kami harus melakukan observasi dan mengambil tindakan yang tepat."
Kaluna terdiam sesaat, di rawat berarti biaya yang dikeluarkan semakin besar. Saat ini dia juga belum bekerja. Meskipun Brisia mengatakan akan mencarikan pekerjaan, akan tetapi tidak mungkin juga meminta gaji lebih awal.
" Apakah harus rawat inap dok?"
" Sebaiknya begitu bu."
Kaluna benar-benar bingung. Ia berada dalam dilema. Akankah ia pulang untuk meminta kepada orang tuanya atau memilih membawa putranya pulang ke rumah. Sungguh ini adalah pilihan yang sulit
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!