"Nape lo?" Tanya Farhan pada Gue "Kok gak bergairah gitu?"
"Biasa, baru di plorotin cewek yang baru gue tidurin semalam." Kata gue mendengus.
"Lah, kalau dah biasa napa lo sedih? Elo cinta ama cewek itu?" Farhan memesan satu tequila pada
bartender di depan kami
"Awalnya dia bilang cinta, gue kira dia beda ama cewek-cewek lain. Ternyata, sama aja. Pagi-pagi minta
transferan trus nomor gue di blokir." Gue menegak gelas ke dua brandy sampai habis
"Jangan-jangan loe maennya kasar. Pada kabur tuh cewek." Farhan akhirnya mengatakan kebenaran.
Gue akui gue gak ada lembut-lembutnya pada cewek kalau soal di ranjang. Otak gue uda gak rasional lagi buat lembut, romantis, ***** bengek. Buka musik yang selow aja gue malas. Gue suka dengar jeritan cewek-cewek yang lagi ku tunggangi. Tapi bukan berarti gue model yang S & M, Sadism and Machoisme. Gue hanya suka dengar jeritan dari padadesahan.
"Gue gak bisa lembut." gue ngaku
"Makanya pada kabor semua. Lebih nikmat ambil duit loe dari pada ngesek ma loe." Farhan tersenyum sambil
berkedip pada cewek di belakang kami.
Aku mendengus lagi. "Mungkin nasib gue gak bisa nemu cinta sejati."
"Cara bukannya gak ada bro." Kata Farhan
"IQ entek loe bisa punya cara apa?" ejekku
"IQ gue lebih tinggi dari elo, nyet." Farhan merajuk dan hendak pergi
"Eh, sorry sorry. Sebelum loe ke cewek itu, kasi tau apa ide elo tadi."
"Loe, pura-pura bangkrut, cari cewek yang selevel ama kebangkrutan Loe. Kalo cewek itu mau, berarti cinta
sejati Loe." Jelas Farhan cepat-cepat lalu ngilang di kerumunan orang-orang yang lagi dansa.
"Ide buruk. Dasar IQ jongkok." gue mendengus
Malam ini gue putuskan untuk pulang, karena gak ada mood nyari mangsa. Baru lima menit gue putuskan untuk pulang, ada aja cewek seksi pake atasan kemben hitam mengkilap dan hotpant super pendek deketin gue.
"Mas, dah mau cabut?"
"Masuk aja belon, dek." Goda Gue sambil mengelus sela-sela pahanya.
"Bermalam di mana mas? Gue ikutan bole?" rayunya
Gue paling gak tahan ama cewek yang ngomongnya to the point. Gairah gue yang tadinya lenyap, muncul lagi entah dari mana. Dasar Gue emang playboy sejati.
"Rumah elo di mana? Yang dekat sana aja. Pagi gue bangun siang, gak bisa nganter loe." Kata gue sambil merangkulnya dan mencium lehernya. Wangi parfum Dior Poison yang paling guesuka masuk dari hidung gue lalu ke sel-sel kejantanan gue. Malam ini gue akan dengar jeritan lagi. Yes.
Cewek yang bernama Chika akhirnya masuk ke BMW Gue. Beberapa menit perjalanan, Chika mulai melakukan sesuatu di bawah Gue. Sial, dia ahlinya. Gue nyalain auto drive dan menikmati dua hal sekaligus. Pemandangan malam dan di bawah Gue. Tiga menit kemudian Chika tersedak oleh cairan yang tiba-tiba meluncur ke kerongkongannya.
“Lo gila!” Chika meludah ke luar jendela “Gue mau turun!”
Gue terkekeh lalu mengeluarkan emas sepuluh gram hadiah dari Bank tadi pagi dari dompet Gue, “Masi mau turun?”
Chika mencoba berpikir sebentar sebelum akhirnya dia meraih emas itu dari tangan Gue. Gue mengambil alih mobil kesayangan Gue dan meluncur secepat kilat ke Hotel milik keluarga Gue. Gue punya dua kamar kesukaan Gue di hotel itu. Masing-masing punya jendela besar di ruang tamu dan kamar, tanpa tirai apapun. Terserah mau bilang gue punya kelainan atau istilah lain. Tapi Gue selalu suka dengan pemandangan dari ketinggian. Jendela tanpa tirai bukankah sama seperti ketika tinggal di alam terbuka? Bedanya hanya tidak perlu takut dengan hujan, badai, debu, kebisingan dan hewan liar yang mengintai dan siap di buru kapan saja.
Saat ini Chika sedang melakukan tugasnya. Sudah Gue bilang tadi, dia ahlinya. Pukul satu dini hari yang terdengar hanya nafas terengah-engah Chika. Walaupun dia ahlinya, tapi dia menemukan lawan yang cukup membuatnya ‘menderita’ malam ini.
“Bacakan nomor rekening lo.” Nafas Chika masih terengah-engah saat menyebutkan sejumlah nomor. “Lo sudah boleh pulang.”
“Jam satu dini? Lo serius?” protesnya
“Iya pulang.”
Chika mengecek handphone lalu menjerit terkesima. Sudah jelas dia terkejut karena saldo rekeningnya bertambah dua puluh juta.
“Bole minta nomor?” tanyanya sambil memakai pakaiannya
“Nomor apa? Nomor rekening? Gue gak minta cashback.”
“Nomor handphone lo.”
Gue menggeleng “Gue gak tidur dengan cewek yang sama.”
“Sombong. Tapi makasih. Gue bisa bawa bokap gue berobat.”
Sombong. Gue gak sombong. Hanya saja Gue belajar dari pengalaman. Cewek-cewek yang bermalam dengan Gue pura-pura tidur dan ketika gue sudah pulas, mereka akan membuka handphone gue dengan fingerprint gue lalu ada yang coba memecahkan sandi rekening Gue. Ada yang memindahkan saldo dari e-wallet gue. Ada yang
mengosongkan dompet gue. Ada yang melakukan penipuan melalui chatting berkedok gue butuh uang tapi tranfernya ke rekening dia. Itulah alasan Gue frustasi terhadap cewek-cewek yang tidak bisa ku jadikan pacar selain pemuas dahaga saja.
Chika sudah pulang sejak dua jam yang lalu, tapi mataku belum sedetik pun terpenjam. Padahal biasanya aku akan terlelap begitu selesai mandi. Kata-kata Farhan masih teringang-ingang sampai sekarang. Farhan sialan, dia harus bertanggung jawab.
“Nape lo Bro?” Farhan menjawab panggilan Gue dengan suara panik.
“Lo harus tanggung jawab.”
“Jadi lo gak apa-apa kan? Lo di mana?” Farhan menghela nafas.
“Biasa, di suite gue.”
“Ok. Gue mau tidur lagi.”
“Woi Lo, “ Farhan sudah memutuskan panggilan.
Gak ada yang bisa memecahkan rasa penasaran yang sesak ini selain Farhan. Kalau dia gak bisa di hubungi, mending gue langsung datangi dia. Rumah Farhan tidak jauh dari sini. Apalagi subuh-subuh begini jalanan sepi dan gue bisa sampai di rumah Farhan hanya dengan lima belas menit.
“Loh, Mas. Dengaren jam segini?” Pak Agus menghampiri jendela mobil Gue sebelum akhirnya membuka pagar.
Gue masuk ke pekarangan rumah Farhan yang di penuhi permainan anak-anak. Seluncuran, ayunan, rumah-rumahan. Tak heran, Farhan masih punya adik-adik yang masih kecil. Ya, adik-adik berarti lebih dari satu. Seingatku dua, tapi Farhan pernah mengatakan tiga atau empat. Masa bodo dengan adik-adiknya. Gue masuk ke dalam rumah Farhan. Masih gelap dan sepi. Gue naik ke lift di belakang tangga dan menekan tombol empat. Pertama rumah ini di bangun ketika kami masih di bangku SMP. Farhan memamerkan rumah dia yang punya lift, orang pertama di sekolah yang punya lift di dalam rumah. Gue sudah punya kecintaan pada ketinggian sejak SD dan ketika itu Farhan menyombongkan kamarnya di lantai empat. Dengan murah hatinya dia mengijinkan Gue nginap di kamarnya selama seminggu. Gue ingat, gue iri banget. Gak bisa lepas dari jendela kamarnya yang berukuran lima puluh kali delapan puluh. Pemandangan di kamarnya sebenarnya tidak terlalu menakjubkan. Sebagian adalah jemuran tetangga, masjid dan apartemen.
Tapi roda berputar ketika kami SMA, lampu sorot akhirnya menerangi Gue. Bokap Gue menghadiahi Nyokap Gue sebuah hotel yang kalau Lo pada dengar namanya pasti langsung bilang, “ohhh tau”. Yes, hadiah paling mewah di ulang tahun pernikahan dua puluh bokap dan nyokap Gue. Keren banget bokap Gue, sumpah. Gue gak mau ketinggalan dong. Gue minta hadiah sweet seventeen Gue, kamar paling atas di hotel nyokap itu. Jadi, saat itu gantian Gue yang murah hati meminjamkan kunci kamar itu ke Farhan yang lagi broken home. Nyokapnya meninggal karena kanker dan bokapnya ternyata sudah mendapat pengganti Nyokap Farhan. Masih muda, cantik, baik, ayu, soleha, pintar, cumlaude dan sehat. Seolah-olah ibu tirinya itu tidak punya kekurangan. Tidak seperti ibu tiri yang pada umumnya, kejam, sadis. tak berperasaan, tukang nyindir, tukang mukul, baperan, dikit-dikit curhat sosmed. Semakin sempurnanya ibu tirinya, semakin hancur hati Farhan. Dia Gue ijinkan mengurung diri selama dia mau di kamar suite termewah di hotel itu. Karena di satu lantai itu Cuma punya dua kamar. Dan dua kamar itu punya Gue.
Ok, si brengsek ini tega-teganya tidur pulas sambil ngences dan mimpi basah di saat Gue lagi kebingungan gara-gara dia. Gue mengambil handphonenya dan meletakkan di pipinya. Gue mendial panggilan ke handphonenya. Voila dia kaget.
“Sapi lo, setan. Gue kutuk lo ereksi terus.” Farhan mengutuk gue sambil melempar bantal kearah Gue. Gue tertawa sampai terguling di lantai vynilnya. “Lo kerasukan setan apa sampe menghantui gue subuh-subuh gini. Lo gak tau kalau di jam-jam segini mimpi lagi enak-enaknya? Lagi seru-serunya. Brengsek Lo.”
“Sabar bro.” Gue berusaha bangkit dan menahan tawa sambil naik ke kasurnya.
“Jadi ngapain lo?” Farhan sudah tidak begitu emosi lagi. Walau wajahnya masih cemberut parah nyaris gak di kenali.
Gue akhirnya mengutarakan pada Farhan maksud Gue datang ke rumahnya.
“Hanya demi ginian lo ganggu mimpi indah Gue.” Farhan menggaruk-garuk kepalanya yang tiba-tiba gatal. “Gue pernah berjanji mau balas budi ke elo. Gue bantu deh.”~~~~
Bahagia bagi ku hanya sesimpel jualan hari ini habis terjual sebelum sore. Aku mengangkat satu persatu toples kaca berisi sirup dan buah yang saat ini sudah kosong masuk ke dalam rumah dan meletakkan semuanya berjejer di wastafel. Puas banget rasanya melihat semua botol kosong ini dan isi tas pinggang ku yang berisikan banyak uang kertas hasil penjualan hari ini. Aku mengambil segelas air putih dan kembali ke teras rumah lalu menghampiri seorang cowok yang duduk di kursi batu. Dia adalah seorang pengamen yang pintar menyanyi dan memainkan gitarnya sampai menarik perhatian warga di lingkunganku. Sampai mereka bersedia mampir dan sambilan membeli es buah yang ku jual sampai habis.
"Makasih yah. Berkat kamu jualan ku hari ini habis lebih cepat dari biasanya." Kataku tulus sambil menyerahkan segelas air putih dingin padanya yang langsung di tegak habis. Sekilas aku melihat dia punya kelopak mata dan bulu mata yang indah. Raut wajahnya yang menyenangkan dan tampak rendah hati membuatku tidak takut padanya. "Siapa namamu?"
"Tony. Lo?"
"Amelia."
"Manggilnya Amel atau Lia?" tanyanya sambil menatapku dengan bola mata yang terpantul jelas wajah ku dan langit. Detik itu juga, jantungku berdegup kencang dan hampir tidak bisa bernapas.
"Terserah." Jawabku yang terkesan ketus karena aku berusaha menyembunyikan kegugupanku.
"Tadi Gue dengar orang-orang ~~~~manggil Lo Amel. Kalau gitu Gue manggil Lo Lia."
Aku hanya sanggup tersenyum dan mengangguk, lalu dia pergi. Aku sempat bertanya, apakah besok dia akan datang lagi dan aku menjanjikan makan siang untuknya kalau bersedia bernyanyi lagi seperti hari ini. Dan dia langsung setuju. Entah kenapa aku senang. Seharusnya aku tidak boleh segampang itu dengan orang asing. Apalagi tampaknya dia bukan orang yang tinggal di dekat lingkungan ini. Setelah di tinggalkan kedua orang tua ku karena kecelakaan dua tahun yang lalu, aku berusaha tegar dengan hidup sendiri dan bekerja dengan menjual minuman es buah di teras rumah.
Awal-awal tetangga bersimpati denganku, setiap hari selalu ada yang mengantarkan makanan atau obat-obatan untuk ku. Tapi setelah itu mereka mengaku kalau orang tua ku punya hutang kepada mereka dan memintaku untuk membayar dengan asuransi orang tuaku. Tapi untung aku memberitahukan masalah ini kepada Miss Jenny , wali kelasku saat kelas dua belas yang mengunjungiku setelah mengetahui berita meninggalnya kedua orang tuaku. Miss Jenny menyarankan aku untuk tidak membayar apapun kepada orang-orang yang mengaku di hutangi orang tua ku tanpa ada surat-surat yang sah dari notaris. Miss Jenny juga mengajarkan ku untuk lebih berhati-hati terhadap orang asing dan harus punya nomor telepon darurat di handphone.
Saat ini cowok bernama Tony sudah berada di halaman rumah ku lagi. Dia duduk di tempat yang sama seperti semalam, memetik gitar dan mulai menyanyi lagi. Sebagian besar lagu yang dia nyanyikan tampak asing bagiku. Tapi aku tidak sempat menikmati lebih lama karena tetangga-tetangga mulai berdatangan dan memesan es buah ku. Alhasil, beberapa jam kemudian, buah yang padahal ku siapkan lebih banyak dari semalam kini sudah habis terjual. Lelah dan keringat akibat menyiapkan pesanan tanpa henti terbayar oleh tas pinggang yang di penuhi dengan uang-uang kertas.
Sesuai janji, aku mengajak Tony masuk ke dalam rumah untuk menunggu sembari aku membereskan sisa jualan dan menyiapkan makan siang sederhana untuknya sesuai janjiku padanya semalam. Aku menyuruhnya duduk sofa sambil menyalakan televisi untuknya.
“Gue suka rumah lo.” Katanya sambil memandang sekeliling.
Rumah tipe studio yang baru di renovasi ayah setahun sebelum dia meninggal. Awalnya rumah ini sama seperti rumah yang lain, punya ruang-ruang tersendiri. Tapi sejak aku selalu mengurung diri di kamar, ayah marah karena ibu selalu jengkel karena aku selalu mengunci pintu kamar. Akhinya ketika libur kenaikan kelas, ayah menyuruh aku dan ibu untuk menginap di rumah nenek untuk beberapa waktu. Ternyata ayah mengubah rumah ini menjadi rumah tipe studio yang minim sekat.
“Kamu tidak bisa lagi mengurung diri di kamar,” Kata ayah sambil tersenyum puas “sekarang aku dan ibumu sudah bisa lebih sering melihat anak gadis kami.”
Aku jengkel sekali waktu itu, aku terus-terusan menjelek-jelekkan rumah ini di hadapan ayah dan ibu. Semua privasi ku di rampas. Aku selalu berdoa semoga rumah ini bisa kembali ke sedia kala. Semoga aku mempunyai ruang privasi ku sendiri seperti sebelumnya. Doa ku terkabul dengan kematian kedua orang tua ku. Rumah studio yang awalnya ramai oleh suara ayah dan ibu sekarang senyap. Bahkan suaraku sendiri jarang terdengar lagi di rumah ini. Rumah yang minim sekat sekarang terasa sangat tertutup. Setiap hari aku menyesali, apakah karena doa ku ayah dan ibu meninggal? Aku tidak berani berdoa dan berharap lagi sejak itu.
Air mataku menetes ke minyak panas yang langsung memercik. Aku kaget dan langsung tersadar dari lamunanku.
“Lo kenapa?” tanya Tony yang sudah berdiri di sebelahku. Dia mematikan kompor dan meraih tanganku yang terkena percikan minyak. “Ada obat oles gak?”
“Aku gak apa-apa.” Jawabku sambil menarik tanganku.
“Lo nangis, Gue jadi gak enak.”
“Bener, aku gak apa-apa. Hanya teringat masa lalu saja.” Aku kembali menyalakan kompor dan memasukkan sesendok bakwan sayur kedalam minyak.
“Mantan Lo?” tanyanya
“Bukan, ayah dan ibu.” Jawabku “Aku gak punya mantan.”
“Maaf yah kalau Gue membuat Lo teringat ama ayah dan ibu Lo.”
“Bukan karena kamu kok.” Kali ini aku memaksakan diri untuk tersenyum.
Tony tampak menikmati sekali makan siang ini. Dia seperti orang kelaparan dan yang lebih takjub lagi, katanya ini pertama kalinya dia makan bakwan sayur. Cara makannya juga sangat kaku dan aneh. Biasanya orang akan refleks mengambil sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Tapi Tony mengambil garpu di tangan kanan dan sendok di tangan kiri. Tebakku, selama ini dia makan hanya pakai tangan saja dan jarang menggunakan alat makan. Kehidupan seperti apa yang dia jalani selama ini. Aku tidak berani menanyakannya karena takut menorehkan luka padanya, atau membuat dia merasa rendah hati.
“Kamu mau tiap hari makan di sini?” tanyaku tanpa sadar.
Tony menatapku kaku selama beberapa detik, kemudian tersenyum sambil mengangguk. Detik itu juga aku menyesal. Seharusnya aku tidak boleh menawarkan makan siang setiap hari kepada cowok yang baru ku kenal. Tapi hatiku sangat berterima kasih sekaligus kasihan padanya. Seingatku, semalam dia juga memakai pakaian yang sama dengan hari ini. Aku meyakinkan diriku kalau dia bukanlah orang jahat. Aku tahu dari matanya. Mata orang jahat tidak akan bersinar seperti mata Tony.~~~~
Hari ke enam Gue makan di rumah Lia. Gadis cantik berambut panjang hitam yang tak sengaja ku temui ketika gue lagi ikutin usul Farhan untuk main di daerah yang agak pelosok. Gitar jelek yang Gue dapat dari kamar Farhan mendukung samaran Gue. Seminggu lalu ketika Gue tak sengaja masuk ke jalan kecil yang berkelok-kelok, Gue kehausan dan melihat warung es buah. Karena kehausan, Gue masuk dan minta air putih karena ketika merogoh celana jeans robek sana sini punya Farhan yang Gue pake gak ada dompet LV gue. Sial, untuk beli es buah aja Gue gak bisa. Untung gadis yang jaga warung es baik dan langsung menyuguhkan gue air dingin dan nyawa gue
langsung terkumpul.
Gadis baik yang di depan Gue bernama Lia. Sepertinya dia punya perasaan terhadap Gue. Selama beberapa hari ini dia memasakkan makan siang yang jarang-jarang Gue temui. Hari ini Mie instan dengan aci. Pertama kalinya Gue makan mie instan. Kalau di rumah, mie instan adalah salah satu makanan terlarang yang tidak boleh di jumpai di rumah. Pembantu di rumah juga di larang makan mie instan. Alasannya klasik, demi kesehatan.
"Enak?" tanyanya pada suapan kedua ku.
"Ahhhh...." kata Gue setelah meneguk habis kuahnya. "Enak."
Lia tersipu, menundukkan kepala sambil pelan-pelan menikmati setiap suapnya. Jika di perhatikan, Lia cantik juga. Dia berbeda dengan cewek-cewek menor yang Gue jumpai setiap hari. Bagaimana cara Gue mendeskripsikan Lia ya? Hmm, seperti kuncup bunga, tapi dia tidak secantik itu. Seperti mata air, sejuk, jernih, belum terjamah atau pure. Gue terkekeh dalam hati karena sudah menemukan istilah yang cocok untuk menggambarkan Lia.
"Rumah kamu dimana, Ton?" tanya Lia yang kontan memecahkan lamunan Gue "Apakah jauh dari sini?"
"Rumah gue, jauh. Gue gak bisa pulang." jawab Gue jujur. Rumah Gue memang di kota lain dan gue selama ini nginap di salah satu hotel kepunyaan bokap Gue yang ada di kota ini.
"Jadi kamu tinggal di mana?" Lia sedikit terkejut
"Dimana aja." jawab Gue jujur lagi. Dimana aja asal hotel itu punya Bokap Gue.
"Kamu kerja?" tanya Lia lagi.
Hari ini Lia bertanya banyak pada Gue. Kayaknya Gue mesti kasi jawaban yang logis. Kalau Gue bilang gak kerja pasti Lia akan curiga. Gue berpikir dengan cepat dan ide muncul setelah sekilas melihat Gitar jelak punya Farhan.
"Gue nyanyi." Gue salah ngomong. Seharusnya Gue bilang Gue ngamen.
"Ternyata kamu penyanyi yah? Pantas saja nyanyian kamu enak banget. Suara kamu juga merdu." puji Lia tiba-tiba senang.
"Gue bukan penyanyi. Gue nyanyi di bar." Mampus la.
"Senang sekali bisa menghasilkan dengan hobi," suara Lia memelan tapi masih dengan senyumannya yang manis "Aku iri."
"Emang hobi Lo apa?"
"Aku gak punya hobi. Tapi aku pengen kuliah."
"Lo pasti bisa."
"Kamu kalau gak ada tempat tinggal, maukah tinggal di sini?"
Deg.
Mau.
***
"Gue sekarang tinggal di rumah Lia." Farhan tersedak mendengar pernyataan Gue. Sampai sisa bir yang gak sempat di telannya keluar dari hidung dan dia muntah dengan menjijikkan di lantai Bar langganan kami.
Pegawai-pegawai di sana panik melihat Farhan masih saja terbatuk-batuk sampai termuntah-muntah. Bir yang sudah di minum dua gelas kini sudah berceceran di lantai beserta steak yang dia makan di rumah sebelum kemari. Gue gak sanggup melihat pemandangan menjijikan ini dan beranjak pergi dari situ meninggalkan Farhan yang sedang terduduk lemas di lantai.
Gue malam ini masih tidur di hotel. Gue menyuruh karyawan di hotel untuk membeli pakaian-pakaian no brand dan tas dengan kualitas paling rendah. Cosplay jadi cowok miskin harus tampak sempurna. Gue kali ini harus merasakan di cintai tanpa memandang materi dan Gue yakin Lia punya perasaan ke Gue. Lia bisa memberi Gue cinta yang Gue mau. Cinta yang tidak pernah Gue dapatkan dari cewek-cewek lain walau sudah habis puluhan juta.
Pagi-pagi sebelum warung es Lia buka, Gue sudah di rumahnya. Gue mengamati Lia yang sibuk menyiapkan semua bahan-bahan untuk jualannya nanti.
"Gue bisa bantu apa?" tanya Gue sok baik hati. Semoga Lia tidak beneran menyuruh Gue bantu.
"Bole bantu angkat toples yang sudah terisi ke depan gak?" Lia menunjuk toples besar berisi air berwarna pink yang di dalam banyak buah warna warni yang setengah melayang dan setengah tenggelam. Gue menurutinya.
Baru pertama kali ini Gue kerja. Kalau Gue beritahu Farhan lagi, mungkin kali ini spaghetti yang akan keluar dari hidungnya. Akhirnya semua toples besar untuk jualan Lia, Gue yang angkat dan susun dengan rapi sebagaimana biasanya. Lia tampaknya senang dengan hasil kerja Gue.
"Ayok sarapan dulu." ajak nya
"Sarapan apa?" tanya Gue bingung. Gue Uda gak pernah sarapan sejak lulus SD. Sarapan selalu buat gue ngantuk dan gak bisa konsentrasi di kelas. Akhirnya lama kelamaan jadinya gak terbiasa sarapan lagi.
"Aku masak nasi gurih dengan telur suwir dan ikan teri pedas." ujarnya.
Masakan apa lagi itu? Nasi gurih itu apaan? Akhirnya dari pada menebak dan menjawab sendiri, Gue akhirnya ngikutin Lia ke meja makan. Dia memindahkan Rice Cooker dari dapur ke meja dengan semangat.
" Satu... Dua... Tiga.." hitung Lia gugup campur senang "Taraaa."
Penampakan di dalam rice cooker akhirnya terungkap setelah uap panas menyatu di udara. Isinya penuh tapi tidak nampak sebutir nasi pun. Yang tampak hanya omelete yang di potong-potong dan ikan-ikan kecil berlumuran potongan cabe. Gue melirik Lia untuk melihat ekspresinya, apakah masakan ini gagal atau berhasil. Lia tersenyum puas dan melihat Gue. Berarti masakannya berhasil, Gue akhirnya ikutan tersenyum walaupun gak ngerti kenapa Rice cooker berisi omelet dan ikan ini termasuk berhasil.
Lia mengambil piring dan mulai menyendok isi rice cooker. Uap yang lain muncul lagi ketika Lia mengangkat sendok yang penuh dengan isinya. Ternyata nasinya ada di bawah omelet dan ikan-ikan kecil tersebut. Rasa penasaran Gue akhirnya hilang. Tapi aku masih bingung kenapa omelet di masukkan ke rice cooker bareng dengan nasi. Bukankah bahkan akan membuat nasi tersebut berminyak. Apalagi ikan-ikan kecil yang bercabe-cabe itu?
Piring di hadapan Gue penuh. Guys, siapa yang sarapan sepiring penuh kayak Gue hari ini? Rasa nasi putih ini berbeda dengan nasi yang Gue makan biasanya. Gue menyendok sampai tiga kali tapi tetap yakin kalau rasanya beda.
"Kenapa?" tanya Lia melihat tingkah ku
"Ini mirip sticky rice tapi tekstur masih seperti nasi. Atau cuma perasaan Gue aja?" gumamku
"Maksud kamu pulut ya? Ini namanya nasi gurih. Cara pembuatan dengan pulut hampir sama. Hanya saja beras yang di pakai berbeda," Jelasnya "lain kali ku ajari cara masaknya yah."
***
"Bro jadi beneran Lo? Gue masih shock tau gak?" Ujar Farhan saat kami nongkrong di rooftop bar hotel bokap gue. "Jadi uda Lo tiduri juga tu cewek?"
"Belum." Gue menyesap martini pelan.
"Lo berubah." Farhan berpaling menyesap tequila lalu menepuk bahu Gue. "You totally merakyat. Terlalu menghayati peran bisa buat Lo hilang jati diri tau gak?"
"Ini ide lo bangsat." Gue mencengkram kerahnya tapi langsung di tepisnya.
"So, get out."
"Gak bisa. Tepatnya, belum." jawab gue lalu menghabiskan martini Gue sekali teguk.
"Nape? Lo dh jatuh cinta ama cewek itu?"
"Namanya Lia."
"Jadi beneran Lo jatuh cinta? As you wish? Jadi Gue musti kasi selamat ama Lo?"
"Iya. Dia beda. Untuk pertama kalinya ada cewek yang tulus ama Gue. Cewek yang gak berusaha bongkar sandi Gue. Cewek yang gak gue beli tapi malah masakin buat Gue."
"Sadar Bro. Itu karena dia kira Lo miskin." tukas Farhan
"Gue masih pengen ngerasain rasanya di cintai."
"Sampai kapan?"
Gue berpikir sejenak lalu mengangkat bahu tanda Gue juga gak tahu sampai kapan. Yang pasti, saat ini Gue bahagia hidup sederhana dengan Lia. Merasakan cinta, kasih sayang dan perhatian yang gak pernah Gue dapatkan dari siapapun. Bahkan dari nyokap gue juga gak pernah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!