"Cincin ini aku berikan kepadamu sebagai lambang cinta kasih dan kesetiaan."
Kedua mempelai bergantian mengucapkan kalimat tersebut, saling melingkarkan cincin di jari manis.
Alrescho Nero Adhitama dan Jesslyn Fay Edre baru saja resmi menjadi suami istri. Semua mata bahagia tertuju pada keduanya.
Dua pria paruh baya mengenakan tuxedo navy menjadi yang paling bahagia.
"Akhirnya, impian kita terwujud," ujar salah satunya yang tak lain Arya Bramantio, ayah kandung Fay.
"Istri kita pasti bahagia di atas sana." Danu tersenyum haru menatap kedua mempelai.
Keduanya sedih. Kebahagiaan ini tidak dirasakan para istri yang meninggal dunia karena kecelakaan pesawat. Padahal ini juga keinginan mereka.
Hari itu pesta pernikahan digelar besar-besaran. Meriah dan Mewah. Undangan yang hadir selain keluarga hanyalah pengusaha elit, pejabat, dan pemilik perusahaan besar yang ternama.
Gambar Ilustrasi
*****
Pesta akhirnya usai. Nero dan Fay berangkat bulan madu berdua di tempat yang sudah dipersiapkan asisten pribadi Nero.
Mobil mewah Nero melaju cepat menuju bandara. Pesawat pribadi keluarga Adhitama sudah menunggu. Fay tersenyum bahagia membayangkan pernikahan yang indah.
"Jangan lupa tugas yang saya berikan." Suara Nero terdengar dingin saat berbicara dengan asisten pribadi nya lewat telpon.
"Kita bulan madu ke mana, Mas?" Fay tersenyum manis.
Nero memandang dingin istrinya. "Lihat saja nanti."
Mendapat tatapan dingin membuat Fay bingung. Ia sama sekali tidak merasa membuat kesalahan apapun. Melihat Noe kembali sibuk dengan HP, gadis itu memilih diam.
"Mungkin kelelahan atau memang sedang ada masalah, nanti saja," batin Fay mencoba menenangkan diri.
Beberapa saat kemudian mobil tiba di pangkalan bandara. Nero berjalan terburu tanpa menunggu Fay. Sibuk berbicara dengan seseorang di telpon.
Fay berusaha mempercepat langkah kaki menyusul Nero. "Tunggu, Mas!"
"Lelet!" bentak Nero kasar. Sontak membuat lawan bicaranya kaget.
Semakin dipercepat langkah kakinya, meski dalam hati terus bertanya kenapa sikap suaminya sangat ketus dan tidak sabaran.
*****
Fay mengeringkan rambut usai mandi. Masih dikenakannya bath robe di badan. Tampak bayangan Nero yang berjalan mendekat di cermin rias. Ekspresinya tetap dingin.
"Buruan, saya tunggu di meja makan." Nero keluar kamar tanpa peduli respon Fay yang masih saja heran.
Sudah habis kesabarannya, ia letakkan pengering rambut di meja. Tanpa peduli masih mengenakan bath robe, segera dihampirinya Nero.
Saat ini keduanya menghabiskan bulan madu di hotel super mewah yang ada di London. Tersedia dua kamar dengan kamar mandi dalam, ruang tamu, dapur, dan ruang makan.
"Kamu kenapa Mas, aku salah apa?" Fay menatap kesal Nero yang duduk tenang di meja makan.
"Duduk, kita harus bicara!" perintah Nero tegas.
Diletakkannya selembar map hitam di atas meja. Menyuruh Fay membuka dan membacanya dengan seksama.
"Baca! Ada hal yang mesti kamu pahami."
Ragu-ragu Fay membuka map dan membacanya. Melihat judul terpampang jelas membuatnya terkejut bukan main.
"Kontrak pernikahan?!"
"Baca dulu!"
Gambar Ilustrasi
Fay meletakkan kembali dokumen itu di atas meja. Wajahnya tegas menahan amarah dan kecewa.
"Pernikahan itu bukan permainan, Mas. Aku nggak mau tanda tangan hal bodoh ini." Fay menggeleng tegas.
"Saya punya alasan kuat kenapa harus seperti ini," desis Nero dengan tatapan tajam.
"Apa?"
"Saya nggak cinta sama kamu. Papa mengancam akan mendepak dari perusahaan kalau nolak pernikahan sialan ini. Jadi, kita turuti saja untuk sementara waktu. Dua tahun lagi kita cerai."
"Nggak mau! Aku ngerti kita memang belum terlalu kenal. Pelan-pelan pasti kamu bisa mencintai aku, Mas."
Nero menggeleng kuat. "Aku punya kekasih. Tiga tahun lagi, saya janji akan menikahi dia."
Fay kehilangan kata-kata. Otaknya terus berusaha keras mencerna kalimat barusan.
"Ada hati perempuan yang harus saya jaga. Tujuh tahun lebih kami menjalin hubungan dan semuanya hancur karena pernikahan ini," tutur Nero lagi.
"Aku terima pernikahan ini karena ingin penuhi harapan terakhir mama," ujar Fay bohong. Meski ini perjodohan, tapi dia menyukai Nero sejak pertama kali berjumpa.
"Jujur saya juga. Tapi, saya nggak mungkin seumur hidup sama kamu. Cukup 2 tahun saja kita berbakti, setelah itu kamu bisa cari laki-laki lain di luar sana."
"Tapi Mas ..."
Nero mengeluarkan selembar foto berwajah seorang perempuan cantik rambut panjang bak model. Melihatnya saja membuat Fay minder.
"Namanya Widi. Kekasih saya. Kamu perempuan, dia juga. Harusnya sesama perempuan tahu bagaimana cara menjaga perasaan."
"Nggak mau! Aku juga perempuan, Mas!" Fay berdiri kembali ke kamar. Hatinya kecewa, harapannya memiliki bahtera rumah tangga bahagia telah pupus.
Nero menyusul Fay ke kamar. Mukanya merah padam oleh amarah yang meluap.
"Dengar Fay! Bertahun-tahun saya dan Widi berjuang, kamu pupuskan begitu saja! Kamu harus tanggung jawab! Hanya kontrak ini yang bisa membuat Widi percaya dan mau nunggu sampai kita pisah!" cecar Nero tanpa jeda.
"Kalau tahu Mas Nero punya kekasih, aku nggak akan setuju menikah!"
"Papa tidak beri restu kami menikah kecuali setelah mencoba pernikahan dengan pilihannya. Kesempatan saya hanya cukup jadi duda, setelah itu baru bisa menikahi Widi."
"Konyol!"
"Terserah! Percaya atau tidak, ini fakta!"
"Saya yakin dua tahun cukup buat keluarga percaya kalau kita memang tidak cocok. Kontrak ini satu-satunya cara agar Widi bersedia menunggu sampai kita cerai."
"Kasih aku waktu, Mas," ujar Fay pada akhirnya setelah beberapa detik diam.
Ting Tong! Room service datang membawakan makan malam. Pembicaraan terpaksa berhenti. Keduanya memutuskan untuk menjernihkan pikiran dengan dinner.
Suasana makan malam sunyi tanpa percakapan. Fay kehilangan nafsu menciptakan topik obrolan. Nero hanya diam, sesekali melirik seolah ingin memastikan sesuatu.
Baru lima menit menyantap hidangan, sesuatu yang aneh mulai menjalari tubuh Fay. Perlahan badannya mulai terasa panas. Ia menanyakan AC apakah mati atau rusak.
Nero menjelaskan dengan tenang. Tadi dia meminta pelayan memasukkan beberapa tetes obat perangsang di makanan mereka. Ia mengatakan pada pelayan kalau istrinya ingin melewatkan malam pertama dengan cara yang tidak biasa.
"Setelah mendengar pengakuan tadi, kamu pasti menolak melayani saya sebagai istri. Biar lebih mudah, kamu nikmati saja dengan cara yang berbeda. Kalau ketahuan masih virgin, bisa berantakan semuanya," ucap Nero ketus.
Fay tak bisa menolak, tubuhnya hanya pasrah diangkat menuju kamar tidur. Pergumulan di ranjang selayaknya suami istri pun terjadi semalaman penuh. Hasrat keduanya berkobar di bawah kendali obat itu.
*****
Fay terdiam di meja makan. Air matanya bengkak. Makan siang miliknya sama sekali tidak menggugah selera. Permainan semalam memang panas. Sayangnya itu di luar kemauannya. Cara seperti ini lebih mirip disebut pelecehan seksual.
Sepanjang malam tubuhnya diperlakukan kasar. Terdapat beberapa luka lebam akibat gigitan dan cengkraman Nero yang terlalu kuat.
Selama berhubungan intim, lontaran kasar dan hinaan juga selalu keluar dari bibir suaminya. Nero sangat tidak manusiawi. Pengalaman pertama Fay menjadi mimpi buruk.
Esoknya di luar dugaan, Nero meminta Widi datang menyusul. Parahnya, ia mengajak perempuan itu untuk ikut menginap sampai waktu bulan madu mereka habis.
Fay biru menyadari soal tugas yang diberikan pada asisten pribadi Nero adalah menjemput Widi ke tempat mereka bulan madu.
Keinginan membawa serta perempuan lain itu menjadi awal bencana lainnya. Dua malam selanjutnya, Fay harus menahan sesak setiap kali terdengar desah nafas erotis dari kamar sebelah.
Nero langsung membuktikan bahwa ia memang mencintai wanita lain. Seandainya waktu bisa diulang, ia ingin pernikahan ini tidak ada.
📲 Pesan untuk Fay dari Nero -> Cukup 2 tahun. Saya tidak akan buat kamu menangis lagi. Tanda tangan kontrak itu!
Dada Fay semakin sesak usai membaca pesan singkat itu. Hatinya terlampau sakit setelah semalam diperlakukan seperti pelacur. Diraihnya pulpen dan map hitam di atas nakas, lalu mengirim pesan singkat untuk Nero.
📲 Pesan untuk Nero dari Fay -> Sudah.
Di kamar sebelah senyum Nero mengembang begitu membaca balasan dari Fay. Ia letakkan kembali HP di nakas dan melanjutkan pergumulannya dengan Widi.
Suara er*tis kembali terdengar. Air mata Fay semakin deras basahi pipi. Bayangan indahnya pernikahan telah hancur dengan cara menyakitkan.
Malam ketiga harusnya menjadi malam terakhir bulan madu mereka. Di luar rencana, Nero memperpanjang 2 hari lagi. Alasannya masih ingin menghabiskan waktu berdua dengan Widi.
"Kita pulang 2 hari lagi, Saya sudah beri tahu orang rumah dan mereka tidak masalah," ucap Nero membuka percakapan mereka saat sarapan.
Ketiganya sarapan bersama di meja. Widi dan Nero tidak masalah dengan itu. Lain dengan Fay, sejujurnya dia sangat keberatan dan berniat menolak.
Fay sangat ingin bicara tidak. Namun, ucapan itu ia batalkan sebab Widi terus-menerus merengek minta sarapan bertiga. Perempuan itu jelas ingin pamer kemesraan.
Sekuat tenaga Fay menahan kesabaran. Batinnya teriak ingin menyudahi perbuatan mereka, tapi sadar sebab di sini dialah yang dianggap pelakor itu.
Fay paksa telan makanannya meski terasa hambar. Nafsunya benar-benar hancur. Malas berdebat, ia pun mengiyakan keinginan Nero memperpanjang bulan madu.
"Terserah." Fay bangkit berdiri. "Aku kenyang. Kalian silakan lanjutkan sarapannya."
*****
📞"Gimana bulan madunya?"
"Seru banget!" Suara Fay berubah ceria begitu mendengar suara ayahnya di telpon.
📞"Pantesan diperpanjang dua hari. Mau kayak apa tetap nggak akan puas, Fay. Bisa dilanjut di rumah. Hahaha ..." canda Arya begitu Fay menceritakan soal keinginan Nero memperpanjang bulan madu.
"Fay cuman ikutin maunya Mas Nero, Pah. Galeri gimana?"
Jengah membicarakan Nero, dialihkannya topik pembicaraan ke soal galeri. Anak dan ayah itu langsung terlibat pembicaraan seru terkait galeri lukis yang mereka berdua kelola.
Fay selama ini bekerja sebagai kurator lukisan di galeri milik ayahnya. Kemampuannya memilih karya berkualitas tidak diragukan lagi. Pameran yang ia gelar pasti sukses.
Sebagian besar koleksi lukisan pilihan Fay pasti laku kalau dilelang. Nilainya selalu fantastis, mulai dari puluhan hingga ratusan juta.
Sesekali ia juga memamerkan karya lukisan buatannya sendiri. Sebagai lulusan seni rupa, melukis pasti sudah jadi keahliannya.
Nilai satu lukisan milik Fay minimal seharga ratusan juta. Harga tertinggi yang pernah ia capai senilai 200juta dollar. Harga yang sangat fantastis untuk pelukis muda.
Tok Tok Tok! Nero membuka pintu tanpa menunggu jawaban. Ia tampak lain dengan balutan pakaian santai. Kaos singlet dan celana jeans selutut. Rambut basahnya membuatnya terlihat fresh dipadu dengan wajah tampannya. Penampilan yang sempurna.
"Kami mau nonton di ruang makan. Berhubung kita nggak mungkin minta room service, tolong kamu bersihkan kamar sebelah."
Belum sempat mengiyakan, Nero sudah berlalu pergi.
"Aku belum jawab iya, Mas!" teriak Fay kesal.
📞 "Siapa itu Fay? Nero, ya?"
"I-i- ya, Pah. Mm... Fay dipanggil Mas Nero buat bantuin beres-beres kamar,"
📞 "Duh...pasti berantakan banget ya kamarnya abis main gulat. Malu ya pake room service. Mirip banget sama papa mama dulu. Hahaha ..."
Fay ikut tertawa meski pura-pura. Ia pun segera menyudahi perbincangan itu. Dihembuskannya nafas panjang.
"Berantakan banget, Pah. Berantakan habis bergumul dengan perempuan lain," dengus Fay marah.
*****
Sudah dua jam lebih Fay berusaha merapikan kamar yang ditempati Nero dan Widi. Botol alkohol berceceran di meja dan lantai. Camilan berserakan di semua tempat. Selimut dan seprai yang berantakan meninggalkan bau khas hasil persetubuhan.
Selama ini dia tidak pernah merapikan kamarnya sendiri. Merapikan sebanyak ini jelas membuatnya kelelahan.
Sayup-sayup terdengar suara tawa dari luar kamar. Fay mendelik tajam ke arah pintu. Muak dengan cara mereka, muncul ide di kepala Fay.
Diambilnya selimut dan seprai lalu melangkah menghampiri Nero dan Widi. Keduanya tengah asyik menonton film di ruang makan.
"Sudah beres?" tanya Widi basa-basi begitu melihat Fay yang berdiri di depan mereka.
"Beresin sendiri!" Fay melempar selimut kotor itu ke mereka. Ia sudah muak diperlakukan seperti manusia tanpa harga diri.
"Apa-apaan kamu!"
Tidak siap menghadapi amarah Nero, secepat mungkin Fay berlari masuk ke kamar, menutup pintu dan mengunci rapat. Jantungnya berdegup cepat.
Nero berteriak memanggil namanya dari luar pintu, memintanya keluar. Fay hanya diam, jujur ada rasa takut, tapi ada kelegaan juga. Setidaknya dia memiliki keberanian untuk menunjukkan siapa dirinya.
Seharian penuh Fay tidak berani keluar kamar. Masih takut kalau Nero masih marah. Perutnya mulai berbunyi, untung ia sempat menyimpan beberapa makanan ringan di kulkas kecil yang memang ada di setiap kamar.
Dilahapnya makanan ringan yang tersisa. Belum kenyang, diteguknya dua botol air mineral sekaligus. Baru kali ini ada pengantin wanita kelaparan sendiri di saat bulan madu, sementara si pria sibuk dengan kekasihnya.
Tatapan Fay tanpa sengaja melihat cincin di jemarinya. Masih jelas teringat betapa manisnya Nero mengucapkan janji di depan altar. Senyumnya juga merekah. Tanpa disadari rupanya itu sandiwara.
Malam mulai beranjak, kembali terdengar suara rintihan manja dari kamar sebelah. Pasti keduanya kembali bercinta.
Fay berjalan pelan naik ke tempat tidur. Sekali lagi dipandanginya cincin yang melingkar di jari. Perhiasan yang cantik, tapi tidak secantik kisahnya. Pernikahan palsu ini sungguh menyiksa.
"Masih dua hari lagi, Fay ..." bisiknya pada diri sendiri sembari sesenggukan karena menangis. Lambat laun ia pun tertidur lelap karena kelelahan.
Di kamar sebelah, usai bergumul cukup lama, Widi dan Nero berdiri berpelukan menghadap jendela kamar, menikmati pemandangan kota.
"Dua hari lagi kita harus balik, nanti kita masih bisa bertemu seperti biasanya, kan?" Kepala Widi bersandar manja di dada Nero.
"Pasti," jawab Nero sangat lembut dan mesra. Berbeda saat bicara dengan Fay, nada dan bahasanya kasar.
"Janji, dia nggak akan ingkari perjanjian nikah kalian, kan?"
"Percaya sama aku." Dikecupnya ujung kepala Widi. "Makasih sudah mau sabar nunggu."
Widi mengangguk. "Kamu cinta pertama aku dan jadi satu-satunya. Kita sudah berjuang bertahun-tahun, tinggal 3 tahun lagi. No problem."
"I love you Sayank."
Ilustrasi
"Jangan pernah sedikitpun memperlihatkan air mata, harus ceria, buat mereka percaya kalau bulan madu kita berjalan lancar."
Fay mengangguk bosan dengan ucapan Nero. Sudah berkali-kali Nero mengatakan hal yang sama. Entah kenapa baru kali ini ada manusia yang memperlakukannya seolah jadi manusia dungu dan bodoh.
Keduanya tengah menuju villa kediaman keluarga Adhitama yang ada di Bogor. Sehari sebelum pulang dari bulan madu, Danu meminta mereka langsung ke villa untuk ikut merayakan acara ulang tahun Galen.
Galen, sahabat Fay sejak di kampus yang sekarang bergelar adek iparnya akan merayakan ulang tahun. Keduanya wajib hadir dan ikut menginap sebab acaranya berlangsung lama.
Galen berencana merayakan selama dua hari satu malam. Niatnya sekalian reuni dan juga menciptakan momen kumpul keluarga.
Fay bernafas lega. Di benaknya terlintas banyak celah untuk bisa sedikit menjauh dari suaminya. Banyak alibi yang bisa ia lakukan.
*****
🎵 Selamat ulang tahun, kami ucapkan ...
Selamat panjang umur, kita kan doakan ...
Selamat sejahtera, sehat sentosa ...
Selamat ulang tahun dan bahagia ... 🎵
Ilustrasi
Tepuk tangan membahana penuhi seluruh taman kecil yang ada di halaman belakang villa. Semua bersorak untuk hari spesial Galen. Fay jadi salah satu yang terheboh.
Fay dan Galen memang menjalin persahabatan sangat dekat. Wajar kalau Fay paling antusias di antara semua teman yang hadir.
"Make a wish, dong!" pinta Fay semangat. Galen tersenyum menutup mata sejenak, ditiupnya lilin. Semua bertepuk tangan saat semua lilin mati.
"Potongan pertama untuk my special one, Papah." Galen menyerahkan sepotong kue ke Pak Danu.
"Potongan kedua untuk Mas Nero, my best brother." Tiba-tiba Galen menahan kuenya saat tangan Nero terulur hendak menerima. "Eits! Ada syaratnya. Suapan pertama harus diberikan ke my best partner yang udah loe rebut jadi istri."
Semua tertawa semangat. Nero hanya tertawa menanggapi permintaan konyol adeknya. Dalam hati ia merutuk kesal. Tidak ingin mengecewakan semua orang, terutama menghindari rasa curiga, ia pun menuruti kemauan Galen.
Setengah terpaksa Nero memberikan suapan pertama itu kepada Fay. Semua bersorak heboh dengan kemesraan palsu yang ditunjukkan keduanya.
"Jangan GR, ini hanya terpaksa," bisik Nero sepelan mungkin di telinga istrinya.
Fay tersenyum santai mengucapkan terima kasih dengan intonasi lembut dan mesra layaknya pasangan harmonis.
"Udah tahu," gumam Fay juga pelan tapi masih bisa didengar suaminya.
Acara terus berlanjut sampai tengah malam. Berkali-kali keduanya dipaksa menunjukkan pose mesra di depan kamera. Galen sangat bahagia melihat sahabatnya menjadi ipar di keluarganya.
"Gue bahagia banget loe jadi ipar gue," ungkap Galen jujur dari hati.
Fay juga senang bisa menjadi keluarga dengan sahabatnya. Melihat kenyataan yang sesungguhnya, pasti juga merasa sedih. Menyesalkan kenapa ada perjodohan ini. Mimpinya memiliki rumah tangga bahagia telah hancur oleh sikap Nero.
"Gue juga seneng." Fay tersenyum tulus untuk persahabatannya tapi bukan untuk kebahagiaannya bersama Nero.
*****
Dua hari berlalu dengan cepat. Semua teman-teman Galen dan Fay sudah e ulang lebih dulu. Beberapa saudara juga sudah undur diri sebab kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan lama-lama.
Nero bergegas mengajaknya pulang. Kalau untuk kerjaan, Fay masih bisa toleransi. Ikhlas-ikhlas saja dia ikut pulang. Blak-blakan sekali suaminya mengatakan alasan bertemu Widi yang membuatnya ingin bergegas pulang.
"Ada janji dinner sama Widi malam ini. Saga tunggu di depan. Kita pulang sekarang juga," perintah Nero di kamar saat hanya berdua saja.
"Kamu pulang sendiri saja ya, Mas." Fay duduk santai di depan meja rias. "Malam ini Papah mau ke sini. Sekalian pengen lepas kangen."
"Lebay, baru juga nggak ketemu semingguan, sudah ketemu di Jakarta aja!" omel Nero yang masih sibuk memasukkan baju ke koper.
"Anak kangen ayahnya wajar ajalah. Lagian aku nggak pernah pergi jauh sehari pun tanpa papah," lontar Fay dengan nada ketus, "yang lebay tu kamu, Mas! Baru dua hari sudah kangen!"
"Namanya juga kekasih. Ini beda!"
"Dia yang belum sah aja disebut kekasih. Aku yang jadi istrimu kamu sebut apa Mas?"
"Pelakor!"
"Dia yang pelakor!" bentak Fay lebih tinggi.
Nero menghentikan aktifitasnya, matanya tajam menatap Fay. Emosinya seakan hendak meledak. Langkahnya panjang mendekatinya, diraihnya pundak Fay agar berdiri sejajar dengannya.
"Wanita brengsek! Sekali lagi kamu sebut Widi seorang pelakor." Nero mengangkat tangan kanan seperti hendak menampar. "Aku gampar mulut busukmu itu!"
"Ingat wanita ******! Pelakor di sini itu kamu! Kamu pelakor murahan itu! Ngaca! Widi itu kekasih sejatiku! Camkan itu!"
Fay menutup matanya rapat-rapat saat melihat tangan suaminya diangkat sejajar dengan pipinya. Mendapatkan perlakuan kasar membuatnya takut.
Sesaat terdengar langkah kaki menjauh dan suara pintu dibuka dan ditutup dengan kasar. Ia pun terduduk lemas.
Perlahan air mata merembes, kata-kata kasar sangat menghina. Hatinya terasa ditusuk pedang tajam.
"Jahat banget kamu, Mas."
Nasib baik Ayahnya datang sesaat sebelum Nero berhasil membawanya pulang ke Jakarta. Terpaksa rencananya dibatalkan.
Melihat gelagat kecewa itu, Fay berbesar hati mencarikan alasan untuk Nero. Alibi yang ia gunakan adalah kerjaan.
"Mas Nero biar pulang duluan aja, jadi asprinya sudah nelpon terus. Besok pagi ada meeting. Fay pulang bareng Papah aja, ya. Masih kangen, boleh kan, Mas?"
Nero mendelik tidak setuju dengan rencananya. Memahami gelagat itu, dibisikkannya kalimat bujukan.
"Pulang aja, kamu bisa leluasa ketemu kekasihmu, aku masih kangen sama papah," bisik Fay pelan. Jujur hatinya ngilu saat membisikkan kata kekasihmu.
Istri gila mana yang mengizinkan suaminya selingkuh? Akhirnya Nero setuju setelah ia mewanti-wanti untuk tidak bicara aneh-aneh tentang rumah tangga mereka.
"Jaga rahasia kita atau kamu habis di tanganku!" ancam Nero lewat bisikan di telinga saat keduanya berpelukan.
Kali ini Fay hanya diam tak menanggapi. Mobil akhirnya melaju pergi. Bayangan pergumulan tanpa henti, suara ******* erotis kembali melintas di benaknya. Tak ingin terus sakit memikirkan itu, diajaknya ayahnya jalan ke taman.
"Jalan ke taman bentar, yuk!" Dikalungkannya tangan ke lengan pria paruh baya yang menjadi ayahnya. Arya menyambut ajakan putri tunggalnya dengan bahagia. Tanpa ia sadari, ada sisa air mata yang tertutup make up.
Sementara di jalan raya Nero tampak bahagia menelpon seseorang sembari mengemudikan mobilnya.
"Aku jalan ke rumah kamu, Sayank," ujar Nero lewat telpon. Senyumnya mengembang. Dilajukannya mobil lebih cepat, berharap segera sampai tujuan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!