Perkenalkan, namaku Fatimah Az-zahra Alkea Nisa De Lucca, bukankah nama ku terlalu panjang untuk sebagian orang? Mungkin saja iya, namun bagi kedua orang tuaku itu merupakan kebanggaannya. Teman kampus biasa memanggilku, Alkea. Sementara Umma? Beliau memanggilku, Fatima, sesekali Azzahra. Aku anak dari pasangan Umma Yuna Dinata dan Baba Zain De Lucca, anak satu-satunya.
Bicara tentang nama, Umma ku, Umma Yuna Dinata sangat mengidolakan Fatimah Az-zahra putri Rasulullah. Jadilah namaku di sangkut pautkan dengan idola Umma, jangan tanya apa aku menyukainya atau tidak? Jawabannya, tentu saja aku sangat-sangat menyukainya. Kenapa aku menyukainya? Tentu saja karena putri Rasulullah pantas menjadi idola ku juga, aku wanita akhir jaman yang penuh dengan kekurangan.
Bicara tentang nama, Umma Yuna dan Baba Zain melakukan perdebatan panjang untuk pilihannya. Umma Yuna menginginkan namaku Fatimah Azzahra saja, sementara Baba Zain tidak ingin embel-embel namanya di hilangkan dari nama putri berharganya, maka jadilah namaku sepanjang perjalanan dari Bandung menuju Jakarta, Fatimah Az-zahra Alkea nisa De Lucca.
Ngomong-ngomong tentang Umma dan Baba, saat ini keduanya tinggal di Negara Gajah Putih, Thailand. Kami tinggal berjauhan, aku lebih memilih Indonesia dan tinggal bersama Ummi Raina dan Abi Shawn, alasannya memang ke kanak-kanakan, namun mau bagaimana lagi, aku terlanjur jatuh. Jatuh ke dalam kedalaman cinta. Dan untuk saat ini, tujuan hidupku hanya satu, yakni meraih cinta sepupuku.
Apa itu mudah? Jelas saja tidak, walau namanya selalu berada di dalam do'a ku, namun hingga kini pria itu masih saja tidak menatapku.
Namanya, Hasan Dinata.
Bagiku yang selalu menatap dirinya, kak Hasan adalah hidupku, mimpiku, cita-cita ku, dan juga harapanku. Cintaku tak bisa di ukur kedalamannya. Jujur, aku sendiri tidak tahu bagaimana cinta ini mulai bersemi di hatiku.
Apa pun yang akan terjadi dalam hidup ku, biarlah Tuhan yang mengatur segalanya. Aku hanya bisa berharap semoga rasa ini tak berakhir dengan derita.
Umma Yuna dan baba Zain biasa mengajakku berkunjung ke Indonesia di hari raya, bertemu dengan Oma dan Opa menjadi momen yang paling ku nantikan. Dan Cintaku bersemi untuk kak Hasan tepat ketika usiaku menginjak sebelas tahun. Bisa di bayangkan berapa tahun aku mencintai kak Hasan? Hehe, aku memang konyol. Aku mencintai pria itu sejak aku duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Dan sekarang aku Mahasiswi akhir semester, jika di hitung-hitung, aku mencintai pria dingin itu selama dua belas tahun. Jangan tanya kenapa? Karena aku sendiri tidak tahu alasannya.
Hingga saat ini aku masih berjuang untuk mendapatkan hatinya, ku akui itu sulit, dan buruknya aku tidak pernah patah semangat untuk meraih cintanya, saat kak Hasan mundur selangkah maka akulah yang maju dua langkah. Akankah aku bisa mendapatkan cinta sepupuku itu? Hanya Tuhan yang tahu, tidak ada salahnya mencoba selagi pria itu masih sendiri, dan ini percobaan terakhirku sebelum aku benar-benar menyerah padanya. Selamat datang di dunia cintaku, dan Inilah kisahku!
...***...
Kring. Kring. Kring.
Bunyi yang bersumber dari jam weker yang ada di atas nakas berhasil membangunkan Alkea, gadis itu segera loncat dari tempat tidurnya. Ia berlari menuju kamar mandi.
Eits! Jangan tanya apa yang akan di lakukan gadis itu? Karena jawabannya akan selalu sama, dia ke kamar mandi hanya untuk membersihkan wajahnya, mengganti pakaian kemudian berlari kearah tangga setelah yakin penampilannya sempurna. Wajahnya? Jangan tanyakan seberapa tebal makeup yang di gunakannya, karena gadis ayu perpaduan Indonesia dan Thailand itu tidak perlu memakai riasan setebal tembok berjalan, tanpa menggunakan polesan apa pun kecantikannya sanggup menggemparkan hati setiap pria. Kecuali satu orang, Hasan Dinata, pria rupawan pemilik hati sedingin kutub utara.
"Sayang, pelan-pelan." Ummi Raina berucap dengan mata melotot, ia terlalu takut.
Sementara Hasan? Pria itu terlihat santai sembari menikmati kopi panasnya, sedikitpun ia tidak merasakan khawatir. Baginya, untuk apa khawatir jika ia sendiri selalu melihat pemandangan yang sama di setiap paginya.
Tujuh tahun Alkea tinggal di kediaman Dinata, dan hal itu sudah cukup bagi Hasan untuk mengenal kepribadian sepupu yang menurutnya sangat menjengkelkan.
"Ummi tidak perlu khawatir, bukankah hal seperti ini selalu terjadi setiap pagi? Jika dia tidak perduli dengan dirinya sendiri, lalu kenapa Ummi merasa seperti dunia akan berakhir hanya karena tingkahnya." Ucap Hasan ketika dia mulai membuka mulutnya.
Alkea yang mendengar ucapan sepupunya itu hanya bisa nyengir untuk menutupi kekesalannya.
Untung aku mencintainya, jika tidak aku pasti akan mengutuknya jomblo seumur hidup. Celoteh Alkea di dalam hatinya. Ia menatap Hasan dengan tatapan tajam, sementara yang di tatap terlihat acuh, tak perduli.
Chila dan Lala, sahabat Alkea terlihat takjub menatap ketampanan seorang Hasan Dinata. Berkali-kali melihat pria itu, ketampanannya semakin bertambah saja. Maka tak heran kenapa Alkea bisa tergoda pada sepupunya.
"Aku seperti ini bukan tanpa alasan. Aku juga bekerja." Sombong Alkea, Ummi Raina yang mendengarnya hanya bisa tersenyum bangga. Tanpa memperdulikan sikap ketus Hasan, Alkea berjalan mendekati sepupunya itu, la mengambil apel di tangan Hasan, membuat pria itu terkejut.
"Hay... Kembalikan punyaku!" Sentak Hasan dengan tatapan tajam, ia mencoba mengambil apelnya. Tapi sayangnya, ia kalah cepat karena Alkea buru-buru menggigit apel itu, tepat di bekas gigitan Hasan. Jika wanita lain, mungkin akan merasa jijik. Namun bagi Alkea, ia berharap Hasan si sepupu dinginnya bisa merasakan getaran yang memenuhi rongga dadanya, apa lagi kalau bukan C-I-N-T-A.
"Apa kau tidak waras?" Karena kesal Hasan kembali berteriak, ia bahkan melupakan ummi Raina yang tidak suka dengan ke gaduhan.
"Yang ada di tanganku tidak bisa di ambil lagi, baik itu cinta atau sekedar harapan." Alkea menegaskan dengan wajah di penuhi senyuman. Hasan yang mendengar ucapan Alkea terlihat sedikit marah, berhadapan dengan Alkea selalu saja membuat darahnya naik sepuluh kali lipat. Ia jengkel namun ia tidak punya pilihan lain selain mengalah. Jangan tanya apa yang akan Ummi Raina lakukan jika Hasan kedapatan mengganggu Alkea. Wanita paruh baya itu akan mulai kesal pada putranya, bahkan tak segan-segan, ia akan melakukan mogok makan.
Cinta?
Sebenarnya, bagaimana cara menafsirkan cinta itu dengan benar? Tak adakah jalan yang mudah untuk Alkea agar bisa mendapatkan cinta dan perhatian Hasan? Bahkan demi pria itu ia rela meninggalkan Thailand, berpisah dari kedua orang tuanya hanya demi mewujutkan apa yang ia pendam di dalam hatinya.
"Ummi, Alkea berangkat dulu. Salam pada Abi, maaf aku tidak bisa mengganggunya hanya untuk berpamitan." Lagi-lagi Alkea memamerkan senyuman manisnya, ia mencium punggung tangan Ummi Raina. Sementara pada Hasan, dia hanya melambaikan tangan, tampak jelas aura tidak suka yang di tunjukkan Hasan. Mau bagaimana lagi, cinta telah mengubah Alkea sehingga setiap ucapan ketus yang keluar dari bibir Hasan terdengar bagai rayuan gombal.
...***...
"Kenapa Ummi tidak meminta Alkea tinggal di rumah Oma? Bukankah Ummi tahu aku tidak nyaman berada di dekatnya? Dia sangat menyebalkan!" Hasan kembali angkat bicara.
"Itu tidak di perlukan. Alkea tidak akan kemana-mana, jika ada yang harus keluar dari rumah ini, tentu saja kau orangnya. Jangan bertanya kenapa, karena kau tahu jawabannya." Abbi Shawn yang baru saja turun dari lantai dua ikut nimbrung ke dalam pembicaraan istri dan anaknya.
Hasan yang mendengar ucapan Abbinya hanya bisa menggelengkan kepala pelan. Ia tidak berharap akan mendengar ucapan berbeda dari Abbinya, bertahun-tahun berlalu namun tetap saja tanggapannya selalu sama saat menyangkut Alkea.
"Dia putri Tante mu. Apa kau tidak merasa bersalah saat memintanya keluar dari rumah?" Abbi Shawn menatap wajah Hasan yang terlihat tak bisa berkutik.
Alkea yang malang, cintanya sebesar semesta namun tak ada yang ia dapatkan selain penolakan saja. Hasan yang ia harapkan justru selalu meminta Ummi Raina agar membiarkan Alkea menjauh dari pandangannya.
"Aku tidak menyukainya Ummi, aku juga sudah punya kekasih." Hasan kembali membuka suara.
"Hus, jaga ucapanmu, nak. Hati itu milik Allah, dan sangat gampang bagi Allah untuk membolak-balikannya. Apa yang akan kau lakukan jika Alkea yang berbalik mengabaikanmu sama seperti yang selalu kau lakukan padanya?" Timpal Ummi Raina yang selalu menolak keinginan putranya.
"Lagi pula, kenapa Alkea harus pergi? Bukankah ini rumah orang tuanya? Walau kau memberikan ribuan alasan, Ummi tidak akan mendengarnya.
Ummi setuju keinginan Abbi yang tidak ingin Alkea pergi dari rumah ini. Sekarang katakan, apa yang akan kau katakan pada Tante Yuna jika dia bertanya kenapa Alkea tinggal di rumah Oma? Apa kau punya jawaban? Ummi yakin kau tidak punya alasan. Jadi, jangan ucapkan omong-kosong itu lagi" Celoteh Ummi Raina sembari mengisi piring Abbi Shawn dengan beberapa jenis makanan yang terdiri dari sayuran dan daging.
"Hasan tahu, ini juga rumah orang tuanya. Ummi dan Abbi juga tahu apa alasan Hasan tidak ingin berada di dekatnya!" Ucap Hasan membela diri, Abbi Shawn yang mendengar ucapan putranya hanya bisa menghela nafas kasar. Mengetahui tidak akan mendapatkan apa yang ia inginkan membuat Hasan meninggalkan meja makan.
"Sayang, kau mau kemana? Bagaimana dengan sarapanmu?" Ummi Raina bertanya pada putra sempurnanya, suaranya terdengar serak karena sejak semalam wanita paruh baya itu merasa tidak enak badan.
"Hasan tidak lapar, Mi. Hasan sarapan di kantor saja." Balas Hasan dengan nada suara merendah.
Ummi Raina dan Abbi Shawn, kedua orang itu selalu menjadi orang yang paling utama dalam hidup Hasan. Ia tidak berani membantah jika sudah menyangkut pilihan orang tuanya. Apakah Hasan bodoh? Tentu saja jawabannya tidak, karena dalam Al-qur'an setiap anak di wajibkan berbakti kepada kedua orang tuanya, jangankan berkata kasar, mengucapkan Ahh saja tidak boleh, setidaknya itu yang Hasan pahami sejak ia mulai sering bergaul dengan Alkea.
Sering bergaul? Eits, jangan salah paham. Itu terjadi dulu, saat Hasan belum mengetahui perasaan Alkea padanya, sepupu cantiknya yang sama sekali tidak bisa menggetarkan jiwanya.
"Abi lihat sikap putra Abbi?"
"Dia mulai berubah, dan hal ini membuat Ummi kesal. Kenapa dia selalu meminta Alkea meninggalkan rumah? Apa karena Alkea menyukainya? Itu alasan yang lemah." Celoteh Ummi Raina begitu putra sempurnanya, Hasan Dinata tak lagi terlihat oleh netranya.
"Ummi tidak perlu memikirkan sikap Hasan, dia anak yang baik. Suatu hari nanti Hasan pasti menyadari, tanpa Alkea hidupnya akan kesepian." Ujar Abbi Shawn begitu ia meletakkan sendoknya di piring nasi. Tidak ada tanggapan dari Ummi Raina selain senyuman tipisnya. Dalam hati, ia berdoa ucapan yang di ucapkan suaminya menjadi kenyataan, ia hanya ingin anak-anaknya tidak ada yang terluka.
"Jika Yuna dan Zain tahu Hasan menginginkan putri mereka pergi dari sini, mereka akan terluka. Dan Ummi tidak suka itu." Ummi Raina menatap suaminya, yang di tatap tak bisa berbuat apa-apa.
"Ummi doakan saja, semoga hati putra kita kembali luluh. Abi yakin dia akan kembali menjadi Hasan yang sama untuk Alkea, Hasan yang hangat dan lembut seperti dulu." Balas Abi Shawn sembari berjalan mendekati istrinya.
Sementara itu di tempat berbeda, Alkea dan kedua sahabatnya Chila dan Lala tiba di kampus dengan perasaan gembira. Mereka berjalan menuju kantin, sarapan di sana sambil menyusun rencana.
"Chil, La, apa sebaiknya aku menyerah saja? Atau aku kembali ke Thailand untuk melupakan segalanya?" Alkea mulai membuka suara setelah sekian menit ia lewatkan tanpa bicara.
Chila dan Lala tahu benar seberapa besar usaha Alkea untuk meluluhkan hati Hasan, namun sekian tahun dan sekian kali purnama tak ada hilal yag menunjukkan tanda-tanda Alkea akan memenangkan hati sepupunya.
"Menyerah? Pada kak Hasan? Ya sudah, lakukan saja." Ucap Chila dan Lala berbarengan, sontak Alkea langsung melotot tak percaya dengan ucapan kedua sahabatnya.
"Apa kalian serius?"
"Iya, tentu saja." Balas Chila tanpa beban. Ia menatap wajah kusut Alkea seolah dunianya telah runtuh sepenuhnya.
"Sejak kapan kau menyukai kak Hasan?" Chila bertanya walau sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.
"Kelas lima SD." Ucap Alkea sambil menatap apel yang ia letakkan di atas meja, apel yang ia ambil dari tangan Hasan sebelumnya.
"Sekarang katakan, sudah berapa tahun sejak kau mencintai Baby Hasan?" Kali ini giliran Lala yang mengurai tanyanya.
Baby Hasan?
Dua kata itu berhasil membuat bibir Alkea mengukir senyuman semanis madu. Menghadirkan Hasan dalam benaknya selalu saja membuatnya merasakan bahagia luar biasa, walau pada dasarnya pria itu selalu saja membuatnya menanggung kesedihan mendalam.
"Dua belas tahun." Jawab Alkea tak bersemangat, ia baru menyadari ternyata begitu banyak waktu yang sudah ia sia-siakan untuk menanggung cinta tak berbalasnya.
"Pertanyaan terakhir, berapa lama kak Hasan berkencan dengan wanita itu?" Chila mencoba mengingatkan Alkea agar tidak menyerah pada perasaannya. Apakah Chila termasuk sahabat yang baik atau tidak karena menyarankan Alkea berpegang pada cinta tak berbalasnya, Alkea sendiri tidak tahu itu. Yang Alkea tahu, hatinya juga tak ingin menyerah.
"Satu tahun, lima belas hari, dua puluh dua jam dan..." Alkea menatap arlogi yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Lima menit dan dua puluh sembilan detik." Sambung Alkea lagi.
Lala dan Chila tampak menghela nafas kasar, ia menatap Alkea dengan tatapan memendam kesedihan.
"Dengar, kami tidak tahu seberapa besar cinta yang kau rasakan untuk kak Hasan. Namun mengetahui kau mengingat tahun, detik dan menit yang kak Hasan habiskan dengan wanita itu, kami yakin cintamu melebihi dalamnya lautan.
Apa kau pikir dua belas tahun mu akan berakhir sia-sia hanya karena waktu yang kak Hasan habiskan dengan si rambut jagung itu? Tuhan tidak akan membiarkan Alkea kami sendirian. Aku yakin jauh di dalam hatinya, kak Hasan juga menyimpan perasaannya untukmu!" Lagi-lagi Chila memberikan nasihat mendalamnya, berkali-kali Alkea ingin menyerah, namun dua sahabat tidak normalnya itu selalu saja mencegahnya, apakah Alkea yang bodoh karena mengikuti nasihat Chila dan Lala? Atau ia sendiri yang tidak ingin menyerah? Apa pun hasilnya Alkea berharap ia tidak akan terpuruk dalam kesedihan mendalam.
Jauh di dalam hatinya, Alkea mengaminkan ucapan Chila, semoga saja Baby Hasannya juga merasakan perasaan seperti yang Alkea rasakan, yakni Cinta.
Ya Allah, maafkan aku. Maafkan aku karena membiarkan hatiku setia untuk mencintai Baby Hasan Dinata. Alkea bergumam di dalam hatinya tanpa bisa melepaskan tatapannya dari apel bekas gigitan Hasan.
...***...
Ketertarikan pada seseorang di mulai ketika kamu merekam pesonanya dalam diam. Merawat pesona indahnya dalam ingatan. Di hari pertama, kau mungkin akan merindukannya, lalu di hari berikutnya kau mulai meminta pada Tuhan agar di dekatkan dengannya walau bagaimana pun caranya.
Semakin lama, perasaan itu akan semakin mengakar, rasa cinta tak dapat di elakkan, perasaan semakin tak menentu begitu rindu memenuhi hati dan pikiran. Terkadang begitulah yang di rasakan Fatimah Az-zahra Alkea Nisa De Lucca pada sepupunya Hasan Dinata, semua wanita sama saja ketika ia mulai jatuh cinta, Zulaikha pun tak bisa membendung perasaan cintanya pada sosok sempurna Yusup yang ketampanannya memenuhi semesta pada masanya.
Dan saat ini Alkea terlihat tak bersemangat, menatap wajah Hasan untuk sesaat mungkin saja bisa menjadi penawar bagi hati dan pikirannya yang terlanjur menahan lelah.
Waktu menunjukkan pukul 9.00 ketika Alkea tiba di depan pagar besi mansion Dinata. Wajah cantiknya terlihat kusut, maklum saja sehariaan ini ia terlalu keras dalam bekerja. Bukan kerja keras yang melibatkan ototnya, namun kerja keras yang memeras otaknya.
"Ya Rabb, tugas akhir ini membuat tubuh ku kelelahan." Alkea bergumam sembari memijat lehernya.
"Non Alkea baru pulang?" Pak Joko, satpam yang bekerja di mansion Dinata lebih dari setengah hidupnya menyapa Alkea dengan senyuman lebarnya, pria paruh baya itu selalu ramah.
"Iya, pak." Balas Alkea pelan.
"Hari ini sedikit sibuk." Sambung Alkea lagi. Bibir tipisnya mengukir senyuman menawan.
"Apa ada yang akan datang? Kenapa pak Joko belum menutup gerbangnya?" Alkea bertanya, kepalanya menoleh ke depan dan belakang, tak ada siapa pun membuatnya terlihat heran.
"Di dalam ada nona Dira, bapak menunggunya keluar karena beliau bilang tidak akan lama." Pak Joko berusaha menjelaskan.
Dira?
Mendengar nama itu membuat Alkea menghela nafas kasar, wajah yang tadinya kusut terlihat semakin kusut. Bagaimana tidak, saingannya dalam cinta ada di dalam sana. Jika Alkea bisa, rasanya ia ingin memisahkan Hasan dari wanita itu. Entah kenapa Alkea tidak menyukainya, bukan lantaran mereka menyukai pria yang sama, ada sesuatu tentang Dira yang masih membuat dirinya tidak percaya pada wanita itu, namun buruknya Alkea tidak tahu apa itu. Apakah ini hanya perasaannya saja? Mungkin saja tidak, biasanya firasat wanita jarang meleset.
"Akan ku lihat penyebab wanita itu tertahan di dalam. Dan satu lagi, pak Joko tidak perlu membiarkan gerbangnya terbuka lebar." Alkea menunjuk ke dalam, memberikan isyarat kalau ia akan masuk. Pak Joko membungkukkan badan, memberi hormat pada nona muda yang ia anggap seperti putrinya sendiri.
Jarak gerbang depan dari pintu utama mansion Dinata lumayan renggang, Alkea menghentikan langkah kakinya dan menatap tajam pada mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri, bibirnya komat-kamit mengumpat sang pemilik mobil yang selalu menyombongkan diri di depan Alkea.
"Aku yakin si rambut jagung sedang membual di depan Ummi Raina. Wanita itu sangat lihai dalam berbicara manis sehingga yang mendengar ucapannya akan ikut terbawa suasana." Gerutu Alkea pelan.
Alkea berjalan mendekati mobil mewah itu, ia tercengang melihat langsung perlakuan Hasan yang saat ini sedang asyik bermesraan dengan perempuan yang bukan mahramnya. Alkea meneteskan air mata, ia mematung di samping kanan mobil Dira. Bukan cinta, namun rasa jijik yang memenuhi rongga dadanya. Dua makhluk yang baru menyadari kehadiran Alkea tanpa beban membuka pintu mobil.
"Kenapa lihat-lihat kedalam segala? Apa kau iri? Apa kau kesal?" Hasan berujar dengan suara tinggi.
Alkea tersentak mendengar teriakan Hasan. Kakinya serasa tak memijak bumi, jika ia bisa ia ingin menghapus dari ingatannya apa yang baru saja di lihatnya. Walau tahu Hasan tidak mencintainya, namun tetap saja ia merasa di hianati, sakit rasanya melihat pria yang ia cintai mencemari wajah wanita lain dengan bibir indah itu.
"Akku ... aku ... aku tidak sengaja, aku pikir tidak ada orang di dalam." Ucap Alkea gugup, wajahnya terlihat tegang. Melihat Hasan berprilaku tak senonoh membuat jiwanya terguncang.
"Itu bukan alasan, katakan saja kalau kau tidak tahan melihat ku bersama wanita lain. Apa kau merasa sakit? Apa kau merasa kesal? Itulah yang selalu ku rasakan saat melihat wajah pura-pura polosmu." Tak terima dengan alasan Alkea, Hasan terus mencecarnya. Ia tidak perduli sedang bicara dengan putri Tantenya, Tante Yuna yang selalu ia hormati dengan sepunuh jiwanya.
"Aku heran kenapa mobil ini tidak di parkir di tempat biasa, lagi pula bukan salahku jika kau tertangkap basah, bagaimana jika Ummi Raina dan Maryam yang melihatmu, apa yang akan mereka pikirkan?" Alkea balas mencecar Hasan dengan ucapan tajamnya.
Hasan yang mendengar ucapan Alkea terlihat semakin kesal, sejujurnya ia takut di adukan pada Ummi Raina. Jika wanita paruh baya itu tahu tindakan putranya maka ketenangan Hasan akan hancur sepenuhnya.
"Kenapa kak Hasan berbuat maksiat di depan rumah? Apa kak Hasan tidak takut pada Allah?" Alkea yang terlanjur kesal menyaksikan Hasan berbuat mesum mulai melampiaskan amarahnya, Dira yang sedari tadi diam mulai angkat bicara. Wajah cantiknya memerah, ia kesal karena adegang menyenangkannya di ganggu orang.
"Urus saja urusanmu sendiri, jika kau iri kau bisa mencari pelampiasan pada pria lain." Sentak Dira dengan amarah membuncah.
Alkea ingin muntah, melihat dua sejoli di depannya yang tak merasa bersalah semakin membuatnya ingin melayangkan tinjunya. Bukan pada si rambut jagung, tapi pada Hasan yang tidak membelanya.
"Kamu tak perlu ikut campur, Di." Gerutu Hasan. Sesaat setelah bicara pada Dira, Hasan kembali menatap Alkea, tatapan yang di penuhi aura permusuhan.
"Kamu tidak perlu mencampuri urusanku, jika Abbi dan Ummi mengetahui kejadian barusan, maka aku anggap kamu yang mengadukanku. Dan satu lagi, aku mencintai wanita itu, hari ini, esok atau lusa." Ketus Hasan sambil mencengkram lengan Alkea.
Hasan dan Alkea? Mereka saudara. Namun karena masalah hati, Hasan mulai kesal padanya. Padahal jika dia mengabaikannya dan tak perlu membalas cintanya, Alkea tidak akan mengeluh apa lagi sampai membuat masalah.
"Aku akan melakukannya, aku akan memberitahu Ummi dan Abbi. Aku tidak perduli padamu, aku tidak perduli pada wanita itu. Aku juga tidak perduli walau kau mencintainya hari ini, esok atau lusa. Yang aku tahu aku sangat marah, beraninya kau melakukan tindakan tak senonoh di pekarangan rumah seolah ajaran Ummi dan Abbi hanya nasihat tak berguna." Netra Alkea mulai memarah. Amarahnya telah sampai ke ubun-ubunnya, untuk pertama kalinya ia sekasar itu pada orang lain, dan orang itu tak lain adalah pria yang paling ia cintai selain Babanya, Baba Zain.
"Kau bukan Hasan yang ku kenal, Hasan yang ada dalam benakku tidak mungkin melampiaskan nafsunya tanpa ada ikatan halal." Alkea mendorong tubuh jangkung Hasan hingga membentur mobil di belakangnya.
Setelah memuntahkan amarahnya, Alkea berlari ke arah pintu masuk mansion Dinata. Ia ingin berteriak, namun ia tidak ingin membuat Ummi Raina atau Abbi Shawn khawatir padanya. Untuk saat ini, yang Alkea butuhkan hanya ketenangan.
Betapa susah merobohkan sikap keras kepala Hasan. Jika seseorang sudah di tutup jalan cahayanya oleh Allah, maka sekuat apa pun usahamu menerangi jiwa mereka, akan berakhir percuma.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!