Teriknya Mentari tak membuat aku berhenti melangkah. Tas ransel di pundak yang sudah beberapa kali ku jahit masih cukup kuat menahan isi buku-buku pelajaran di dalamnya. Tenggorokan rasanya tercekat karena haus. Sudah hampir satu minggu ini aku tidak di beri uang saku oleh Ayah karena ayah belum gajian. Botol minum telah habis isi nya, tadi ku minum saat di sekolah untuk mengganjal lapar. Saat aku mendekat kea rah rumah, aku melihat pintu rumah terbuka. Aku berlari menuju rumah.
‘Ayah sudah pulang.’ Batin ku.
Namun saat aku sudah berada di ambang pintu, terlihat seorang perempuan yang menggendong bayi, sedangkan ayah di sebelahnya. Ayah juga memangku seorang bayi. Aku termenung di depan pintu. Tampak perempuan itu tersenyum ke arah ku.
“Ayah… ayah sudah pulang?” Tanya ku yang duduk di depan pintu seraya membuka sepatu dan menenteng nya yang hampir mangap di bagian depan karena jahitan atau lem pada telapak nya telah mengelupas. Aku menaruh sepatu itu di tempat biasa. Saat aku mendekat menyalami ayah ku. Ada kebahagian saat ayah mengatakan jika perempuan yang tadi tersenyum adalah ibu ku. Dia akan tinggal disini bersama aku.
“Dhis…. Ini ibu kamu yang baru. Panggil Bunda ya. Ini adik-adik kamu, mereka kembar,” Ucap Ayah.
Usia ku terlalu muda untuk memahami kenapa ayah menikah. Yang aku pikirkan adalah suatu kebahagian karena semenjak ibu dititipkan di rumah nenek karena sakit, aku mengerjakan semuanya sendiri. Aku bahkan sudah bosan makan telur goreng dan kerupuk atau mie instant setiap hari.
“Oh ini jadi yang namanya Gendhis? Wah cantik sekali ya… kamu pasti anak baik. Panggil Bunda ya...” Sapa ibu tiri ku yang meminta agar aku memanggilnya dengan Bunda.
Satu lambaian tangannya memanggil aku, aku menyalami dirinya dan satu pelukan hangat aku dapatkan. Aku Bahagia karena semenjak itu, aku mendapatkan uang jajan, setiap pagi ada sarapan dan aku tak pernah lagi mencuci baju sendiri. Aku seperti menemukan ibu lagi. Namun seiring waktu, semua adalah fatamorgana. Ibu tiri ku yang bernama Lilik menunjukkan watak aslinya saat Ayah harus pergi ke tempat baru karena ditugaskan perusahaan. Ayah akan pulang kerumah dua bulan sekali. Aku baru mengerti kenapa teman ku berkata bahwa tidak enak punya ibu tiri. Itu yang kini aku rasakan. Pagi hari saat aku akan berangkat sekolah, aku tak boleh sarapan.
“Eh…eh.. eh! Siapa suruh sarapan?! Enak saja!” Bentak Bunda.
“Aku mau berangkat sekolah Bun…” Ucap ku sopan.
“Ya berangkat kalau mau sekolah, mulai hari ini jatah makan kamu di kurangi karena ibu mu akan tinggal disini. Jadi kamu harus makan sehari dua kali. Dan ingat mulai hari ini cuci pakaian kamu sendiri. Aku bukan babu mu!” Bentak Bunda.
Aku yang tak pernah di bentak menangis di hadapan istri baru ayah. Sejak hari itu, hari-hari ku lalui tanpa suara tangis namun penuh dengan linangan air mata. Aku bahkan harus mengerjakan pekerjaan rumah, dengan tubuh mungil yang masih kelas 3 SD, aku harus merawat ibu yang seperti mayat hidup. Ibu hanya diam dan kadang sesekali tertawa atau tiba-tiba menangis. Ayah bilang ibu sakit gangguan jiwa karena setelah melahirkan adik ku, nyawa adik ku tak bisa diselamatkan karena meninggal dunia dalam kandungan.
Siang itu aku merasa lelah sekali karena baru saja ada ujian sekolah mata pelajaran olahraga, aku merasa letih karena mengelilingi lapangan sebanyak 5 putaran. Tubuh yang lemah dan lapar. Aku bahkan belum boleh makan sebelum mencuci piring. Saat aku akan Menyusun piring yang baru saja ku basuh, tangan kiri ku gemetar karena rasa lapar dari perut.
“Praaang!”
Seketika tubuh ku bertambah gemetar, aku takut Bunda akan memarahi aku. Betul saja berselang suara tangisan si kembar yang terjaga karena suara berisik. Teriakan Bunda dari arah kamar membuat aku semakin ketakutan. Ujung jari ku bahkan terluka karena mendengar teriakan Bunda.
“Apa itu Gendhis!” Teriak Bunda dari dalam kamar.
Air mata sudah membanjiri pipi ku, aku cepat membersihkan pecahan piring tersebut. Dan saat aku akan membuang ke halaman belakang rumah, ibu tiri ku sudah berdiri di depan ku. Matanya seperti seekor singa yang siap menerkam. Aku menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Bunda.
“Kamu pecahkan piring lagi?! Baik, siang dan mala mini, kamu dan ibu mu tidak dapat jatah makan!!” Teriak Bunda dengan wajah merah.
Aku hanya mampu sesenggukan menangis, tubuh yang kecil karena masih duduk di bangku SD membuat aku hanya pasrah dengan setiap hukuman yang diberikan. Dan malam itu aku kembali harus menahan perihnya diperlakukan tak manusiawi oleh Bunda. Malam hari tepat sebelum hujan deras, ibu ku yang sedari siang tak diberi makan selalu berteriak-teriak. Aku mencoba menenangkan ibu di kamar.
“Lapar…. Lapar… lapar… makan… makan Yah… Ayah makan Yah…” Teriak ibu ku memanggil ayah ku.
“Bu, tidur saja. Ini minum ini bu… besok kita makan ya bu.” Ucap ku seraya menyerahkan satu botol air putih. Perut ku bahkan sudah terasa perih dan kembung karena satu hari ini hanya diisi oleh air putih.
Tiba-tiba pintu kamar di buka.
“Braak!”
“Berisik!! Saya mau tidur! Kamu, bawa ibu kamu ke teras belakang rumah! Saya dan anak saya mau tidur!” Titah Bunda dengan nada penuh emosi.
“Tapi Bun, ibu lapar Bund.. mungkin kalau di beri makan ibu akan diam.” Pinta ku seraya menghibah di kaki ibu tiri ku.
“Makan? Kamu bilang makan?! Kamu harus belajar untuk tidak kembali memecahkan piring kalau mau makan setiap hari, paham kamu!” Ucap Bunda seraya menarik tangan aku dan Ibu kea rah belakang rumah.
Saat tiba di teras belakang rumah, bunda menutup pintu dapur. Kilat tampak menyala-nyala. Tak butuh waktu lama, hujan deras pun membasahi bumi. Ibu masih berteriak ‘lapar’, ‘makan’. Aku hanya memeluk ibu ku dan meratapi nasib ku. Aku memandang kilat yang menyambar. Aku merutuki nasib ku seraya mendengar suara teriakan ibu yang terus menyanyikan kata ‘lapar’.
“Lapar… Yah lapar Yah… lapar.. lapar…” Suara ibu masih menyanyi kata lapar dengan irama lagu bang Rhoma irama.
‘Ya Tuhan… kenapa nasib ku begini… wahai petir, sambar lah aku dan ibu ku agar kami tidak lagi menderita di dunia ini…’ batin ku seraya memandangi langit, keputusasaan dalam diri ku membuat aku berharap segera mati.
Matahari menyapu seluruh permukaan bumi dengan sengatnya yang membuat wajah ku di penuhi keringat, Aku mempercepat Langkah ku. Karena pukul sudah menunjukkan jam 2 siang. Aku mengkhawatirkan ibu, karena hanya aku yang akan memberikan makan ibu, Bunda mana mau memberikan makan. Kalau itu terjadi bisa ku pastikan nasi nya pasti sisa atau kalau pun tidak sisa itu pasti hanya nasi putih. Jika aku pulang terlambat, ibu akan marah karena kelaparan dan kembali berakhir dengan ibu akan tidur di teras belakang rumah. Aku tak memperdulikan panggilan sahabat ku Vya.
“Ndis…. Gendhis… tunggu!” Panggil Vya.
Aku hanya menoleh tanpa menghentikan Langkah ku.
“Ada apa Vy? Aku harus cepat pulang. Kamu tahu sendiri jika nenek sihir itu akan kembali menghukum aku dan ibu ku jika ibu buat ulah, termasuk pulang terlambat.” Ucap ku.
Aku kembali focus pada jalan yang ada di depan ku, tiba-tiba tas ransel ku ditarik Vya. Aku pun terhenyak karena mendadak berhenti.
“Ini, pagi tadi ibu ku buat banyak. Ibu bilang ini kasih buat kamu.” Ucap Vya dengan napas tersengal-sengal. Ia membuka tas ransel ku tanpa menunggu persetujuan ku. Ku lirik itu seperti klecok. Sebuah makanan yang di bungkus daun pisang dan isinya yaitu ketan dan pisang diberi kelapa muda. Aku menarik sudut bibir ku.
“Terima kasih sampaikan pada ibu mu…” Ucap ku seraya mengangguk.
Satu tepukan pada Pundak ku membuat kami tertawa sebelum berpisah di perempat gang.
“Sana.. buruan. Ntar mak lampirnya berubah jadi gerandong… kamu bisa dimakan, hehehe..” Goda Vya.
Aku pun mengangguk, ingin sekali aku memeluk Vya sebagai ucapan terima kasih. Tapi aku sulit sekali untuk mengungkapkan rasa terima kasih dan sayang ku pada orang lain. Mungkin karena sering diperlakukan kasar oleh Bunda. Aku jadi sangat sulit untuk menunjukkan rasa sayang pada sahabat ku itu. Vya adalah sahabat sedari kecil. Ia bisa tahu apa yang aku rasakan tanpa harus aku ceritakan. Kini aku sudah duduk di kelas 6. Aku tumbuh menjadi anak yang tertutup dan minder.
Saat Langkah ku kian dekat dengan rumah dimana aku di dilahirkan, aku memperlambat langkah ku seraya memandangi rumah itu.
‘Andai ibu tak ada, mungkin aku sudah meninggalkan rumah ini dari lama. Semua demi ibu, aku harus bertahan. Aku tak mungkin meninggalkan ibu seorang diri di neraka itu.’ Batin ku.
Baru saja aku tiba di depan teras suara rintihan dari ibu membuat aku langsung masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam.
“Aduh,, sakit.. ampun… ampun…” Suara ibu dengan memelas.
“Kamu! Sudah bisa mencuri ya! Dasar orang gila! Sini, sini kamu tahu rasa kamu!” Teriak Bunda diiringi suara pukulan.
Mata ku merah, rahang ku mengeras. Aku tidak terima ibu ku diperlakukan semena-mena. Aku mendorong tubuh Bunda sekuat tenaga hingga ia terdorong ke arah kulkas. Kali ini aku tak ingin lagi diam, sudah cukup puluhan tahun aku bersabar. Selama ini semua perlakuannya aku terima karena setiap ancamannya jika aku melawan ia akan meracuni ayah dan ibu ku. Tapi hari ini, aku melihat ia memukul ibu ku! Aku tidak terima, jika selama ini ibu sering makan nasi sisa atau bahkan makan nasi tanpa lauk pauk hanya diberi cabe utuh, aku masih hanya mampu menangis dalam diam, tapi kini tidak!
Aku menatap Bunda dengan tatapan nyalang, aku membusungkan dada.
“Anak Setan! Berani kamu melawan ya! Sudah bisa melawan kamu ya!” Teriak Bunda. Bahkan gagang sapu yang ia arahkan ke arah aku dan ibu ku tahan.
“Cukup! Cukup Bunda! Selama ini aku bersabar, sekarang bunda sudah keterlaluan!” Teriak ku seraya menghempaskan sapu yang tadi dipakai bunda untuk memukul ibu. Ku tarik ibu masuk ke kamar. Tampak dahi ibu ku berdarah, hidungnya juga berdarah. Ku usap darah tersebut dengan sapu tangan. Ku kecup kedua tangan ibu berkali-kali.
“Bu.. sabar ya bu… ibu yang sabar… Gendhis janji nanti setelah gendhis berhasil dan sukses. Kita akan pergi dari sini ya bu..” Ucap ku pada ibu.
Ibu tidak menangis justru dari bibirnya hanya kata lapar yang keluar. Hati ku selalu terasa perih saat pulang sekolah hanya mendengar suara lirih ibu menyenandungkan kata lapar. Ku buka tas ransel yang berisi klecok pemberian Vya. Ibu memakan dengan lahap. Aku bahkan menarik klecok tersebut dari tangan ibu. Karena ibu memakan dengan kulit pisangnya.
“Bu.. ini kulitnya. Jangan di makan…” Ucap ku seraya membuang daun pisang dengan cepat lalu di rebut ibu. Ibu tampak kelaparan sekali. Aku selalu merasa berdosa saat pulang terlambat, namun mau bagaiamana lagi. Ayah tak pernah dirumah, ayah berada kerja di Kalimantan dan akan pulang dua bulan sekali. Ayah tak pernah percaya ucapan ku. Seperti akhir bulan ini, saat ayah pulang Bunda mengadu pada Ayah jika aku pulang sekolah selalu mampir-mampir dulu. Aku bahkan di katakan selalu main, padahal aku berpacu dalam waktu setiap pulang, agar cepat tiba dirumah. Aku pun mendapatkan hukuman tak di beri uang jajan saat sekolah.
Tubuhku yang harusnya diberikan gizi yang cukup. Tampaknya menunjukkan sesuai apa yang aku makan. Sehari hanya makan dengan porsi sedikit juga kadang aku sering makan satu kali sehari karena melakukan kesalahan, aku selalu mengutamakan ibu. Entah kenapa aku lebih kuat merasa lapar daripada mendengar ibu berteriak lirih minta makan. Dengan tubuh kurus aku masih setiap hari mengerjakan pekerjaan rumah. Menyapu, membersihkan halaman rumah, melipat pakaian. Tetapi anehnya bunda tak pernah memerintahkan aku masak. Sehingga aku tak tahu cara masak, sayur. Hanya memasak nasi dan menggoreng telur dan mie instan keahlian ku. Aku nyaris tidak pernah menyunggingkan senyum di luaran. Sulit untuk tersenyum, bahkan ketika berbicara pada orang lain aku tak berani menatap matanya. Setiap detik aku selalu di rundung rasa takut, malu dan rendah diri. Karena hampir setiap teman di sekolah suka menjaga jarak dari ku karena katanya aku anak orang gila. Aku bahkan duduk selalu memilih di bagian belakang, tapi lagi dan lagi Vya hadir sebagai sahabat ku. Hanya dengan nya aku berani menatap wajah dan tertawa. Walau kadang awalnya aku merasakan Vya berteman dengan aku karena aku selalu juara kelas. Namun ternyata tidak. Itu aku buktikan ketika aku akan naik ke jenjang SMP.
Saat aku mendapatkan hukuman, aku tak dapat uang jajan dan ongkos sekolah. Aku pun harus pulang pergi sekolah berjalan kaki. Kembali sahabat ku Vya menjadi penyelamat. Saat pergi sekolah ia selalu mengajak ku bersama, pulang sekolah teman ku itu ikut berjalan kaki. Jarak dari rumah ke sekolah lumayan jauh sekitar 2 kg.Ia selalu membawa bekal lebih, maka saat pulang sekolah perut ku terisi, maka porsi ku bisa ku berikan pada ibu jika dirumah. Vya tahu kondisi ku karena aku kadang menangis, ia juga sering bertanya kenapa rambut ku bau, atau baju ku kumal. Ia baru tahu jika aku mencuci sendiri, rambut ku tak pernah ku sampo pakai shampo tapi pakai sabun mandi. Tak pernah ada shampo. Di kamar mandi akan ada shampo jika ada ayah dirumah.
Saat pulang sekolah, Vya bertanya pada ku apakah rencana ku kedepan.
“Apa rencana mu Ndis? Kata Pak Alwi kamu menolak tawaran untuk ikut tes di SMA Negeri Nusa.” Tanya Vya seraya menatap ujung aspal yang cukup panas.
“Aku belum tahu Vy, sepertinya ayah lebih percaya Bunda. Aku tak diizinkan untuk sekolah jauh dari rumah, alasannya biaya dan ibu. Jika aku ikut sekolah yang jauh, ibu ku sama siapa? Aku tidak mungkin pulang sore hari, andai nenek masih hidup mungkin aku bisa menitipkan pada nenek.” Ucap ku sedih.
“Jangan sedih, kamu anak yang berprestasi di sekolah. Ikut yang jalur beasiswa, tapi yaitu tesnya terpaksa di luar kota.” Ucap Vya memberi ku semangat. Aku memang selalu juara kelas, tetapi kembali biaya dan ibu menjadi alasan ku. Rasanya tak mungkin meninggalkan ibu hanya di rawat oleh Bunda. Saat ada aku saja Bunda jelas-jelas kadang berlaku kasar dan tidak manusiawi pada ibu. Kini aku juga tahu kenapa ayah tak menceraikan ibu, karena susah mengurus nya. Belum lagi jika ketauan beristri dua, ayah akan diberhentikan. Maka selama ini aku dan ibu hanya dijadikan alat agar gaji ayah utuh dan tidak berhenti bekerja.
Satu alasan yang tak bisa aku ikut masuk ke sekolah Favorit dan bagus lewat jalur beasiswa,ibu ku. Aku tak mungkin membiarkan ibu sendiri di rumah rasa neraka itu. Aku tinggal sedikit lagi berjuang lalu bebas dari rumah yang selama ini bak tahanan bagi ibu.
“Aku mungkin sementara akan fokus pada sekolah dan ibu, siapa tahu ayah mengizinkan aku kuliah nanti ketika SMA.” Ucap ku seraya menghela napas panjang.
“Aku akan selalu berdoa untuk mu, tetap semangat ya Ndis. Akan ada Pelangi setelah hujan lebat.” Ucap Vya seraya mengepalkan tangannya. Ku paksakan untuk melengkungkan sudut bibir, karena aku tak ingin Vya juga ikut sedih jika ia tahu bahwa aku begitu ingin sekolah di SMA favorit. Apalagi pak Alwi mengatakan jika aku pasti masuk karena dapat jalur prestasi. Paradigma ku jika harus sukses aku harus kuliah. Maka satu harapan ku nanti ketika besar, aku akan kuliah. Kami berpisah di persimpangan, ku lambaikan tangan ku. Sesuatu pasti sedang menanti ku dirumah. Betul saja, karena pulang terlambat, ada demo di depan kantor bupati tadi membuat aku harus mencari jalan pintas bersama Vya.
Saat tiba dirumah aku tak menemukan ibu ku. Saat ku dengar suara tawa ibu di belakang rumah, ternyata ibu ada di belakang rumah. Ibu sedang memakan ubi mentah, tangan dan mulutnya penuh tanah. Aku berlari menuju ibu, ku rebut ubi mentah di tangan ibu lalu ku buang ke sembarang arah. Ku dekap ibu seraya menangis tersedu-sedu diiringi suara pintu yang di banting oleh Bunda, aku yakin malam ini aku dan ibu kembali harus tidur di teras belakang rumah lagi, tanpa selimut tanpa Kasur atau bantal hanya beralasan lantai keramik.
“Malam ini kamu tidur di luar,Ibu mu memecahkan kaca tadi! Bikin susah saja kenapa kalian tidak mati saja!” Teriak Bunda dari balik pintu.
“Braakkk!”
“Ibu…. Ibu… Hiks… Ibu… Gendhis sayang Ibu… Gendhis tak akan meninggalkan Ibu… hiks.. hiks…” tangis ku pecah dalam pelukan ibu, aku memeluk erat tubuh ibu karena ia masih ingin meraih ubi mentah yang tinggal separuh di sebelah ku.
‘Ya Allah… kapan semua ini berakhir… beri aku kesempatan untuk merubah takdir ku… kuatkan hamba ya Allah….’ Cicit Gendhis dalam hatinya.
Waktu silih berganti, kini aku sudah duduk dibangku SMA. Tak terasa aku sudah menjelma menjadi seorang gadis yang manis, Vya sering memanggil ku dengan panggilan 'Gendhis manis, jangan menangis'. Tak terasa persahabatan kami sudah menginjak usia 11 tahun. Hari ini adalah pengumuman siswa-siswi yang bisa ikut jalur tes beasiswa siswa berprestasi di perguruan tinggi negeri.
Dengan langkah gontai aku perlahan menuju rumah, jika Vya merasa bahagia karena ia bisa ikut tes jalur beasiswa. Aku justru harus kembali merayu ayah agar diperbolehkan untuk ikut seleksinya. Karena harus datang ke lokasi yang sudah di tentukan, tepat berada di provinsi sebelah wilayah domisili ku. Malam hari saat ayah sedang duduk menonton televisi dengan adik ku, dengan sedikit keberanian ku sampaikan maksud tujuan ku untuk kuliah jalur beasiswa. Mumpung ayah sedang berada dirumah.
“Yah, kemarin wali kelas Gendhis memberikan undangan untuk tes beasiswa di Bandung. Boleh Gendhis ikut?” Tanya ku dengan takut-takut. Aku tak berani menatap ayah karena di sisinya ada Bunda.
“Gendhis, kalau kamu kuliah siapa yang rawat ibu mu. Kasihan Bunda kalau kamu kuliah di luar kota. Kondisi ekonomi keluarga kita juga sedang tidak stabil syukur ayah masih bekerja karena lagi ada pengurangan karyawan.” Tolak ayah ku.
“Kalau begitu Gendhis boleh kuliah di kota ini saja Yah?” Tanya ku.
“Kamu itu, kalau mimpi jangan tinggi-tinggi! Mikir, ayah kamu ini masih karyawan kontrak! Gajinya mana cukup buat kebutuhan sehari-hari kalau kamu mau kuliah juga! Kamu kerja saja sudah tamat SMA ini. Ibu mu itu setiap bulan saja obatnya mahal! Adik-adik mu juga masih sekolah, butuh biaya!" Bentak Bunda.
Ayah hanya diam, entah harus berapa kali Ayah lebih menuruti keinginan Bunda. Mungkin cinta ayah pada ibu dan aku sudah terkikis sehingga semua yang dikatakan Bunda menjadi sebuah keputusan di dalam rumah ini. Malam hari aku hanya memeluk ibu yang hanya menatap langit-langit kamar.
“Kapan ibu sembuh Bu… cepat sembuh biar kita bisa pergi dari rumah ini…” Gumam ku seraya menyisir rambut ibu. Aku pun malam ini hanya mampu menahan rasa kecewa pada Ayah. Andai ibu sehat mungkin aku sudah lama pergi dari rumah, tapi melihat ibu dengan kondisi sekarang tak mungkin membuat aku menjadi orang egois.
Hari-hari ku lalui dengan sabar, usai hari kelulusan. Aku sudah diterima bekerja di salah satu rumah makan padang. Aku bekerja di bagian cuci piring dan kadang bagian bersih-bersih ayam. Dari sekian lowongan pekerjaan aku lebih memilih bekerja di rumah makan ini. Karena banyak pertimbangan. Aku harus mencari lokasi bekerja yang dekat rumah, agar waktu makan siang aku bisa pulang sekedar melihat kondisi ibu dan memberi ibu makan siang lalu kembali bekerja. Bunda tak mungkin memberi makan ibu. Kalau pun iya aku tahu nasi apa yang diberikan, kadang sisa makan si Kembar yang diberikan pada ibu. Disamping itu aku bertekad mengumpulkan uang untuk mendaftar kuliah tahun depan. Tekad ku sudah kuat dan bulat, aku harus menjadi Wanita yang kuat. Aku harus kuliah, apapun caranya. Aku hanya tertuju pada kuliah bagaimana pun caranya. Karena bagi ku hanya kesuksesan ku adalah balas dendam terindah untuk ibu tiri ku.
Suatu sore aku tersenyum dengan mengayunkan langkah kaki untuk pulang kerumah. Angin berhembus cukup kencang karena hari mau hujan. Aku setengah berlari pulang. Aku ingin memeluk Ibu. Aku ingin menceritakan pada ibu bahwa aku diterima bekerja dan bisa pulang di siang hari. Seperti sore ini, aku boleh membawa pulang jatah makan siang ku. Menunya rendang sapi, satu menu yang mungkin amat jarang aku dan ibu ku makan. Hari ini adalah hari ulang tahun ibu. Aku akan membiarkan ibu menghabiskan satu bungkus nasi padang dengan rendang sapi ini untuk ibu. Saat tiba di dalam rumah, aku terkejut karena melihat ibu terikat di atas tempat tidur. Kaki dan tangannya terikat. Namun saat aku baru akan membuka ikatan tersebut Bunda muncul seraya melemparkan satu tas ke arah kami.
“Jangan kamu lepaskan ibu mu! Buang saja ibu mu di jalan! Dia baru saja menyerang Raka, untung warga cepat datang tadi jika tidak bisa mati aku dan anak-anak ku!” Bentak Bunda.
Aku berdiri dan menatap tajam Bunda, sudah ingin aku tarik rambut perempuan itu. Persetan dengan semua apa yang akan ia lakukan. Sudah cukup ibu disakiti hanya alasan jika ibu menyakiti dia. Andai ibu diberikan obat rutin ibu tak akan mengamuk. Akan tetapi sudah setengah tahun ini biaya untuk obat ibu dikurangi alasannya aku sudah bekerja, padahal aku sedang mengumpulkan uang untuk kuliah. Baru aku akan menarik rambut Bunda, namun pintu di kunci dari luar. Hari ini menjadi hari di mulai untuk aku menjadi perempuan kuat. Ayah pulang dan memberikan kabar bahagia bagi dirinya. Ia naik pangkat dan menjadi karyawan tetap dengan semua fasilitas mewah. Ia harus ke Kalimantan bersama Bunda dan dua adik kembar ku. Aku yang sudah terlanjur mendaftar di salah satu kampus harus berjuang agar tetap di kota ini.
“Aku tidak mau pindah dari sini,” Tolak ku.
“Gendhis. Kenapa kamu selalu keras kepala!” Teriak ayah.
Aku sudah tak takut lagi, kini aku sudah dewasa. Aku akan mencoba keluar dari zona nyaman dan aman. Demi ibu, demi masa depan ku.
“Aku mau daftar kuliah yang jadwalnya sabtu dan minggu. Aku akan bayar kuliah sendiri. Aku tidak mau pergi dari sini. Jika memang pindah, ayah harus izinkan aku kuliah.” Ucap ku tegas. Aku sudah yakin Ayah dan Bunda lebih memilih aku tinggal disini daripada ikut mereka ke Kalimantan. Itu kenapa aku bersikeras, bagi ku ini kesempatan berpisah dengan monster yang bernama Bunda. Entah kenapa Bunda tak sedikit pun menganggap ku anak. Ada Malika teman SMA ku yang sering bercerita jika ibu sambungnya baik sekali. Tetapi aku, memang sudah takdir ku bertemu ibu sambung seperti Bunda.
Ayah menggebrak meja, mukanya merah. Ia menatap aku dengan tatapan tak suka.
“Kamu, susah diatur. Dari dulu kamu dan ibu mu itu sama. Sama-sama keras dan susah diatur! Terserah, ayah akan tetap pindah. Kamu akan tinggal sendiri jika tetap ingin disini. Kamu cari rumah lebih kecil. Ayah tak sanggup beri biaya jika tetap mengontrak disini.
Aku pun mencari kontrakan yang dekat dengan tempat kerja dan kampus. Akhirnya aku menemukan satu tempat yang cukup murah dan strategis. Masalah tampaknya terus saja datang menghampiri, pagi buta rumah ku kedatangan beberapa warga. Ku pikir ada apa.
“Maaf mbak, jujur selama satu minggu mbak tinggal disini, kami terganggu. Ibu mbak sering berteriak dan bernyanyi di malam hari. Kami terganggu untuk istirahat.” Ucap salah seorang ketua RT yang mewakili warga yang tampak emosi.
“Anak saya harus terjaga terus setiap malam semenjak mbak tinggal disini. Ibu mbak mengganggu!” Teriak lelaki berambut gondrong.
Dengan susah payah aku harus mencari tempat baru. Namun sore hari aku melihat rumah ku sudah ramai. Hati ku tak karuan, ternyata saat aku tiba di dalam rumah. Ibu ku diikat di terali. Ibu ternyata keluar rumah dan menyerang warga. Aku marah dan mengusir warga yang ada di rumah ku dengan wajah merah padam.
“Pergi! Pergi kalian semua! Saya akan pergi dari sini! Kurang ajar kalian! Dia ibu ku!” Teriak ku. Aku memukul pintu yang kini aku tutup paksa. Dada ku sesak sekali, bahkan saat aku membuka tali yang mengikat ibu. Ibu beberapa kali memukul tubuhku.Sekuat tenaga aku menahan ibu dan kembali ku ikat ibu. Aku berlari ke kamar, aku mencari obat yang tinggal satu butir. Berharap ibu segera sadar.
Ku buka semua laci bahkan isinya ku tumpahkan ke lantai untuk mencari pil tersebut, namun tak ku temukan. Hingga saat ku raba-raba atas lemari aku menemukan satu pil yang terbungkus. Aku cepat membuka dan membuka pintu kamar, ibu kembali menyerang ku, beruntung tubuh ku cukup besar. Ku dekap ibu dan aku paksa dari posisi belakang ibu agar ibu bisa menelan pil tersebut. Ketika berhasil, aku kembali mengurung diri di kamar. Aku hampir satu jam berada di kamar. Setelah tak terdengar suara ibu membanting barang. Aku keluar, kulihat ibu terkapar di lantai. Tangannya telah luka karena memukul sembarang benda, kakinya juga terluka karena menginjak serpihan kaca. Aku memeluk ibu dan ku bersihkan luka di tubuhnya, mungkin obat penenang itu baru bereaksi.
“Hiks… Hiks… Dia ibu ku… aku tidak akan membiarkan ibu sendiri. Tunggulah Gendhis bisa sukses bu, Gendhis akan berikan ibu perawatan medis. Ya Tuhan.. apakah mati adalah pilihan?” Gumam ku menatap seutas tali dan mendongak ke arah langit-langit kamar.
'Aku sudah tidak kuat lagi ya Allah menjalani hidup ini...'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!