NovelToon NovelToon

Daivat System

Realm : Takhta Yang Di Tolak

"Realm," dalam bahasa Inggris, secara sederhana berarti dunia atau kerajaan. Namun, bagi Insean, kata ini memiliki makna yang jauh lebih dalam.

Bagi rakyat Insean, "Realm" hanyalah nama organisasi. Namun, bagi para Theurgist—individu dengan kemampuan istimewa—Realm adalah sistem hukum baru yang membatasi sekaligus melindungi. Lahir dari reruntuhan dunia pascabencana termonuklir dan bencana alam global, Realm mengatur ulang tatanan, menggantikan kekacauan dengan ketertiban.

Insean sendiri adalah negara hasil persatuan dari beberapa wilayah yang selamat dari kehancuran besar. Dua tahun lalu, sebuah peperangan yang melibatkan para Theurgist hampir meruntuhkan sisa-sisa peradaban. Dari kekacauan itulah Realm lahir—bukan hanya sebagai kekuatan hukum, tapi sebagai penentu arah masa depan.

Logline : Dunia hancur. Dan dari reruntuhan itulah takhta baru dibangun—takhta yang tak berakar pada darah, tapi pada dendam dan keheningan yang panjang.

 

Tervil, Pusat Pemerintahan Realm — Masa Kini

Kota Tervil berdiri megah di atas bekas ladang perang. Langit kelabu menaungi gedung-gedung tinggi berbalut logam hitam. Di jantung kota, berdiri Citadel Realm—markas besar yang dijuluki Benteng Dunia Terakhir.

Langkah kaki bergema di lorong marmer. Seorang perempuan berambut perak berjalan cepat. Jubahnya berkibar saat ia menaiki tangga putih keemasan. Wajahnya tenang, namun matanya tajam.

Hyena Lee. Komandan Operasional Realm.

Ia berhenti di depan pintu besar berlapis emas, dihiasi simbol Realm: dua sayap membelah bumi, dikelilingi cincin sihir teknologi.

Tok. Tok. Tok.

,Tanpa menunggu izin, ia membuka pintu. Di dalam, seorang pemuda duduk anggun di singgasananya. Rambut peraknya menjuntai. Ia menyesap teh krishan dari cangkir porselen putih. Matanya masih tertutup, seolah dunia tak layak untuk dilihat.

“Tumben sekali kau mengganggu ketenanganku, Hyena” kata Kara tanpa membuka matanya dan menampilkan bibirnya membentuk senyum tipis.

“Hyun datang,” jawab Hyena. “Ia dari Parlemen.” dengan nada datar dan tajam.

Mata Kara terbuka perlahan. Irisnya keperakan seperti bilah pedang yang baru diasah.

“Aku tak ada urusan dengan keluarga Leonard,” desisnya dengan nada dingin.

“Dia bukan datang sebagai kakakmu, Kara. Tapi sebagai utusan resmi. Kau harus menemuinya... sebagai Lucifer. Bukan sebagai adik kecil yang tersisih." timpal Hyena.

Kara terdiam. Sejenak waktu terasa beku.

“Aku benci dia, tapi sayangnya, aku tak bisa benar-benar membencinya.” lirih Kara hampir berbisik.

Hyena mendekat. Tangannya menyentuh dagu Kara, mengangkat wajah itu perlahan.

"Temui dia. Ambil kesetiaannya. Tundukkan dia. Itu... balas dendam paling anggun yang bisa kau persembahkan untuk keluarga bajingan kalian." saran Hyena.

Kara menyunggingkan senyum miring.

“Aku suka cara berpikirmu. Tapi suruh dia tunggu. Aku perlu bersiap.”

“Dan aku suka bibirmu, sayang.” Hyena.

Ia mengecup Kara lembut, lalu melangkah pergi.

Saat pintu tertutup, Kara memejamkan mata. Di balik matanya, kenangan lama menetes perlahan—seperti racun yang tak pernah benar-benar hilang.

 

Dua Tahun Lalu — Kota Jawa

Shankara Young Leonard tak pernah tahu siapa orang tuanya. Ia dibuang di Panti Asuhan Malaikat Kecil saat bayi. Di usia dua tahun, ia diadopsi oleh keluarga sederhana yang memberinya nama: Kara.

Dunia kecilnya penuh kasih, hingga pada usia 14 tahun, tragedi datang merenggut semuanya. Orang tua angkat dan adik perempuannya, Emilia, tewas dalam kecelakaan bus.

Kara sendiri bertahan hidup dengan bekerja di toko roti, menjaga rumah kenangan mereka. Tapi rumah itu pun akhirnya direbut kerabat jauh. Ia hanya diizinkan tinggal sementara, tanpa hak.

15 Januari 2024.

Sore itu, Kara pulang dari kerja. Di depan rumah, mobil mewah parkir. Beberapa pria berseragam berdiri kaku.

“Maaf, ini rumah saya. Ada perlu apa?” tanyanya.

Seorang pria maju. Tingginya menjulang, aura dingin menyelimuti.

“Aku Daddymu. Bereskan barangmu dan ikut aku pulang.”

“Saya… tak punya ayah. Orang tua saya sudah meninggal.”

“Cih. Banyak bicara. Ikut saja.”

Tusukan tajam melesat ke lengannya. Dunia mulai berputar. Gelap.

“Bawa anak ini. Ratakan rumahnya. Sudah kubeli,” perintah Castor Vallen Leonard.

Di balik ekspresi datarnya, Castor menyimpan kemarahan mendalam. “Kau imut, tapi menjijikkan. Tapi kau akan berguna. Anggap ini penebusan dosa karena kematian ibumu.”

Mobil hitam itu melaju, membawa Kara menuju nasib baru—sebuah dunia yang bahkan neraka pun enggan sentuh.

 

 

To Be Continued

Kilas Balik Anak yang Dibuang

15 Tahun Lalu — Rumah Sakit Leonard

Langit mendung menggantung di atas atap Rumah Sakit Leonard. Petir tak henti menggulung, seolah menyambut tragedi yang akan tertulis dalam sejarah keluarga Leonard.

Di ruang tunggu VIP, Castor Leonard duduk gelisah, matanya tak lepas dari jam dinding. Di luar ruangan bersalin, waktu seakan berhenti berdetak.

Pintu terbuka. Seorang dokter keluar, wajahnya pucat.

> Dokter: “Tuan Castor, kedua bayi Anda… lahir dalam kondisi hidup dan... stabil.”

Castor berdiri, nadanya mendesak.

Castor: “Mana istriku?”

Dokter ragu. Ia menelan ludah.

> Dokter: “Kami… mohon maaf, Tuan. Istri Anda mengalami komplikasi berat. Anak terakhir lahir dalam posisi sungsang. Kami kehabisan waktu. Dia… meninggal di meja operasi.”

Suara Castor mengeras. Ia mendekat pelan, lalu—

CLAK!

Pistol ditarik keluar dari balik jas. Ujungnya menempel ke pelipis dokter.

> Castor (dingin): “Katakan yang sebenarnya. Sekarang. Sebelum aku menarik pelatuk ini.”

> Dokter (gemetar): “A-a-anak pertama... lahir lebih dulu. Tapi dia sangat lemah. Golongan darahnya tidak cocok dengan Anda maupun Nyonya. Tak ada energi Intergalactic terdeteksi. Bayi kedua jauh lebih kuat. Ia… sesuai dengan darah Leonard.”

Castor menarik nafas berat. Matanya kosong.

> Castor: “Buang bayi pertama itu. Kirim ke panti. Jangan daftarkan namanya di sistem keluarga.”

> Dokter: “Tuan… Anda serius?”

> Castor: “Apa kau mau mati di sini juga?”

Dokter terdiam.

 

Satu Minggu Kemudian — Pemakaman Carrie Leonard

Upacara berjalan khidmat, namun dingin. Castor berdiri di samping peti istrinya. Di pelukannya, seorang bayi laki-laki dengan wajah tenang. Dialah yang selamat. Matthew Hyunji Leonard.

Tidak ada yang tahu bahwa Carrie seharusnya punya dua anak. Tidak ada yang tahu bahwa seorang bayi lain—anak sahnya—telah dibuang tanpa jejak.

Dan tidak ada yang tahu bahwa bayi itu masih hidup, di sudut panti asuhan kecil di distrik gelap wilayah selatan.

 

Tahun 2024 — Rumah Sakit Leonard

Langkah kaki terdengar terburu-buru di koridor steril. Di atas ranjang dorong, seorang remaja laki-laki tak sadarkan diri dibawa masuk—wajahnya pucat, tubuhnya kurus, napasnya berat.

Kara.

Di ruang observasi, Andreas Danny Key—dokter kepala dan sahabat lama Castor—menyambut kehadiran mereka. Ia menatap wajah Kara, matanya menyipit.

> Andreas: “Wajahnya… dia lebih mirip Carrie daripada kamu.”

Castor menurunkan iPad-nya, menatap Kara sebentar.

> Castor: “Dia bukan anakku.”

> Andreas (menahan nada kecewa): “Kau masih belum mengakuinya setelah semua ini?”

> Castor: “Dia anak dari kegagalan sistem. Bukankah itu kesalahan rumah sakitmu? Inseminasi buatan yang gagal.”

Andreas mengepal tangan. Matanya menajam.

> Andreas: “Kau tahu betul itu bukan salah anak ini. Bahkan kalau programnya gagal, Carrie tidak pantas dihina. Dan anak ini, Kara... dia bahkan belum membuka matanya saat kalian semua menguburnya.”

> Castor: “Dia akan berguna. Itu yang penting sekarang.”

> Andreas: “Atau karena wasiat ayah mertuamu? Karena surat yang menyuruhmu mencarinya?”

Castor tertawa sinis.

> Castor: “Tentu saja. Aku muak mendengar namanya dicari-cari oleh semua orang tua tolol itu. Maka sekarang, aku akan kendalikan dia sebelum mereka mengambilnya dariku.”

> Andreas: “Dia bukan boneka, Castor.”

> Castor: “Dia akan menjadi boneka. Bonekaku.”

Andreas menatapnya dengan jijik, lalu berjalan pergi.

Beberapa Hari Kemudian — Paviliun Belakang, Mansion Leonard

Kara membuka matanya perlahan. Cahaya matahari menembus tirai sutra, menyinari kamar mewah. Tapi yang ia rasakan bukan kenyamanan… melainkan kekosongan.

Pintu terbuka. Seorang pria berseragam hitam masuk—William Yu, pengawal pribadi.

> William: “Selamat pagi, Tuan Kara. Saya akan mendampingi Anda mulai hari ini.”

> Kara (lemah): “Tuan?”

> William: “Ayah Anda—Tuan Castor—meminta Anda mulai mengikuti jadwal pelatihan hari ini. Pelajaran bisnis, sejarah keluarga Leonard, dan sihir dasar.”

> Kara: “Aku... tidak mengerti apa-apa soal sihir.”

William mengeluarkan sebuah kotak hitam kecil dan menyerahkannya.

> William: “Ini disebut CAD. Casting Assistant Device. Mulai sekarang, Anda akan belajar menjadi seorang Theurgist.”

 

Narasi: Dunia Theurgist

> Dunia yang Kara kenal selama ini hanyalah panti asuhan dan sekolah biasa. Tapi kini ia dilemparkan ke dalam kota tertutup bernama Bridwraltrent—markas elite sihir dan teknologi dunia.

> Para Theurgist adalah manusia terpilih yang mampu mengendalikan energi Intergalactic melalui CAD—perangkat sihir canggih berbentuk gelang atau chip.

 

Dialog Penutup — Malam Hari, di Balik Tirai Paviliun

> Kara (sendirian, berbisik): “Siapa aku sebenarnya? Kenapa wajah mereka seperti mengenalku... tapi aku merasa asing di sini?”

Dari balik jendela lantai atas, Castor mengawasi dengan dingin.

> Castor (pelan): “Aku tidak akan membiarkanmu lepas… Kara. Kau akan menjadi apa yang semestinya tidak pernah ada: alat keluarga Leonard.”

 

To Be Continued…

CAD berbentuk Gelang

To Be Continued

Pertemuan Dua Saudara

Kembali ke Masa Kini — Tervil

Ruang Audiensi Realm — Tervil, Hari yang Sama

Langit Tervil tampak seperti kaca abu-abu—sunyi, tak bersuara. Kilau dari langit-langit kaca markas Realm menciptakan bayangan simetris dari lingkaran sihir teknologi yang terukir sempurna di lantai ruangan audiensi.

Kara berdiri di depan cermin. Jubah hitam Realm melekat anggun di tubuhnya. Matanya bersinar perak, memantulkan dua tahun kehancuran, pembentukan, dan kelahiran ulang.

Bukan lagi bocah dari panti.

Kini, ia adalah Lucifer dari Realm. Pewaris kegelapan… dan harapan baru dunia.

****

Kara melangkah keluar dari kamarnya, jubah keagungan hitam yang menjuntai membalut tubuhnya seperti bayangan malam.

Langkahnya mantap menuruni anak tangga utama mansion Realm, setiap pijakan mencerminkan kewibawaan yang tak lagi bisa disangkal.

Eksekutif Realm berdiri melingkar, sunyi. Atmosfernya terasa seperti pengadilan agung. Tegang. Sakral.

Pintu utama terbuka perlahan.

Hyun Leonard melangkah masuk, didampingi dua anggota parlemen Realm. Tubuhnya tegap, jas resmi hitam dengan lencana Parlemen berkilau di dada. Rambut peraknya disisir rapi, sorot matanya tajam. Aura kebangsawanan menyelimutinya, berbeda dengan aura Kara yang seperti angin padang terbuka—liar, bebas, dan membakar dari dalam.

Kara mengangkat dagu sedikit. Tatapannya tajam, namun senyum tipis menghiasi wajahnya.

“Selamat datang, Matthew Hyunji Leonard.”

Hyun menghentikan langkahnya. “Kau memanggilku dengan nama lengkap..... Itu pertanda buruk.”

Kara tersenyum tipis. “Hanya formalitas. Aku menghormatimu... sebagaimana aku menghormati seekor serigala yang berdiri di ambang pintu sangkarku.”

“Kau berubah, Kara.” Hyun menghela nafas panjang.

“Tidak. Aku hanya... terlahir kembali.”

Hening.

Tanpa banyak basa-basi, Kara melangkah menghampiri.

GREP.

Hyun bangkit, menubruk Kara ke dalam pelukan erat. Bisikannya nyaris terdengar seperti doa yang ditahan terlalu lama:

"You miss me, Bunny?"

"Tidak," Kara mendesis pelan. "Lepaskan pelukanmu, bodoh."

Hyun tertawa kecil, pasrah melepaskan pelukan itu. Ia kembali duduk.

Kara duduk dengan tenang, lalu menepuk tangannya sekali. Seorang pelayan masuk membawa nampan berisi teh dan camilan. Setelah meletakkan di meja, pelayan itu membungkuk dan undur diri.

"Katakan saja tujuanmu datang ke tempatku," ucap Kara dingin.

Hyun menatap wajah sang adik. Wajah itu... begitu datar. Dingin. Tak menyisakan jejak kasih seperti yang dulu ia kenal.

"Kau terlalu berbeda sekarang, Kara."

"Semua orang berubah, Matthew. Tapi tidak semua orang mengkhianati darahnya sendiri."

Sebelum Hyun menjawab, seseorang datang dan langsung melingkarkan tangan di leher Kara. Hyena, sang pasangan yang setia.

"Baby," ucap Hyena manja.

"Hem," jawab Kara singkat.

"Boleh aku tetap di sini?"

"Tentu saja. Panggil William juga."

Hyena mengangguk dan pergi memanggil William.

"Bisakah kita bicara berdua saja?" pinta Hyun.

"Tidak. Bukankah kau di sini mewakili parlemen?"

"Benar, tapi—"

"Kita tak lagi saudara sejak dua tahun lalu, Matthew."

"Kau terlalu banyak berubah. Aku bahkan tak mengenalimu lagi."

"Yang berubah bukan hanya aku. Dunia juga berubah. Dan aku... hanya menyesuaikan diri."

Beberapa menit kemudian, Hyena kembali bersama William. Kara hanya melirik.

"Sekarang, jelaskan maksudmu datang ke Realm."

Hyun berkata, “Aku datang bukan untuk membuka luka lama.”

Kara menyela, “Lalu? Untuk apa? Menyampaikan salam dari Castor? Atau sekadar memastikan aku belum menyalakan api pemberontakan?”

Mata Kara mengabur sejenak. Kilatan masa lalu muncul—darah dari donor paksa, suara teriakan masa kecil, dan wajah ayah mereka yang tak pernah menunjukkan kasih.

“Hyun... pernahkah kau bertanya mengapa aku tidak membunuhmu saat punya kesempatan?” lirih Kara memulai percakapan lagi.

Hyun diam. Jantungnya berdetak lebih cepat, namun ia tetap tenang.

“Karena satu-satunya hal yang lebih buruk dari membunuh saudaramu sendiri... adalah menjadi sama seperti ayah kita.” lanjut Kara.

Hyun berkata sambil tersenyum getir. “Dan kau pikir... kau bukan dia?”

Kara menatap tajam Hyun dan berkata, “Aku bukan dia. Aku memilih takdirku. Kau? Kau masih perpanjangan tangannya—dibentuk, dikendalikan, dan dibungkam oleh nama keluarga.”

“Aku datang ke sini bukan sebagai Leonard. Aku datang untuk menawarkan aliansi.” sela Hyun.

Kara terkejut. “Aliansi?”

“Albgraham mengembangkan CAD-Soulbound—senjata sihir yang hanya bisa diaktifkan oleh satu orang. Dan nama itu muncul di laporan intel: Shankara Young Leonard. Lucifer. Kau.”

Hening. Tegang.

Seketika atmosfer ruangan berubah. Tegangan terasa seperti petir dalam botol kaca.

“Jadi ini... alasan sebenarnya. Kalian tak datang karena peduli. Kalian datang karena butuh. Karena takut.” ujar Kara berbisik dengan sinis.

Hyun menyela, “Kami tak ingin kau jatuh ke tangan Albgraham.”

Kalian tidak pernah memiliki aku, Hyun. Jadi bagaimana mungkin kalian bisa kehilangan aku?”

Hyun mengelak dan berkata lagi, “Aku ke sini karena Bridwraltrent mulai pecah. Albgraham Doherus kembali dari pengasingan. Dia membawa ideologi baru yang bisa menghancurkan Realm... dan seluruh sistem Theurgist.”

Kara menyandarkan punggungnya. “Lucifer tidak tertarik pada perang para tua bangka yang lapar kekuasaan.”

“Tapi kau tertarik pada kehancuran.” timpal Hyun.

“Tepat. Tapi kali ini... aku ingin menjadi saksi kehancuran itu, bukan korbannya.” tukas Kara.

Hyun menarik napas. "Kau tidak membaca pesan parlemen di terminal mobilmu, Ace?"

"Aku sibuk. Biasanya William yang menangani itu."

"Ini darurat. Parlemen membutuhkan bantuan Realm."

Kara mengangkat alis. "Tumben. Biasanya hanya email atau notifikasi."

"Ini genting. Albgraham Doherus kembali. Ia sedang membangun pasukan dan bersiap menyerang Insean."

"Lalu? Apa urusanku dengan dia dan Insean?"

"Kau tinggal di Bridwraltrent City. Kota ini adalah pusat peradaban, simbol harapan Insean setelah perang besar. Dan kaulah satu-satunya yang bisa menghentikannya."

Kara tertawa pelan. "Kau datang bukan karena peduli. Tapi karena takut."

Hyun menunduk. "Aku datang karena aku tahu... hanya kau yang bisa menghentikan Albgraham."

Kara memicingkan mata. "Apa keuntungannya bagiku?"

"Parlemen akan memberikan hak penuh Realm atas zona eksperimen. Kau juga akan diberi akses penuh ke seluruh jaringan CAD."

"Terlalu murah untuk taruhanku."

"Apa yang kau inginkan?"

Kara menatap lurus ke mata kakaknya. "Kesetiaanmu."

Hyun terdiam. "Kau gila."

"Aku tidak bicara sebagai Kakakmu. Tapi sebagai Lucifer. Pemimpin Realm."

Hening menegangkan.

"Berikan kesetiaanmu, Arthur, dan aku akan bantu parlemen."

Jubahnya menjuntai megah saat ia berjalan turun dari singgasana. Aura sihir mulai berpendar dari tubuhnya. Pola-pola CAD kompleks muncul samar di lantai, terhubung dengan langkahnya.

“Sampaikan pada parlemenmu... Realm bukan pion. Aku bukan alat. Jika kalian ingin bermain, maka kita akan bermain... di mejaku. Di aturanku.” ujar Kara dengan tegas.

Hyun membuka mulut, ingin berkata sesuatu—namun menutupnya lagi. Ada sesuatu di mata Kara yang membuatnya mundur satu langkah.

Dia bukan lagi Kakak kecil yang dibuang.

Ia adalah Raja di antara reruntuhan.

Di luar ruang audiensi, Hyena bersandar di dinding koridor marmer, menunggu.

Saat pintu terbuka dan Hyun melangkah keluar, Hyena menatapnya lama.

menunggu.

“Kau sudah lihat sendiri? Ia bukan bagian dari Leonard. Bukan lagi.” katanya.

Hyun menatap pintu tertutup sejenak. tatapannya rumit.

“Dia... jauh lebih kuat dari yang kupikirkan.”

“Dan dia lebih rusak dari yang kau bayangkan,” ucap Hyena pelan.

To Be Continued.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!