Rombongan itu terus bergerak menjauhi istana. Mereka terburu-buru. Seakan ketakutan lah yang terus mengejar. Hingga sejauh langkah kaki mereka tak kuasa bergerak. Nantinya.
Istana bedah. Keraton Kadipaten Pasir Luhur sudah menjadi karang abang. Bahkan menurut berita, Sang Adipati sendiri telah binasa, digorok lehernya oleh para pemberontak yang merupakan raja wilayahnya itu.
“Hei Berhenti!“
Ada suara yang berseru. Mereka-mereka ini para prajurit pemberontak yang berhasil menguasai pusat kekuasaan. Mereka terus melakukan pengejaran, sehingga keluarga istana nanti dapat ditumpas habis, sehingga tidak akan berani mendongkel kekuasaan mereka kembali, serta akan abadi dalam memerintah negeri di atas bukit yang tinggi itu.
“Celaka.....“
Mereka panik. Bukannya menghentikan langkah, malah semakin cepat mencoba melarikan diri. Mereka tak menghiraukan panggilan mereka. Tak perduli itu siapa, semuanya membuat mereka ketakutan. Bencana yang sebelumnya terjadi membuat mereka semakin waspada, juga tak mudah percaya pada apapun. Termasuk orang yang memanggilnya.
Menjauh. Mesti terus menjauh. Menghindari kontak fisik kalau bisa. Mereka-mereka ini sangat kuat. Sehingga kalau memaksa untuk bertempur mati-matian, bisa jadi akan mati betulan. Itu yang tak diinginkan. Selain nafas cuma satu, juga tak ada cadangannya. Meminjam pun tak boleh, apalagi menyewa.
Namun tak berapa lama mereka telah terkepung oleh para prajurit pemberontak itu. Mereka telah lebih dulu melakukan penghadangan. Gerakannya sangat cekatan. Dan sudah sangat piawai dalam usaha melalukan penghadangan dengan kemungkinan berhasil mendekati sempurna. Kali ini contohnya yang sangat nyata ada didepan mereka.
“Kita lebih banyak. Jangan takut!” ujar pengawal Bhayangkari, sang pelindung istana yang gagah perkasa. Itu dia lakukan, agar semuanya tidak panik. Dengan demikian, maka lawan akan terasa lebih kecil, dan diri mereka akan bisa mengalahkan mereka jika mesti bertempur demi bisa meloloskan diri. Dan sejauh itu, belum ada keinginan untuk merebut kembali tahta. Sebab dirasa kurang mampu. Selain mereka perkasa, keadaan tiba-tiba yang membuat kekacauan di dalam sendiri yang tak mampu dibendung. Sehingga dengan mudah keraton dikuasai, hanya dalam waktu yang tak berapa lama.
Kini harapan keamanan pada lingkup keraton dan mungkin segenap istana bakalan berada di pundak dua orang yang sangat tangguh kesaktiannya itu. Singonegoro dan Mertolulut.
Mercukundo melawan tiga orang. Dia enggan menyerah.
Sebagai anak Sang Singonegoro yang biasa menjadi algojo buat para tersangka yang menjalani pidana, dia tak akan ngeri walau dikeroyok berapapun jumlah orang musuhnya. Namun keselamatan pangeran yang bakal mewarisi takhta itu yang membuatnya kebingungan. Antara terus mengamuk atau melarikan pangeran yang kini keselamatannya berada di pundaknya.
Si Ronggo Bintoro melawan seorang prajurit. Dia juga pantang menyerah. Tentunya sebagai anak Merto lulut yang sangat disegani.
Dia menyerang musuh. Dan berharap akan dapat merobohkannya segera.
Dipukulnya musuh, lantas menghindar. Tendangan lawan berhasil dielakkan. Pusaka nya menyabet dan berhasil memutus batang tombak prajurit musuh.
Lalu berkelit lagi. Yang akhirnya meskipun dengan kerepotan berhasil menangkap prajurit terluka itu. Dan keluarga kerajaan lain, saling bahu membahu memukuli prajurit itu hingga binasa.
Tiga orang itu mengerubuti Mercukundo, dengan cekatan anak Singo Negoro, yang kemungkinan bakal mewarisi jabatan ayahnya itu, terus mengamuk. Meski lawan tiga dia berhasil mengatasinya. Pusaka nya berhasil memupus perlawanan musuh.
Tiga orang binasa dan seorang lolos mau melapor pada yang lainnya akan keberadaan Pangeran, Putra Mahkota, sang pewaris kerajaan.
“Paman Ronggo!“
“Ya Mercukundo.“
“Kita sudah ketahuan. Mesti Berpencar.“
“Lo... Bagaimana ini?“ Ronggo sedikit terperanjat.
“Paman bawa putri dan keluarga istana lainnya, sementara aku yang akan menjaga pangeran. Biar kalian tidak diserang. Karena yang menjadi incaran utama tentunya sang pangeran bukan?”
“Aduh, bagaimana kamu ini? Aku malah mendapat lawan yang banyak.“
“Tentunya yang akan dikejar pangeran. Karena dia putra mahkota. Biar aku yang mengawasi pangeran. juga penjagaan ku lebih terarah, tidak terpencar untuk ikut mengawasi yang lainnya itu.“
Ronggo hanya manggut-manggut. Tak bisa menolak lagi.
Akhirnya mereka berpencar. Si putra mahkota mengikuti anak Singonegoro. Yang kali ini wajahnya nampak pucat antara ketakutan akibat diburu musuh juga kelelahan yang teramat sangat karena tak biasa melakukan perjalanan kacau ini.
Sebagian besar dari rombongan yang terpecah itu, mengikuti Ronggo Bintoro, anak keturunan Merto Lulut yang sangat disegani. Dan kini menjadi pemimpin dalam usaha penyelamatan diri, para kerabat istana.
“Sekarang kita bergerak.”
Kini semua ada di pundak Ronggo. Dia memberi perintah. Dianggap yang paling berpengalaman. Semuanya mengikuti apa yang diinstruksikan nya.
Mereka terus bergerak menjauh. Sebisa mungkin menjauh dari para pengejar yang kemungkinan bakal menghabisi nyawa mereka kalau tertangkap.
Ada lima orang lebih dalam perjalanan diam itu. Putri sendiri, kakak si putra mahkota dan para kerabat istana penting lainnya yang mesti hengkang dulu. Untuk menyusun strategi dalam usaha perebutan kembali tahta yang hilang, direbut musuh.
“Nah kalian disini rupanya!“
Tiba-tiba ada suara mengerikan, suara dari empat prajurit musuh yang kali ini sudah berada di depan mereka. Tahu-tahu menghadang, secara mengejutkan keluar dari semak-semak persembunyian.
“Celaka...” katanya. “Kemana Si Mercukundo itu? Kenapa dia tak datang menolong? Katanya mereka mau mengejar pangeran, Sang Putra Mahkota, yang menjadi incaran utama, ini malah kita yang dikejar.“
Ronggo Bintoro tambah panik. Dia bakalan sendirian dalam menghadapi keroyokan musuh ini. Menunggu teman, jelas tak mungkin. Entah keberadaannya kali ini dimana, juga tak tahu.
Sementara para pengejar langsung mengepung para kerabat istana yang mesti diselamatkan, bila ingin kekuasaan berlangsung langgeng pada dinasti tersebut.
Sebisa mungkin, Ronggo berusaha melawan. Dia langsung menghunus pusaka andalan yang bertuah. Setidaknya nanti bisa untuk menakuti musuh.
Tapi apa daya, dia tak kuasa melawan musuh. Musuh terus merangsek maju. Dengan hantaman yang mereka lontarkan silih berganti. Hingga tubuhnya kini menjadi bulan-bulanan, dikeroyok sana sini. Satu demi satu anggota kerajaan itu tertangkap bahkan ada yang langsung dieksekusi. Tanpa banyak jeritan, tahu-tahu tubuh mereka berlumuran darah atau langsung terlihat pusaka yang menancap di tubuh.
Makanya membuat Ronggo semakin panik.
Dia terus menjadi tempat pukul musuh. Meskipun tak semua dari ke empat orang itu mengeroyok, karena ada dari padanya yang sibuk sendiri untuk langsung menangkap para keluarga raja.
Melihat kenyataan itu, Si Ronggo ada kesempatan hendak lari. Mumpung musuhnya sedikit lengah jadi kurang waspada pengawasan atas dirinya. Dia berusaha menjauh.
“Paman!“
Namun putri memanggil dia. Membuat langkahnya terhenti. Mau terus menjauh, mumpung ada kesempatan, tapi dengan si cantik itu bagaimana? Melawan juga tak mungkin menang, melihat tubuhnya juga sudah babak belur.
“Ayo Putri!“
Akhirnya dia menunggu sejenak.
“Tunggu....“
Putri terus menghindari penangkapan. Menghindari musuh yang terus berusaha menangkapnya.
“Terus Putri... Kita harus terus lari. Menjauhi kejaran mereka.” Ronggo terus berusaha menyeret sang putri agar tak berhenti dahulu. Disini kurang aman. Jangan-jangan musuh masih terus mengejar. Dan dia akan menangkap dengan segera, andai langkah mereka tak terus pergi menjauh sejauh-jauhnya.
Putri Cipto Rini nampak sudah sangat lelah dan ingin istirahat. Sekian lamanya serta merasa sudah jauh, tapi tak kunjung berhenti, membuat dirinya hampir-hampir tak kuasa bergerak. Namun demi keselamatan, agar tak tertangkap, mereka mesti terus lari lebih jauh lagi.
“Yang lain bagaimana?” Putri Cipto Rini khawatir akan keselamatan para saudara yang ditinggalkan dalam pengeroyokan itu. Dia bahkan melihat sendiri, ada yang tertangkap bahkan sudah ada yang luka.
“Kayaknya mereka sudah binasa,“ ujar Ronggo pesimis. Dia juga merasa demikian. Musuh demikian ganas. Tak bisa melihat nyawa sedikitpun. Asal nampak sudah langsung main tebas saja. Itu yang membuat dia yakin kalau para kerabat keraton, sudah dibinasakan.
“Aduh...“ Putri mengeluh. “Kamu kembali sana! Menyelamatkan mereka,“ perintahnya pada Ronggo yang dipercaya mengawal mereka sebelum ini. Ditangan dia semuanya mesti terselamatkan.
“Bagaimana sih? Kan kamu tahu sendiri mereka hebat-hebat dan saudaramu belum tentu selamat juga,” terang Ronggo. Enggan rasanya, kalau harus berurusan dengan kekerasan. Lebih nyaman kalau tidur di kasur yang empuk. Kalau tidak duduk ongkang-ongkang kaki diatas kursi goyang pada teras depan rumahnya yang sangat mengantuk kan itu.
“Kamu kan terkenal sangat sakti dan tak ada orang yang berani melawan mu,“ ujar Putri Cipto Rini. Dan kini dia semakin yakin kalau orang ini benar-benar sakti. Buktinya yang lain pada tewas dalam merana, dia masih hidup dan diberi umur sangat panjang.
“Siapa bilang?“
“Semua orang,“ ujar Cipto Rini. “Sebagai keturunan Merto Lulut, yang biasa memancung orang, pastinya kamu juga mempunyai kelebihan yang beda dengan orang-orang sekitar kan?”
“Ada-ada saja orang-orang itu,“ ujar Ronggo. “Yang sakti kan bapak saya. Makanya dia menjadi Merto Lulut. Kalau aku ya tidak lah. Kumis saja belum punya. Ayahku kan kumisnya melintang hebat.”
“Jadi nasib mereka bagaimana ini?“ Putri nampak khawatir sekali. Masih berharap keluarganya kembali secara utuh. Dan bisa bercengkrama lagi dalam suasana segar menyenangkan. Makanya sebisa mungkin dia akan membebaskan mereka.
“Kalau suasana sudah aman, kita selamatkan mereka,“ ujar Ronggo memberi kata-kata menenangkan. “Itu juga....“
“Apa..... Apa....“
“Kalau.....“
“Kalau apa?“
“Kita tak keburu dipenggal mereka. Hehe.....“
“Sempat-sempatnya ngekek!“ Putri Cipto Rini mangkel. Dimana pikirannya masih mengenang kerabatnya yang bakalan dipancung musuh, juga keamanan dirinya yang sangat minim, menambah pikiran semakin ruwet.
“Daripada pusing, mendingan dibawa tertawa saja. Melupakan segala kengerian.“ Ronggo Bintoro berkata sembari senyum-senyum.
Mereka terus berjalan menembus jalanan sulit, yang nampak hanya sekali dua kali saja terlewati orang pergi ke hutan. Kali ini tak perlu berlari. Dimana nafas juga telah menurun, tenaga habis, maka jalan biasa akan lebih nyaman. Kelihatannya juga sudah lumayan jauh dari para pengejar. Tak nampak sedikitpun. Bahkan kelebatan orang juga tak terlihat kala menyibak dedaunan liar.
Ah!
“Apa Putri?“ Ronggo terkejut mendengar teriakan Cipto Rini.
“Jalannya sangat sulit, aku sering terperosok tanah yang berlubang-lubang ini.“
“Hati-hati jalannya.“
Sebagai kerabat istana tentu suasana demikian tak biasa dilalui. Biasa dengan lantai istana yang berkilat, atau jalanan kota yang demikian mulus, tertata rapi.
“Kita terus berjalan dulu, hingga benar-benar jauh dan para pemburu tak mampu lagi menangkap kita dan baru kita cari makan.“
“Iya.“ Putri diam. Hanya terus mengayunkan langkahnya. Mengimbangi langkah-langkah Ronggo Bintoro yang meskipun sama-sama lelah, tapi masih bisa cepat.
“Tahan sebentar. Didepan sana kita istirahat,“ kata Ronggo lagi.
“Tapi jangan cepat-cepat.“
Ronggo Si Anak Merto Lulut terhenti untuk menunggu tuan putrinya. Bahkan sebentar kemudian menuntun untuk mengimbangi langkah.
“Nah kita lewat hutan itu. Agak aman. Disana tumbuhan nya agak rapat dan para prajurit pemberontak itu bakalan kesulitan kalau terus memburu kita, bahkan jangan-jangan mereka yang nanti akan kita incar jantungnya. Kalau terus kemari.“
Dalam senyap itu mereka terus melaju.
“Nih sampai hutan,“ ujar Putri.
Agak lega diantara pohon-pohon besar rimbun juga tertutup oleh kabut yang menggidigkan ini. Dingin, seram.
“Kita melintasi hutan ini. Dan diseberangnya nanti kita cari tempat berteduh yang nikmat. Mereka tentu masih mengejar. Andai tidakpun, maka untuk tempo tak berapa lama, kita bakalan ketemu. Karena jaraknya masih dalam jangkauan mereka. Mendingan kita terus menjauh dulu agar tak mudah ditemukan.”
Mereka terus lari. Menjauh, sejauh-jauhnya. Dari para musuh yang mengejar keberadaan keseluruhan dinasti, tentu untuk menghentikan mata rantainya.
Hingga nanti berhenti pada suatu tempat yang membuat mereka nyaman.
Namun sesaat Putri meminta berhenti untuk istirahat sejenak dan berikutnya mesti menjauh lagi. Agar tak terdeteksi. Dan rencananya bakalan berpindah-pindah lokasi.
“Nah disini saja Putri,“ kata Ronggo Bintoro menemukan lokasi yang sekiranya strategis buat menenangkan diri, lumayan lama. Sebelum mereka pergi lagi.
“Gua?“
“Heeh..... Bagus ini untuk melepas lelah.“
Mereka menemukan suatu lokasi aneh yang ada di sekitar mereka yang keadaannya sunyi sepi. Mereka masuk dalam relung terlindung itu.
Ronggo meneliti sebentar tempat tersebut, mana tahu masih ada binatang berbahaya semisal ular, harimau putih dan yang lainnya.
Setelah benar-benar aman, mereka menempatkan diri pada posisinya yang demikian nyaman. Putri terdiam di sudut gelap dinding gua yang dingin.
Ronggo Bintoro anak si Merto Lulut tak bisa diam. Resah. Dia masih merasa takut terkejar musuh. Mana dirinya masih membawa anggota kerajaan yang masih hidup lagi. Pasti bakalan terus diburu.
Karena memikirkan hal-hal yang tidak-tidak, dalam benak kotornya itulah, akhirnya dia beringsut mendekati si putri untuk melampiaskan hasrat bejadnya.
“Putri cantik deh malam ini,“ ujarnya. Dirinya terus mendekati si cantik. Disini tak ada siapa-siapa, yang ada hanya si cantik, yang dia jaga.
Putri kaget melihat perubahan sikap pengawalnya ini. Dia mulai ketakutan dengan kelakuan yang tak biasa dari penjaganya itu.
“Paman jangan,“ ujar Cipto Rini. Putri sang adipati yang demikian mempesona dan tengah ranum-ranumnya itu terus saja bergidik ketakutan. Yang berawal dari penyerangan musuh, hingga sampai di tempat menyeramkan ini, terus tak berhenti rasa gundahnya itu. Bahkan kini bertambah.
Ronggo terus mengekeh dan tak perduli, dirinya terus mendekati putri yang masih tersudut di dinding dan berikutnya tak bisa bergerak. Berikutnya langsung main sergap.
Hal ini membuat Putri semakin panik.
“Hehehe... tenang saja putri,“ ujar Ronggo menghibur. Atau lebih tepatnya menenangkan, sedang dia terus mendekat.
Pagi berjalan semakin pasti. Ronggo kembali mendekati putri yang nampak lesu.
“Makan Putri,“ katanya menawarkan sesuatu.
“Tidak mau!“
“Kenapa?“
“Aku benci kamu!“ ujar Putri dengan ketus.
“Alah begitu saja ngambek. Nanti kalau istana direbut lagi, paling kamu juga sudah melupakanku. Mana ada orang kaya suka sama bawahan,“ ujar Ronggo.
Putri terus terdiam.
“Benar.... tidak mau makan?“ Ronggo masih berusaha menawarkan sesuatu pada sang putri yang lagi mogok makan.
“Tidak ya tidak!“ Putri masih merajuk.
“Ya sudah. Biar daging ayam liar ini ku habiskan sendiri, kalau memang tidak mau,“ kata Ronggo Bintoro, anak dari Merto Lulut, seraya terus menghabiskan hasil buruannya tadi.
“Dasar!“
Putri terus ngedumel. Berikutnya terdiam, dengan tubuh lesu. Dia hanya bisa menatap kegelapan gua sembari bersandar pada dinding kerasnya. Sembari ketakutan kalau kalau si pengawal durjana itu sewaktu-waktu mendekat dan minta sesuatu.
Ronggo asik saja. Berusaha untuk acuh. Karena sudah tahu resikonya. Kembali ke istana juga sudah tidak mungkin. Istana sudah direbut. Mau mencari kehidupan di masyarakat palingan nanti hanya akan menjadi orang biasa lagi.
Makanya untuk meninggalkan kegundahannya itu, dia mencari hal-hal aneh. Sembari mencari keselamatan diri. Dengan tanpa memperhatikan sekitarnya.
Dia terkadang naik keatas pohon yang tinggi untuk mengintai musuh kalau-kalau terlihat. Dari suatu ketinggian pasti jelajah penglihatannya bakalan lebih luas. Tentunya dibandingkan bila hanya berdiri saja di tanah yang datar.
Setelah yakin tak ada musuh, kemudian dia berusaha membuat semacam tombak yang nantinya bakal menjadi sebuah senjata mengerikan. Buat musuh maupun untuk berburu menari makanan. Dibuatnya peralatan itu dari kayu atau bambu yang kuat. Yang jelas ada di sekitaran hutan yang senyap itu.
Dengan bilah pegangan sepanjang dua meter. Bahkan ada yang ukuran panjangnya lebih. Dibuatnya lebih dari satu. Nanti kalau ada hewan buruan liar atau bahkan musuh yang berani mendekat, bakalan langsung dilemparnya. Hingga alat tajam itu akan menghentikan langkah musuh tersebut.
Berikutnya membuat panah, sebagai senjata yang lain, sebagai sarana berburu dan meramu. Dibuatnya dari tambang bambu yang dililit dan dipilin membentuk tambang yang kuat. Untuk alat pelontar anak panahnya.
Diwaktu lain membuat alat jebakan. Baik untuk musuh yang kebetulan merambah ke daerah tersebut. Maupun untuk binatang buruan yang bakalan mendekam dalam perut lembabnya. Nanti kalau musuh terkena Jebakan yang terpasang, bakalan resiko terburuk akan binasa. Jika hewan yang tertangkap tentunya akan langsung menjadi santapan rohani dan jasmani hingga menambah kekuatan.
Untuk mengisi waktu lain dan mencari makan dilanjutkan memancing ke sungai. Jika enggan tubuhnya basah, maka hanya mematung saja ditepian sungai. Tapi kalau merasa naman dengan udara dinginnya, dia bakalan langsung turun dengan menggunakan perangkap dari jalinan bambu sebagai bubu. Dengan cara ini biasanya dapat ikannya lebih banyak.
Sejauh ini Cipto Rini masih sebel. Dia tetap enggan makan. Tak enak rasanya di lidah. Yang teringat hanya kejengkelan sama manusia satu itu. Tentu saja marah sama rekan kerja yang ternyata menjadi duri dalam daging itu, yang hanya mencari enaknya sendiri, tanpa memandang enaknya orang lain, bahkan enaknya makanan. Dan ingin rasanya dia menghukum sangat berat kepada si pengawal keparat tersebut. Atau pergi sejauh mungkin dari tempat yang paling tak mengenakkan ini. Tapi mengingat kali ini dia hanya sendirian, yang pastinya bakalan bertambah sunyi kalau melakukan hal buruk itu. Kesepian di hutan, juga resiko menghadapi musuh tak ada kawan.
“Paman!“ ujar Putri memanggil pengawalnya.
“Aduh... jangan panggil paman lah...“ kata sang Ronggo.
“Terus aku harus memanggilnya Aa, begitu?“ ujar Putri mengernyitkan bibir.
Dengan tersenyum Ronggo bilang, “kenapa putri sayangku?“
“Ayo kita segera menyerang istana,“ ujar Putri.
“Mana berani,“ jawab Ronggo dengan enteng. Dia tentu tak akan mampu. Sudah pasti. Jangankan satu istana yang besar dan megah, yang pastinya banyak pengikut. Satu orang prajurit utama pemberontak, juga belum tentu mampu menjatuhkannya. Mereka sakti-sakti, dia sendiri tak lebih dari sekedar bocah yang hanya bangga pada orang tuanya yang sudah melahirkannya ke dunia dengan tak memberi kesaktian sedikitpun, namun harus puas, karena mereka juga telah membuatnya menjadi sebesar ini. Bayangkan, kalau orang tuanya bukan orang hebat, mungkin dia tak bisa menikmati kehidupan mewah di istana, dan hanya diam dengan para gembel kota yang tidur diemperan rumah pejabat, atau justru terlunta-lunta di hutan belantara, tinggal bersama celeng dan lutung.
“Loh.... kenapa begitu?“
“Kan tahu sendiri. Kita tak ada kawan, cuma berdua, mana kuat?“
“Tadi malam, kau kuat berbuat begitu!“
“Ah... jangan diungkit hal yang menyakitkan begitu ya... “ ujarnya beralasan. Kali saja cuma alasan untuk suatu keengganan melawan musuh yang memang sakti-sakti itu. “Jangan menyerang istana dulu yah, kita mesti menunggu waktu yang tepat,“ ujar Paman Ronggo Bintoro terus berusaha membujuk sang Putri Cipto Rini agar tetap bersamanya sehingga bisa lama berduaan di tempat yang dingin dan romantis itu. “Lebih baik kita disini yah... yah.“
“Iih... Paman! Jangan macam-macam ya. Ayo kita berangkat!“
Namun sang putri sudah tak sabar, dia ingin segera kembali ke istana dan bisa memukul mundur musuh, mengalahkan mereka. Untuk berikutnya menjalani kehidupan wajar seperti kejadian sebelum terjadi bencana itu. Kini semuanya bertambah sengsara. Selain sepi, juga kekurangan berbagai keperluan sehari-hari. Tanpa makanan layak, pakaian bagus, juga mesti berteman dengan nyamuk-nyamuk nakal dan lintah-lintah yang siap menguras habis darahnya.
“Iya.. sebentar.“ Akhirnya mau tidak mau Ronggo mesti mengikuti kemauan tuannya. Meskipun di hati masih ogah-ogahan. Lain waktu bakalan mencari alasan yang lebih tepat.
Yang dipikirkan Cipto Rini, kali ini mesti berjuang menggapai apa yang dahulu sudah menjadi miliknya dan kali ini harus kembali menjadi haknya untuk melindungi segenap kawula.
“Kita mesti mencari bantuan dalam merebut istana. Kalau sekiranya kali ini tak kuat,“ ujar Putri. Dia tak tahu seberapa besar kekuatan yang masih dimiliki dan masih bersedia membantu istana.
Mereka bersiap pergi, “ini bawa senjata rakitan yang aku buat.“
“Buat apa?“ tanya Putri.
“Buat membunuh musuh, membela diri, juga menusuk mereka kalau ada yang hendak memperkosamu,“ terang Ronggo.
“Kamu yang gua tusuk kalau begitu!“
“Lo... kok bisa?“ Ronggo hanya bisa menggaruk-garuk jidat.
Putri sedih banyak yang hilang untuk waktu-waktu ini. Istana, keluarga, kebahagiaan, bahkan kepercayaan yang dimiliki selama ini demikian mudah lenyap. Apalagi kini, dia hanya bersama seorang pengawal yang demikian diragukan kesetiaannya dan akan selalu membawa bencana, sejauh semua belum tuntas direbut kembali.
Akhirnya mereka meninggalkan tempat itu, tempat dimana sekian lama mereka melindungi dari segala perubahan cuaca dan berbagai keganasan alam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!