NovelToon NovelToon

MY LOVELY GIRL

Sebuah pertemuan

POV : AIRA

...~♥♥♥♥♥~...

Kuregangkan otot-otot tubuhku yang terasa pegal setelah seharian diajak bekerja. Untungnya malam ini bangsal sedikit tenang. Oh ya! Sebelumnya perkenalkan, aku Mesha Khumaira Sharma atau biasa dipanggil Aira. Nothing special about me, hanya seorang gadis berusia 24 tahun, yang mengabdikan dirinya kepada negara sebagai salah satu tenaga medis. Ya, aku bekerja sebagai seorang perawat di bangsal anak.

Jika berbicara tentang pekerjaanku. Aku bekerja dalam memantau keadaan pasien, terlibat juga dalam perencanaan perawatan pasien, hingga memberikan edukasi tentang manajemen penyakit. Walaupun terkadang melelahkan, tapi aku cukup menikmati semua itu. Terlebih saat melihat anak-anak yang kembali ke rumah mereka dengan tubuh sehat dan senyum di wajah mereka, itu membuatku sangat bahagia. Dan karena pada dasarnya aku menyukai anak kecil, sehingga aku memilih ditempatkan di bangsal anak.

Oke, kembali pada situasi saat ini. Kini aku sedang mengistirahatkan tubuhku setelah melakukan visit dengan Dokter Raka, dokter idola di rumah sakit ini. Hari ini, aku mendapat shift malam dan untungnya aku mendapat giliran jaga bersama salah satu teman dekatku.

“Udah selesai visitnya, Ra?”

Panjang umur. Itu salah satu teman karibku, Vika namanya. Gadis berhijab yang sudah menjadi teman seperjuangan ku sejak masa SMA. Aku menoleh menatap Vika yang baru saja datang. Sepertinya dia baru saja dari kafetaria, dilihat dari dua gelas kopi yang dibawanya. Dia tidak sendirian ada Angga yang mengikutinya. Sebenarnya ada rumor yang menyebar luas di seluruh penjuru rumah sakit. Rumor yang mengatakan bahwa laki-laki itu menyukaiku. Tapi, entah benar atau tidaknya rumor itu aku tidak tahu. Karena, di antara aku dan Angga tidak pernah membahasnya dan tidak peduli juga dengan gosip-gosip itu.

“Iya, baru aja. Kalian dari kafetaria, ya? Kok, enggak ngajak-ngajak gue?” Memang jika dengan mereka, aku selalu berbicara dengan lebih santai. Berbeda jika dengan rekan-rekan perawat yang lain.

“Kita enggak ngajak lo, karena lo lagi visit. Kelamaan. Enggak ikut juga, lo tetep dapet bagian nih,” ucap Vika sembari memberikan segelas kopi kepadaku, lalu dia mendudukkan dirinya di kursi sebelah kananku. Sedangkan Angga duduk di kursi sebelah kiri.

“Ah, my bestie. Tau aja gue lagi ngantuk-ngantuknya. Thanks ya,” ucapku berterima kasih, lalu segera aku sambar gelas kopi itu dengan gembira. Siapa sih, yang enggak suka traktiran. Ya, kan?

“Dokter Raka mana, Ra?” tanya Angga sembari memberikan sandwich ke arahku.

Aku menerimanya dengan suka cita dan tidak lupa berterima kasih, “Ya, di ruangannyalah.”

“Tumben. Biasanya nongkrong dulu di sini,” ucap Vika.

“Ngapain? Dari pada nongkrong di sini mending di ruangan dia, lebih enak,” balasku agak bodo amat sebenarnya.

“Ya, ngapain lagi? Kalo enggak PDKT sama lo.”

“Enggak usah ngarang deh, Vik.”

Vika memutar kursinya agar menghadap kepadaku. “Gue serius, ya. Kapan sih, gue bercanda sama lo?” Gadis itu terlihat tak main-main dengan ucapannya, tapi aku menolak untuk percaya.

Bukan. Jika kalian berpikir karena aku tidak percaya dengan Vika, kalian salah. Aku lebih tidak percaya dengan diriku sendiri. Bagaimana tidak, dokter Raka tuh ganteng, dia bisa dapat wanita cantik di luar sana. Kalau ibu sering bilang mah, tinggal tunjuk saja dapat. Mana mungkin dia menyukaiku yang seonggok remahan gorengan.

“Kalo Aira enggak mau sama Dokter Raka. Gimana kalo sama gue aja? Lagi dikejar deadline sama mama, nih.” Tiba-tiba Angga berbicara, menyahuti pembicaraan kami.

Aku menatap laki-laki itu tak percaya. Jika benar ini sebuah lamaran, sangat-sangat tidak romantis. Bayangkan saja, di bangsal dengan segelas kopi dan sepotong sandwich. Ditambah ada makhluk lain di antara kami berdua. Maksudku, Vika. “Lo bisa aja bercandanya.” Aku menggeplak punggung Angga dan tertawa berusaha menghindari kecanggungan di antara kami.

Angga tidak menanggapi, hanya bergeming di tempatnya. Namun, sekilas aku melihat air mukanya yang berubah sendu setelahnya.

“Deadline? Emang lo umur berapa?” Aku berterima kasih pada Vika yang memilih membahas Angga dibandingkan aku.

“28, tahun ini.”

“Pantes, sih. Udah hampir bangkotan soalnya.” ucap Vika sarkas seperti biasanya. Yang segera kuhadiahi sikutan di lengannya, membuatnya mengaduh kesakitan.

Lalu, aku mendengar tawa kecil dari Angga. “Bener yang dibilang sama Vika, Ra. Makanya, sekarang mama lagi hype-hype nya jodohin gue sama anak temen-temennya.”

“Gue doain jodoh lo cepet keliatan hilalnya, ya.” Aku menepuk-nepuk bahu Angga. Menguatkan laki-laki itu yang sedang dikejar setoran. Setoran cucu sksk.

Di saat waktu sudah hampir mendekati tengah malam, ditambah hawa sejuk angin malam yang menemani kesunyian di antara kami bertiga. Tiba-tiba ada laporan jika ada pasien baru yang akan mengisi kamar VVIP. Dan setelah perawat yang berjaga di UGD mengisi administrasi kamar. Kemudian disusul dengan OB yang membersihkan dan mempersiapkan kamar yang akan digunakan.

Tidak berselang lama dari itu. Perawat UGD yang sebelumnya mengisi administrasi datang bersama beberapa perawat lain, mereka mendorong brankar yang membawa pasien untuk kami pindahkan ke kamar inap. Dan dapat kulihat ada seorang anak laki-laki yang terbaring lemah di atasnya. Di belakang mereka ada dua pria dewasa dengan setelan jas mahal yang dikenakannya, dan seorang wanita paruh baya yang tidak henti-henti meneteskan air mata. Dengan salah satu di antara pria dewasa itu, merangkul sang wanita dan membimbingnya untuk berjalan dengan baik.

Tanpa berkata-kata, aku meraih sebotol air mineral yang memang disediakan disana untuk para perawat. Kemudian aku menepuk pelan bahu Vika, yang langsung membuat gadis itu menatapku. “Gue samperin ibu-ibu itu dulu, lo tolong urus yang lain,” ucapku pada Vika. Aku memutuskan untuk ikut menenangkan wanita tadi.

“Oke, serahin ke gue sama Angga.”

Setelah mendengar perkataan Vika, aku segera melangkah menuju kamar si pasien baru itu. “Permisi,” sapaku pada beberapa orang di ruangan itu. Mungkin karena mereka sedang sibuk dengan anak laki-laki itu, sehingga tidak ada yang mendengar ucapanku.

Aku memilih untuk mendekati seorang wanita yang terduduk seorang diri di sofa ruangan. Terlihat raut kelelahan di wajahnya namun, kekhawatiran lebih mendominasi. Aku menduduki sofa yang sama dengan wanita itu. Kemudian menyodorkan botol air mineral yang kubawa tadi, “Tante, silakan diminum dulu,” ucapku yang membuat atensinya beralih kepadaku.

“Terima kasih, sus.”

“Mari saya bukakan.” Aku membantunya membuka tutup botol, lalu memberikannya kembali kepada wanita itu. “Adiknya enggak papa, insya Allah cepat sembuh. Tante tenang aja ya, saya akan menjaga adiknya dengan baik,” kataku mencoba menenangkannya dan sepertinya berhasil, terlihat dari senyumnya yang mengembang di wajah cantiknya.

“Iya, saya percaya suster. Kalau boleh tau nama suster siapa?” tanyanya kemudian, mungkin beliau tidak menyadari name tag di seragamku. Tapi tak apa, aku akan memperkenalkan diri.

“Nama saya, Khumaira panggil saja Aira.” Aku memperkenalkan diri dengan singkat. Tidak lupa dengan senyuman sebagai sopan santun.

“Suster Aira. Namanya cantik seperti suster,” ucapnya memujiku. Ah, kan jadi malu.

“Terima kasih, tante. Tante juga masih terlihat cantik dan awet muda,” balasku sedikit malu-mali.

“Ah, nak Aira bisa aja. Tante itu sudah tua dan keriput begini.”

“Beneran, tante. Tante itu masih kelihatan cantik, saya tidak bohong.”

Ketika aku sedang asik bercengkerama dengan wanita itu, yang aku ketahui bernama Elisa. Tiba-tiba salah satu seorang pria berjaz itu menghampiri kami. Wajah nya terlihat tampan ralat, sangat tampan. Tapi, wajah itu kaku tanpa ekspresi apa pun di sana. Seperti dia sama sekali tidak memiliki emosi yang dapat digambarkan.

“Mommy,” ucapnya, mungkin memanggil tante Elisa. Oh, Tuhan! Mendengar suaranya saja, sudah membuatku jatuh. Ck, lemah banget nih hati.

“Yes, son?”

“Pulanglah dulu dengan daddy, aku yang akan menjaga Leon.” Perintahnya langsung tanpa ingin membuang-buang tenaga untuk menjelaskan hal lain.

“Apakah Leon sudah baik-baik saja?” Saat kulihat dirinya mulai gelisah lagi. Tanganku menyentuh punggungnya pelan dan tanganku yang lain menggenggam erat tangan wanita itu.

“Leon akan baik-baik saja, tante. Aku akan menjaminnya, dia akan menyambut anda dengan senyumannya. Dan sebaiknya tante juga beristirahat untuk menjaga kesehatan anda. Atau Leon akan sedih jika ketika dia sadar nanti, neneknya jatuh sakit karena mengkhawatirkannya,” ucapku dengan senyum mengembang di wajahku.

“Kau benar, Aira. Aku akan pulang dan datang lagi di pagi hari. Terima kasih sudah mau menjaga cucuku dan menjamin kesehatannya. Terima kasih sekali lagi.” Setelah mengatakannya beliau membawaku ke dalam pelukan hangatnya. Benar-benar nyaman seperti ketika aku berada dipelukan ibu.

“Tidak perlu sungkan, itu sudah kewajiban saya”

Setelah berpamitan dengan cucu kesayangannya, tante Elisa berjalan meninggalkan ruangan Leon. Ditemani oleh sang suami yang senantiasa menemaninya. Aku melihat cerminan ibu dan ayah pada kedua orang tua itu. Harmonis dan penuh kasih sayang. Aku tersenyum tanpa sadar saat menatap keduanya. Hingga punggung mereka menghilang dibalik pintu.

»

Setelah kepergian tante Elisa dan suaminya. Kini di dalam ruangan tersisa diriku, bocah laki-laki bernama Leon dan seorang pria yang tidak pernah melepas pandangannya dari bocah itu. Hanya keheningan yang mengisi di antara kami bertiga. Aku pun tidak berani memulai pembicaraan dengan pria itu. Entah bagaimana, tapi auranya terlalu dingin dan tidak tersentuh. Seolah, menguarkan peringatan untuk tidak mendekatinya.

Apakah dia daddy nya Leon? Masa sih? Usianya terlihat tidak berbeda jauh dengan Angga atau pun Dokter Raka. Jika memang dia daddy nya, lalu dimana mommy nya? Kenapa hanya ada dia seorang, tanpa ada seorang wanita cantik dengan pakaian fashionable dan bermerek.

Batinku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Leon. Dan setelah pergolakan batin yang sengit, akhirnya kuputuskan untuk mendekat pada brankar Leon. Bocah laki-laki itu masih senantiasa menutup matanya, seolah mimpinya lebih indah dari dunia nyata.

“Eum. Maaf, pak. Kalo boleh tau Leon sakit apa?” tanyaku berusaha sesopan mungkin.

Pria itu menoleh menatap ke arahku. Matanya menatap tajam menembus bola mataku. Aku terpaku dengan sorot matanya. Ditambah pahatan wajah yang sempurna membuatku salah fokus. “Bukankah seharusnya anda sudah tau,” ucapnya dengan suara tegas. Tidak ada senyuman di wajah, benar-benar poker face.

“Ah. Itu, tadi saya terlalu fokus menenangkan ibu anda. Sehingga saya lupa memeriksa administrasi pasien.” Aku tertunduk malu atas keteledoranku, atau mungkin tidak. Karena, aku sudah menyerahkannya kepada Vika dan Angga tadi.

“Jika anda lalai seperti ini. Bagaimana anda akan memenuhi janji anda sendiri kepada mommy saya?”

“Hah?”

“Janji menjamin dan menjaga kesehatan Leon.”

Aku semakin tertunduk lebih dalam. Merasa terlalu berlebihan membuat janji seperti itu. Bahkan itu bukan kapasitasku. “Maaf, saya tau tindakan saya salah dan tidak profesional. Tapi pada saat itu fokus saya menenangkan ibu anda yang gelisah dengan kondisi cucunya. Jadi saya permisi, selamat malam.”

Dirasa tidak ada balasan dari lawan bicara, aku memilih segera keluar dari ruangan itu. Aku berjalan dengan mengentak-entakkan kakiku pada dinginnya lantai rumah sakit. Meluapkan kekesalan karena pria sok keren itu. Padahal aku tidak seratus persen salah, jelas-jelas aku sudah menitipkan hal lainnya pada Vika tadi sebelum aku menenangkan tante Elisa.

“Kenapa lo, Ra? Dateng-dateng muka lo kusut, kayak cucian kotor?” Suara Vika lebih dulu menyapaku saat aku sudah tiba di bangsal.

“Enggak papa,” ucapku masih dengan sisa kekesalan pada pria itu. “Vik, anak di kamar VVIP itu sakit apa sih?” aku lebih memilih mengorek informasi dari Vika. Daripada harus bergelut dengan diri sendiri. Menebak-nebak yang tidak jelas.

“Oh, anak itu.” Vika membuka-buka lembar-lembaga kertas di atas meja. “Leonal Azzuri Sadewa, anak berusia 4 tahun. Sebenarnya itu bukan penyakit yang cukup serius, hanya alergi biasa,” jelasnya dengan kedua matanya yang masih fokus membaca deretan huruf di atas kertas-kertas itu. “Tapi efek alergi itu cukup fatal jika terlambat ditangani.”

“Memang dia alergi apa?” Aku menggeser kursi yang kududuki mendekati Vika dan ikut membaca data diri pasien yang sedang kami bicarakan.

“Alergi kacang,” ucapku dan Vika berbarengan. Kami saling beradu pandang beberapa detik. Dan seolah mengerti apa yang sedang kami pikirkan, aku mengangguk setuju dengan Vika.

Pantas saja anak itu memiliki ruam merah di wajah dan tubuhnya. Mungkin juga sudah sampai sesak nafas sampai dia memakai selang oksigen. Untung keluarganya bergerak cepat. Semoga dia lekas sembuh dan siuman. Aku ingin berkenalan dengannya. Jujur saja aku tertarik dengan anak laki-laki itu, entah bagaimana dia bisa membuatku terpaku dengan wajah kecilnya yang tampan. Ya, walaupun daddy nya mungkin tidak akan memperbolehkan aku menyentuh anaknya. Dilihat dari kesan pertama yang jauh dari kata baik.

“Besok lo libur, kan?” tanyaku pada Vika. Sebenarnya aku dan Vika ada pada jam kerja yang sama. Jadi kami selalu berdua. “Keluar, yuk.”

“Sorry, gue enggak bisa. Nenek besok check up, jadi gue harus nemenin beliau.”

“Its okay. Terus, gimana keadaan nenek sekarang?”

Vika ini hanya tinggal bersama neneknya. Sedangkan kedua orang tuanya harus menetap di Singapura, karena harus meneruskan bisnis keluarga di sana. Hanya pulang setiap Idhul fitri saja, itu pun dengan kurun waktu yang singkat. Dan Vika lebih memilih tinggal bersama neneknya setelah kepergian kakeknya beberapa tahun lalu.

“Udah jauh lebih baik dari kondisi terakhir. Udah bisa jalan juga, walau masih dibantu tongkat. Di rumah juga ada mba Sinta yang nemenin nenek, jadi gue udah lebih tenang kalo harus ninggalin beliau buat kerja,” paparnya dengan bahagia. Aku tahu seberapa sayangnya gadis di hadapanku dengan neneknya itu, jelas melihat wanita paruh baya itu jatuh sakit sangat membuatnya sedih. Dan setelah kembali sehat tentu ia teramat senang karena usahanya untuk menyembuhkan sang nenek tidaklah sia-sia.

“Syukurlah, gue ikut senang mendengarnya. Semoga lekas pulih total ya.” Aku tersenyum berusaha menyemangati sahabat karibku ini. Vika hanya membalasku dengan senyuman di wajah cantiknya.

Aku dan Vika memilih berbincang-bincang dengan topik seputar drama Korea yang kami sukai. Terkadang aku dan dia suka berbagi koleksi drama. Vika sedikit berbeda denganku, dia selain menyukai drama Korea,  juga menyukai boyband-boyband dari negeri ginseng itu. Salah satunya Exo dan bias gadis itu adalah Oh Sehun.

Dan tidak terasa waktu sudah menjelang pagi. Langit sudah siap menyambut sinar mentari. Setelah selesai menunaikan ibadah sholat subuh, aku dan Vika bersiap melakukan pengecekan pada pasien sebelum pergantian shift nanti. Angga juga ada bersama kami, laki-laki itu berjalan di belakangku dan Vika yang berjalan beriringan.

Kami memulai dari ruangan VVIP, mengetuk pintunya lebih dulu dengan sopan. Karena bagaimana pun ini ruangan pribadi seorang pasien, setelah mendapatkan izin untuk masuk aku dan rekan-rekan perawat lain berjalan masuk tanpa terburu-buru. Terlihat di ruangan itu, pria yang semalam aku lihat sedang duduk di sofa dengan laptop yang menyala dan beberapa lembar kertas yang berserakan di sana. Mungkin dia sedang bekerja sembari menjaga putranya. Selain itu, bocah laki-laki bernama Leon itu sudah bangun dari tidurnya.

Aku tersenyum menatap anak itu. “Hai, Leon. Boleh kakak periksa dulu suhu badannya?” tanyaku kepadanya. Dia hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Aku pun mulai mengecek suhu tubuhnya, tensinya dan mencatatnya di dalam catatan kesehatan Leon. Setelahnya aku membereskan peralatan yang kugunakan untuk memeriksanya. Baru saja aku akan melangkah mendekati teman-temanku, tapi pertanyaan Leon menghentikan langkahku.

“Kapan Leon boleh pulang?” tanya dengan suara hampir berbisik.

Aku berbalik dan kembali mendekati brankar Leon. Kuelus lembut surai kecokelatannya. Dia menengadahkan wajahnya agar bisa menatapku, yang lebih tinggi dari dirinya. “Kenapa? Bosen, ya?” tanyaku dengan senyum lembut kepada bocah itu.

Leon menganggukkan kepalanya pelan. “Iya, Leon bocen cuctel,” adunya dengan suara khas anak batita.

“Makanya jangan bandel. Kalo enggak boleh makan kacang ya jangan dimakan.” Serbu suara bass milik pria itu. Aku langsung melayangkan tatap sengit kepadanya. Bisa-bisanya dia berkata begitu kepada anak kecil, terlebih anaknya sendiri.

“Kalo Leon udah sembuh, pasti dibolehin pulang sama dokternya.”

“Benelan, cuctel?” tanyanya dengan matanya yang berbinar-binar.

Aku tersenyum geli melihat tingkah Leon. “Iya, tapi Leon harus sehat dulu. Okay?” Leon mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.

“Suster keluar dulu ya, bye-bye Leon,” pamitku bersiap untuk keluar dari sana.

“Hati-hati cuctel, campai ketemu lagi,” ucapnya dengan senyuman mengembang di wajah kecilnya. Ahh manisnya.

...~♥♥♥♥♥~...

Suster cantik

POV ELHAN

...~♥♥♥♥♥~...

Kedua mataku tidak pernah lepas dari Leon, bocah laki-laki yang sedang terbaring lemah di brankar rumah sakit. Ini semua karena keteledoranku, bahkan aku tidak mengetahui jika anakku menjadi korban penyiksaan yang dilakukan oleh baby sitter nya sendiri. Dan puncaknya saat makan malam tadi. Tiba-tiba Leon mengeluh jika ia kesulitan bernafas ditambah dengan ruam-ruam merah yang muncul di wajah dan tubuhnya. Leon itu alergi terhadap kacang dan baby sitternya itu malah memberikan Leon makanan dengan kandungan kacang di dalamnya.

Padahal saat ia baru bekerja bersama kami sudah diberitahu apa saja yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh Leon. Dan ternyata dia memang tidak becus menjadi baby sitter. Sering kali meninggalkan Leon sendirian saat sekolah dan bermain. Itu benar-benar tidak bisa aku toleransi lagi. Aku akan membuat hidupnya sengsara setelah apa yang ia lakukan kepada putraku.

“I am sorry, son.” Batinku tidak pernah berhenti mengucapkan kalimat itu.

“Daddy.” Aku segera menoleh menatap Leon yang kini sudah membuka matanya.

“Yes, son?” aku merasakan kelegaan di dada saat melihatnya sudah siuman dan sedang menatapku dengan matanya yang berwarna hijau seperti mommy nya.

“Hauc, mau minum.” Aku membantunya bangkit dari posisi tidurnya, kemudian membantunya meminum air mineral yang sudah tersedia di sana. Kuletakkan kembali gelas itu di atas nakas setelah Leon selesai menghilangkan dahaganya.

“Apa masih terasa gatal dan sesak nafas?” tanyaku memastikan kondisinya.

“Enggak, daddy. Leon cudah cehat, ayo pulang.”

Aku menahan tubuhnya yang ingin turun dari brankar. Ia menelengkan kepalanya ke arah kanan, seolah bertanya atas tindakanku. “Nanti.” Ucapku dengan suara tegas.

“Daddy, Leon bocen dicini.” Rajuk bocah itu dengan mencebikkan bibirnya seperti mulut bebek.

“Kamu baru bangun. Bagaimana bisa kamu sudah merasa bosan, hm?” Leon menunduk lesu setelah mendengar perkataanku. Leon itu termasuk anak yang hyper active sehingga, dia tidak senang jika harus berdiam diri seperti saat ini. “Daddy, janji. Kalo dokter sudah memperbolehkanmu pulang, kita akan pulang.” Ucapku pada akhirnya untuk sedikit menyenangkannya.

Leon mengembangkan senyumnya yang indah, hingga memperlihatkan deretan gigi susunya. Aku membiarkan Leon untuk menikmati siaran cartoon di televisi, sedangkan diriku kembali bergelut dengan berkas-berkas kantor yang sebelumnya diantarkan oleh asisten ku. Dan waktu berjalan begitu cepat hingga tidak terasa sudah menjelang pagi. Jika aku tidak salah ingat ini jadwal pergantian shift dan pengecekan rutin pasien.

Walau pun aku tidak terlalu banyak terjun dalam mengurusi rumah sakit namun, sedikit banyaknya aku tahu dengan sistem yang berjalan di sini. Karena rumah sakit masih diurus oleh daddy dan mommy ku, lain halnya dengan perusahaan yang sudah diambil alih oleh diriku. Kemudian terdengar ketukan pintu pada ruangan Leon, mungkin itu para perawat yang akan mengecek kondisi Leon.

“Masuk.”

Setelahnya para perawat itu masuk bergiliran. Dan ada satu perawat yang kukenal di antara mereka yaitu, perawat wanita yang teledor dalam tugasnya. Ya, walau pun harus ku akui dia membantuku untuk menenangkan mommy yang khawatir dan gelisah dengan kondisi cucu kesayangannya. Dapatku lihat netra matanya sedikit melirik ke arahku lalu berpaling begitu saja. Ah–bodo amat.

“Hai, Leon. Boleh kakak periksa dulu suhu badannya?” dia bertanya setelah berada di sebelah brankar Leon. Putraku itu hanya menjawabnya dengan anggukkan kepala.

Saat perawat itu akan melangkah keluar ruangan, tiba-tiba Leon bertanya. “Kapan Leon boleh pulang?” Leon bertanya dengan suara lirih namun, aku masih dapat mendengar apa yang ia katakan.

“Kenapa, bosen ya?”

Aku sedikit tertarik mendengar percakapan mereka, aku beralih menatap keduanya dan meninggalkan sejenak lembaran-lembaran kertas di hadapanku. Karena biasanya Leon sangat pemalu jika dihadapkan dengan orang baru namun, lihat sekarang ia dengan berani mengadu kepada perawat wanita itu. Leon menganggukkan kepalanya pelan. “Iya, Leon bocen cuctel.”

Sudut bibirku terangkat membentuk senyuman tipis. Kemudian aku melangkah mendekati mereka berdua. “Makanya jangan bandel. Kalo enggak boleh makan kacang ya jangan dimakan.” Ucapku saat sudah berada di sebelah Leon. Berdiri dengan kedua tangan yang kumasukkan ke dalam saku celana bahanku.

“Kalo Leon udah sembuh, pasti dibolehin pulang sama dokternya.”

“Benelan, cuctel?”

“Iya, tapi Leon harus sehat dulu. Okay?”

Aku hanya diam menyaksikan interaksi mereka, tanpa ingin ikut hanyut dalam pembicaraan keduanya. Ku lihat Leon menganggukkan kepalannya beberapa kali, menyetujui perintah dari perawat itu. Sampai akhirnya perawat wanita yang tidak ku kenal namanya itu berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya. Dan memperkenalkan perawat-perawat yang akan menjaga disift pagi hari ini.

“Suster keluar dulu ya, bye-bye Leon.”

“Hati-hati cuctel, campai ketemu lagi.” Leon melambaikan tangannya dengan senyuman yang tidak luntur dari wajah tampannya, mengiringi kepergian perawat itu.

Hening beberapa saat di antara diriku dan Leon. Sampai seseorang mengantarkan makanan untuk Leon sarapan. Aku menyiapkan meja untuk bocah itu makan namun, Leon memilih untuk disuapi olehku. Lalu, aku arah kan sesendok nasi dan lauk pauk yang ada dipiring. Hingga semuanya habis disantap oleh Leon tanpa penolakan.

“Enggak ada lacanya, dad. Leon enggak cuka.” Adu Leon setelah selesai menenggak air putih di dalam gelas.

“Kalo enggak suka. Kenapa dihabisin?”

Leon membenarkan posisi duduknya. “Bial Leon cepet cembuh, teluc cepet pulang.” Ucapnya sambil menyuap potongan-potongan buah melon. Aku terdiam sesaat, tidak biasanya Leon dengan patuh mematuhi perkataan seseorang terlebih lagi dari orang asing.

“Daddy.”

“Yes, son?”

“Oma kapan kecini?”

“Sebentar lagi oma datang, tunggu aja.” Tanganku mengelus surai kecokelatan milik Leon, persis seperti mommy nya. Leon adalah copyan langsung dari mommy nya tidak ada kemiripan sedikit pun dengan ayahnya. Matanya, hidungnya, rambutnya benar-benar seperti Lilian.

Ceklek

Pintu terbuka dan memperlihat mommy dan daddy yang tersenyum menatap Leon. Mommy segera berhambur memeluk cucu semata wayangnya itu. Sedangkan aku lebih memilih menyingkir duduk di sofa bersama daddy. “Kamu enggak ke kantor, son?” tanya daddy ketika aku mulai membuka lagi berkas-berkas di atas meja.

“Hm, Leon lebih penting.” Jawabku tanpa mengalihkan pandangan ku dari layar laptop yang menyala.

“Ada mommy mu dan daddy juga akan berada di rumah sakit.”

“Apa terjadi masalah?” tanyaku dengan khawatir, pasalnya daddy sangat jarang datang ke rumah sakit jika tidak ada masalah yang mendesak.

“Nothing, hanya meeting rutin untuk membahas kelanjutan program kerja dibulan depan.”

Aku mengalihkan kembali atensiku pada berkas-berkas ini. “Aku akan tetap menemani Leon di sini. Dia sudah menitipkan Leon kepadaku dan sudah seharusnya aku menjaga Leon dengan baik.” Dapatku rasakan mataku sedikit berair saat mengingat peristiwa itu lagi. Peristiwa kelam yang membuat Leon harus kehilangan orang terkasihnya. Dan semenjak itu aku berjanji untuk memberikan kasih sayang penuh dan menjaga Leon seumur hidupku.

Daddy hanya diam setelah mendengar perkataan ku. Aku tahu dia juga merasakan perasaan yang sama seperti yang kurasakan, Jika saja waktu dapat diputar kembali kami mungkin tidak akan membiarkannya pergi begitu saja tapi, apa mau dikata saat takdir sudah berkehendak. Sekarang hanya menjaga satu-satunya peninggalan nya saja yang bisa kami lakukan, yaitu Leon. Menjamin bocah itu tumbuh dengan baik dan menjadi orang yang hebat tanpa kekurangan kasih sayang sedikit pun.

“Oma, tadi Leon ketemu cuctel cantik.” Celotehan Leon mampu membuat aku dan daddy menatap dua orang berbeda generasi yang sedang asyik mengobrol di sana.

“Oh, ya? Siapa namanya?” mommy mengikuti alur cerita Leon.

“Leon enggak tau, oma.” Kepala Leon tertunduk lesu.

“Nanti kalo ketemu lagi jangan lupa tanya namanya, ya?” Leon mengangguk kan kepalanya dengan antusias, ia juga tersenyum. “Lebih cantik mana oma sama suster itu?” tanya mommy menggoda cucunya itu.

“Maaf, oma.” Kami bertiga mengernyit heran menatap Leon. Kenapa bocah itu malah meminta maaf? “Soalnya lebih cantik tante susternya, hehe.” Leon melanjutkan ucapannya sambil terkekeh, hingga memperlihatkan gigi susunya.

»

“Daddy, kenapa cuctel yang tadi pagi enggak dateng lagi ya?” tanya Leon dengan tangannya yang sibuk mengotak-atik rubik ditangannya.

Di ruangan Leon hanya ada aku dan anak itu, sedangkan kedua orang tuaku harus berangkat ke Bandung untuk menjenguk omaku yang tiba-tiba jatuh sakit. Sejak beberapa waktu lalu anak itu terus bertanya dengan pertanyaan yang sama berulang kali. Bahkan ia sampai bertanya pada suster yang membantunya mengganti cairan infusnya tadi. Sebenarnya ada apa dengan bocah itu?

“Leon mau jalan-jalan keluar enggak?” tanyaku, menawarkan hal lain agar dia tidak terus bertanya kenapa suster kesayangannya itu tidak kunjung muncul.

“Mau daddy.” Ucapnya dengan semangat 45.

Aku segera mengambil kursi roda yang berada dipojok ruangan. Kemudian membantu Leon untuk mendudukkan dirinya di sana. Setelah dirasa Leon sudah nyaman dengan posisi duduknya, aku mulai membawanya keluar ruangan. Berkeliling sekitar rumah sakit, guna menghilangkan kebosanan bocah itu.

Tiba-tiba Leon menyentuh tanganku. Aku sedikit menunduk menatap bocah itu. “Daddy ayo kecana.” Telunjuk Leon terangkat menunjuk arah depan.

Mataku mengikuti arah yang ditunjuk oleh Leon. Taman, Leon menunjuk taman rumah sakit yang di isi oleh para pasien dan perawat. Mungkin dia tertarik setelah melihat anak-anak seusianya bermain di sana. Tanpa membalas ucapan Leon, kudorong kursi roda mendekati salah satu kursi taman yang kosong. Aku menduduki kursi itu dengan Leon yang tetap duduk di kursi rodanya.

“Daddy, Leon mau main cama meleka.” Ucap nyaa meminta izin kepada ku dengan suara sedikit berbisik.

“No, son.” Leon tertunduk lesu dengan urut bibirnya melengkung ke bawah. Aku sedikit membenarkan jaket yang membalut tubuh kecil Leon. “Leon kan masih di infus.” Tanganku menyentuh puncak kepala anak itu. Dan tersenyum lembut saat mata Leon menatap ke arahku. Senyum yang sangat jarang aku perlihatkan kepada orang lain, selain untuk orang terkasihku.

“Kapan Leon pulang, dad?” dia menelengkan kepalanya ke kanan dengan wajah menggemaskan.

“Kalo Dokternya udah kasih izin.” Aku mengelus lembut surai kecokelatan milik Leon. Mungkin dia sudah merindukan bermain dengan teman-temannya juga suasana rumah yang ramai. Leon memang tidak seperti diriku yang sulit bersosialisasi dan percaya dengan orang baru. Dia seperti orang itu, yang terbuka dan mudah percaya. Walau mungkin, sifatnya sedikit berubah akhir-akhir ini. Tapi, akan aku pastikan Leon tidak akan dikecewakan seperti dia.

“Daddy janji, setelah Leon pulang kita akan jalan-jalan bersama.”

Kulihat mata hijaunya membulat dengan lucu. “Benelan, daddy?” aku memberikan anggukkan kepala sebagai jawaban. “Daddy enggak bohong kan?” kembali kepalaku mengangguk menjawab pertanyaannya. “Janji?” Leon mengacungkan ari kelingkingnya di depan wajahku. Aku yang paham dengan maksud bocah itu, segera mengangkat jari kelingkingku untuk bertaut dengan kelingking mungil Leon. Dia tersenyum lebar hingga memperlihatkan gigi susunya.

“Aku sudah berjanji untuk menjaganya seumur hidupku, bahkan jika aku harus mempertaruhkan nyawaku. Karena, hanya Leon satu-satunya peninggalan yang ditinggalkan dia untukku.”

»

Malam harinya, aku dan Leon hanya berdiam diri di dalam kamar inap. Dengan aku yang berkutat dengan laptop dan berkas laporan kantor. Lain halnya dengan Leon yang sedang membaca buku dongengnya ditemani oleh Kinara, sekretarisku. Sebelumnya aku meminta wanita itu membawa berkas laporan ke rumah sakit. Dan Leon juga sudah dekat dan mengenal baik Kinara. Karena terkadang aku menitipkan Leon padanya jika aku mengajak bocah itu ke kantor.

Tapi, aku tidak berpikir untuk menikahi wanita itu. Walau dia dapat dengan mudah mengambil hati Leon tapi tidak denganku. Kami hanya berhubungan sebatas atasan dan pegawainya. Selain itu, Kinara ini sudah memiliki seorang kekasih, yang tidak lain adalah teman ku sendiri.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar. Aku bangkit dari sofa yang kududuki dan berjalan ke arah pintu untuk mempersilahkan tamu itu masuk. Ternyata mereka seorang Dokter dan perawat wanita. “Permisi pak, saya akan memeriksa kondisi putra anda.” Ucap Dokter laki-laki yang aku ketahui bernama Raka, terlihat dari name tag di jas dokternya.

Aku mengangguk dan sedikit menggeser tubuhku untuk mempersilahkannya masuk. Kedua orang itu masuk dan langsung bertegur sapa ringan dengan Kinara dan Leon. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli tapi, jika dilihat-lihat Kinara seperti sudah mengenal salah satu petugas medis itu. Bahkan terlihat akrab sampai mereka berbicara dengan bahasa nonformal.

“Doktel, Leon udah cembuhkan?”

“Udah. Leon udah sembuh, kok.” Ku lihat Dokter itu mengelus puncak kepala Leon.

“Belalti Leon udah boleh pulang kan?”

“Boleh. Tapi, Leon harus janji. Jangan pernah makan kacang dan coklat lagi, oke?” Leon mengangguk dengan semangat.

Setelah berpamitan dengan ku, kedua orang itu keluar dari kamar inap Leon dan menyisakan kami bertiga. Aku melangkah mendekati ranjang Leon dan berdiri di sebelahnya. “Seneng?”

“Ceneng. Leon udah boleh pulang, boleh main lagi cama temen-temen. Dicini bocenin. ya kan, aunty Ala?”

“Iya.”

“Kinara, kamu terlihat dekat sekali dengan perawat tadi.” Pernyataanku membuat Kinara yang sebelumnya menunduk menatap Leon menjadi menatap diriku.

“Oh, itu.. dia sahabat saya sejak masa SMA pak. Ketiga sahabat saya bekerja sebagai perawat di sini, dan yang tadi salah satunya.” Aku akan membalas penjelasan Kinara namun, Leon lebih dulu bertanya kepada wanita itu.

“Kenapa aunty enggak bilang, Leon mau dikenalin cama cuctel cantik.” Terlihat Leon mencebikkan bibirnya kesal.

“Suster yang tadi namanya, suster Aura.”

“Bukan yang itu. Yang lain, cuctelnya cantik banget, baik lagi. Leon mau punya bunda kayak cuctel cantik itu.” Papar Leon dengan lancar dengan senyuman mengembang dan pandangan menerawang jauh berkhayal.

“Heh?” dapat ku pastikan Kinara juga sama terkejut nya dengan ku setelah mendengar perkataan Leon.

Kinara menatapku dengan satu alisnya terangkat ke atas. Aku hanya diam dan menepuk pelan dahiku. Jika itu adalah permintaan Leon maka akan sangat sulit untuk aku kabulkan. Aku adalah pria yang berjanji hanya menikah sekali seumur hidup dan hanya untuk satu wanita. Tidak ada yang kedua ataupun ketiga. Itu janjiku sejak dulu, tepatnya setelah aku mulai mengurus Leon.

...~♥♥♥♥♥~...

Teman ibu

POV AIRA

...~♥♥♥♥♥~...

Sinar mentari pagi memasuki sela-sela hordeng kamarku yang beterbangan terbawa angin, mungkin semalam aku lepa menutup pintu balkon. Aku menggeliat dalam tidurku dan segera bangkit mendudukkan diriku yang masih setengah mengantuk. Hari ini aku tidak ada shift kerja setelah sebelumnya mendapat giliran jaga malam. Jadi aku sedikit malas untuk bangun di pagi hari seperti ini.

Aku mendengar langkah kaki mendekati kamarku dan kemudian berganti dengan suara ketukan pintu. “Aira, bangun sayang.” Ucap seseorang dibalik pintu, yang aku yakini adalah ibu.

“Iya, bu. Sebentar lagi.”

“Jangan lama-lama, ayahmu udah nungguin di meja makan.” Setelah mengatakannya, sepertinya ibu berjalan meninggalkan kamarku yang masih tertutup rapat. Terbukti dari suara langkah kakinya yang kian menjauh dan menghilang.

Setelah selesai mengumpulkan nyawaku yang berhamburan. Aku mencepol asal rambut panjangku, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan menggosok gigi. Kemudian melangkah keluar kamar dan menuruni anak tangga untuk menemui kedua orang tuaku.

“Pagi ayah, ibu.” Sapaku sembari mengecup singkat pipi keduanya.

“Pagi, sayang.”

“Pagi.”

Aku mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan ibu. Lalu, aku menyendok satu centong nasi goreng udang buatan ibu. Jujur saja, aku belum terlalu mahir memasak. Tapi, sedikitnya pahamlah tentang bumbu-bumbu dapur. Aku lebih suka memasak hal-hal yang simple, seperti indomie seleraku. Kok, jadi iklan?

“Enggak masuk kerja, Ra?” ayah bertanya kepadaku setelah melipat rapi koran paginya.

“Enggak. Masih libur, yah. Kan habis dapet shift malem.”

“Oh, ya udah. Nanti tolong temani ibumu ke butik. Katanya salah satu karyawannya sedang libur.”

“Siapa, bu?” aku beralih bertanya kepada ibu yang selesai menyiapkan piring untuk ayah.

“Itu mbak Intan, lahiran anak kedua.” Jawab ibu santai.

“Wihh, Ziko udah punya adek aja. Aira kapan ya, bu?” ucap ku sedikit menggoda ibu.

“Ngawur, ibu udah tua begini kok disuruh ngasih adik. Ya, kamu yang seharusnya ngasih cucu ke ayah sama ibu.”

Aku mendadak diam dengan mulut terkunci rapat. “Salah ngomong, nih” aku memelas dalam batin.

“Aku masih muda loh, bu. Baru juga umur 24 tahun.” Aku mencebik kesal.

“Itu terus jawabannya. Temen kamu aja yang satu SMA dulu, dia udah punya anak dua. Lah, kamu masih jomblo aja.”

“Si Ainun kan lahiran kembar, bu. Kalo dapetnya satu ya, anaknya masih satu.”

“Ngeles mulu kerjaan kamu, Ra. Intinya dia udah lebih unggul dari kamu.”

“Dikira lomba kali unggul. Ini anak loh, bukan piala.”

“Udah, bu. Mungkin, Aira belum nemu yang cocok aja.” Aku tersenyum bangga pada ayah, yang selalu mengerti perasaanku. Tapi, senyum itu seketika luntur setelah mendengar kelanjutan perkataannya. “Dulu, waktu dia bawa mantan pacarnya kesini. Ibu malah enggak ngerestuin.”

“Ngapain pake dibahas lagi sih, yah.” Batinku sudah meronta-ronta.

“Ya, mana mau ibu punya mantu begajulan begitu.” Aku meringis ngeri mengingat emosi ibu saat bertemu mantanku itu. Memang benar, dia anak badboy yang urakan dan suka tawuran. Aku juga bingung kenapa dulu sempat menyukai laki-laki seperti itu. Tapi, ya namanya masa remaja. Kalian pasti satu pemikiran denganku, bukan?

“Udah, bu. Mending ibu banyak-banyak berdoa, supaya anak ibu yang cantik ini cepet keliatan hilal jodohnya.” Ucapku sambil merapikan alat makan yang aku gunakan. Kemudian bangkit dari kursi untuk membawanya ke dapur. “Aku mau mandi dulu, siap-siap nemenin ibu negara.” Pamitku kepada keduanya dan berlalu menaiki anak tangga.

Di dalam kamar, aku tidak langsung membersihkan diri dikamar mandi. Tapi, aku memilih untuk menjatuhkan tubuhku di atas kasur dan meraih ponselku yang tergeletak di atas nakas. Berselancar sebentar di media sosial, lalu membuka beberapa notifikasi yang masuk di sana. Salah satunya dari Ara, teman SMA ku yang kini menjadi sekretaris CEO.

 

...Kin...

Lo libur ya hari ini?

Gue lagi di rumah sakit, nih.

^^^Iya^^^

^^^Ngapain lo?^^^

Nganterin berkas ke si boss.

Btw, lo tau enggak Suter tercantik di rumah sakit?

^^^Gue(≧∇≦)/^^^

Sialan, gue serius.

^^^Kagak tau.^^^

^^^Kenapa emang?^^^

Itu anak si boss, kayaknya

kesemsem sama itu suster.

^^^Ah elah gue kirain apaan.^^^

^^^Udah biarin aja, nanti juga^^^

lupa namanya bocah.

 

Tanpa menunggu lagi balasan dari Ara, aku segera meraih bathrobe kemudian memasuki kamar mandi. Aku berniat untuk berendam beberapa menit. Toh ibu belum gembar-gembor memanggilku, jadi aku masih memiliki banyak waktu. Sksk

Tapi ternyata perkiraanku salah. Tidak berselang 5 menit setelah aku berendam dalam bathtub, ibu sudah menggedor pintu kamarku dan terus meneriaki namaku. Aku bergegas menyelesaikan acara mandiku. Kemudian segera mengenakan pakaian dan berdandan sedikit. Walau pun kenyataannya tanpa make up pun wajahku tetap glowing, shimmering, splendent. Enggak ding, bercanda.

Aku menuruni tangga dengan menenteng flat shoes yang akan kugunakan nanti. Lalu, meluncur untuk menemui ibunda ratu, yang aku yakini sudah siap menyemprotku dengan jurus ceramahnya. Aku memilih untuk mengenakan celana jeans hitam dengan atasan baju model sabrina.

Dan seperti dugaanku, ibu sudah menungguku sembari berkacak pinggang. Dan matanya yang mendelik tajam menembus bola mataku. Aku hanya meringis dan cengengesan melihat ibu.

“Ngapain aja kamu? Lama banget, bertelor?”

“Udah, bu. Marah nya nanti aja, udah telat ini.” Ucapku menghentikan sesi tanya jawab yang apabila aku ladeni, tujuh hari tujuh malam pun tidak akan selesai.

“Kan, kamu yang lelet.”

“Iya-iya, Aira yang lelet. Makanya, ayo buruan berangkat.” Kali ini ibu menurut tanpa mengomel lagi. Hari ini aku bertugas menjadi sopir untuk ibu. Setelah ibu memasang seatbelt nya dengan benar, aku segera menaikkan rem tangan dan menginjak pedal gas. Membawa mobil kami keluar dari pekarangan rumah.

»

Hufft

Entah sudah ke berapa kalinya aku menghela napas. Sejak aku menginjak kan kaki di butik ibu. Benar-benar membosankan, mana cuma duduk-duduk doang, menjaga kasir. Karena, hanya itu yang bisa kulakukan untuk membantu ibu. Jangankan menggambar desain gaun, nama-nama bahan saja aku tidak tahu. Terlebih gambarku selalu jelek sedari sekolah dasar.

“Permisi, nyonya Airin nya ada?”

“Ada, sebentar saya panggilkan.” Aku meletakkan ponsel yang sejak tadi kupegang, lalu bangkit sambil sedikit mengangkat wajahku untuk menatap sang tamu. Kemudian berniat memanggil ibu di dalam ruangannya. Namun–

Loh?

“Suster Aira?” sepertinya wanita di hadapanku sama terkejutnya dengan diriku. Terlihat dari mata nya yang membulat dengan jari telunjuk yang mengarah padaku. Namun, tidak berselang lama hanya beberapa detik lalu ekspresi itu berubah menjadi sebuah senyuman.

“Tante Elisa.” Panggilku kepada wanita yang berdiri di hadapanku yang terhalang oleh meja kasir, yang membatasi jarak di antara kami.

“Kamu kerja di sini juga?”

“Enggak, tan. Ini butik punya ibu.”

“Oh, jadi kamu anaknya Airin.”

Heh? Kok tante Elisa kenal sama ibu? Mungkin pelanggan tetap ibu kali, ya? “Iya, tante. Sebentar ya, saya panggilin ibu dulu.” Baru aku akan berbalik dan melangkah menemui ibu. Tapi, orangnya sudah ada di belakangku dengan bola matanya yang berbinar, di ikuti sudut bibirnya yang terangkat dengan sempurna.

“Ya, ampun. Udah nyampe aja kamu, El.” Ibu berjalan melewatiku dan langsung memeluk tante Elisa. Ditambah dengan cipika-cipiki ala mommy-mommy sosialita.

“Heehh? Apa gue doang, yang enggak tau emak gue punya temen?”

“Kebetulan tadi lagi di dekat sini, jadi cepet nyampe nya.” Kalo dilihat-lihat sih, memang umur mereka tidak beda jauh. Tapi, kok rasanya kayak bumi kecil banget ya.

Ibu menganggukkan kepalanya paham. “Oh, ya–ini kenalin anak perawanku, namanya Aira.” Ibu menarikku agar berdiri bersisian dengannya.

“Ya, enggak usah pake penekanan juga.” Batinku kesal.

“Udah kenal, kok.” Tante Elisa menarik sudut bibirnya, tersenyum lembut padaku. Sedangkan aku hanya bisa cengengesan tidak jelas. “Cantik anak kamu, Rin.”

“Makasih tante.” Ucapku malu-malu.

“Halah, percuma cantik kalo enggak laku-laku.”

Astaughfirullah. Ini ibu, kayaknya punya dendam kesumat sama aku deh. Paringi sabar ya gusti. Aku mengelus dada dramatis setelah mendengar perkataan ibu.

“Belum ketemu jodohnya aja.” Ah tante Elisa, aku meleleh ini.

“Kamu ada keperluan apa kesini?” ibu bertanya hal lain dan melupakan pembahasan mengenai kejombloanku.

“Biasa, mau ngambil pesanan jas mas Abra sama Elhan.” Tante Elisa mendudukkan dirinya di sofa empuk di depan ruang ganti. Bertepatan dengan aku yang akan meletakkan jamuan pada tamu kami ini.

“Maaf, tante. Adanya cuma air putih. Soalnya ibu bossnya belom nyediain coffeshop.” Ucapku sedikit menjaili ibu.

“Kamu kira ini mall apa?” Sungut ibu yang baru saja keluar dari dalam dengan membawa dua jas yang masih terbungkus rapi.

Ibu meletakkannya di atas meja kasir, setelahnya ikut bergabung dengan tante Elisa. Sedangkan aku memilih menyingkir di kursi kasir dan memainkan kembali ponsel milikku yang sempat aku campakkan. Dua wanita paruh baya itu asyik berceloteh membahas banyak hal, mulai dari fashion, make up, perabotan rumah tangga, sampai pada finalnya.

“gimana anak kamu, El? Udah punya calon?” hm, aku mencium bau-bau tidak sedap ini.

“Belum, dia masih monoton aja. Sibuk kerja dan ngurusin anaknya.” Oh duda. Eh! Kok, gue nyimak?

“Kenalin lah sama Aira. Aku sebenernya takut dia jadi perawan tua, kalo kelamaan jomblo.” Nah kan, apa aku bilang. Memang ibu tuh enggak pernah berniat menjunjung tinggi anaknya. Selalu dijatuhkan sejatuh-jatuhnya ke dasar palung Mariana.

Eh, sebentar. Anak tante Elisa, punya anak satu, duda. Apa iya? yang dimaksud itu, pria menyebalkan yang ada di rumah sakit waktu itu? Tapi, mungkin saja tante Elisa punya dua anak. Lagi pula dia tidak terlihat mirip dengan anak laki-laki itu. Mungkin saja yang dimaksud itu, anak tante Elisa yang lain. Dan pria waktu itu, adalah adik atau kakak dari ayahnya Leon.

“Gimana kalo nanti malam kita adain makan malam bareng?” saran tante Elisa.

“Boleh, Aira juga lagi enggak kerja.” Balas ibu menyetujui saran tante Elisa dengan kegembiraan yang terpancar hebat di wajahnya.

“Bu, besok kan aku masuk pagi.” Ucapku sedikit memelas, siapa tahu kali ini berhasil. Walau pun aku sedikit ragu, ibu akan luluh oleh bujuk rayuku.

“Makan malam kan, enggak bakal sampe tengah malem, Ra. Paling jam 9 atau 10 juga udah pulang.” Kan, apa aku bilang?

Aku hanya terdiam tidak lagi menjawab perkataan ibu. Karena, keputusan ibu sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Apa mau dikata, ya kan? Lagi pula ini cuma acara makan malam biasa, hanya sebatas silaturahmi. Enggak papa Aira, tenang aja lo masih punya peluang nikah sama mas SongKang. Semangat.

»

Dan disinilah aku sekarang, di parkiran salah satu restoran bintang lima di ibukota. Aku melangkah dengan perlahan, sedangkan ayah dan ibu sudah lebih dulu berjalan di hadapanku. Kedua orang tuaku itu menemui seorang pelayan lebih dulu, sebelum akhirnya dibawa ke salah satu meja yang sudah di booking oleh tante Elisa.

Sepertinya ibu terlalu bersemangat, sampai kami datang lebih dulu sebelum orang yang mengundang datang. Tidak berselang lama, keluarga tante Elisa akhirnya datang. Namun, hanya mereka berempat. Tante Elisa, Leon, dan dua pria dewasa. Dan yang terlihat seumuran dengan ayah, yang kuyakini dia adalah suami dari tante Elisa. Yang satunya lagi, tentu si pria menyebalkan itu.

Lalu, aku celingak-celinguk mencari seseorang yang mungkin akan menyusul di belakang mereka namun, nihil. “Tante, anak tante yang satu lagi mana?” tanyaku pada akhirnya.

“Loh?” kulihat tante Elisa terkekeh pelan. “Ini anak tante.” Ucap tante Elisa sembari tangannya menepuk bahu pria itu.

“Eh? Bapaknya Leon?”

“Ini daddy nya Leon, cuctel.” Aku menunduk menatap Leon yang berdiri di sebelah pria itu, dengan tangan yang berpegangan pada celana bahan daddy nya. “Ganteng kan?” bocah itu menampilkan gigi susunya yang baru tumbuh beberapa.

“J-jadi dia yang tante maksud?”

“Iya.”

Wah, rasanya aku ingin cepat-cepat menghilang dari muka bumi ini. Atau sekedar bumi terbelah dua dan menelanku hidup-hidup. Aku benar-benar ingin menghilang dari hadapan mereka semua. Selain karena malu dengan pertanyaanku sendiri, aku juga malu dengan ekspetasi dan pikiranku tentang anak tante Elisa yang lain.

“Ayo silakan duduk, kita mulai saja makan malamnya.” Ucap tante Elisa mempersilahkan kami untuk duduk kembali.

“Iya, oma Leon udah lapel.” Perkataan Leon membuat semua orang dewasa disana tertawa lirih, kecuali aku dan pria itu.

Aku masih diam, sibuk dengan pikiranku. Sampai ketika ibu menanyakan makanan apa yang ingin ku pesan, aku masih tetap diam. Dan berakhir ibu yang memesankan makanan untukku. Sembari menunggu pesanan kami datang, aku mendengar ibu dan ayah sibuk berbincang-bincang dengan tante Elisa dan suaminya.

“Ra, itu ditanyain tante Elisa.” Ibu menyenggol tanganku yang berada pada sandaran tangan di kursi.

“Hah? Eh? Ada apa tante?” tanyaku gelagapan.

Tante Elisa tersenyum lembut ke arahku, sebelum berkata. “Gimana dengan pekerjaan kamu?” beliau mengulangi pertanyaannya yang sebelumnya tidak aku dengar.

“Oh. Itu menyenangkan sih, tan. Apalagi ketika melihat anak-anak yang tersenyum gembira, saat kembali pulang ke rumah mereka dalam keadaan sehat. Seperti kebahagiaan dan rasa syukur yang mereka rasakan, aku turut merasakannya.” Ucapku dengan sudut bibir terangkat, mengingat momen-momen di rumah sakit.

“Kamu suka anak kecil ya, Ra? Terus kamu enggak ada capek gitu.” Di meja makan itu hanya aku dan tante Elisa yang berbicara. Bahkan ibu pun lebih memilih untuk menyimak seperti yang lainnya. Sementara Leon, bocah itu sibuk dengan game di ponselnya.

“Suka tante, soalnya aku juga enggak punya adik. Enggak ada yang bisa di jail–aduh!” Aku mengaduh kesakitan kala ibu melancarkan serangannya pada lenganku. “Kalo dibilang capek. Ya pasti, tan. Namanya juga kerja, tapi kalo inget pekerjaan yang aku kerjakan untuk menyelamatkan hidup orang lain. Rasanya capek itu hilang begitu aja.” Aku tidak berbohong atau melebih-lebihkan, karena memang itu yang aku rasakan.

“Ada niatan menikah, Ra?” tante Elisa kembali bertanya.

Entah kenapa, aku lebih dulu melirik pada pria dewasa yang berada di hadapanku—sebelum aku menjawab pertanyaan dari tante Elisa—yang ternyata juga sedang menatap diriku. Membuat kami terlibat saling menatap satu salam lain dalam beberapa detik. “Ada sih, tan. Tapi, calonnya yang belum ada. Lagi pula aku masih pengin berkarier dan mengabdikan hidupku.” Ucapku pada akhirnya.

“Loh? Kan setelah menikah juga tetap bisa bekerja.” Suami tante Elisa ikut bertanya setelah mendengar jawabanku atas pertanyaan istrinya.

Aku membenarkan posisi dudukku, menegakkan tubuh saat dirasa obrolan kami mulai serius. “Iya, om. Tapi, saya sudah berkomitmen untuk berhenti bekerja setelah menikah. Karena, saya ingin menjaga dan mengurus keluarga saya dengan baik. Memantau dan mengetahui setiap tumbuh kembang anak saya nanti. Dan saya tidak bisa menyerahkan itu semua kepada baby sitter atau asisten rumah tangga.” Aku bernafas lega setelah menyelesaikan perkataanku. Rasanya seperti sedang ada di ruang sidang dulu.

“Jawaban yang cerdas.” Aku cukup tersanjung dengan pujian suami tante Elisa. Dan kulihat para orang tua di sana tersenyum menatap diriku.

“Leon enggak tau yang cuctel omongin tapi, cuctel kelen.” Ucap Leon dengan mengacungkan ibu jarinya di depan wajahnya sambil tersenyum riang menatapku.

“Thanks, boy.” Balasku yang semakin membuat senyumnya kian mengembang.

Kami menghentikan perbincangan sesaat, setelah pesanan kami datang. Leon yang terlihat paling semangat untuk menyantap makan malamnya. Dan disela-sela makanku, aku merasa seperti diperhatikan oleh sepasang mata dengan intens. Jangan bilang restoran ini berhantu. Enggak mungkin, kalo benar yang ada cerita ini berubah jadi genre horor.

Aku sedikit bersandar pada kursi, kemudian meminum air putih milikku untuk menenangkan diriku. Dan tanpa disengaja mataku menangkap sepasang mata yang terus menatapku dengan tajam. Karena saking terkejutnya, aku sampai menyembur semua air yang berada di dalam rongga mulutku.

Byurrr

Tapi, bukan pria itu yang terkena semburanku. Melainkan Leon yang sedang menyambut suapan dari omanya. Kedua bola mataku membola tanpa sadar. Tangan kananku refleks menutup mulutku yang terbuka lebar. “Sorry.” Gumamku pelan.

“Cuctel, Leon udah mandi. Kenapa disilam ail lagi.” Leon terlihat kesal dengan pakaiannya yang basah.

Aku bangkit dan mendekati kursi yang diduduki oleh Leon. “Aduh–tante minta maaf, ya.” Ucapku dengan tangan yang sibuk mengelap kemeja Leon dan rambut nya yang basah.

“Di mobil ada pakaian ganti milik Leon. Kamu bisa mengambilnya, kan?” tanya tante Elisa, aku hanya memberikan anggukkan kepala sebagai jawaban. Aku langsung menggendong Leon dan berniat membawa bocah itu untuk mengganti pakaiannya.

“Anda ingin membuka pintu mobil tanpa kunci?” Tanya seseorang di belakangku dengan nada bicara yang terdengar sangat menyebalkan di telingaku.

“Kalo begitu, boleh saya minta kunci mobilnya?” tanyaku pada sosok menyebalkan itu. Tanganku menengadah di hadapannya.

“Biar saya saja. Takut-takut mobil dan anak saya akan anda bawa kabur.” Seketika rahangku jatuh setelah mendengar perkataannya, menatap tidak percaya pada orang itu. Bahkan dia berjalan lebih dulu, membuatku harus mengekorinya di belakang dengan anaknya dalam gendonganku.

“Benar-benar laki-laki yang menyebalkan. Aku berdoa, semoga yang menjadi jodohnya bisa tahan dengan sifat menyebalkannya itu.”  batinku kesal.

...~♥♥♥♥♥~...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!