Langit biru dengan semburat semu merah menandakan sebuah hari kembali dimulai. Makhluk hidup mulai melakukan aktivitasnya masing-masing. Jalanan yang sepi pun menjadi ramai. Suara klakson bersahutan menggema di semua penjuru.
Meski banyak orang yang sudah mulai melakukan aktivitas, ada beberapa diantaranya yang masih sembunyi dari dunia yang sudah semakin terik.
Perempuan itu masih diam menatap langit-langit kamarnya, meski sudah terbangun sejak satu jam yang lalu. Ruangan berwarna biru yang minim cahaya itu tampak tenang. Hanya suara detik jam dan alunan nafas pelan yang teratur.
Pandangan matanya memang mengarah ke langit-langit kamar, namun tatapan mata itu terasa jauh sekali seolah melihat ke tempat yang tidak bisa dilihat siapapun.
Dunia berubah, selalu, setiap waktu. Ada yang siap dan bisa menerima itu dengan baik, namun ada juga manusia yang kesulitan untuk menerima suatu hal yang berubah, apalagi jika itu terjadi tiba-tiba.
Entah bisa menerima atau tidak, kehidupan akan tetap terus berjalan dan waktu akan terus berlalu. Entah siap atau tidak, kehidupan tidak akan pernah menunggu sebuah luka untuk sembuh.
Tok... tok... tok...
Suara pintu kamar itu diketuk terdengar nyaring karena rumah itu cukup sepi. Perempuan yang sedang berbaring diatas kasur itu hanya diam memandangi pintu tanpa bergerak atau mengeluarkan suara apapun.
"Lilia, kamu sudah bangun?"
Suara laki-laki yang sedang di depan pintu itu terdengar serak. Pintu diketuk lagi karena tak mendapatkan jawaban namun perempuan itu tetap tak menjawab.
Matanya memang memandang ke arah pintu, namun tatapan mata perempuan berambut panjang itu tampak kosong.
"Lilia, kalau kamu sudah bangun, turunlah lalu makan. Saya akan pergi sampai sore, jadi kalau kamu butuh sesuatu bilang aja ke Elen ya?"
Laki-laki itu kembali berbicara lalu menghela nafas panjang dan menunggu selama beberapa waktu. Lagi-lagi tak ada jawaban. Tak lama kemudian suara langkah kaki menjauh dari depan pintu itu.
Perempuan yang dipanggil Lilia itu mengalihkan pandangan matanya ke arah langit-langit kamar lagi. Matanya berkaca-kaca, ada rasa pedih mendalam pada matanya yang mulai basah itu.
Perempuan bermata coklat itu masih ingat betul, seminggu yang lalu dia masih datang ke sekolah memakai seragam putih abu-abu, seminggu lalu dia masih bercanda dan tertawa dengan teman-temannya, seminggu yang lalu dia masih mendapat apresiasi dari banyak orang, seminggu yang lalu semua masih baik-baik saja.
Harusnya sebentar lagi ia akan lulus sekolah dan tentunya masuk perguruan tinggi, menjalani kehidupan yang normal, mengeluhkan tugas yang bertumpuk dan bercanda bersama dengan teman-teman atau bahkan mulai berpacaran.
Seharusnya ia bisa melakukan lebih banyak hal. Menulis lebih banyak, membaca lebih banyak, menghargai setiap waktu lebih banyak.
Air matanya mengalir perlahan, lambat laun menjadi terisak kecil. Perempuan itu menutup wajahnya yang sembab dengan bantal. Memukuli dadanya yang terasa sesak untuk bernafas.
Kehidupannya berubah tiba-tiba karena suatu kesalahan yang tak ia lakukan. Masa sekolahnya berakhir lebih cepat karena kesalahan yang tak ia perbuat.
Kenapa semua jadi begini?
Perempuan itu menangis namun menahan suaranya agar tidak terdengar. Ia menekan wajahnya dengan kuat dengan bantal berwarna coklat yang sejak tadi ia dekap.
Perempuan itu ingin berteriak, emosi dan pikirannya mulai tergoncang karena kejadian buruk yang menimpanya.
Apa aku lebih baik mati saja?
...◆◇◆◇◆...
Juli 2017
Di sebuah kecamatan kecil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur...
Tahun ajaran baru kembali berganti, siswa sekolah kembali ke rutinitas seperti biasa. Bangun pagi, pergi ke sekolah, mengerjakan tugas lalu kembali ke rumah.
Bagi beberapa orang, hal itu adalah hal yang membosankan. Meski begitu, ada juga siswa yang tampak selalu semangat menyambut tahun ajaran baru. Seperti perempuan yang sedang berdiri di depan cermin itu.
Perempuan itu merapikan seragam yang dikenakannya, memastikan rambut panjangnya sudah terikat rapi. Ia tersenyum melihat pantulannya di cermin, mata coklatnya itu tampak berbinar.
"Lili, sarapan dulu." Terdengar suara dari arah dapur dengan nada lembut.
Perempuan yang dipanggil Lili itu bergegas ke dapur untuk sarapan. Sang mama sudah menyiapkan sarapan kesukaannya, nasi goreng dengan telur ceplok setengah matang.
"Kamu nanti berangkat naik bus? Kenapa nggak mau dianter Papa?''
"Kan Lili udah gede, ma. Masa dianter mulu? Udah janjian sama Fani berangkat bareng," ucap Lilia memberi alasan.
Sang mama tersenyum, lalu menyodorkan uang saku untuk Lilia. Perempuan paruh baya itu memandangi anaknya lekat, tak menyangka anaknya sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang begitu cantik.
Tak lama setelah selesai sarapan, klakson motor terdengar dari halaman rumah. Lilia pun salim kepada mamanya untuk berpamitan.
Fani sudah menunggu di halaman rumah sambil memeriksa riasan wajahnya di kaca spion motor. Lilia yang melihat itu tertawa.
"Udah cantik kak."
Fani yang kepergok sedang memeriksa riasan wajah hanya tertawa kecil. Keduanya pun bergegas menuju sekolah.
... ◇◇◇...
Suasana SMA di salah satu kecamatan di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur itu tampak sudah ramai sejak pagi.
Persiapan upacara penerimaan murid baru sedang dilaksanakan. Tampak banyak siswa yang bingung melihat ke sekeliling. Beberapa senior mengarahkan mereka untuk berbaris.
Guru-guru tampak sudah hadir dan bersiap berdiri di tempat yang disediakan. Tak lama kemudian upacara pun dimulai. Siswa baru berbaris sesuai dengan penempatan kelas yang telah diumumkan sebelumnya.
Setelah mengikuti upacara, semua siswa baru diperkenalkan ke lingkungan sekolah. Tidak ada ospek perploncoan yang dilakukan senior di sekolah ini.
"Lil, tuh cowok ganteng banget," ucap Fani tiba-tiba.
Mereka sedang tur keliling sekolah dipandu oleh salah satu anggota osis laki-laki yang tampan.
Lilia menoleh ke arah yang ditunjuk Fani. Sialnya laki-laki yang sedang ditunjuk Fani itu sedang menoleh ke arahnya.
Pandangan mata mereka bertemu, laki-laki itu tersenyum sedangkan Lilia memaksakan diri tersenyum.
"Dasar gila," ucapnya pelan dengan nada kesal.
"Gavin dari dulu ganteng banget yak," ucap Fani sambil terkekeh menggoda Lilia.
"Siapa itu yang ngobrol di belakang?!" Suara anggota osis itu langsung membuat Fani diam.
Lilia menahan tawanya sedangkan Fani langsung berekspresi serius.
Setelah tur keliling sekolah, semua siswa diminta masuk ke kelas masing-masing untuk orientasi singkat dan pemberian jadwal pelajaran.
Semua siswa duduk bebas sesuai tempat yang diinginkan. Fani mengajak Lilia untuk duduk dibagian tengah agar bisa melihat papan tulis dengan jelas. Tak lama kemudian ada laki-laki yang duduk di bangku bagian depannya.
"Gavinnnnn!" Fani berteriak memanggil.
Laki-laki yang dipanggil Gavin itu menoleh namun pandangannya fokus ke perempuan di sebelah Fani.
Fani yang melihat itu tampak kesal. "Woi! gue yang manggil ya, matanya kemana-mana."
Gavin tertawa sedangkan Lilia yang barus selesai menata alat tulis dan bukunya tampak kaget.
"Hai Lilia," ucap Gavin menyapa sambil tersenyum.
"Oh, hai… ," jawab Lilia riang.
Fani yang melihat itu tambah kesal. "Gini amat jadi obat nyamuk."
Tak lama kemudian guru datang untuk memberikan jadwal dan menyampaikan aturan. Setelah itu siswa dibebaskan berkeliling selama satu hari itu saja.
Ada yang berkeliling sekolah, ada yang lebih memilih tidur di kelas, ada yang sok akrab menyapa kakak kelas, ada juga yang langsung ke kantin untuk makan.
"Anggota-anggota osis keren juga yak, gue jadi pengen daftar," celetuk Fani tiba-tiba setelah menghabiskan satu mangkuk bakso.
Lilia yang duduk di hadapan Fani tertawa kecil. "Ikut aja, kelas 2 nanti emang angkatan kita kan yang jadi pengurus osis," ucap Lilia menanggapi.
"Menurut lu, gue pantes jadi apa?"
"Ketua Osis lah hehehe."
"Bener juga, tahun depan nyalon ah. Lu mau jadi wakil gue?"
"Nggak."
Fani tertawa. Pandangan matanya melihat ke sekeliling kantin.
"Nyari mangsa lagi?" Lilia tertawa melihat tingkah Fani.
"Siapa tau nemu jodoh disini," ucap Fani sambil tertawa.
Obrolan seru mereka berhenti setelah kantin menjadi semakin ramai. Lilia dn Fani pun memutuskan berkeliling sekolah yang sangat luas itu.
...◇◇◇...
Hari pertama masuk sekolah terasa spesial bagi Lilia. Terlebih lagi teman dari SMP yang sempat dikaguminya juga sekelas dengannya.
Gavin namanya, dia merupakan salah satu teman Lilia dari SMP yang sama. Laki-laki dengan tinggi 175 itu cukup populer sejak lama dan sekarang pun sepertinya akan menjadi lebih populer lagi.
Tampangnya yang terlihat tampan dan damai itu tentu saja menarik perhatian banyak siswa wanita. Kulitnya bersih, mata coklat keabuan miliknya tampak memukau dengan wajahnya yang simetris bersih tanpa cela berpadu dengan rambut lurusnya yang dipotong pendek.
Sosoknya selalu terlihat menonjol dalam setiap kesempatan apapun. Hal tersebutlah yang membuat Lilia sempat mengidolakan temannya yang satu itu.
Dunia ini bekerja dengan aneh, baru saja dipikirkan oleh Lilia, laki-laki itu lewat tak jauh dari tempat Lilia dan Fani yang sedang duduk.
"Kalian ngapain disini?" Gavin dan Fahmi mendekat ke tempat Lilia dan Fani duduk.
"Lagi lihatin cogan lewat," ucap Fani terkekeh.
Lilia ikut tertawa lalu tersenyum ke arah Gavin. Laki-laki yang satu itu memang enak dipandang mata.
Gavin tersenyum, tatapan matanya yang hangat itu tentu terlihat jelas di mata semua orang kecuali Lilia.
"Ehem..."
"Oh iya, gue lupa. Kenalin ini temen gue Fahmi, dia temen gue sejak kecil."
Lilia menyalami Fahmi, beitupun dengan Fani. Mereka berkenalan dan bertanya hal-hal ringan dalam obrolan itu.
"Habis darimana dan mau kemana lu Gav?" Tanya Fani penasaran.
"Dipanggil guru tadi disuruh nyatet jadwal baru."
"Lah jadwalnya ganti?"
"Ya gitu lah."
"Pengurus kelas belum dibentuk nih, baru gue doang yang ditunjuk jadi ketua kelas sama Fahmi wakilnya. Kalian nggak mau bantuin gitu?" ucap Gavin.
"Lilia suruh jadi sekretaris aja. Dia orangnya teratur dan rapi. Cocok sih menurut gue" jawab Fani cepat.
"Nggak dulu deh, dari smp jadi pengurus kelas terus," ucap Lilia menanggapi dengan ekspresi malas.
Gavin mengangguk mengerti. Laki-laki bermata coklat keabuan itu pun pamit pergi bersama wakil ketua kelas.
"Fan, kayaknya kalau tahun depan dia nyalon jadi ketua osis, kamu bakal kalah deh," ucap Lilia tiba-tiba.
"Wah iya juga, pasti 90% cewek di sekolah ini milih dia."
Keduanya pun tertawa. Mereka lanjut mengobrol membahas banyak hal, tentang masa SMP yang sudah lewat maupun rencana hidup kedepannya.
Lilia dan Fani sudah berteman sejak SMP. Meski berasal dari desa yang berbeda, mereka sering pergi bersama kemanapun seperti saudara.
Sifat Fani yang tegas dan santai hampir serupa dengan Lilia. Oleh karena itu mereka cocok dalam banyak hal dan menjadi sangat akrab.
Namun keduanya memiliki minat yang berbeda. Lilia menyukai hal-hal yang berkaitan dengan akademik sedangkan Fani lebih suka olahraga.
Keduanya larut dalam percakapan tentang rencana yang akan dilakukannya di masa sekolah tersebut. Masa putih abu-abu yang disebut sebagai masa terbaiknya remaja.
...◆◇◆◇◆...
Masa muda bagaikan tumbuhan yang sedang bersemi. Semua tampak menyenangkan dan seru. Sebagian besar orang tampaknya berpikir begitu, namun sebagiannya lagi tentu saja memiliki pemikiran yang berbeda.
Tak terasa sudah satu bulan Lilia menjadi siswa SMA, perempuan bermata coklat itu masih saja bersemangat melakukan banyak hal. Begitu pula dengan teman dekatnya, Fani.
"Eh Lil, katanya pelajaran olahraga nanti digabung sama kelas sebelah," ucap Fani sambil tersenyum senang.
"Hah? dapet info darimana?" tanya Lilia heran.
"Info A1 pokoknya, aw nggak sabar gue. Kata Mia, cowok kelas sebelah ganteng-ganteng," ucap Fani sambil tertawa.
"Dasar, ganteng mulu yang dicari."
Mereka berdua tertawa. Tak lama kemudian bel tanda masuk berbunyi, semua siswa pun kembali ke tempat duduknya.
"Pagi Lilia," sapa Gavin pelan.
"Pagi juga Gavin," jawab Lilia sambil tersenyum.
Fani memutar bola matanya merasa bosan melihat kedua temannya yang terlihat seperti pasangan itu.
Tak lama kemudian guru datang. Semua siswa memperhatikan penjelasan guru dengan sungguh-sungguh. Ah, tidak, sepertinya ada satu orang yang sama sekali tak memperhatikan.
Fani sibuk mencoret-coret kertas karena tidak begitu menyukai pelajaran matematika.
Usai jam pelajaran pertama selesai, Fani pun langsung menarik tangan Lilia untuk segera berganti pakaian olahraga. Lilia hanya pasrah menuruti tingkah temannya itu.
Usai berganti baju, Fani bercermin lama sekali untuk memastikan penampilannya tidak berantakan. Lilia hanya tertawa kecil melihat Fani yang begitu semangat akan melihat laki-laki dari kelas sebelah, eh maksudnya semangat mengikuti pelajaran olahraga.
Hampir semua siswa laki-laki itu menoleh saat siswa perempuan di kelas Lilia tiba di lapangan olahraga.
"Gila kelas sebelah cakep-cakep," ucap salah satu siswa laki-laki berbisik.
"Itu siapa? model ya?"
"Yang mana?"
"Itu dua cewek yang rambutnya dikuncir satu,"
"Ya masa lu gatau? Mereka terkenal, Lilia sama Fani, kata orang-orang cewek paling cakep di angkatan ini."
Bisik-bisik yang agak keras itu membuat Lilia yang mendengarnya jadi malu sendiri. Sedangkan Fani tetap berdiri dengan penuh percaya diri memperhatikan semua laki-laki yang ada di lapangan olahraga itu.
Guru olahraga tampak geleng-geleng melihat siswanya yang hampir tak berkedip memperhatikan siswa perempuan dari kelas lainnya.
"Kalian ini, cepat baris!" ucap guru olahraga kemudian meniup peluit.
Semua siswa pun segera baris dan mendengarkan instruksi dari guru olahraga. Mereka pun melakukan pemanasan selama 15 menit.
"Kita pengambilan nilai bulanan ya, pasangannya disesuaikan dengan nomor urut kelas," ucap Pak Bambang, guru olahraga menjelaskan.
Sebagian siswa tampak menggerutu karena pengambilan nilai yang tiba-tiba, sebagian lainnya lagi merasa senang karena berkesempatan berpasangan dengan kelas lain.
Setiap siswa tampak sibuk mencari siswa lain dengan nomor punggung yang sama.
"Lilia?"
Gadis itu menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.
Sosok pria itu tampak tak asing di matanya. Kali ini hidungnya bekerja lebih dulu. Lilia sangat mengenali aroma parfum ini.
"Ah, Reza?" ucapnya setengah terkejut.
Laki-laki bermata hitam itu tersenyum ramah lalu memberitahu Lilia jika nomor absen mereka sama.
Lilia mengangguk mengerti lalu berlatih bersama Reza sebelum penilaian.
"Gimana kabarnya Lili?"
"Baik, kamu sendiri gimana? Aku nggak tau kamu juga sekolah disini," ucap Lilia menanggapi.
Reza tertawa dengan ekspresi yang hangat. "Yah wajarlah kalau nggak tau, gue bukan siswa populer yang keberadaannya bisa dikenali siswa kelas lain."
Lilia hanya tertawa kecil. Ya, Reza masih saja seperti dulu. Namun disaat yang sama laki-laki itu tampak berbeda di mata Lilia.
Lilia dan Reza juga berasal dari SMP yang sama seperti Fani dan Gavin. Mereka berempat juga pernah akrab. Hanya saja ada kejadian yang membuat Reza tiba-tiba tampak menghindari Lilia dan Fani.
Sejak itu meski satu sekolah yang sama, Reza tak lagi sering berbicara dengan Lilia maupun Fani hingga rasanya ada jarak yang panjang antara mereka.
Saat itu Lilia maupun Fani tak mempermasalahkan itu meski pernah bertanya-tanya kenapa Reza menjauh tiba-tiba.
Gavin juga tak menjelaskan apapun dan hanya meminta Lilia dan Fani memaklumi itu.
"Kebiasaan melamun mu itu sama sekali nggak berkurang ya, Lil, tapi nanti waktu penilaian yang fokus ya." ucap Reza saat melihat Lilia tak berhasil membalikkan kok putih itu.
"Hehe, maaf," ucap Lilia sambil menghela nafas.
Tak lama kemudian giliran pengambilan nilai Lilia dan Reza tiba. Keduanya mencoba fokus agar bisa mendapatkan nilai yang baik.
Banyak siswa yang memperhatikan Lilia dan Reza yang tampak serius di lapangan itu.
Semuanya tampak takjub dengan permainan keduanya.
"Wih jago olahraga juga dia?"
"Tuh cewek kayaknya nggak ada kekurangannya ya? semua jago."
Bisik-bisik itu terus berlanjut lagi. Fani tampak bangga dengan kemampuan temannya yang dikagumi banyak orang itu.
Hanya Gavin yang melihat ke arah lapangan dengan ekspresi kurang senang. Ia sendiri tak tau kenapa.
Usai pengambilan nilai, Reza mendekat ke arah Lilia lalu berbisik.
"Baju olahraga ini kayaknya kurang bagus kalau pemakainya banyak berkeringat. Mending kamu cepat ganti, jangan di lapangan lama-lama.”
Wajah Lilia memerah mendengar itu. Reza pun langsung berlalu pergi.
Lilia langsung menghampiri Fani dan mengajaknya kembali lebih dulu karena sudah diizinkan.
Fani bingung melihat wajah Lilia yang tampak semerah tomat rebus.
Lilia melihat cermin dalam waktu lama di kamar mandi wanita.
"Lu kenapa sih Lil?" tanya Fani penasaran.
"Baju olahraga ini kalau kena keringat banyak jadi kayak agak transparan nggak sih?”
Fani memperhatikan baju Lilia dan baju yang ia kenakan, namun memang baju olahraga yang dipakai Lilia tampak agak memperlihatkan bagian kaus dalam yang dipakainya.
“Iya ya? Tapi kalau nggak berkeringat banyak nggak keliatan gitu sih. Kayaknya banyak yang nggak sadar juga.”
“Tadi Reza ngomong gitu, ngingetin aku biar cepet ganti. Ya biasanya emang nggak sebanyak ini keringatnya sih.”
“Coba bilang ke guru olahraga kali ya? Tapi kayaknya nggak ada yang protes sih.” Fani tampak berpikir keras namun ia sendiri tidak tahu harus apa.
Lilia segera membersihkan diri lalu berganti seragam. Perempuan bermata coklat itu berusaha tak memikirkan hal tersebut dan lebih memilih untuk memakai kaus rangkap jika ada pelajaran olahraga lagi.
...◇◇◇...
Menjelang siang, banyak siswa yang mulai malas, mengantuk dan tidak fokus.
Musim kemarau menjadikan udara terasa kering dan panas sehingga membuat banyak siswa kehausan.
"Kering ini gue lama-lama," ucap Fani yang sedang menempelkan kepalanya di atas meja.
"Kenapa kelas kita nggak ber-AC kayak ruang guru ya?" Lilia menanggapi sambil mengipasi lehernya yang berkeringat.
"Mana mungkin. Hahhh, kapan sih pulangnya, pengen berendem di air."
Gavin yang mendengar percakapan di belakangnya persis ikut menimbrung.
"Kenapa nggak berendem sekarang aja di kamar mandi, hehe," ucap Gavin bercanda.
Fani langsung bangkit. "Bener juga! Lil, mau ikut?"
Lilia menggeleng, Fani pun langsung berniat pergi. Namun berpapasan dengan guru yang akan masuk kelas.
"Pak, saya izin ke toilet," ucap Fani lalu segera pergi tanpa menunggu persetujuan guru tersebut.
Pak Karni hanya geleng-geleng melihat tingkah laku Fani.
Pelajaran siang itu dimulai seperti biasa dengan keadaan siswa yang merasa gerah dan tidak fokus.
Terik siang itu menyilaukan mata. Aroma parfum dan bau keringat yang bercampur sudah menjadi hal yang biasa bagi siswa di sekolah itu.
Rasa kantuk yang dirasakan oleh sebagian siswa, juga guru yang tetap menjelaskan meski hanya sedikit siswa yang memperhatikan, suatu saat nanti, semua itu akan jadi hal yang dirindukan semua orang.
Setelah pelajaran berlangsung selama 30 menit, Fani kembali ke kelas dengan wajah segar.
Sang guru tak menegur ataupun mengomentari Fani yang izin terlalu lama. Pak Karni tetap menjelaskan seperti biasa hingga jam pelajaran berakhir.
Kringggg...
Suara bel yang berbunyi kencang itu membuat semua kesadaran siswa kembali. Mereka kembali bersemangat karena jam pulang sekolah telah tiba.
Lilia masih menyenderkan kepalanya di meja, kagum melihat Fani yang terlihat segar.
Gavin menoleh. "Lu beneran berendem Fan?"
"Mandi sih gue tadi wkwk."
Gavin terkejut dengan pernyataan Fani, namun enggan berkomentar lagi, begitupun dengan Lilia.
"Lil bangun, mau pulang nggak?" Fani menarik Lilia yang terlihat lemas.
"Panas banget, aku meleleh," ucap Lilia malas.
"Mau mampir beli es kelapa muda nggak sebelum pulang?" Gavin bertanya tiba-tiba sambil memperhatikan Lilia.
Lilia langsung bangun. "Es kelapa muda!"
Fani memutar bola matanya, kesal dengan temannya yang tiba-tiba begitu semangat mendengar kata es.
Drrtt…
Suara getaran ponsel itu menghentikan langkah kaki Gavin yang sedang menuju tempat parkir.
"Ada apa?" tanya Fani.
"Nggak ada apa-apa," jawab Gavin singkat lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Gav, oi!"
Terdengar suara teriakan memanggil nama Gavin. Semuanya pun menoleh kecuali laki-laki bermata coklat keabuan itu.
"Nebeng lah gue, hari ini nggak bawa motor," ucap Gio sambil tertawa.
"Yah gue nggak langsung pulang," ucap Gavin beralasan.
"Mau kemana?" tanya Gio penasaran lalu melihat ke arah Lilia dan Fani.
"Mau beli es kelamud dulu."
"Apaan tuh kayaknya enak, ajak gue juga lah."
Gavin tampak ragu lalu melihat ke arah Fani dan Lilia seolah bertanya. Fani yang memahami itu langsung menyahut.
"Ikut aja sekalian."
Mereka berempat pun melanjutkan berjalan menuju tempat parkir.
Melihat Reza di tempat parkir yang dekat dengan motor Fani membuat Lilia menjadi gugup.
"Fan, aku tunggu depan gerbang aja ya," ucap Lilia yang disambut dengan anggukan Fani tanda setuju.
Fani berusaha mengeluarkan motornya dari tempat parkir yang penuh sesak itu.
"Perlu bantuan?" tanya Reza.
"Nggak," jawab Fani ketus.
Reza hanya diam mendapat tanggapan yang dingin dari Fani. Tentu saja ia menerima hal tersebut karena saat SMP dulu, dialah yang menjauhi semua temannya.
Fani mendekat ke arah Reza yang berusaha mengeluarkan motornya dari jajaran motor lainnya.
"Jangan sembarangan ngomentarin soal baju, bikin malu aja,” ucap Fani.
Fani yang berniat kembali ke motornya, ditahan oleh Reza yang menggenggam tangannya.
"Oh sorry, gue nggak bermaksud, cuma gue khawatir aja karena banyak cowok kelas gue yang lihatin dia," ucap Reza membela diri.
Belum sempat menjawab ucapan Reza, klakson motor dari arah belakang membuat Fani harus segera pergi.
... ◇◇◇...
Setibanya di warung pinggir hutan yang menjual es kelapa muda, Fani tampak masih kesal karena tak bisa menjawab ucapan Reza.
"Kenapa Fan tiba-tiba kayak kesel gitu," tanya Lilia penasaran.
Gavin hanya diam ikut memperhatikan Fani. Gio yang melihat di tempat parkir tadi ikut nimbrung tanpa tahu situasi.
"Apa gara-gara tadi ketemu Reza? Mantan lu kah? kayaknya ekspresi lu tadi kesel banget wkwkwk."
“Bukan!” jawab Fani ketus.
Fani mengambil es kelapa muda yang sudah datang, meminumnya sampai puas lalu menghela nafas panjang.
"Gatau gue emosi kalau lihat tuh anak."
Lilia diam sambil meminum es kelapa muda yang segar itu, begitupun dengan Gavin.
"Bukannya kalian dari SMP yang sama ya? kayaknya Gavin cukup akrab sama Reza."
Gavin yang mendengar itu langsung tersedak.
Ni bocah mulutnya nggak ada filter yang tau situasi ya?
Lilia dan Fani berpandangan heran dengan pernyataan Gio barusan.
"Lu tetep akrab sama Reza? kok bisa? Lah dulu kenapa kayak gitu dah? Jadi yang dijauhin gue sama Lilia doang?" tanya Fani penasaran.
Gavin mengatur nafasnya lalu memberi tatapan intimidasi ke arah Gio yang kemudian disambut tawa oleh temannya itu.
Lilia yang enggan membicarakan Reza, mengalihkan topik dengan menyebutkan ide untuk mengadakan iuran sekelas agar ruang kelas bisa dipasang kipas angin. Gavin pun setuju dengan hal tersebut.
Fani paham Lilia malas membicarakan Reza sehingga ia pun tak bertanya lagi tentang teman satu SMP nya dulu itu.
...◆◇◆◇◆...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!